NovelToon NovelToon

CINTA SANG JUITA

Tentang Julia

Sebuah motor matic putih usang meraung membelah padatnya lalu lintas kota Pekanbaru. Dengan gesit pengendaranya mencari celah di antara mobil-mobil yang merangsek pelan. Panas dan debu adalah sahabat selama perjalanan. Gadis berkerudung violet itu tengah terburu-buru agar sampai ke lokasi kerja tepat waktu. Beruntung ia sampai tepat lima menit sebelum waktu check log.

"Yes! Nggak jadi telat. Gaji aman tanpa potongan!"

Senyum mekar menghias wajah ovalnya yang cantik alami tanpa perlu usaha. Ia mengepalkan tinju ke udara, riang karena berhasil mengalahkan waktu.

Perkenalkan, ia adalah Juliana Rahmayanti. Biasanya dipanggil Julia saat ini ia menginjak usia 23 tahun. Ibarat buah, Julia berada di usia ranum untuk dipetik. Ia lulus kuliah tepat waktu meski tidak cum laude.

Julia adalah gadis yang tidak bisa diam, selalu ingin melakukan sesuatu. Ia punya banyak kegiatan yang positif bahkan dulunya ia sempat aktif di cabang badminton.

Sayang, cedera pergelangan tangan membuatnya berpikir dua kali untuk meneruskan ambisinya menjadi atlet. Lagipula Julia tidak mendapat dukungan dari Ibunya. Entah mengapa di lingkungannya keinginan wanita menjadi atlet terdengar tidak umum.

Kesukaannya pada suka dunia pendidikan dan anak-anak, mengantarnya untuk berkuliah di jurusan Ilmiah Pendidikan dan Keguruan. Julia berkeyakinan kita bisa mengubah hidup lewat pendidikan.

"Jika tak punya harta maka kita harus berilmu. Ilmu yang akan mengubah hidup dan derajat kita."

Begitulah kata guru ngajinya semasa kecil. Pesan itu berhubungan erat dengan kehidupannya yang berasal dari keluarga sederhana dan dianggap sebelah mata. Ibunya single mother. Sudah menjanda sejak usia Julia tiga tahun.

Ayahnya yang meninggal mendadak tanpa meninggalkan warisan berharga. Memaksa Ibunya bertindak nekad, pulang kampung ke kota kecil tempat ia dilahirkan. Di kota itu Ibunya memilih untuk membesarkan Julia dan kakaknya seorang diri.

Di kota kecil itu Ibunya bertarung dengan nasib. Beliau mengontrak rumah kecil dan mengubah teras kecilnya menjadi wartel (warung telepon). Kini, keberadaan wartel sudah tidak diperlukan lagi. Terpinggirkan dengan sendirinya oleh zaman.

Namun kenangan Julia membantu Ibu menjaga wartel akan selalu jadi kenangan berharga. Anak zaman sekarang tidak akan tahu serunya menelpon lewat wartel, tiap detiknya begitu berharga.

Saat ini teras kontrakan beralih fungsi untuk usaha warung lontong untuk sarapan pagi. Di bulan Ramadhan Ibu biasa menerima orderan membuat cake dan kue-kue kering. Terkadang Ibu menawarkan jasanya untuk memasak di hajatan tetangga. Masakan Ibu Julia terkenal lezat dan berani bumbu.

Beruntung kontrakan mereka dekat dengan kantor polisi sehingga jadi warung lontong Ibu tak pernah sepi. Banyak polisi yang menjadi pelanggan Ibu.

Bahkan beberapa diantaranya jatuh hati pada Ibu. Ada yang duda dan ada pula pria beristri meminta Ibu jadi istri kedua. Ibu Julia memang masih muda dan cantik. Pastinya masih amat menarik.

Tapi semua bujuk rayu manis para pria untuk menikah lagi ditolak Ibu. Ibu merasa, sudah jalan hidupnya untuk berjuang seorang diri. Menurut Ibu, keberadaan Julia dan kakaknya sudah melengkapi hidup. Apalagi yang ia cari?.

