NovelToon NovelToon

PEDANG ABADI

Penghancuran gubuk Lembah Abadi

Seribu pasukan datang mengepung lembah Abadi dengan berbagai peralatan perang bergelayut dipinggangnya masing-masing.

Seribu pasukan itu di pimpin oleh Bomel sang jenderal penjahat dari Bukit Tinggi.

Yaitu sebuah kerajaan yang letaknya di atas pegunungan yang tinggi. Kerajaan itu adalah kerajaan yang jahat, hanya melukai orang-orang baik.

Seribu pasukan itu langsung mengatur formasi sesampainya di Lembah Abadi, Sang Jenderal pelan-pelan maju memimpin rombongannya mendekati sebuah gubuk yang di tempati oleh dua manusia yang telah tua rentah.

Sang Jenderal itu berteriak lantang di depan gubuk itu pada pemiliknya.

"Keluaaaarrrrrrr bangsat.... keluaaaarrrrrrr...... keluaaaarrrrrrr keluaaaarrrrrrr cepat kaliaaaann keluaaaarrrrrrr." teriak Bomel keras sebagai Jenderal pasukan.

Teriakan Sang Jenderal tak mendapat gubrisan dari penghuni rumah. Pemilik gubuk tak keluar-keluar walaupun teriakan demi teriakan dilantunkan sekeras-kerasnya oleh Jenderal panjahat.

Sekali lagi saya tekankan. Keluaaaarrrrrrr cepat. Keluaaaarrrrrrr, siapa pun kalian dalam gubuk itu silahkan keluaaaarrrrr sebelum aku meluluhlantakkannya.

Berkali-kali Bomel teriak dengan raut wajah mengerut seperti hantu matanya merah membelalak, rambutnya panjang terurai tak terurus.

"Anak buah cepat geledah gubuk itu dan seret penghuninya ke hadapanku! Saya tau kalau mereka ada di dalam rumah itu."

"Cepat! "Perintah Bomel sang Jenderal Penjahat.

Olehnya itu, tak lama kemudian anak buahnya segera beranjak menuju ke gubuk itu hendak memeriksanya.

Namun sebelum mendekati teras gubuk itu, dua manusia yang sudah tua rentah keluar pelan-pelan sambil berdeham berkali-kali sembari berkata lembut.

"Ada apa kalian jauh-jauh datang kemari? Oug..oug.ough." Tanya kakek tua itu sambil terbatuk-batuk tak mengeluarkam dahag.

"Kalian harus bertanggung jawab atas penyerangan anak buahku kakek tua? " Desak Bomel.

"Oug. Ough. Ough. Ough. Emangnya Ada apa? Saya selama ini tidak pernah menggangu siapapun. Saya berdua dengan istriku tidak pernah lagi keluar-keluar seperti dulu. Apalagi mengusik orang lain." Ucap kakek tua.

"Hah, tidak mengakui, " desah Bomel.

Lanjutnya. "Sudah membunuh tapi tak mangakui hahahaha." di sambut tawa ratusan anak buahnya yang berjejer mengelilingi gubuk itu sambil bersiaga siap menyerang kapan saja.

Wajah kedua orang tua itu tetap tenang tak terpancing oleh keadaan yang menjeratnya.

"Sudahlah kalau kalian tidak percaya, kami mau masuk. Silahkan tinggalkan gubukku ini." lirih kakek tua ramah meminta para komplotan itu segera pergi meninggalkan gubuk reotnya.

"Hahahaha. hahah. haha. haha. hahaha. hahaha. "cengegesan Bomel di iriringi ratusan anak buahnya menertawakan ucapan kakek tua tersebut.

"Apa meninggalkan? Saya tidak salah dengar ini kakek tua bangka?" Tanya Jenderal penjahat kembali.

"Tidak ada yang bisa lari dariku kalau sudah berurusan denganku, memang bukan kalian pelakunya, pelaku pembunuh anak buahku akan tetapi cucu kalian telah berhasil membunuh anak buahku." Tegas Bomel geram.

"Itu pasti karena ulah kalian sendiri, tak mungkin cucuku mencekal anak buahmu kalau bukan tindakan kalian sendiri yang memancingnya." Ucap si Kakek tua singkat dan tenang seolah berbicara dengan tamu biasa-biasa saja.

