Perkenalkan karakter
Nadia adalah anak pertama dari tiga bersaudara, ia memiliki adik kembar yaitu Fadil dan Fadhan yang saat ini duduk di kelas sepuluh di salah satu SMAN Jakarta Selatan. Ia adalah gadis yang kesehariannya berpakaian syar'i lengkap dengan cadarnya. Gadis berparas cantik melebihi titisan dewi ini selalu menyembunyikan wajahnya dengan cadarnya, putri pasangan ustadz Aditya dan umi Kulsum ini sama-sama berprofesi sebagai guru, profesi yang sama yang sedang digeluti oleh Nadia hanya saja beda jenjang. Nadia mengajar siswa SD sedangkan orangtuanya mengajar tingkat SMA. Mereka mengajar di bidang yang sama yaitu pendidikan agama Islam.
Orangtuanya selalu menerapkan kedisiplinan dan taat dalam beribadah. Gadis yang berusia 22 tahun ini tergolong introver, kepribadiannya yang tertutup membuatnya sedikit sulit memiliki teman, dia lebih penurut, apa saja yang diperintahkan orang tuanya, selama itu dijalan yang benar.
Daffa adalah seorang CEO muda nan tampan, memiliki perusahaan otomotif yang terkenal di kota Jakarta. Hobinya berpetualang cinta dari pelukan wanita satu ke wanita lainnya, bahkan ada yang tidak ingin dibayar demi mendapatkan kenikmatan sesaat sebagai bentuk pelariannya.
Awalnya Daffa adalah anak yang baik, karena perlakuan buruk kakek dan neneknya yang selalu menyebutnya anak pelac**r dan ditambah kurangnya kasih sayang seorang ayah membuatnya makin sakit hati. Ibunya adalah istri kedua yang hanya mendapatkan jatah malamnya dengan suami yang sering tidak adil. Inilah yang memicu Daffa menenggelamkan kesedihannya pada setiap tubuh wanita malam.
🌷🌷🌷
Di tempat wudhu dua orang wanita yang berbeda usia ini ingin mensucikan diri mereka sebagai persyaratan sholat yang akan mereka tunaikan. Nadia yang sengaja membuka jilbab dan cadarnya untuk mengambil air wudhu tersebut, melihat seorang wanita paruh baya tersenyum padanya. Nyonya Laila yang berada di samping gadis ini sesaat terpesona dengan kecantikan Nadia. Namun keduanya hanya melempar senyum kemudian kembali meneruskan wudhu.
Nyonya Laila yang terlebih dahulu menyelesaikan wudunya dan ia pun beranjak dari tempat wudhu tersebut menuju ke mesjid, sedangkan Nadia masih sibuk memakai lagi jilbab syar'inya dan juga cadarnya. Ketika ia ingin mengambil tasnya, ia melihat ada gelang emas bermata berlian ada diatas tempat wudhu di mesjid tersebut.
Merasa mengenal pemiliknya Nadia buru-buru menuju ke mesjid menemui nyonya yang tadi barusan mengambil air wudhu bersamanya. Ketika ia menyusul pemilik gelang tersebut, ia melihat nyonya itu sedang menunaikan sholat. Nadia mengurungkan niatnya untuk mengembalikan gelang emas itu kepada nyonya Laila karena nyonya itu masih lama menunaikan shalat. Gadis bercadar ini menunggu sampai nyonya Laila menyelesaikan sholatnya terlebih dahulu.
Usai menunaikan sholat nyonya Laila melihat disebelahnya sudah ada Nadia, gadis yang ditemuinya tadi di tempat wudhu. Gadis itu buru-buru memberikan gelang emas milik nyonya Laila.
"Permisi nyonya, mohon maaf kalau menganggu." ucap Nadia santun.
"Ada apa nak?" tanya nyonya Laila lembut kepada gadis yang sangat cantik ini.
"Ini pasti milik nyonya, tadi ketinggalan ditempat wudhu." ucap Nadia seraya menyerahkan gelang emas bermata berlian itu kepada nyonya yang ditemuinya di tempat wudhu.
"Ya Allah, kenapa saya sampai lupa dengan gelangku. Alhamdulillah untung kamu yang menemukannya sayang, kalau tidak suamiku akan marah padaku jika gelang ini sampai hilang dari pergelangan tanganku. Terimakasih sudah mau mengembalikannya nak." ucapnya lalu kembali memakai gelangnya tersebut.
"Sama-sama nyonya." ucap Nadia tulus.
Kemudian nyonya Laila mengeluarkan lima lembar uang merah untuk diberikan kepada Nadia sebagai ucapan terimakasihnya pada gadis ini yang telah mengembalikan gelangnya, namun Nadia menolaknya dengan halus.