Lagipula Ibu khawatir belum tentu suami baru akan menyayangi anak-anaknya sepenuh hati. Ibu memang tidak berpendidikan tinggi, tapi ia selalu semangat menafkahi anak-anaknya. Hal itu membuat Julia bersyukur dan bangga terlahir dari rahimnya. Ibu adalah sosok malaikat tanpa sayap di mata Julia.

Karena kesulitan hidup yang ia alami, Ibu berjanji akan memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya.

"Ibu ingin kamu dan kakakmu jadi sarjana, berpendidikan tinggi, agar kalian punya kehidupan yang baik. Jadi kalau ditinggal suami, kalian masih mampu bertahan hidup layak dan bermartabat."

Itu kata-kata Ibu yang selalu terngiang di telinga Julia. Ada harapan sekaligus luka menganga di kalimatnya. Luka akibat terlalu lama berjuang seorang diri. Karena itulah Julia bertekad akan meringankan beban Ibu semampunya.

Julia mempunyai seorang kakak, Lucyana Dewanti namanya. Julia memanggilnya Kak Lucy si anak manjanya Ayah. Menurut Ibu memang begitu adanya.

Wajah mereka jika dilihat sekilas memang tidak terlalu mirip. Julia mengambil lebih banyak unsur dari Ibu. Sedangkan Lucy mengambil gen ayah, rambutnya, matanya dan sifat kerasnya semua dari Ayah.

Lucy lebih tua tiga tahun dari Julia. Ketika Ayah meninggal, usia Lucy masih enam tahun. Saat itu Lucy sudah bisa mengingat sosok Ayah.

Kadang Lucy sering mellow bila ingat kenangan dengan Ayah. Beda dengan Julia yang tidak punya kenangan akan sosok Ayah. Ayah yang ia kenal hanyalah sebuah wajah yang samar dan buram di album foto jadul.

Lucy, bekerja sebagai Apoteker. Dulu ia mengambil kuliah jurusan Farmasi. Awalnya Lucy ingin menjadi dokter, namun niat itu ia urungkan karena Ibu menyadarkan Lucy dengan kondisi keuangan mereka yang tidak memungkinkan.

Walaupun Lucy adalah kakak, tapi sifatnya malah kekanak-kanakan. Mereka sering berdebat dan bertengkar karena hal sepele. Lucy juga luar biasa galak. Ia bisa mengamuk hebat hanya karena tidurnya terganggu. Sifatnya memang agak tempramen dari kecil. Jika ada perdebatan Julia lebih memilih diam dari pada harus melawannya.

Julia sendiri sadar dengan kondisi keuangan keluarga. Semenjak kuliah ia sudah rajin mengambil tawaran kerja part time sebagai guru private. Hasilnya cukup lumayan, ia tidak perlu minta uang lagi untuk keperluan membeli baju, kosmetik ataupun untuk hura-hura.

Mana mungkin Julia punya nyali minta uang pada Ibu untuk sekedar nge-mall atau nonton bioskop bareng teman-teman. Kadang dari hasil kerja part time ia menyisihkan uang untuk membantu biaya bulanan keluarga. Prinsip Julia, ia selalu ingin meringankan beban keluarga.

Sialnya dalam hal percintaan Julia tidak pernah beruntung. Padahal Julia tipe orang yang setia. Jujur, di relung hati Julia merindukan sosok laki-laki dalam hidup. Ia rindu figur pria yang mengayomi dan melindungi. Julia bercita-cita ingin menikah muda. Bukan karena nafsu belaka tapi ia merasa dengan menikah tujuan hidupnya lebih jelas dan terarah.

Julia pertama kali mengenal cinta di bangku SMA. Dari saat itu hingga kuliah ia hanya mengenal 3 pria. Ketiga-tiganya sukses mengecewakannya. Memporak-porandakan hati. Keseriusan Julia dalam membangun hubungan kasih selalu bertepuk sebelah tangan.

Benar kata pepatah, it takes two to tango. Hubungan tidak akan terjalin mulus jika hanya satu pihak yang berusaha.