"Hah," dengus Bomel tak perduli.

"Tak usah banyak cek cok, cepat sebutkan di mana Bintang?"

"Aku tak tau keberadaan cucuku, silahkan cari sendiri."

"Alaaaaa, masih saja mengelak. Tak mau memberitahukanya." Ucap Bomel tambah geram sambil mengatupkan rahangnya.

"Sebelum saya berlaku kasar pada kalian berdua wahay tua bangka, silahkan sebutkan secara detail tempat persembunyianya?"

Si kakek tua diam sejenak sambil menatap wajah teduh istrinya.

"Sudah Saya sampaikan ke kalian semua, tidak mungkin kami menyembunyikan cucu kami, ingat? Dalam keadaan apa pun tak pernah cucuku sembunyi." Singkat ucap kakek tua.

Lanjutnya. "Kenapa sampai kalian berambisi ingin mencarinya? Dia bukan pemuda yang salah seperti yang kalian kira. Kau Bomel dengan seluruh anak buahmu Saya tau maksudmu yang sebenarnya. Kau hanya ingin menangkap cucuku agar kalian bebas berbuat tak ada yang menjadi penghambat kalian dalam melakukan aksi brutal pada orang lain." Tutur Sang kakek tuduh poin mengenai kelakuan Sang Jenderal penjahat itu.

"Makin banyak cincong si kakek bangka ini. Anak buah segera habisi dia!" Perintah Bomel tegas menyuruh anak buahnya menyerang si kakek tua.

Serempak anak buahnya beregerak cepat menghabisi si kakek tua.

Namun tak diduga-duga sang kakek memiliki ilmu sakti yang tak mudah ditaklukkan begitu saja oleh seribu anak buah Bomel yang sedang menyerang dari berbagai arah.

"Cepat bunuh! " Teriak Bomel keras mengamandoi seluruh pasukanya.

Penyerangan pun terjadi dari seluruh anggota pasukan Bomel.

Si kakek pun tak bisa menghindar hingga terjadi saling serang menyerang.

"Jangan biarkan dia lolos dari serangan ini."terus teriak Bomel.

Suara pedang berdentang denting memenuhi Lembah Abadi. Tak sedikit dari pihak Bomel berjatuhan menjerit kesakitan, saat terkena sabetan tombak yang dipegang oleh si Kakek tua.

"Walau dia kuat tetap dia akan kalah, ingat jangan beri dia celah untuk beristirahat? "

"Iya jangan beri dia celah."

"Siap.... Siap.... Siap."jawab para anggota Bomel sambil menyerang si kakek tua yang lama kelamaan sudah mulai pudar kekuatanya.

Bomel teriak dari arah barat memerintahkan ke pasukanya untuk segera menangkap istrinya si kakek tua.

"Sebagian segera tangkap istri kakek tua itu. Kekuatanya akan melemah drastis kalau istrinya berhasil kita bekuk."

"Baik Jenderal." Jawab serentak anak buahnya seraya berlari ke dalam gubuk hendak menangkap Istri Si Kakek tua.

Di depan teras rumah atau gubuk suara dentuman-dentuman keras meliuk-liuk bagai gemuruh guntur yang saling mengejar.

Si Kakek tua makin terdesak dengan langkahnya yang mulai terperanjak jauh ke arah alun-alun pekarangan rumahnya.

"Cepat tangkap si Kakek tua itu dan segera bawa Istrinya ke hadapanku!" Teriak Sang Jenderal Bomel tegas dan geram atas sikap Si Kakek tua yang telah melakukan perlawanan.

"Ingat kelemahanya pada lelahnya," Lirih salah satu pasukan sambil berdesah-desah mengingatkan temanya dalam melakukan penyerangannya.

"Siap. Dia sudah mulai terhuyung, ini pertanda bahwa kekuatanya sudah mulai melemah." Jawab salah satunya lagi sambil memperbaiki jurusnya dan kembali menyerang si Kakek tua tanpa memberinya celah bernafas.

"Bagus sekali, bawa dia kehadapanku." Ucap Bomel di atas kudanya kepada beberapa orang anggotanya yang telah menyeret paksa Istri si Kakek tua.

