NovelToon NovelToon

Anisa Sang Pendosa

1. Kepergianmu dan Kehamilanku

Anisa masih tertunduk. Sementara ibunya berbicara dengan mantan besan.

"Mana mungkin Faisal melakukan itu," lirih bunda Rosmawati orang tua Faisal. Derai air mata terus mengalir dari matanya.

"Dia tidak mungkin melakukan perbuatan sehina itu," sambung bunda Rosmawati masih dengan derai air mata.

"Tadinya aku juga tidak percaya Bu, tapi itulah yang dikatakan Anisa," bela ibu Maesaroh, orang tua Anisa.

Anisa masih tertunduk tapi suara isakan menandakan ada air mata.

"Katakan Nisa!" titah Maesaroh.

Tangan Anisa mengusap air bening dari mata dan hidungnya. Mulutnya kaku untuk mengucapkan kata.

"Katakan Nisa!" bentak Maesaroh sambil mengguncang bahu kanan Anisa.

"Maaf Bun...," lirih Anisa suaranya terdengar parau, mulutnya bergetar melontarkan kata dan tidak mampu melanjutkan ucapannya.

"Katakan dengan jelas Nak," pinta Syamsuddin dengan lembut dan suara tenang karena Anisa belum juga melanjutkan ucapannya.

"Aku hamil anak mas Faisal," jawab Anisa, giginya gemeretak mengucapkan kalimat itu.

"Astaghfirullah haladhim..., benar itu Nak?"

Anisa mengangguk pelan.

Syamsuddin mengempaskan napasnya dengan kasar. Bibirnya keluh untuk mengatakan barang sepatah katapun hanya hatinya tak henti mengucap istighfar karena elu hatinya terlalu sakit mendengar ucapan Anisa.

Anisa, Rosmawati, dan Maesaroh masih menangisi hal itu.

"Bagaimana bisa begini? Astaghfirullah haladhim... Makam Faisal belum juga kering mengapa menambah luka untuknya," gumam Syamsuddin.

Syamsuddin terlihat memegang dadanya. Jantungnya nampak terpompa begitu cepat. Bukan karena aktifitas, tapi amarah yang berkecamuk di dalam dadanya. Rasa kecewa, tidak percaya, iba, semua menyatu menyesakkan rongga dadanya.

Anisa sesenggukan, linangan air mata belum juga surut dari pelupuknya.

"Usia kehamilan kamu berapa bulan Nis?" Tanya Rosmawati air matanya dia seka agar bicaranya jelas.

Anisa menggeleng.

"Kamu belum cek ke bidan?"

Anisa mengangguk.

"Haid kamu telat berapa hari?"

"Lima belas hari dari jadwal haid," lirih Anisa.

Rosmawati mengempas napas dan meraup muka dengan kasar.

"Apa benar i-itu anak Faisal?" Tanya Rosmawati mulutnya gemetar melontarkan kalimat itu.

Anisa langsung mengangkat wajahnya menatap Rosmawati kemudian menundukkan kembali. Dia sangat terkejut mendengar pertanyaan dari mantan calon mertuanya.

"I-iya Bun," lirih Anisa.

"Kenapa bisa Nisa," tubuh Rosmawati semakin gemetar.

Anisa kembali terisak, air matanya mengalir kembali. Giginya menggigit bibir bawah menahan tangis namun air matanya lolos begitu saja.

"Kapan kamu melakukanya Nisa?"

"Nisa!" Suara Rosmawati meninggi.

Syamsuddin mengelus bahu sang istri agar tenang.

"Sa-satu hari sebelum Mas Faisal meninggal," jawab Anisa terbata.

"Astaghfirullah haladhim...," keluh Rosmawati. Air matanya kembali mengaliri pipinya. Tangan kanan memukul pelan dadanya. Ada yang benar-benar menyesakkan dada.

...****************...