Mungkin terlalu cepat bagi Julia untuk menilai, tapi dari pengalamannya entah kenapa lelaki yang ia kenal hampir semua sifatnya sama saja. Mereka bersikap sok lebih berkuasa dari dirinya. Hingga selalu mengambil keputusan sepihak, tidak pernah meminta pendapatnya. Tidak memikirkan bagaimana perasaannya.

Apakah karena Julia seorang wanita hingga ia tidak diberi kesempatan untuk bersuara, atau sekadar mengutarakan pendapat.

Intinya, saat ini Julia sudah lelah menjalin hubungan cinta dengan lelaki. Tidak, tenang saja Julia tidak beralih orientasi seksual jadi suka sesama sejenis. Ia masih ingin suatu saat nanti bisa menambatkan hati lagi pada lelaki.

Tapi tidak untuk saat ini. Hatinya yang patah masih terasa pilu, pedih dan mendendam.

Fokus Julia saat ini adalah membahagiakan keluarga, terutama Ibu. Julia sedang di masa menikmati dunia kerja. Ia berada dalam fase workaholic, senang mencari uang dan rutin menabung. Selain untuk persiapan hal-hal yang tak terduga, ia juga harus menyiapkan biaya untuk pernikahannya kelak.

Karena siapa yang mau membiayainya? sedangkan Julia tak punya Ayah dan Ibunya hanyalah penjual sarapan pagi dengan penghasilan pas-pasan.

Kadang-kadang jika Julia iseng melirik jumlah tabungannya, ada sebuah hasrat yang muncul. Julia ingin pergi travelling sesekali. Melihat dunia luar, melihat lingkungan baru. Melihat gaya hidup yang berbeda dengannya.

"Dunia ini luas, di setiap sudutnya ada pelajaran hidup. Aku haus dengan pengalaman baru." Pikir Julia.

Namun, yang terpenting saat ini sebelum Julia bertemu dengan seseorang yang ditakdirkan menjadi jodohnya. Ia harus memperbaiki diri, menjadi versi terbaik dari dirinya.

Julia terus menata hati dan mengubah persepsi. Sebelum ia menyayangi orang lain, ia akan menyayangi dirinya sendiri terlebih dahulu.

Siapkah Julia membuka lembaran hidup baru?

Yang Pernah Singgah

Selama hidup Julia hanya pernah tiga kali berhubungan dengan pria. Pria pertama bernama Dani, teman satu sekolah waktu SMA. Dia bukan cinta pertama, karena menurut Julia cinta adalah sebuah kata yang dalam. Yang jelas Julia menyukainya karena Dani smart dan sopan. Dani nggak neko-neko, dia pacar yang baik mau membantunya belajar. 

Hubungan mereka layaknya cinta monyet, pacaran anak sekolah. Ketemu hanya disekolah, yang dibahas ringan-ringan saja. Sesekali mereka keluar bersama untuk belajar kelompok, tidak pernah pergi berduaan. Mereka selalu dikelilingi teman-teman.

Julia dan Dani pacaran selama tiga tahun. Selama SMA hanya Dani pacar Julia satu-satunya.

Hubungan mereka nyaman sekali, sampai di suatu titik Julia tidak bisa tanpanya. Julia berpikir hari-hari yang dilewati tanpa Dani pasti akan sangat berbeda.

Yang ia takutkan terjadi. Selepas SMA Dani kuliah di luar kota, di sebuah Institut Teknologi di kota Bandung. Saat itu Dani berjanji tidak akan ada yang berubah.

Nyatanya hubungan jarak jauh tidak cocok buat mereka. Dani terlalu sibuk dan Julia terlalu menuntut. Hubungan mereka berjalan sulit, pembicaraan serius selali berujung perdebatan. Dani tidak tahan dengan Julia yang menurutnya manja, harus diberi kabar terus-menerus.

Dani memutuskan untuk jeda sejenak dari hubungan ini. Julia tak berharap banyak.

"Jeda dalam hubungan bagiku adalah stop, berhenti. Tidak perlu diteruskan lagi."