"Semakin kau bertahan kakek bangka, maka Istrimu akan terus menjadi bulan-bulanan anak buahku hahaha." ledek Sang Jenderal sambil cengegesan menghimbau kepada si Kakek agar tak melawan lagi.

Si Kakek tua melihat Istrinya telah dihajar oleh para anggota Bomel, Ia terhenti dari perlawananya.

Si Kakek tak melawan lagi, terhenti sempurna pergerakanya melihat Istrinya sedang diguyur oleh puluhan tedangan kaki yang mengarah kepada Istrinya.

Pelan-pelan Sang Kakek terjerembab dan kemudian rebah seketika usai mendapat lembingan keras tombak dari arah anggota pasukan Bomel.

Seketika Sang Kakek terkapar dan berlumuran darah di mulutnya.

Melihat Istrinya menjadi bulan-bulanan anak buah Bomel sang Kakek berusaha dengan rasa sakitnya meminta kepada Bomel agar tak mengusik Istrinya.

Namun ucapan sang Kakek itu tak berlangsung lama baru Ia menghembuskan nafas terakhir di hadapan Istrinya yang sedang disiksa oleh para anggota Bomel sang Jenderal penjahat.

Selang beberapa waktu Istrinya pun menyusul suaminya tak kuat menahan penyiksaan yang dilakukan oleh puluhan pasukan Bomel.

Ketika tewas Sang Kakek itu bersama Istrinya kemudian Sang Jenderal itu menyeretnya ke dalam gubuknya sendiri lalu membakarnya.

Kabar dari langit

Usai membakar gubuk reot Sang Kakek, Sang Jenderal kembali memacu kudanya kembali ke kerajaan Bukit Tinggi. Sebelumnya Bomel memerintahkan ke seluruh pasukanya untuk memeriksa sekitaran gubuk reot sang kakek, jangan sampai ada pusaka yang ditinggalkannya.

"Bagaimana kalian mendapati sesuatu?" Tanya Sang Jenderal.

"Tidak ada Jenderal."

"Kami sudah memeriksanya seutuhnya namun tak menemukan apa-apa." Jawab sebagian anggotanya.

"Baik, jika begitu kita harus pergi sekarang." Pinta Sang Jenderal Bomel sambil menarik tali kekang kudanya.

Oleh karena itu, satu jam pasukan Bukit Tinggi meninggalkan lembah Abadi barulah Bintang sang pemuda penakluk seluruh kekuatan hadir di lembah tersebut.

Bintang terperanjak melihat kondisi kakek dan neneknya yang mengenaskan tertindis reruntuhan gubuk yang sudah luruh oleh si jago merah. Kakek dan neneknya telah terbakar hangus namun ada sedikit bagian tubuhnya yang belum sempat dilalap api sehingga itulah yang terlihat oleh cucunya Bintang.

Sang cucu yang menyaksikan peristiwa yang mengenaskan tersebut menangis sedih. Melihat kakeknya mati ditimbuni oleh puing-puing bangunan. Lama menangis di atas puing-puing bangunan gubuk, tiba-tiba Ia tersadar akan sesuatu.

Cepat-cepat Ia bangun dari kesedihannya lantas bergegas ke tengah puing-puing reruntuhan bangunan gubuk. Ketika memeriksanya lebih detail lalu Ia mengambil potongan kayu dan menggunakannya untuk mulai menggali tanahnya.

Puing-puing disingkirkanya, tiang-tiang yang roboh diolesnya ke kiri dan kanan. Hampir dua jam Bintang melakukan penggalian pada tanah yang ditimbuni oleh reruntuhan gubuk, ketika sudah lumayan dalam galianya mulailah terlihat sebuah ujung pedang di bungkus dengan kain putih yang sudah lapuk di makan oleh tanah liat.

Diambilnya cepat pedang tersebut, lalu dilepasnya dari pembungkusnya, di dalam kain yang membungkus pedang itu terlihat sebuah pusaka yang bertuliskan PEDANG ABADI.