Anisa masih terdiam di kamar. Sejak dua hari bertemu dengan Bunda Rosmawati dan Pak Syamsudin bebannya bertambah berat. Beban psikologis tentunya yang dia hadapi. Beribu pertanyaan tanpa sebuah jawaban berkecamuk membulat dalam otaknya.

Apalah daya seorang Anisa. Dia hanya gadis kampung yang baru lulus dari sekolah menengah. Gadis yang baru berusia 18 tahun. Tidak punya pengalaman apapun selain menjahit dengan ibunya. Angan masa depan yang ada di pikirannya hanya akan menikah dengan pujaan hati Faisal Mubarok Syamsuddin. Tepat dua bulan setelah kelulusannya.

Hari dan tanggal sudah ditentukan. Bahkan persiapan undangan, dekor, dan tenda pernikahan sudah dipesan jauh hari. Tapi, takdir tidak ada yang tahu. Semua atas kehendak Sang Khalik. Rencana yang sudah disusun matang malah berakhir di pemakaman.

Flashback on

Waktu itu Faisal sedang membenahi atap rumah yang bocor. Kebetulan satu hari sebelumnya hujan begitu deras. Plafon yang ada di ruang tengah ternyata bocor. Faisal dengan gesit naik ke atap rumah namun apes menimpa Faisal, ada kabel listrik yang bocor. Tanpa sengaja Faisal menginjak kabel yang melintang di antara kayu atap. Faisal sempat minta tolong namun suara itu tidak terdengar oleh Syamsuddin, orang tua Faisal yang sedang membantu membenarkan atap bocor itu. Posisi Kyai Syamsuddin saat itu di bawah, mengambil genteng pengganti.

bug

Tiba-tiba saja ada suara benda jatuh dari atap.

Syamsudin seketika teriak minta tolong mendapati anaknya yang sudah setengah gosong jatuh dari atap rumah. Bunda Rosmawati yang kala itu ada di dapur langsung ke luar ke halaman samping.

"Astaghfirullah haladhim...Faisal...Nak...," teriak Rosmawati menghambur ke arah anaknya yang sudah tergeletak di bawah.

Tangisnya langsung pecah mendapati anaknya seperti itu.

"Faisal...duh ya Allah...anakku Faisal kenapa. Faisal...," tangan itu mengguncang bahu anaknya namun si anak tetap diam tanpa suara. Rosmawati langsung mendekap anaknya kala menyadari tidak ada sahutan dari mulut anaknya.

Tetangga mulai berbondong-bondong melihat tragedi itu. Banyak argumen dari mereka melihat tragedi yang menimpa Faisal.

"Astaghfirullah haladhim...ya Allah Nak...Malang sekali nasib kamu."

"Astaghfirullah haladhim...itu Faisal kenapa jatuh tapi sampai setengah gosong seperti itu?

"Ya Allah...lebih baik panggil polisi untuk menyelidiki kasus ini."

"Kita bawa ke dalam saja Pak...," ajak salah satu warga disusul warga lain membantu mengangkat tubuh Faisal masuk ke dalam.

"Innalilahi wa innalilahi rojiun," ucap Pak Salam setelah meraba denyut nadi Faisal.

"Innalilahi wa innalilahi rojiun," serempak yang menyaksikan mengucapnya.

Rosmawati semakin menangis histeris, "Faisal...Nak, bangun...," Rosmawati mengguncang bahu Faisal.

"Bun, air matanya nanti jatuh di Faisal. Kasihan Faisalnya," ucap Rokhimah tetangga Rosmawati sambil merangkul bahu Rosmawati agar menjauh dari tubuh Faisal.

Syamsuddin juga tidak kalah shock. Tubuhnya masih mematung di dekat pintu tengah. Menatap tubuh kaku Faisal yang mulai diurus selayaknya mayat seorang muslim.