"Maaf nyonya saya tidak mengharapkan imbalan dari anda, nyonya bisa sedekahkan uang ini untuk mesjid saja." ujar Nadia dengan menahan kedua tangannya menolak pemberian imbalan tersebut.
"Kamu sangat baik sayang, boleh tante tahu siapa namamu sayang?"
tanya nyonya Laila yang ingin berkenalan dengan gadis cantik dan jujur ini.
"Nadia nyonya!" ucap Nadia singkat.
"Namamu sangat cantik seperti orangnya. Kalau namaku Laila, panggil saja aku tante Laila." ucap nyonya Laila ikut memperkenalkan dirinya kepada Nadia.
Keduanya bersalaman lalu, nyonya Laila minta nomor kontak milik Nadia, dan keduanya saling menukar nomor kontak mereka.
"Apakah kamu sendirian Nadia." tanya nyonya Laila setelah merapikan lagi mukena miliknya.
"Iya tante!"
"Apakah kamu masih kuliah?"
"Saya sudah bekerja tante, baru satu bulan ini."
"Apa profesimu Nadia?"
"Saya seorang guru tante."
"Jika kamu berkenan boleh tante main ke rumah kamu?" tanya nyonya Laila yang kelihatan sungguh-sungguh kepada gadis ini.
"Silahkan tante!" dengan senang hati.
"Baiklah, tante duluan ya Nadia." ucap nyonya Laila, pamit dari hadapan Nadia.
Dengan sedikit anggukan hormat Nadia melepas kepergian nyonya Laila. Gadis ini meneruskan sholat magrib yang sempat tertunda karena meladeni nyonya Laila yang mengajaknya ngobrol. Usai menunaikan sholat magrib, Nadia melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah dengan sepeda motornya.
🌷🌷🌷
Hari Sabtu, Nadia sedang membersihkan rumahnya bersama saudaranya, mereka tidak menyadari kalau ada tamu yang bertandang ke rumah mereka. Nadia yang sedang menyiram tanaman menghentikan kegiatannya lalu menghampiri tamu yang baru turun dari mobil mewah itu, ketika melihat siapa yang datang, Nadia begitu terperanjat.
"Tante Laila?" bagaimana anda mengetahui tempat tinggal saya nyonya." ucap Nadia gugup karena kedatangan nyonya Laila secara tiba-tiba.
"Assalamualaikum Nadia!"
"Waalaikumuslam, ya Allah sampai lupa ucapkan salam." ucap Nadia merasa salah tingkah pada nyonya Laila.
"Apakah orangtuamu ada dirumah Nadia?" tanya nyonya Laila setelah berada di teras rumah.
"Ada tante, mari silahkan masuk dulu. Sebentar tante saya panggilkan umi dan abi," pinta Nadia kepada nyonya Laila.
Sambil menunggu tuan rumah, nyonya Laila mengamati beberapa penghargaan penting yang tersusun rapi di lemari kaca yang ada di sudut ruangan itu. Prestasi Nadia sangat mengagumkan dari juara satu qoriah terbaik sampai dengan juara memanah tingkat Asia.
"Assalamualaikum nyonya, sapa Ustadz Aditya kepada nyonya Laila yang sedang mengamati pajangan penghargaan Nadia dan adik kembarnya."
"Waalaikumuslam!" ucap nyonya Laila menjawab salam ustadz Aditya."
Nyonya Laila kembali ketempat duduknya dan ustadz Aditya dan istrinya sudah duduk di sofa.
"Mohon maaf nyonya, apa gerangan kedatangan anda ke pondok kami ini." tanya ustadz Aditya.
"Maaf tuan dan nyonya, perkenalkan nama saya Laila, saya adalah kenalan putri anda Nadia."
Nadia yang baru keluar membawa minuman untuk tamu dan orangtuanya, menjelaskan perkenalan singkat antara ia dan nyonya Laila. Ustadz Aditya dan uminya baru paham hubungan antara putri mereka dengan nyonya Laila.
"Maaf nyonya ini abi saya dan umi saya, dan abi, umi, ini nyonya Laila yang pernah saya ceritakan tempo hari ke umi." ucap Nadia memperkenalkan orangtuanya kepada nyonya Laila.
Mereka kemudian saling memperkenalkan diri dan menyebutkan nama mereka masing-masing.
"Begini ustad, saya sengaja datang kemari ingin menyampaikan niat saya untuk melamar putri ustadz dan umi untuk putra saya Daffa Subandrio Diningrat. Dia adalah putra saya satu-satunya. Saya datang ke sini bukan tanpa alasan. Melihat kepribadian putri anda Nadia, yang membuat saya berpikir untuk memohon pertolongan Allah melalui sholat istikharah agar bisa meminang putri bapak untuk putra saya Daffa. Kejujuran Nadia sudah cukup menjadi modal saya untuk meminang putri bapak, untuk menjadi istri dari putra saya Daffa."