Bintang pelan-pelan membukanya dari sarungnya, sebuah kilatan cahaya dari atas langit menyambar-nyambar diiringi dengan sebuah gemuruh guntur yang berdentum-dentum di atas langit. Cahaya yang berkilauan itu seakan-akan saling tarik menarik dari atas langit ke ujung pedang yang digenggamnya. Tanganya yang menggenggam erat bergetar hebat saat pedang itu bereaksi. Pedang itu seakan-akan menariknya dan ke sana kemari hendak menerbangkanya ke mana-mana namun berkat kekuatan ilmu dalamnya yang sangat tinggi mampu Ia mengendalikanya dengan cepat.

Hanya butuh sepuluh menit saja, bagi Bintang untuk menguasai pedang yang sedang berkecamuk di genggamanya.

Ketika usai mengendalikan pedang itu lalu Bintang membuat sebuah trips khusus yaitu menarik tanganya ke punggungnya, seketika pedang itu lenyap di tangannya.

Olehnya itu, segera Bintang mengurus kakek dan neneknya mengebumikanya di pekarangan gubuknya sendiri yang telah terbakar hangus. Ketika semuanya beres, barulah Bintang meninggalkan gubuknya dengan perasaan teriris.

Bintang meninggalkan kediaman gubuk yang telah menjadi kepingan puing-puing. Walau hatinya berat akan melangkah meninggalkan kediaman sang Kakek tapi tetap Ia berusaha tegar mengatasinya.

Lambat laun, mulai Bintang melangkah keluar, ketika hendak bergegas Ia terperangah dengan sebuah benda berbentuk kepingan koin.

Pelan-pelan Ia memandangnya seksama lalu mendekatinya ingin memeriksanya.

Diambilnya kepingan benda itu, dilihatnya baik-baik, tampak di permukaanya tertulis dengan jelas sebuah ukiran PASUKAN BUKIT TINGGI. Bintang geram atas pasukan tersebut, apa yang telah diperbuat oleh pasukan Bukit Tinggi membuatnya berdesah berkali-kali dan membuatnya mengatupkan rahang beberapa kali.

"Beraninya kalian berbuat tak senonoh pada kakek dan nenekku,"Lirih Bintang geram atas sikap para pasukan Bukit Tinggi.

Di simpanya baik-baik kepingan itu sebagai buktinya, lalu segera Ia menuju ke Bukit Tinggi. Hendak menuntut balas atas kematian kedua sang kakeknya.

Satu jam melangkah tanpa berhenti sedikitpun membuatnya sampai dipertengahan jalan menuju ke Bukit Tinggi.

Seketika hendak mempercepat langkah kaki kudanya lagi, menambah kecepatan pada lari kudanya. Sahabatnya datang secara tiba-tiba menghampirinya dari langit, sahabatnya membawa kabar terbaru untuknya.

"Wahay Bintang akan kemanakah engkau sampai sedemikiam cepat lari kudamu?" Tanya sahabatnya dari langit yang bernama Pelangi.

"Saya hendak ke Bukit Tinggi, ada apa Pelangi?"

"Ada kabar baru untukmu."

"Kabar apa itu? Bila tak penting segeralah menyingkir dihadapanku. Aku akan segera menuntaskan misiku."

"Kabar ini menyangkut keselamatan bumi."

"Mengapa Pelangi?"

"Pasukan Galaksi akan menggempur kerajaan langit. Dan kalau mereka berhasil meluluhlantakkan kerajaan langit otomatis mereka dengan mudahnya menyerbu seluruh penduduk Bumi. Bisa di bilang seluruh kerajaan di atas permukaan Bumi akan ikut hancur. Pasukan Galaksi jauh lebih besar dan kuat seperti yang kita duga selama ini."

"Seluruh kerajaan di muka Bumi ini tak akan dapat melawanya. Jadi ini adalah kabar buruk bagi dua alam ini."

Hening sesaat.

Bintang terdiam begitu juga dengan Pelangi.

"Jadi bagaimana?" Selidik Bintang.

"Ratu Nuni memerintahkan ke Saya untuk membawamu ke langit, di sana Ia akan menjelaskan secara utuh soal pencegahan pasukan galaksi." Ujar Pelangi menerangkan kedatangannya sejelasnya.

"Tidak Pelangi. Saya harus mencari pelaku pembunuhan kakek ku."

"Kau harus segera ikut Bintang." Tegas Pelangi tak mau mengalah juga.