Mata mayit dipejamkan, melemaskan seluruh persendian agar tidak mengeras dan meletakkan sesuatu di atas perutnya agar tidak mengembung dan menutup mayit dengan kain.

Ada cairan bening yang tiba-tiba mengalir ke pipi keriputannya. Tangan kanannya bergerak menghapus air mata. Namun suara isakan tidak dapat dia tutupi walaupun tangannnya menutup mulut itu.

"Faisal," ucapnya lirih dan tubuhnya beringsut terduduk lemas di ambang pintu tengah.

"Astaghfirullah haladhim...Pak Kyai, Pak..."

Suara itu saling bersahutan terdengar meremang di telinga Syamsudin hingga tubuhnya terasa ringan dan tiba-tiba sudah direbahkan di ranjang tidur.

"Pak...Bapak..., bangun Pak...," suara itu masih terdengar remang ditelinga Syamsuddin dan ada tangan yang menepuk pipinya. Namun masih juga dirasa remang oleh kyai Syamsuddin.

"Istighfar Pak...," ajakan itu mulai terdengar jelas dan mata Kyai Syamsuddin lamat-lamat terbuka. Wajah sendu istrinya terlihat pertama kali dan tubuh wanita itu langsung menghambur memeluknya.

Isakan kedua orang tua Faisal saling bersahutan menambah lara bagi yang menyaksikan. Tak terkecuali wanita yang baru mengetahui kabar duka itu. Wanita yang kini mematung menatap tubuh yang tertutup kain.

Anisa mendekat, masih membisu hanya isak yang tertahan di mulutnya. Tangan kanannya membuka kain penutup itu dan tangan kirinya membekap mulutnya sendiri agar isakan yang keluar dari mulutnya tidak keras.

"Innalillahi wa innailaihi rojiun...Mas Faisal," lirih Anisa menahan elu hati yang begitu sakit, dadanya berdegup begitu kencang seakan lepas ritmenya.

"Mas Faisal...," teriak Anisa tak kuat menahan isakan dan air matanya sudah mengalir bebas di pipi.

2. Pergi untuk Selamanya

Dia terduduk di depan jenazah sang kekasih masih dengan derai air mata yang tidak mampu dia hentikan. Rasa lemas menjalar ke seluruh tubuh, tulang belulang seperti lepas.

"Istighfar Ndok, Istighfar," pinta Maesaroh sambil mengelus punggung anaknya.

"Mas Faisal...," panggilan itu masih dia tujukan untuk sang kekasih namun tubuh itu tetap diam kaku dengan kedua tangan melipat di dada dan mata yang terpejam.

"Mas...," kali ini Anisa menyentuh pipi sang kekasih.

"Astaghfirullah Anisa...," ibu Maesaroh mengangkat bahu anaknya agar berpindah tempat.

"Jangan sampai air mata kamu jatuh di nak Faisal, kasihan nak Faisal," ucap ibu Maesaroh sambil memapah anaknya menjauh dari jenazah.

Silih berganti tetangga bahkan kerabat berdatangan ikut bela sungkawa atas musibah yang menimpa keluarga Kyai Syamsuddin.

Surah Yasin juga terdengar menggema dari berbagai sudut ruangan.

Kyai Syamsuddin bangkit dari tidur, tangannya meraba tepi ranjang, kakinya sudah dia turunkan dari ranjang.

"Mau kemana Kyai?" tanya Mahmud salah satu sanak saudara.

"Ambil wudu, aku belum menghadiahkan Yasin untuk Faisal," ucapnya.

Mahmud memapah kyai Syamsuddin berjalan menuju toilet rumah.

Sementara bunda Rosmawati dia yang duduk di samping ranjang suaminya kini mengekor suaminya untuk mengambil air wudu.

Bunda Rosmawati sudah duduk di samping warga yang juga ikut membaca surah Yasin.

"Ambillah air wudu Ndok, itu hadiah yang nak Faisal inginkan," ajak ibu Maesaroh.