Mendengar pinangan nyonya Laila kepada putri mereka, membuat kedua orangtua Nadia sedikit shock. Mereka tidak menyangka pertemuan singkat putrinya dan nyonya ini membawa keberkahan bagi keluarga mereka, tapi keputusan itu kembali kepada Nadia, putri mereka.
"Maaf nyonya kami tidak bisa memutuskan begitu saja kalau putri kami belum memberikan jawabannya sendiri dan kami juga belum melihat putra anda nyonya, jadi kami harap anda memaklumi nya." ucap ustadz Aditya kepada nyonya Laila.
"Bagaimana denganmu Nadia?" tanya ustadz Aditya kepada Nadia yang hanya tertunduk malu.
"Saya belum bisa menjawabnya sekarang tante, ijinkan saya untuk berkonsultasi dulu dengan Allah untuk memantapkan hati saya dalam menentukan jodoh saya." ucap Nadia santun.
"Silahkan diminum tehnya nyonya," titah umi Kulsum kepada tamunya.
Mereka menikmati teh buatan Nadia dengan cemilan yang disediakan Nadia untuk mereka. Ada banyak sekali hal lain yang sedang mereka perbincangkan, hingga akhirnya nyonya Laila pun pamit pulang kepada keluarga sederhana itu.
"Baiklah Nadia, tante tunggu jawabanmu secepatnya, kalau begitu tante pamit pulang dulu." ucap nyonya Laila yang sudah hendak bangkit dari tempat duduknya.
Mereka saling bersalaman dan nyonya Laila meninggalkan rumah itu kembali ke mobilnya.
🌷🌷🌷🌷
Tiga bulan kemudian Nadia menghubungi nyonya Laila, yang mengatakan menerima pinangan nyonya Laila untuk putranya Daffa. Setelah mendapat persetujuan dari Nadia, nyonya Laila meminta putranya untuk menikahi Nadia. Betapa terkejutnya Daffa, ketika mengetahui kalau ia harus dijodohkan dengan gadis bercadar, jauh dari tipikal gadis impiannya.
"Sayang, apakah kamu sudah memiliki kekasih untuk dijadikan istrimu?" tanya nyonya Laila kepada putra semata wayangnya.
"Aku belum berpikir sejauh itu untuk menikah mami." ucap Daffa sedikit agak malas menanggapi permintaan maminya.
"Bagaimana kalau mami yang memilihkan calon istri untukmu, anaknya sangat cantik lho sayang, kalau kamu mengenalnya pasti kamu akan jatuh cinta padanya, mami yakin gadis itu sangat tepat untuk untuk mendampingimu nak." ucap nyonya Laila yang sangat optimis jika Daffa akan menyukai gadis pilihannya.
"Terserah mami sajalah, tapi Daffa tidak menjamin bisa mencintai gadis itu, jangan salahkan Daffa jika suatu saat nanti pernikahan kami tidak berjalan dengan baik." ucap Daffa sengit kepada maminya.
"Kamu tahu sendiri, jika kamu tidak menikah dalam tahun ini juga dan tidak memilki keturunan, maka hak perusahaan akan beralih kepada saudara tirimu sayang karena ayah mu memiliki dua istri, kamu ingat bagaimana kakekmu mengancam kita bukan?" ucap nyonya Laila yang terus meratapi nasibnya menjadi istri kedua.
"Mami, kenapa harus membebaniku dengan ancaman itu terus menerus?" ucap Daffa kesal karena merasa sangat tertekan menjadi bagian dari anak yang tidak begitu dianggap oleh keluarga ayahnya walaupun ia sendiri adalah anak kandung dari ayahnya.
"Mami tidak membebankan kamu dengan ancaman kakekmu nak, tapi mami hanya mengingatkan posisi kita sebagai orang ketiga dalam kehidupan pernikahan mami dan ayahmu, dulu istri pertama ayahmu tidak bisa memberikan keturunan sampai akhirnya ayahmu menikahi mami hanya ingin mendapatkan keturunan, setelah tiga tahun kami memilikimu, ayahmu baru mendapatkan anak laki-laki dari istri pertamanya. Tapi perusahaan itu akan menjadi milikmu apabila kamu menikah dan memiliki keturunan sebelum saudara tirimu yang akan mendahuluimu." ucap nyonya Laila memberi pengertian kepada putranya Daffa.