"Tidak bisa Pelangi, sebelum aku naik ke langit para pelaku harus membayar perbuatanya." Ucap Bintang juga tegas.

"Baik, jika begitu kau harus memilih antara kehancuran Langit dan Bumi dan bahkan seluruh alam raya ini atau tetap ngotot memilih membalaskan dendam mu kepada pasukan Bukit Tinggi tang telah membunuh nenek dan kakekmu." Tanya Pelangi tegas.

Bintang terlihat berfikir serius sambil mengatupkan rahangnya susah membuat putusan. Mana yang diambilnya lebih dulu, hati kecilnya berkata hendak membasmi pelaku pembunuh kakeknya akan tetapi hati besarnya juga berkata ingin mengikuti panggilan Pelangi utusan Ratu Nuni.

Bintang bingung entah apa yang harus diperbuatnya.

Empat puluh lima menit Ia terus berfikir di atas kudanya. Menimbang-nimbang, lama kelamaan akhirnya mengantarkannya pada sebuah putusan untuk mengikuti hati besarnya yaitu pergi menemui Ratu Nuni terlebih dahulu demi menyelamatkan seluruh alam.

"Baik Pelangi, aku akan ikut padamu." Lirih Bintang pelan.

"Kalau begitu, ayo kita pergi?" Tanya Pelangi segera.

Selang beberapa waktu, Bintang segera naik ke langit mengikuti Pelangi.

Butuh sepuluh menit saja kedua pemuda itu segera sampai ke kerajaan Ratu Nuni.

Ratu Nuni terlihat di atas singgahsananya menyambut kedatangannya.

"Selamat datang di kerajaan ku Bintang, di kerajaan langit ku. Silahkan duduk!"

"Terimakasih." Lirih Bintang pemuda asal Bumi.

"Senang bertemu denganmu kembali, sejak puluhan tahun lalu."

"Saya juga senang dan merupakan suatu kehormatan besar bagi Saya penduduk Bumi bisa bertemu Ratu Langit."

Ratu Langit itu tersenyum sesaat.

"Ah, kau bisa saja merendah, kau adalah pemuda hebat di seluruh pemilik kekuatan di permukaan Bumi." Ucap Ratu Langit menimpali.

"Tuduh poin saja?" Desak Bintang segera.

"Baik, mungkin Pelangi telah memberitahumu lebih dulu soal penyerbuan pasukan Galaksi ke kerajaan ku. Dan bahkan cuma kerajaan ku saja akan tetapi Bumi sorta seisinya akan ikut hancur bila penyerangan itu terjadi."

"Terus apa langkah kita Ratu?"

"Bila kau bersedia atas misi ini, kau pergilah bersama Pelangi menyelidiki ke Galaksi, Ada berapa banyak kerajaannya dan seberapa besar kekuatan Galaksi yang hendak menyerang ke kerajaan ku ini."

"Baik Ratu. Perintah siap Saya laksanakan."

Kemudian Bintang bersama Pelangi segera berlalu dari kerajaan langit menuju ke Kerajaan Galaksi, kedua pemuda itu menyelinap diam-diam.

Perlawanan ular raksasa

Dua sejoli itu segera pergi meninggalkan kota langit, satu jam lamanya mengudara di atas angkasa menggunakan sebuah peralatan canggih buatan manusia langit, benda itu berbentuk piring. Peralatan di dalamnya sangat mutakhir, suasana sejuk, panas, gerah, dan dingin dapat diatur frekunsinya melalui sebuah tombol di samping layar depan kemudi. Satu jam lamanyan cukup bagi Bintang mengamat-ngamati luar angkasa beserta kerajaanya.

Oleh karena itu, ketika melintasi sebuah kerajaan-kerajaan besar di berbagai planet melalui kaca yang tembus pandang kerap kali Bintang terkesima, terkagum-kagum dengan suasana kerajaan tersebut yang sungguh menakjubkan. Kerajaan di angkasa sangat beda jauh dengan kerajaan di buminya, di buminya belum mengenal peralatan moderen seperti peralatan yang dimiliki oleh planet-planet di angkasa.

Sedangkan benda yang berbentuk piring itu yang digunakanya untuk terbang belum ada di seluruh penduduk bumi.