Anisa mengangguk sambil menguatkan tubuhnya agar berjalan ke ruang belakang untuk mengambil air wudu. Tidak lama setelah itu, pantatnya sudah duduk di depan tubuh kaku Faisal. Matanya masih memandang kosong tubuh yang sudah diberi keranda itu.

Matahari semakin condong ke Barat. Bayangan yang nampak semakin tergeser ke timur. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB.

Aroma melati, kamboja, kantil, mawar, pandan, dan kapur barus, menyeruak di ruangan itu. Sahutan Surah Yasin dan tahlil sudah berkemundang mengiring prosesi pengurusan jenazah sebelum diberi sambutan pelepasan jenazah.

Acara sambutan pelepasan jenazah dimulai. Kyai Syamsuddin menguatkan diri memberikan sambutan itu. Walau terkadang di sela sambutan tangannnya bergerak cepat mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

La ilaaha Illallah La ilaaha Illallah La ilaaha Illallah...

Kalimat zikir itu mengiring kepergian jenazah menuju pemakaman. Air mata Anisa tidak mampu lagi keluar tapi tubuhnya kini lemas terkulai di balik jendela rumah Kyai Syamsuddin.

Matanya menatap kosong keranda jenazah itu pergi seiring langkah kaki mengayun menuju tempat pemakaman. Kini mata itu terpejam. Jiwanya seakan ikut melayang mengiringi jenazah yang semakin menjauh dari rumah Kyai Syamsuddin.

"Astaghfirullah haladhim..., Anisa...Nisa...," histeris Maesaroh langsung mendekap tubuh Anisa.

"Bu, ditidurkan saja," pinta Nadia teman Anisa sambil membantu memapah Anisa untuk direbahkan di ruang tamu.

Dua puluh menit berlalu. Anisa tertidur karena terlalu lelah.

Maesaroh duduk di samping Rosmawati yang sedang duduk lesehan di ruang tamu di mana Anisa tertidur.

"Faisal anak yang baik, semoga Allah menempatkan di Surga," hibur Maesaroh tangannya memegang tangan Rosmawati.

Rosmawati mengangguk dan menampakkan senyum kecil. Hatinya mencoba tegar tidak terpuruk dengan kepergian Faisal.

"Assalamualaikum...," sapa Syamsudin dan sesok pemuda yang sejak awal kedatangannya menjadi pusat perhatian dalam prosesi pemakaman jenazah.

"Waalaikum salam...," jawab Maesaroh dan Rosmawati.

Pemuda itu tersenyum mengangguk hormat.

"Kesini Panji," pinta Rosmawati pada pemuda itu.

Pemuda itu mendekat.

"Ini ibu Maesaroh," Rosmawati menepuk paha Maesaroh.

"Bu...," sapa pemuda itu sambil mengulurkan tangan dan segera mencium punggung tangan Maesaroh yang telah membalas ulurannya.

Maesaroh tersenyum membalas sikap pemuda itu.

"Dia ibunya Anisa, calon istrinya Faisal," terang Rosmawati matanya beralih menatap Anisa dan dagunya menunjuk gadis malang itu.

Panji melirik sebentar ke arah Anisa, tubuhnya bangkit dan meminta izin untuk pergi.

Flashback of

"Nisa...Nis...,"

"Ya Bu," jawab Nisa malas.

"Makan dulu Ndok, ibu sudah siapkan makanan," ajak Maesaroh.

Nisa menganggukan kepala. Kakinya melangkah keluar dari kamar sederhana yang dia tiduri.

Anisa menghirup aroma tempe tanpa tepung yang masih hangat, juga tumis kangkung yang ada di meja dan tidak ketinggalan ikan asin.

Masakan yang terhidang di meja menggugah selera makan Anisa. Tangan kanannya bergerak mengambil nasi dan lauk pauk yang terhidang di meja.

Maesaroh tersenyum menatap Anisa.