Jelas Julia sedih, kehilangan orang yang dekat secara emosional selama tiga tahun. Tapi, di dalam hati Julia lega. Hubungan yang sulit, perdebatan terus menerus hanya bikin lelah jiwa. Julia bersyukur semua berakhir. Walau ia akan canggung tanpanya, Julia yakin ini yang terbaik buat mereka berdua.

***

Kak Haris, adalah pacar kedua Julia sekaligus senior di kampus. Hubungan mereka berjalan singkat, tidak sampai setahun. Banyak ketidak cocokan diantara mereka. Mungkin salah Julia yang menerima Kak Haris tanpa banyak pertimbangan. Kak Haris datang disaat Julia baru putus cinta, sedang butuh teman untuk bersandar.

Kak Haris tipe cowok gaul yang rame, heboh, suka bersosialisasi, temannya ada dimana-mana. Mall sudah seperti rumah kedua, shopping pakaian branded adalah hobinya. Kak Haris sama sekali tidak pelit, ia melimpahi Julia dengan hadiah, pakaian dan tas baru.

Kak Haris rutin mengantar jemput Julia ke kampus dengan mobil Karimun kotak warna marunnya. Setiap malam Minggu seakan wajib mentraktir Julia makan di restoran mahal. Simpelnya, Kak Haris memperlakukan Julia seperti putri.

Tapi Julia adalah perempuan sederhana yang tidak terbiasa dengan gaya hidup seperti itu. Dengan Kak Haris, prestasinya turun. Bagaimana Julia mau belajar, kalau hari-harinya habis untuk berkeliling mall dan nonton bioskop saja.

Kak Haris bukan sosok pria yang Julia cari. Kak Haris bukan pria dengan pemikiran dewasa. Di mata Julia, ia hanya ingin bersenang-senang saja. Julia tidak tahu kemana hubungan mereka bermuara.

Suatu hari Julia minta hubungan mereka diakhiri. Kak Haris sangat marah, murka lebih tepatnya. Ia memaki-maki Julia yang dianggapnya tidak tahu diuntung. Bahkan Kak Haris menyebut-nyebut semua hadiah pemberiannya, seakan Julia yang minta itu semua.

Kak Haris membuat Julia nelangsa dan malu. Dengan rasa jijik Julia mengumpulkan barang-barang hadiahnya, ia kemas dalam kardus dan dikirim ke alamat rumahnya.

Selepas putus dar Julia kelakuan Kak Haris semakin menjadi-jadi. Ia bersikap layaknya playboy, sengaja menunjukkan ke Julia kalau ia bisa berganti-ganti pacar dengan mudah. Julia tidak peduli, sungguh ia sama sekali tidak rugi memutuskan hubungan dengannya.

Walau kisah cintanya dengan Kak Haris berakhir pahit, Julia merasa bersyukur dijauhkan dari pria sepertinya. Beruntung Julia mengikuti suara hati, tidak mengabaikan rasa gelisah dan suram dalam hubungan mereka. Kini, Julia sudah tahu sifat aslinya. Proses move on dari Kak Haris berjalan begitu cepat. Julia terbebaskan.

***

Pacar ketiga Julia adalah Mas Faqih, mahasiswa yang sedang menempuh magister Pendidikan Bahasa Inggris. Julia mengenalnya sejak Mas Faqih masih jadi kakak tingkatnya sewaktu dia menjadi asisten dosen. Mas Faqih pria yang karismatik, santun, cerdas dan mempesona. Pembawaannya yang tenang dan dewasa membuat Julia jatuh hati.

Waktu itu, Julia tidak menyangka Mas Faqih juga menaruh hati padanya. Karena masih banyak mahasiswi lain yang lebih cantik dan cerdas. Kata Mas Faqih, sewaktu ia mengajar hanya Julia yang memperhatikannya sungguh-sungguh. Julia tidak seperti mahasiswa lain yang menyepelekannya hanya karena ia berstatus asisten dosen. Mas Faqih merasa dihargai.