Bintang terus menatap takjub selama satu jam. Hingga sampai di Planet galaxy. Sesampainya di tepi Galaxy pelan-pelan Pelangi memarkir pesawatnya di padang rumput tak berpenghuni. Padang rumput itu tidak terlalu luas namun cukup bagi Pelangi untuk mengatur atraksinya lalu memarkir dengan tertib pesawat terbangnya. Sesudah menertibkannya, kedua sejoli itu berhambur keluar hendak mengunjungi pemukiman penduduk yang berada di sekitaran itu.

Setelah menelusuri satu jam, dua jam hingga tiga jam lamanya. Tak dapat-dapat juga pemukiman penduduk. Padahal, sebelumnya mereka mengira bahwa pemukiman penduduk tak jauh berada sekitar parkiran pesawatnya. Ketika mencarinya ternyata tidak sesuai perkiraannya.

Akibat berkeliling-keliling mencari rumah-rumah penduduk membuat peluh mengalir deras dari atas kepalanya masing-masing, Pelangi adalah sahabatnya yang tak kuat secara fisik apa lagi menempuh perjalanan dengan mengandalkan kaki saja maka itu akan membuatnya kelelahan luar biasa.

Kebiasaan penduduk langit ketika bepergian mereka menggunakan pesawat sebagai transportasinya. Hingga dekat dan jauh tak jadi masalah bagi penduduk langit sebab mereka menggunakan alat mutakhir sehingga tak perlu lagi repot-repot berjalan kaki. Ketika mulai lelah, wajah Pelangi tampak terlihat seperti daun-daun basah yang bergelayut di ranting-ranting kayu.

Pelangi mengajak Bintang beristirahat sejenak sambil melepas lelahnya, melihat onggokan bebatuan berwarna kehitaman. Pelangi cepat-cepat menghampiri batu itu dan hendak duduk di atasnya. Namun Bintang yang penuh dengan kewaspadaan atas segala suasana dan kondisi buruk, Ia melihat tumpukkan batu hitam itu ada kelainan pada permukaanya. Pelangi yang hendak duduk langsung ditariknya serempak.

"Weh jangan duduk," Cegah Bintang pada sahabatnya Pelangi.

"Mengapa?"

"Husst jangan bersuara!" Bisik Bintang pada sahabatnya yang masih terpelongo diam.

Pelan-pelan di suruhnya saja Pelangi mengamati seksama tumpukkan batu itu. Beberapa menit melihatnya, sebuah keanehan pun terjadi. Tumpukkan yang terlihat seperti batuan keras secara tiba-tiba luruh, berguguran dan tak lama kemudian diikuti sebuah raungan kencang tak jauh dari sekitar luruhan tumpukkan itu. Sebuah raungan seperti suara singa tapi suara itu lebih keras lagi daripada rongrongan singa. Lebih miripnya suara tersebut adalah suara raungan babi hutan.

Makin detik suara itu makin bergemuruh dan memekik telinga.

Kedua sejoli itu terus mengikuti, memerhatikan depanya dengan apa yang akan terjadi. Sambil memerhatikan seksama sambil menyiapkan diri nya dengan segala kemungkinan buruk.

"Ap yang terjadi pada batu tadi?" Tanya Pelangi tak sabar.

"Husst," Kembali bisik Bintang sambil menaruh telunjuknya ke ujung mulutnya pertanda agar Pelangi tak berbicara dulu.

Lima belas menit kemudian, sebuah goncangan terjadi bagaikan gempa bumi. Goncangan itu tak berlangsung lama, hanya beberapa detik saja, membuat Pelangi dan Bintang sempat panik namun cepat diatasinya. Bersamaan dengan goncangan tersebut berbagai hewan yang bertengger di dahan pepohonan berterbangan menjauh dari sumber goncangan itu.

Di depan Bintang dan Pelangi terlihat seekor ular raksasa bergerak membentuk formasi seperti ular sendok.

"Oh berarti tadi ekornya yang kelihatan seperti onggokan batu." Lirih Pelangi sambil menarik nafasnya pelan.

Melihat ada manusia, ular itu bagaikan melihat sebuah makanan lezat. Segera ular itu meliuk-liuk mengejar Bintang dan Pelangi hendak memangsanya.

Kedua sejoli itu segera berlari ke arah hutan lebat, menghindar.