"Berdoa dulu Nis," ajak Maesaroh.

"Ya Bu," jawab Anisa, kedua tangan menengadah membaca doa mau makan.

Maesaroh menatap lekat ke arah Anisa yang sedang makan. Anisa terlihat begitu cepat memakan semua makanan yang ada di piring. Tidak hanya itu, tangannya bergerak kembali mengisi nasi ke piring yang dia pegang.

"Nambah Bu," ucap Anisa.

Maesaroh mengangguk, ada senyum getir yang terlihat di wajah Maesaroh.

"Bagus, makan yang banyak karena si kecil juga butuh makan,"

Anisa langsung mengunyah pelan makanan yang ada di mulut. Bahkan nafsu makannya langsung hilang begitu saja mendengar ucapan ibunya.

"Aku sudah kenyang Bu," ucap Anisa setelah dengan terpaksa menelan makanan yang sudah dia kunyah di dalam mulut.

Maesaroh menatap piring yang ada di depan Anisa, piring itu masih terisi penuh nasi dan lauk pauk. Dia merasa bersalah telah mengucapkan kalimat yang dia lontarkan ke Anisa.

Anisa mengangkat pantat, kakinya melangkah dari ruang makan.

"Salat Zuhur dulu Nisa," ucap Maesaroh melihat Anisa akan masuk kamar.

"Ya Bu," jawab Anisa, kakinya memutar langkah ke ruang belakang untuk mengambil air wudu dan menunaikan salat fardu.

Selesai menunaikan kewajiban, Anisa berniat masuk kamar namun langkahnya terhenti menatap ibunya yang tengah sibuk dengan orderan jahitan.

"Banyak orderan Bu," sapa Anisa duduk di depan ibunya yang sedang memotong kain.

Maesaroh tersenyum menjawab pertanyaan dari Anisa.

Anisa mengambil kain yang belum terpotong, "Ini punya siapa Bu?"

"Mbak Dewi, kamu saja yang potong. Modelnya terserah yang penting modis. Ukurannya di buku ini," terang Maesaroh sambil menyerahkan buku catatan.

Tangan Anisa bergerak lincah di atas kain yang dia potong. sesekali matanya menatap ukuran yang tertulis di buku catatan.

"Besok kita ke rumah sakit Nis,"

Nisa menghentikan tangan kanan yang sedang memotong kain.

"Bunda Rosmawati ingin tahu perkembangan kehamilan kamu," terang Maesaroh.

Anisa menunduk, "Ya Bu," jawabnya kemudian lanjut memotong kain.

****************

Anisa, Maesaroh, dan Rosmawati sudah sampai di poli kandungan. Mereka duduk di antara pasien yang sedang menunggu panggilan masuk ke ruang pemeriksaan.

Rosmawati sengaja memilih periksa di rumah sakit kabupaten yang jauh dari tempat tinggal mereka. Tujuannya untuk apalagi kalau bukan untuk menghindar desas-desus dari warga desa. Dia tidak munafik kalau berita kehamilan Anisa bisa terdengar oleh warga cepat atau lambat. Namun tidak secepat kilat, setidaknya setelah makam almarhum Faisal kering.

Dua jam mereka sudah duduk di kursi tunggu namun nama Anisa belum juga dipanggil oleh petugas. Bahkan nomor urut yang dia pegang masih jauh dari nama pasien yang sudah masuk ruang pemeriksaan.

"Nomor berapa Nisa?" tanya bunda Rosmawati.

Anisa memperlihatkan kartu antrian ke bunda Rosmawati, "Nomor 30 Bun, kurang 20 lagi,"

Rosmawati mengempaskan napas, "Datang pagi pun tetap dapat nomor antrian 30 apalagi datang siang," keluhnya.

"Minum yang banyak Nisa," tawar bunda Rosmawati sambil menyodorkan satu botol air mineral.