"Terserah mami saja atur saja pernikahan ini untukku kalau hanya sekedar memenuhi persyaratan dari kakek untuk mendapatkan perusahaan." ucap Daffa yang sudah pasrah dengan keinginan maminya supaya ia secepatnya menikah dan memiliki keturunan.
"Terimakasih nak, mami jamin untuk kali ini, kamu tidak akan pernah menyesal dengan pilihan mami untuk calon istrimu." ucap nyonya Laila tersenyum manis pada putranya.
🌷🌷🌷
Pernikahan diadakan dengan sangat meriah, Nadia mengenakan gaun pengantin yang didatangkan langsung dari Kairo. Gaun syar'i yang dikenakan Nadia tidak mengurangi kecantikannya yang terpancar dari manik matanya dengan bulu mata lentik yang dipertajam dengan maskara. Cadar lembut tetap yang tetap menyembunyikan paras cantiknya. Pembacaan ijab kabul oleh ustadz Aditya yang menikahkan putrinya dengan dengan Daffa putra dari Edy Subandrio Diningrat. Daffa mengucapkan ijab Kabul dengan satu tarikan nafas tanpa sedikitpun membuat kesalahan saat menyebutkan nama Nadia Safira Azahra binti Aditya Malik Ibrahim.
Inilah kesempatan kedua kali, Nadia bertemu dengan suaminya Daffa. Usai resepsi pernikahan, Daffa memboyong istrinya langsung ke apartemen miliknya. Dalam perjalanan keduanya tidak terlihat saling menyapa, sekalipun kulit mereka sudah tersentuh saat Nadia mengecup punggung tangan suaminya dan Daffa sudah mengecup pucuk kepala istrinya usai ijab kabul yang digelar tadi pagi.
Tiba di apartemen, Daffa mulai mengatur istrinya. Pengusaha muda ini nampak dingin dan tidak terlihat sama sekali kelembutannya di hadapan Nadia.
"Nadia, duduklah sebentar!" titah Daffa pada istri yang baru ia nikahi ini.
Nadia kemudian duduk di sofa yang ada di ruang tamu apartemen suaminya. Dengan wajah tertunduk, ia tampak gemetar melihat wajah dingin suaminya.
"Aku ingin berbicara denganmu, aku sudah membuat surat perjanjian diantara kita, disini menjelaskan kamu dan aku tidak akan tidur dalam satu kamar, kamu boleh melakukan apa saja dirumah ini, aku tidak akan pernah mau menyentuhmu sebagai suamimu, jika aku bersamamu jangan pernah kamu melepaskan cadarmu karena sedikitpun aku tidak tertarik melihat wajahmu.
Pernikahan ini hanyalah sebuah syarat, bukan seperti pernikahan yang kamu idamkan. Aku bukan suami yang setia, jangan pernah mengatur hidupku dan lakukan rutinitasmu seperti biasanya karena aku tidak akan membatasimu. Nafkah lahiriah akan aku penuhi namun tidak dengan nafkah batin. Jika suatu saat kamu tidak nyaman denganku silahkan kamu boleh menggugat cerai padaku. Bacalah lagi persyaratannya, jika ada poin yang tidak kamu sukai boleh kamu ajukan keberatan, kamu mengerti Nadia?" tanya Daffa dengan penuh penekanan kepada istrinya.
Dengan panjang lebar persyaratan yang disampaikan oleh Daffa, sedikitpun tidak menggoyahkan hati Nadia, dengan membaca bismillah ia menandatangani surat perjanjian itu tanpa ada komentar apapun.
"Satu lagi, lakukan tugasmu sebagai istri tanpa harus melayaniku diatas tempat tidur dan kamu harus memanggilku tuan." ucap Daffa lagi untuk mengingatkan Nadia terakhir kalinya.
Nadia meremas baju syar'inya, penolakan Daffa benar-benar menginjak harga dirinya, tapi gadis ini tidak akan menyerah di awal pernikahan mereka karena ia sudah memantapkan pilihannya atas izin Tuhannya dalam sholat istikharah sebelum ia menerima pinangan dari keluarga Daffa suaminya.
"Ada lagi tuan yang anda ingin sampaikan kepada saya?" tanya Nadia lembut pada suaminya.
"Cukup ini saja dulu, kalau ada lagi aku akan memberitahumu dan itu kamarmu di samping kamarku jika ada apa-apa kamu bisa mengetuk kamarku." ucap Daffa sembari menunjukkan kamar yang akan ditempati Nadia.
"Istirahatlah, aku juga ingin tidur sekarang." ucap Daffa yang melihat Nadia masih duduk terpaku ditempatnya.