Akan tetapi, gerak langkah kaki dua sejoli itu tak sebanding dengan kecepatan ular raksasa itu saat mengejarnya. Ular raksasa itu dengan cepat mengejar lalu hendak mematok saat dekat.

Untungnya saja, Bintang segera membawa Pelangi terbang menghindar. Pelangi hampir saja termakan oleh gigitan ular raksasa itu, kalau tidak mungkin nasibnya sudah berada di perut ular besar tersebut.

Pelangi juga bisa terbang tapi saat kelelahan menguasai dirinya maka kekuatanya tak bisa difungsikanya. Walau ia berusaha sesuai keinginannya tetap tak akan bisa ia memakai kekuatanya untuk terbang. Lemah fisiknya membuat kekuatanya ikut melemah. Hingga tak dapat ia kenakan.

Di bawanya terbang jauh ke depan Pelangi oleh Bintang. Namun tak sejauh mungkin sebab ular itu dapat juga terbang mengikuti gerak perpindahan mereka berdua.

Sambil terbang Bintang melepaskan pukulan berdentum-dentum kepada badan ular, walau tak seberapa efeknya setidaknya dapat menahan kejaran ular pada mereka berdua.

Lantas Pelangi di simpannya di atas rumput dan Pelangi segera mencari perlindungan ke tempat yang aman dari kejaran ular raksasa itu, sedangkan Bintang terus melakukan perlawanan pada ular yang terus bergerak maju menyerang buas.

Ular itu berkali-kali menghantamkan ekornya ke Bintang sambil mejulurkan lidahnya yang panjang dan beracun.

Ular itu membuang air liur kental ke arah Bintang namun dengan sigap Bintang menghindar tanpa terjerat sedikit pun. Bintang cukup tangkas, lincah, meladeni ular raksasa tersebut. Ular itu memunyai racun di ujung lidahnya saat melemparkan air liurnya maka di situlah racun itu ikut.

Satu jam berlangsung ular itu seperti tak mengalami perubahan kelelahan sedikit pun. Bintang lambat laun mulai lelah, tenaganya perlahan-lahan mulai terkuras habis. Lemah.

Dua jam bertanding dengan seekor ular raksasa itu belum juga ia dapat-dapat mengalahkannya. Bintang sudah mulai kehabisan akal untuk dapat menaklukkan binatang melata berukuran sangat besar itu.

Sementara ular itu terus menyerangnya secara buas sambil tak henti-hentinya melepas kumpulan air liur yang kental ke arah Bintang.

Bintang tak lagi banyak melepas pukulan berdentum-dentum ke tubuh ular raksasa, Ia hanya menghindar sambil mencari titik-titik kelemahan pada ular tersebut.

Sambil terbang menghindar sambil berfikir bagaimana caranya mengalahkan ular raksasa itu.

Satu dua jam berlalu terus dalam perlawanan sengit.

Sedangkan Pelangi di balik pepohonan mulai stabil nafasnya, kekuatanya mulai mampu di kuasainya. Di balik pepohanan Pelangi memerhatikan seksama ular itu, dipakainya alat mutakhirnya untuk menembusi seluruh saraf ular untuk melihat kelemahan pada ular itu.

Sepuluh menit cukup bagi Pelangi melihat secara utuh kelemahan ular tersebut.

Oleh karena itu, saat mengetahui kelemahan ular, Pelangi segera teriak keras kepada Bintang untuk menghantamkan pukulan berdentumnya ke kepala ular.

"Pukulanmu arahkan ke kepalanya!" Teriak Pelangi di balik pepohonan besar.

"Apa?" Tanya Bintang tak terlalu mendengar teriakan Pelangi.

"Kepalanya adalah kelemahan!" Teriak Pelangi keras.

"O baik." Jawab Bintang sambil tersengal-sengal mulai kelelahan.

Sejurus kemudian, Bintang memancingnya untuk melata di atas permukaan tanah seketika telah meliuk-liuk di atas permukaan tanah sambil mengejar Bintang yang pura-pura berlari seketika itu pula Bintang mengangkat kakinya terbang cukup tinggi lalu kembali menghantamkan pukulan berdentumnya ke kepala ular.

Maka seketika ular raksasa itu terpelanting lantas rebah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!