Mas Faqih senang berbagi ilmu, tidak segan-segan membantu Julia mencari sumber rujukan dan buku-buku untuk mengerjakan tugas. Mas Faqih menyarankan Julia bersemangat kuliah, mencari beasiswa LPDP ke luar negeri selepas lulus kuliah nanti. Mas Faqih membuka mata Julia dunia ini luas. Julia harus melangkah melihat daerah baru, budaya baru, agar pikirannya terbuka.

Mas Faqih satu-satunya pacar yang Julia kenalkan kepada Ibu. Julia benar-benar serius dan mantap padanya. Di matanya Mas Faqih adalah husband material. Status Mas Faqih sebagai mahasiswa S2 membuat Ibu bangga.

Mas Faqih membuat Julia matang dan termotivasi. Julia semangat menyelesaikan skripsinya. Semangat mencari pekerjaan sampingan mengajar les privat. Julia semakin giat menabung karena dalam otaknya hubungan mereka amat serius. Kapan saja Mas Faqih mengajaknya menikah ia siap. Karena itu Julia menabung untuk biaya pernikahan. Julia tahu tabungan Ibu tidak banyak, jadi ia harus membantu sebisanya.

Di hari wisuda Mas Faqih datang membawa coklat dan buket bunga besar. Menyalami dan menyapa Ibu dan kakak. Mas Faqih benar-benar membaur, seakan mantap ingin menjadi bagian dari keluarga Julia.

Malamnya Mas Faqih mengajak Julia makan malam berdua untuk merayakan kelulusan. Julia merasa ini saat yang tepat untuk memastikan hendak dibawa kemana hubungan yang sudah terjalin ini.

"Mas, aku sudah wisuda. Sudah diterima bekerja juga, apa rencana untuk kelanjutan hubungan kita?" Tanya Julia mantap.

"Aku ingin kamu seperti aku dek melanjutkan kuliah lebih tinggi. Mencari ilmu, pengalaman, membangun relasi dan karir yang lebih mapan." Jawab Mas Faqih tanpa ragu.

"Iya aku tahu, tidak ada yang salah dengan pendidikan. Tapi itu bukan prioritasku saat ini. Prioritasku sekarang cari uang untuk membantu Ibu. Lagipula aku kurang berminat untuk lanjut kuliah lagi .… " kata Julia lirih.

"Hmmmmm .… " Mas Faqih melepaskan nafas berat. 

"Mas impianku sederhana, ingin jadi guru dan menikah dalam waktu dekat. Aku siap menjadi supporter. Aku sangat dukung Mas maju," tegas Julia.

"Tapi aku yang tidak siap dek, kalau harus berkomitmen secepatnya …. " jawabnya.

"Tidak perlu cepat-cepat Mas, aku mau kok menunggu sampai tesisnya beres!" Julia ngotot dengan pendapatnya.

"Iya, tapi Mas juga punya cita-cita lain. Mas ingin kejar beasiswa doktor dulu dek. Kalau lancar, kuliah doktor butuh waktu sekitar empat tahun menyelesaikannya."

"Lalu aku bagaimana Mas ?" kata Julia memelas.

"Kalau kamu siap menunggu Mas pasti akan menikahimu dek. Mas ingin sukses dulu, jujur Mas bukan tipe orang yang bisa membagi konsentrasi. Kalau Mas fokus sekolah, ya sekolah saja dulu. Soal menikah dan lain-lain kita pikirkan belakangan!" Tegasnya.

Jawaban Mas Faqih membuat Julia bingung. Jika Mas Faqih serius dengan hubungan mereka, harusnya ia memilih option menikah dahulu sambil melanjutkan kuliah. Hal itu bukan tidak mungkin karena rata-rata dosennya mengambil kuliah S3 saat mereka sudah berkeluarga. Garis besarnya, Julia dan pernikahan bukan prioritas untuk Mas Faqih.

Suasana makan malam berlangsung hambar, mereka pulang tanpa berbicara sepatah kata. Seakan tenggelam dalam pusaran pikiran masing-masing.

Julia seorang wanita, ia butuh kepastian. Sedangkan saat ini Mas Faqih hanya memberikan satu pilihan, menunggu. Entah sampai kapan.