Nadia dan Daffa segera masuk ke kamar mereka masing-masing. Nadia hanya menarik nafas lembut ketika berada di dalam kamarnya, tidak sedikitpun raut wajah kecewa dari wajah cantiknya. Dengan menyebutkan nama Tuhannya ia menunaikan shalat isya yang belum sempat ia lakukan. Puji syukur tetap dihaturkan kepada Robbynya, tidak ada ketenangan yang didapatkan olehnya saat sudah berada dalam sujud panjangnya.
"Ya Allah, jika ini adalah awal ujian hidupku dariMu, maka kuatkanlah hatiku, jauhkanlah aku dari godaan syaitan yang terkutuk agar tidak mendengar bisikan sesuatu darinya yang akan menghancurkan rumahtangga kami." pinta Nadia lirih usai memberikan salam penutup sholatnya.
Dzikir malam diperkuat oleh gadis itu sampai ia puas berlezat-lezat dengan Robbynya baru ia berangkat tidur untuk melepaskan lelahnya setelah seharian menjalani prosesi pernikahan.
Dua bulan pernikahan yang dijalani oleh Nadia dan Daffa terasa sangat hambar, tidak ada obrolan yang berarti diantara mereka. Keduanya nampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Hanya satu, yang membuat Nadia merasa dihargai oleh Daffa, lelaki tampan ini selalu menghabiskan makanannya yang sudah disiapkan oleh Nadia. Hanya sarapan pagi dan makan malam yang Nadia masak untuk suaminya, selebihnya makan siang, Daffa memilih makan di restoran bersama asisten pribadinya Rio.
Malam itu Nadia meneruskan bacaan bukunya tentang kajian islam, karena belum merasa ngantuk, ia yang sedang menunggu suaminya pulang kerja duduk di ruang tengah dengan membawa buku bacaannya. Tidak lama pintu itu terbuka karena Daffa tahu kode pintunya tanpa harus menunggu Nadia membukakan pintu untuknya. mendengar langkah kaki suaminya, ia buru-buru bangun menyambut suaminya pulang. Ia mengambil tas kerja suaminya dan seperti biasa ia mencium tangan Daffa.
Sentuhan bibir Nadia pada punggung tangannya terasa hangat walaupun Nadia tetap memakai cadarnya. Entah mengapa setiap kali Daffa merasa bergetar dihatinya, ketika tangannya disentuh oleh bibir Nadia, apa lagi ia sangat merasa ada kenyamanan tersendiri didalam hatinya karena tangan dingin Nadia seolah memiliki energi positif yang sedang menyalurkan kehangatan dan kelembutan sampai masuk dalam sanubarinya.
"Kamu belum tidur Nadia." tanya Daffa yang sudah duduk di meja makan dan mulai menikmati makan malamnya yang ditemani oleh Nadia.
"Kamu belum makan, jadi aku sengaja menunggumu, untuk menyiapkan makan malam untukmu." jawab Nadia tetap lembut dihadapan suaminya.
"Tidak perlu seperti itu, aku bisa melakukannya sendiri, kamu cukup menyiapkannya saja, tidak usah berlebihan begitu, kalau mau mendapatkan perhatian dariku." ucap Daffa ketus.
Nadia hanya menarik nafas halus dengan penuh kesabaran, ia tidak mempermasalahkan kata-kata yang tajam terucap dari mulut suaminya, apa lagi menyimpan perkataan suaminya begitu saja ke dalam hatinya, ia hanya mengucapkan istighfar, setiap kali suaminya sinis kepadanya. Ia juga bertaauz untuk mengusir setan dari tubuh suaminya, apalagi suaminya masuk ke rumah tanpa mengucapkan basmalah dan salam sehingga dirinya membawa setan ikut masuk bersama suaminya ke dalam apartemen mereka.
"Tidak apa tuan, itu sudah menjadi kewajiban saya dan saya harus siap melayanimu kapan saja kecuali kebutuhan biologismu." ucap Nadia sarkas kepada Daffa, membuat lelaki itu tertegun sesaat lalu menatap manik hitam istrinya.
"Sial mata itu, mengapa sangat cantik hanya dengan menatap matanya, apakah sesungguhnya orangnya memang sangat cantik seperti apa kata mami." ucap Daffa dalam hatinya.
"Kamu boleh tidur ko sekarang, tidak perlu menunggu aku makan." ucap Daffa pada Nadia walaupun hatinya menginginkan istrinya tetap berada dihadapannya.
"Aku akan meninggalkanmu setelah melihatmu menghabiskan makananmu karena ini juga bagian dari kewajibanku." ucap Nadia yang tetap tenang menghadapi Daffa yang sangat arogan kepadanya.
"Terserahlah dan jangan terlalu berharap aku akan memuji masakanmu, karena aku hanya makan masakanmu, untuk menghilangkan rasa laparku saja bukan kerena ingin menikmati masakanmu." ucap Daffa seenak jidatnya menyakiti hati istrinya.