"Terima kasih Bun," ucap Anisa yang memang sudah merasakan kering kerongkongannya bahkan perutnya juga sudah mulai protes minta diisi.

"Bunda juga bawa roti sama jajan, makanlah kamu pasti sudah lapar," ucap Rosmawati tangannya menyerahkan satu bungkus plastik yang berisi cemilan dan masih ada dua botol air mineral.

"Minum Bu," bunda Rosmawati menyodorkan satu botol air mineral ke ibu Maesaroh

"Aku bawa air minum sendiri Mbak," Maesaroh menunjukkan satu botol air putih dari tas. "Belum suka air kemasan, ini air masak sendiri," sambungnya.

Bunda Rosmawati tersenyum karena itu, "Persis kaya Faisal kecil. Dulu kalau bepergian dengan dia harus bawa air putih yang masak sendiri," ucapnya.

Maesaroh langsung mengusap punggung Rosmawati, dia tahu ada rasa kesedihan ketika Rosmawati melontarkan kalimat itu.

"Bunda...," sapa seorang gadis yang berpakaian serba putih.

"Nak Nurul?!" terkejut bunda Rosmawati.

"Siapa yang sakit Bun?" tanya Nurul setelah takdhim mencium punggung tangan bunda Rosmawati.

"Eh...itu, Nak...Anisa dia perutnya sakit karena haidnya tidak lancar," jawab bunda Rosmawati mencoba tidak gugup tapi nyatanya tetap saja raut wajah dan tutur kata terlihat gugup karena harus berbohong.

"O...," kepala Nurul mengangguk sambil menoleh ke Anisa.

"Semoga cepat sembuh ya Dek," ucap Nurul mengarah ke Anisa.

"Ya Mbak," jawab Anisa.

"Bunda disehat-sehat ya. Mas Faisal anak yang soleh, insya Allah masuk surga Allah. Maaf aku lanjut kerja Bun," pamit Nurul.

Rosmawati tersenyum mengangguk. Menatap kepergian Nurul, gadis yang dulunya menjadi kekasih Faisal dan gadis yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.

3. Hamil di Luar Nikah

Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Setelah menunaikan salat Zuhur dan makan siang di kantin mereka kembali duduk di kursi tunggu.

"Astaghfirullah haladhim...sudah setengah hari kita menunggu di sini tapi kok ya belum juga dapat panggilan," keluh bunda Rosmawati.

Maesaroh tersenyum kecil menepuk pelan paha Rosmawati, "Itu makanya saya malas sekali Mbak kalau periksa di poli rumah sakit. Pasti lama sekali. Sudah sakit tambah sakit karena harus mengantri lama."

Rosmawati mengangguk. Matanya menatap ke depan, tiba-tiba teringat dengan Nurul.

"Ya Allah...aku pasrah apa yang akan terjadi nanti. Hamba tahu, serapat-rapatnya bangkai disembunyikan pasti akan tercium pula. Serapat-rapatnya berita ini disembunyikan pasti akan terdengar pula, cepat atau lambat. Nak Faisal...mengapa seperti ini akhir dari hidup kamu nak? Benarkah kamu melakukan ini semua?" batin bunda Rosmawati bermonolog. Kedua tangan dia tangkupkan ke wajah. Sejenak sambil memejamkan mata melepas penat yang hinggap di diri.

"Nomor antrian 30, masuk ke poli kandungan," panggilan dari soundscape menggema.

Anisa bangkit dari duduk disusul ibu Maesaroh dan bunda Rosmawati.

"Kenapa Dek?" tanya ibu dokter begitu Anisa masuk.

"Telat haid Dok," jawab Anisa.

"Sudah berapa lama?" tanya ibu dokter sambil mengukur tensi setelah itu menempelkan stetoskop di dada dan perut Anisa.

"Dua minggu."

"Haid terakhir tanggal berapa?"

"Lima belas November."