Malam itu Julia sulit tidur, sebentar-sebentar ia terjaga. Julia memilih sholat tahajud yang dilanjutkan dengan istikharah agar hatinya tenang. Julia memohon petunjuk Allah yang Maha kuasa agar ia diberikan kemantapan hati memilih yang terbaik untuk hidupnya.

Julia tenggelam dalam doa menangis sepuas-puasnya.

"Telah kusadari bahwa sumber nestapa di hatiku karena aku menggantungkan harapan pada orang lain."

Dengan air mata bercucuran Julia melepas Mas Faqih. Ia tidak mau menunggu. Julia akan mencari kebahagiaan dengan jalannya sendiri. Julia yakin jika mereka memang berjodoh Allah akan menyatukan mereka dengan cara yang mudah. Jika memang tidak ditakdirkan bersama, hati Julia sudah ikhlas karena ia tidak punya harapan apapun lagi padanya.

Keesokan hari dengan hati bulat Julia mengirim SMS pada Mas Faqih. Disampaikannya sebuah keputusan. Ia tidak bisa menunggu, beserta doa semoga Mas Faqih dimudahkan dalam meraih cita-citanya.

Hingga berhari-hari Julia tak kunjung mendapat balasan

Julia yakin kisah cintanya sudah tamat.

Dunia Kerja

"Miss Julia, do you have class this evening?" Miss Maya, staff front office yang juga rekan kerja Julia memastikan jadwal kelas.

"No Miss, I'm free until 5 p.m why?" Jawabnya.

"I just want to make sure … because I already made a schedule for you to do an assessment test at 4 p.m. Can you do that?" 

"Ok, nevermind. I'm free anyway." Julia meyakinkan.

"Then, I'll let you know when the student come!" 

"Thank you Miss Maya!"

"You're welcome." Miss Maya meninggalkan ruang guru.

Julia memijat jari-jarinya yang pegal sehabis menulis laporan untuk orang tua murid yang naik level. Kini hari-hari Julia diisi dengan kerja dan kerja. Ia bekerja disebuah kursus Bahasa Inggris berlisensi dari Australia. Julia memilih bekerja di tempat kursus ini karena gajinya yang lumayan besar. 

Sudah rahasia umum kalau menjadi guru di sekolah formal apalagi yang masih honorer gajinya kecil. Ada seorang teman kuliah Julia mengeluhkan gajinya mengajar di sebuah SMP Negeri yang hanya dibayar dua ratus lima puluh ribu! Itupun dibayar per tiga bulan sekali.

Betapa kecilnya penghargaan terhadap guru yang telah berjuang mengerahkan tenaga dan pikiran mendidik anak bangsa. Sesuai dengan slogan, guru pahlawan tanpa tanda jasa. 

Walau bagaimanapun, menjadi guru adalah cita-cita Julia sejak kecil. Ada kepuasan tersendiri jika ia berhasil membuat murid memahami pelajaran. Julia senang jika murid berhasil mempraktekkan bahasa Inggris dalam percakapan. Saat mereka berhasil memahami grammar dan menerapkannya dalam tulisan. Atau ketika muridnya mendapat nilai baik dalam pelajaran Bahasa Inggris di sekolah.

Saat Julia memilih jadi guru, ia sadar penghasilannya tidak akan sebesar gaji teman-teman yang bekerja kantoran. Tapi Julia tidak menyerah mencari cara mendapatkan income tambahan untuk membantu perekonomian keluarga.

Karena itulah, ia sangat bersyukur diterima bekerja di tempat kursus ini. Gajinya sangat lumayan bahkan seperempatnya bisa ia tabung.

Untungnya perekonomian keluarga sudah mulai membaik semenjak Julia dan kakaknya sama-sama bekerja. Sekarang Ibu bisa menabung untuk uang muka KPR rumah. Dengan penghasilan Ibu yang pas-pasan, sulit untuk membeli rumah secara cash. Tabungan Ibu sebelumnya sudah tiris untuk biaya kuliahnya dan Lucy.