"Aku tidak berharap pujian darimu tuan dan berhentilah mencemooh diriku." ucap Nadia datar kepada suaminya.
Ia mengambil piring dan gelas kotor bekas makan suaminya lalu langsung mencuci piring itu kemudian mengucapkan salam dan pamit tidur kepada Daffa.
"Aku masuk dulu, assalamualaikum suamiku." ucap Nadia sambil melangkah masuk ke kamarnya.
Daffa tidak membalas salam istrinya, karena ia bingung dengan kebiasaan istrinya yang menurutnya itu hal yang aneh, yang tidak pernah terjadi saat ia bersama orangtuanya.
"Apakah itu hasil didikan orangtuamu Nadia, kamu sangat beruntung berada ditengah keluarga yang mencurahkan seluruh kasih sayang mereka kepadamu, aku sangat iri padamu Nadia, hidupmu kelihatannya sangat sempurna tidak seperti diriku." bisik Daffa sendirian. ketika sudah berada di dalam kamarnya.
Ia kemudian memejamkan matanya, melepaskan kepenatan setelah seharian berkutat dengan pekerjaannya.
🌷🌷🌷🌷
Sekitar pukul 03.00 WIB, Nadia bangun untuk menunaikan sholat tahajud. Ia kemudian membersihkan dirinya, berwudhu dan berpakaian yang layak untuk bermunajat kepada Tuhannya.
Semua keluh kesahnya ditumpahkan diatas sajadahnya, air matanya luruh bersama dengan sujud serta doa yang sedang dipanjatkannya, ia menangis dihadapan Robbnya hingga hatinya lega. Ia mengambil Alquran yang sengaja ia letakkan di samping sajadahnya kemudian membacanya sambil menunggu waktu subuh. Lantunan ayat suci terdengar indah dengan suara merdu namun sangat lirih. Ayat demi ayat dibacanya dengan penuh penghayatan. Tanpa disadari olehnya, suaminya juga ikut mendengarkan suara indahnya dibalik pintu kamarnya. Suaranya begitu syahdu terdengar ditelinga Daffa. Tidak terasa air matanya sudah meleleh dipermukaan pipi menghiasi wajah tampannya.
"Nadia, apakah kamu tidak salah memilih aku menjadi suamimu?" tanya Daffa yang kelihatan sudah mulai merasa tersentuh dengan akhlak istrinya.
"Apakah kamu yang bodoh ataukah aku yang beruntung memilih dan dipilih." ucapnya membatin.
Daffa kemudian bangkit kembali ke kamarnya sebelum istrinya mengetahui apa yang sedang ia lakukan dibalik pintu kamar istrinya. Diam-diam Daffa mengambil juga air wudhu dan ingin melakukan shalat subuh, ia ingin merasakan sendiri ketenangan seperti apa yang ia lihat pada diri istrinya.
Setiap kali melihat Nadia selesai menunaikan sholat, mata gadis itu kembali berbinar, seakan ia telah menemukan telaga kedamaian. Mungkin Daffa yang tidak pernah mau mengenal Tuhannya melalui ibadah sholat hingga membuat lelaki itu selalu melakukan apa saja sekehendak hatinya tanpa memperdulikan perasaan orang lain. Kehadiran Nadia membawa efek positif bagi dirinya, namun sayang hatinya belum terketuk untuk membuka dirinya menerima kehadiran Nadia dalam jiwanya apa lagi untuk mencintai gadis itu, karena selama ini, ia tidak pernah memberikan ruang dihatinya untuk ditempati oleh seorang gadis. Wanita malam yang menjadi hiburannya di atas ranjang hanyalah bentuk pelariannya bukan hanya memenuhi syahwat semata.
Kekecewaannya kepada ayahnya dan ketidakadilan kakeknya memaksa Daffa menjadi lelaki yang sangat arogan. Sifatnya menjadi dingin, dan kenakalannya pada wanita menjadi pelariannya. Entah sudah berapa wanita malam yang menghangatkan ranjangnya, yang jelas ia menikmati jasa-jasa wanita itu yang menawarkan tubuh mereka untuk kepuasan birahinya.
Menjelang pagi Daffa sudah siap berangkat ke perusahaannya setelah sarapan pagi bersama istrinya. Ia melihat Nadia yang sedang membawa kardus buku yang cukup berat menuju sekolah tempat gadis itu mengajar.
"Apakah perlu bantuan Nadia?" tanya Daffa yang melihat istrinya sedang kepayahan membawa kardus buku itu.
"Tidak perlu tuan, saya bisa melakukannya sendiri." tolak Nadia lembut pada suaminya.