"Itu Haid awal atau sudah suci haid?" telusur ibu dokter.

"Suci haid Dok," jawab Anisa.

"O...haid awal Dek, bukan haid akhir."

Anisa mengangguk, "Tanggal 8 November Dok," ujar Anisa.

Dokter masih meraba perut Anisa.

"Kita USG ya...," pinta Dokter setelah memberi gel pelumas di perut Anisa.

Transducer itu bergerak di atas perut Anisa terkadang sedikit menekan agar terlihat lebih jelas hasil USG-nya.

"Itu, yang kecil seperti kecebong, itu janinnya." terang ibu dokter.

Semua mata terarah pada layar USG.

Ada senyum di wajah Anisa, walaupun sisi hatinya keluh dengan apa yang dia lihat.

Dokter mengelap gel yang ada di perut Anisa kemudian menutup perut itu. Kaki dokter melangkah di kursi kerjanya kemudian menulis hasil pemeriksaan.

Anisa sudah duduk di depan meja kerja dokter.

"Selamat ya...Usia kehamilan Nyonya Anisa masuk 6 minggu. Silahkan periksakan ke bidan atau pun ke dokter kandungan satu bulan setelah ini. Jaga asupan gizi ibu dan bayi. Porsi makan ditambah dengan menu yang mengandung banyak gizi. Silahkan tebus obat di bagian obat," terang dokter.

"Ya Dok, terima kasih atas sarannya. Kalau boleh tanya, kenapa masuk 6 minggu padahal belum ada sebulan me...," tanya bunda Rosmawati namun keluh untuk melanjutkan ucapannya.

"Belum satu bulan menikah?" dokter melanjutkan ucapan bunda Rosmawati dengan asal. "Begini Bu, hitungan usia kehamilan itu terhitung dari hari pertama haid terakhir atau biasa kami menyebutnya HPHT bukan berdasarkan kapan dia melakukan hubungan suami istri," terang dokter.

Bunda Rosmawati menganggukkan kepala, "Ya Bu...," jawabnya kemudian."Ada yang ingin kalian tanyakan lagi?" tawar ibu dokter.

"Saya rasa cukup Dok. Terima kasih atas penjelasannya. Kami permisi," pamit bunda Rosmawati disusul Anisa dan ibu Maesaroh.

...****************...

Sepuluh hari telah berlalu sejak pemeriksaan di rumah sakit. Anisa sudah menunjukkan perubahan pada pola makannya. Porsi makannya bertambah jadi tubuh yang memang masih tahap perkembangan semakin terlihat berisi.

Indra penciuman juga semakin sensitif. Bau tidak enak sedikit saja perutnya mual. Namun tidak untuk bau-bauan harum, dia sangat menyukainya. Bahkan kamar yang biasanya tidak diberi pewangi dia minta pada ibunya untuk diberi pewangi. Baju yang hanya dicuci menggunakan deterjen dia tambah dengan konsentrat pewangi.

Maesaroh menatap lekat wajah Anisa, tatapannya tidak sedikitpun berkedip menatap Anisa yang sedang menyetrika baju.

"Nak, sudah istirakhat saja. Nanti biar ibu yang menyelesaikan," ucap ibu Maesaroh.

"Satu lagi Bu, ibu teruskan saja menjahit," tolak Anisa.

"Kalau capek sudahan ya," pinta ibu Maesaroh merasa khawatir dengan Anisa karena sejak pagi dia belum berhenti membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah.

"Ya Bu," jawab Anisa.

Sementara di rumah kyai Syamsuddin...

"Tidak Bunda! Aku sudah punya kekasih," tolak Panji setelah lama berdebat dengan bundanya.

Bunda Rosmawati terlihat diam. Kini air matanya menitik.

"Bunda mohon Nak," ucap bunda Rosmawati dengan suara parau.

Panji mengempaskan napas dengan kasar menatap bundanya yang sudah melinangkan air mata ada rasa iba menggelayut.