Bisa selesai kuliah saja sebuah keajaiban buat mereka. Saat terdesak Ibu biasa menjual emas tabungannya. Terkadang jika benar-benar sulit Ibu akan bermuka tebal meminjam uang pada saudara.

Alhamdulillah semua masa sulit itu sudah berlalu. Kini Julia akan membahagiakan Ibu. Julia tidak bisa berharap banyak pada kakaknya -- Lucy. Semenjak Lucy bekerja dan memegang uang sendiri ia jarang membantu Ibu. Entah apa yang membuat Lucy berubah dari gadis sederhana menjadi gadis gemar bergaya. Tapi Julia tidak bisa melarang karena uang itu hak Lucy. Toh Lucy berfoya-foya dengan uangnya sendiri.

"Miss Julia, the student is coming! She is already waiting in the assessment room." Miss Maya membuyarkan lamunan Julia.

"All right, I'll meet her right now," Julia bangkit mengemas form asesmen untuk menguji calon siswa baru.

***

Setelah menguji calon siswa, Julia lanjut mengajar kelas terakhir. Kelas ini untuk level senior. Siswanya rata-rata murid SMA national plus. Materi yang ia ajar adalah reading comprehension untuk persiapan UN.

Julia tahu membaca adalah hal yang membosankan bagi sebagian orang, jadi sebagai selingan ia memberi mereka game menulis penggalan lirik lagu berbahasa Inggris. Selain sebagai hiburan, game ini mengasah kemampuan listening mereka.

Pukul 6.50 malam, waktunya Julia menutup kelas. Tak lupa ia memberi siswanya tugas untuk membuat cerita pendek agar grammar mereka semakin bagus. Setelah semua siswa bubar, Julia menuju ruang guru. Rekan kerjanya yang lain sudah bersiap-siap untuk pulang.

Julia menyapa dan melempar candaan ringan pada rekan kerjanya yang lain sambil menunggu waktu check log pulang. Kadang tertawa mampu menghilangkan penat setelah seharian berkutat dengan pekerjaan.

"Miss Maya, I'm done for today. See you tomorrow. Bye!" Julia pamit padanya.

"Yup, see you tomorrow, bye!" Miss Maya melambaikan tangan.

Julia menuju parkir tempat sepeda motor maticnya berada. Julia masih punya satu tempat lagi yang harus ia datangi, rumahnya Tante Tati. Julia diminta mengajar privat anak lelakinya -- Adib yang masih kelas 5 SD. Julia dibayar tujuh puluh lima ribu per meeting selama 1,5 jam. Tante Tati memintanya datang tiga kali seminggu.

"Lumayan, untuk nambah beli bensin." Pikir Julia.

Butuh waktu 15 menit untuk sampai ke rumah Tante Tati. Sesampainya disana Julia izin untuk sholat Isya sebelum mulai mengajar. Selepas sholat Isya Julia beristirahat sebentar sambil ngemil makanan yang disuguhkan Tante Tati. Beliau orang yang murah hati selalu menyajikan cemilan yang enak-enak. Mungkin beliau tahu Julia lelah dan lapar sepulang kerja.

Pukul 7.30 Julia mulai mengajar Adib, yang mata pelajarannya berdasarkan request. Adib sebenarnya pintar hanya gampang bosan. Karena itu harus dipandu saat belajar. Kadang Julia hanya membantu Adib mengerjakan PR dan mempersiapkan ujian. Kalau Adib tidak mood belajar dan sedang manja Julia akan menyiapkan quiz kejutan berhadiah. Hadiahnya berupa pensil, buku tulis atau coklat. Tapi Adib benar-benar happy mendapatkan hadiah kecil darinya.

Julia melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 8.55 waktunya ia mengakhiri sesi les hari ini. Adib sudah menyelesaikan PR, tinggal mengulang-ulang hafalan untuk ujian kewarganegaraan besok. 

"Adib yuk kita simpan buku-bukunya. Sudah hampir jam 9, waktunya kakak pulang," Julia mengingatkan Adib.

"Ohiyaaa kak!" Adib mengemas bukunya dan membawa ke kamar.