"Bagaimana caramu membawa buku sebanyak itu hanya dengan menggunakan sepeda motor, bukankah itu sangat berbahaya?" tanya Daffa kuatir melihat istrinya kelihatan nekat membawa buku yang sangat berat hanya dengan sepeda motor.
"Ini bukan kali pertama saya membawa buku sebanyak ini ke sekolah dengan sepeda motor dan saya merasa aman sampai ke sekolah." ujar Nadia yang tetap kekeh pada pendiriannya karena tidak ingin merepotkan suaminya.
"Ayo, aku yang antar kamu ke sekolahmu, lagi pula kita searah bukan." tawar Daffa yang mulai lunak pada istrinya.
"Nanti anda terlambat tuan dan aku tidak mau itu terjadi." ujar Nadia ngotot tidak ingin Daffa mengantarnya ke sekolah tempatnya mengajar.
"Apakah kamu lupa kalau aku adalah pemilik perusahaannya Nadia?" jawab Daffa yang sudah mulai gusar karena penolakan istrinya atas tawarannya.
"Tapi sebagai atasan anda harus memberikan panutan terbaik untuk para bawahanmu." ujar Nadia sedikit membantah suaminya.
"Tapi aku sedang melakukan tugasku sebagai seorang suami yang ingin memastikan istrinya aman sampai di tempatnya mengajar. Apakah kamu ingin menolak ajakan suamimu Nadia?" tanya Daffa mulai memperlihatkan taringnya di depan Nadia.
Gadis ini berpikir sesaat, antara senang dan kuatir menyelimuti hatinya. Dua bulan menghabiskan waktu bersama dengan suaminya bukanlah perkara mudah, kerena setiap saat lelaki ini sering mendapatkan kesempatan untuk merendahkannya. Apa lagi Daffa tiba-tiba baik padanya, seakan orang yang habis kesurupan tahu-tahu baik padanya.
"Nggak salah kamu berubah 180 derajat, tiba-tiba berubah menjadi suami yang perhatian pada istrinya." ucapnya yang masih tampak berpikir keras dengan pria nggak jelas ini.
"Kenapa kamu jadi bengong Nadia, mau tidak aku antar kamu ke sekolah?" tanya Daffa yang sudah mulai pegal rayu istrinya yang cukup keras kepala ini.
"Tidak usah tuan, terimakasih atas tawarannya." ucap Nadia lalu buru-buru membuka pintu apartemennya berjalan menuju tempat parkir motornya.
Melihat sifat keras kepala istrinya membuat Daffa makin gemas dengan tingkah Nadia, ia merebut kardus buku dari tangan Nadia setelah mereka sudah berada di tempat parkiran. Daffa membawa masuk buku itu ke dalam mobilnya dan meminta Nadia untuk masuk ke mobilnya.
"Masuk!" aku yang akan mengantarmu hari ini." titah Daffa kepada Nadia yang masih berdiri mematung pada tempatnya, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kamu mau menerima tawaran ku untuk mengantarmu dengan mobilku atau mulai besok kamu tidak boleh lagi mengajar?" ini perintah Nadia bukan permohonan," ucap Daffa dengan penuh penekanan pada kata-katanya supaya istrinya tidak lagi menolak ajakannya.
"Ba-baik tuan, saya akan ikut bersama anda," ucap Nadia gugup melihat perubahan sikap Daffa yang terus memaksa mengantar dirinya ke tempat ia mengajar.
Daffa tersenyum puas setelah melihat istrinya menuruti perintahnya dan ia dengan mudah mempermaikan hati istrinya. Ia kemudian mengemudikan mobilnya mengantarkan Nadia ke sekolah tempat istrinya mengajar.
🌷🌷🌷
Sesampainya di halaman parkir sekolah, lagi-lagi Daffa berbaik hati turun duluan untuk membukakan pintu untuk Nadia dan membawa kardus buku Nadia.
"Ada apa dengan suamiku tiba-tiba jadi perhatian sama aku...ahh!" sudahlah, mungkin moodnya lagi baik hari ini." ucapnya membatin.
"Assalamualaikum ibu Nadia!" sapa pak guru Bahar, rekan kerja Nadia di sekolah dasar tersebut, ketika Nadia berjalan beriringan dengan suaminya menuju ruang kantor.
"Waalaikumuslam pak Bahar!" balas Nadia menjawab salam temannya itu ketika mereka berpapasan di tempat parkir.
Daffa yang melihat keakraban antara istrinya dan rekan ngajar istrinya sedikit kesal, apa lagi guru itu sangat tampan dan tidak kalah tampannya dengan dirinya.