"Kenapa dia bisa hamil Bun? Setahu aku, Faisal anak yang soleh, rajin ibadah. Atau mungkin ini hanya akal-akalan itu anak. Mengapa bunda langsung percaya begitu saja?" cecar Panji.

"Sebenarnya bunda juga merasa aneh. Faisal maupun Anisa, keduanya anak yang penurut dan rajin ibadah tapi mengapa mata batin mereka bisa tertutup setan yang laknat sampai melakukan perbuatan laknat pula," keluh bunda Rosmawati.

"Apa kita lakukan tes DNA saja?"

"Jangan Bun, setahu aku kalau tes DNA sebaiknya dilakukan setelah anak lahir, kalau tetap dilakukan di saat hamil itu bisa mengancam keselamatan bayi" terang Panji.

Rosmawati tersenyum mendengar pendapat dari Panji artinya dia mau mendengarkan ucapannya dan yang terpenting mengkhawatir akan janin yang kemungkinan besar adalah keponakannya.

"Bagaimana kamu setuju kan?" bunda Rosmawati memastikan.

"Tidak Bun," mantap Panji.

"Bun-bunda tidak pernah meminta apapun dari kamu Ji, baru kali ini bunda meminta...," memelas bunda Rosmawati dengan suara yang semakin parau.

"Bunda tidak tahu harus berbuat apa," sambung bunda Rosmawati dengan air mata yang masih mengalir di pipi.

Panji meraup wajahnya dengan kasar. Batinnya benar-benar bergejolak dengan permintaan yang dilontarkan bundanya. Memang benar, sejak kecil hingga tumbuh dewasa bunda Rosmawati tidak pernah sekalipun minta apa-apa pada Panji.

Sejak umur 3 tahun, ayah kandung Panji meninggal dunia. Kyai Syamsuddin adalah orang tua sambung untuk Panji. Bunda Rosmawati memilih untuk menikah lagi dengan kyai Syamsuddin. Akhirnya mereka diboyong ke kampung hidup secara sederhana jauh dari hiruk pikuk kota besar. Namun, semenjak masuk sekolah menengah pertama, Panji diasuh oleh omanya. Orang tua dari ayahnya. Berat yang bunda Rosmawati rasakan namun harus merelakannya. Demi cita-cita panji juga karena Omanya yang datang degan memohon agar sisa hidupnya ditemani cucu satu-satunya karena kebetulan mantan suami bunda Rosmawati adalah anak tunggal.

Panji hidup di bawah asuhan oma yang idealis, suka mengatur, diktator, dan pengawasan yang luar biasa. Hidup serba berkecukup dengan harta yang melimpah namun jauh dari agama. Itu yang selama ini dijalani Panji. Padahal sedari dini, sejak dia hidup dengan Kyai Syamsuddin dia sudah diajarkan ilmu agama. Namun inilah Panji Darmawan dewasa, sudah berbaur dengan lingkungan yang berbeda. Pria 29 tahun yang tumbuh menjadi bos dingin, irit kata, di mata para bawahan.

Panji sekali menatap bundanya. Entah harus menyampaikan kalimat penolakan seperti apalagi karena bibirnya keluh berucap.

"Nak...," panggil bunda Rosmawati. Si empunya nama pun menoleh menatap lekat wajah yang masih terlihat muda walaupun usia sudah setengah baya.

Tangan Panji meraba pipi bundanya menghapus sisa air mata. Wajah itu kini sayu di dera kesedihan yang teramat.

"Bunda mohon sayang," ucap bunda Rosmawati dengan suara parau dan terbata.

Panji terdiam. pikirannya masih mencerna ucapan bunda Rosmawati. Ada dorongan yang menyekat kuat otaknya untuk mengatakan iya. Namun sisi hati juga keluh karena wajah sang kekasih tiba-tiba tersenyum menyapanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!