"Jul, ini ada ayam KFC untuk makan malam. Makasih ya udah ngajar Adib hari ini," Tante Tati menyodorkan sekotak ayam franchise tersebut.

"Makasih banyak Tante, repot-repot aja nih. Saya jadi sungkan." Julia menerima sekotak ayam yang aromanya membuat perut lapar.

"Kenapa harus sungkan sih, saya yang berterima kasih. Adib nilainya semakin bagus efek rajin belajar sama kakak Julia!" 

"Alhamdulillah, kalau ada peningkatan ya Tante. Adib udah pintar dari sananya hanya perlu dimotivasi aja Tante." Jawab Julia jujur.

"Itu dia yang saya nggak bisa Jul. Semua kata-kata saya masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Adib nggak mau dengar! Kalau orang lain yang nasehatin, baru mau dia!" Tante Tati misuh-misuh lucu.

"Hehehe …. "

"Ohya, Julia pernah ikut kajian ilmiah Islam nggak?" 

"Belum pernah ikut Tante, selama ini sibuk kerja." Julia memberi alasan.

"Kalau bisa luangkan waktu ikut kajian ya Jul. Julia kan masih muda ... tenaga, waktu, fikiran masih lapang. Sayang kalau sibuknya hanya untuk urusan duniawi aja." 

"Hehehe iya Tante," Julia menggaruk-garuk jilbabnya.

"Kalau bisa datang ya setiap hari Jumat pagi jam 8 di masjid Fastabiqul Khairat yang di jalan Sudirman. Masjid yang gedee itu. Julia tahu kan?"

"Tahu Tante, nanti kalau Julia ada waktu InsyaAllah datang."

"Disempatkan ya Jul, Tante lihat kamu tuh berbeda dari anak gadis biasanya. Kamu giat bekerja, sopan, ramah, penyayang sama anak-anak. Tante inginnya Julia kumpul sama komunitas kebaikan."

"Makasih pujiannya Tante." Julia tersipu.

"Tante nggak muji lho ya ini beneran. Banyak lho anak gadis seusia Julia yang ikut. Jangan minder, pengajian bukan hanya untuk Ibu-ibu beranak tiga seperti Tante aja lho!"

"Hehehe, makasih infonya ya Tante. Sudah malam Julia pamit dulu." Julia mengecek arloji. Sudah pukul 9 lewat 5 menit.

"Tunggu Tante panggil Adib dulu ... Adiiiiibbb! sini salam sama kak Julia dulu!" teriak Tante Tati.

Adib berlari-lari kecil dari kamarnya untuk menyalami Julia, "Hati-hati pulangnya ya kak Jul."

"Iya Adib, semangat ujiannya besok ya. Semoga benar semua!" Julia mengepalkan tangan menyemangati.

"InsyaAllah kak."

"Yuk Tante, saya pulang ya." Sembari menstarter motornya.

"Hati-hati ya Jul …. " Tante Tati dan Adib melambaikan tangan.

***

Motornya melaju membelah malam, ia merapatkan jaket untuk menahan hawa dingin yang menusuk tulang. Ah, inilah kehidupan manusia dewasa. Bekerja keras demi uang untuk menyambung hidup dan tanggung jawab.

"Akhirnya aku berada di fase ini, fase yang penuh perjuangan."

Kadang Julia berpikir kalau Ayah masih hidup akankah hidupnya berbeda. Setidaknya mereka punya rumah sendiri. Julia menggelengkan kepala. Ia sadar manusia tidak boleh berandai-andai. Manusia diciptakan untuk menjalani takdirnya masing-masing.

Inilah takdirnya dan ia akan mengubah jalan hidup dengan usahanya sendiri. Bukankah nikmatnya istirahat didapat setelah penat bekerja. Begitu juga dengannya ... InsyaAllah suatu saat nanti ia akan memetik buah yang manis dari jalan hidupnya yang berliku.

"Kruuuyukkkkk!"

Perutnya meronta minta makanan. 

Julia mempercepat laju motornya, tak sabar menikmati lezatnya ayam goreng bersama Ibu dan Lucy. Semoga mereka belum tidur. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!