"Sial, rupanya sekolah ini ada juga saingan gue, bisa bahaya ini kalau sampai ia tertarik dengan istri gue." ucap Daffa dalam hatinya.
Menyadari suaminya masih di belakangnya, Nadia baru ingat lalu kembali lagi menghampiri suaminya. Dengan hati-hati ia menyebut nama suaminya dengan panggilan sayang supaya tidak dicurigai oleh temannya pak Bahar
bahwa hubungan mereka sangat harmonis.
"Sayang, sampai di sini saja mengantarku, bukankah kamu harus buru-buru berangkat ke perusahaan?" ucap Nadia sangat manis membuat Daffa sesaat termangu mendengar istrinya memanggilnya dengan sebutan kata sayang.
"Baiklah sayang, aku berangkat dulu ya, nanti kabari aku kalau kamu sudah pulang ngajar biar aku yang akan menjemputmu." ucap Daffa yang mengerti kalau istrinya sedang bersandiwara di depan temannya lalu ia mengecup pucuk kepala istrinya dengan mesra.
Kali ini gantian Nadia yang termangu mendapati suaminya berubah menjadi mesra padanya pagi ini. Pak Bahar yang melihat itu sedikit agak risih karena sebenarnya ia pernah menyimpan perasaan terpendam pada Nadia dan ingin melakukan ta'aruf namun sayang sudah di salip duluan langkahnya oleh Daffa suami Nadia teman ngajarnya.
Keduanya berpisah dihalaman parkir, Daffa meneruskan perjalanannya ke perusahaannya sedangkan Nadia sudah berdiri didepan kelas untuk menyambut siswanya memasuki kelas.
Di ruang kerjanya, Daffa membayangkan kembali peristiwa di tempat parkir sekolahan istrinya, tiba-tiba pengusaha muda ini senyum-senyum sendiri sambil memutar-mutar kursi kebesarannya, ke kanan lalu ke kiri berkali-kali dilakukannya.
"Apakah saat ini aku sedang jatuh cinta pada istriku ataukah aku sedang terbawa perasaanku sendiri?" tanyanya lirih dengan dahi mengkerut.
Keraguan kembali muncul dihatinya, keangkuhannya meruntuhkan hasratnya untuk lebih dekat dengan istrinya. Perubahan moodnya membuat ia memilih untuk melupakan kejadian romantis yang sempat terjadi tadi pagi, saat bersama dengan istrinya di sekolah tempat Nadia mengajar.
"Ah, dia bukan tipikalku, apa yang menjadi kebanggaanku menikahi wanita yang menutup semua tubuhnya dan yang terlihat hanya bola matanya saja, serta kedua telapak tangannya, bidadari bukan, tapi so menutupi, pasti wajahnya jelek kalau dia membuka wajahnya di depanku dan aku tidak ingin memiliki keturunan dari rahimnya. Tunggulah Nadia, kamu hanya alat tukar harta karunku." ucapnya sambil menyunggingkan senyum menyeringai jahat.
Di sekolah saat istirahat makan siang, Nadia memikirkan kembali kejadian pagi ini, suaminya yang dingin dan acuh mau mengantarnya ke sekolah, selama dua bulan ini mereka hanya dua orang asing yang menetap dalam satu atap, kadang pelit berbicara, senyumnya yang sangat mahal bahkan tidak pernah Nadia melihat senyum suaminya itu, apa lagi berharap pada lelaki tampan itu untuk berbagi hal yang lainnya seperti kehidupan pernikahan banyak orang yang ingin merasakan kebahagiaan.
"Mengapa hari ini dia tiba-tiba romantis, apakah ini sandiwaranya yang sengaja meniupkan angin segar kepadaku untuk menghinaku lagi?" ucap Nadia membatin.
Nadia melamun hingga tidak sadar ponselnya bergetar, menyadari ada panggilan masuk, ia segera mengangkatnya, ada suara yang menyebutkan namanya.
"Hallo Nadia!" sapa Daffa dari seberang.
"Assalamualaikum tuan!" ucap Nadia memberikan salam terlebih dahulu kepada suaminya.
"Hari ini aku tidak bisa menjemput mu karena ada urusan penting, apakah kamu bisa pulang sendiri?" ucap Daffa yang mulai kembali terdengar datar berbicara pada Nadia.
"Iya tidak apa-apa tuan saya bisa naik taksi nanti." ucap Nadia terdengar kecewa menjawab telepon suaminya.
Sambungan ditutup secara sepihak dari seberang. Nadia hanya menarik nafas lembut dan kembali membaca istighfar.
Nadia tidak pulang dengan menumpang taksi, ia di antar pak Bahar teman sesama gurunya yang tadi pagi bertemu dengan suaminya. Nadia yang tidak tahu kalau suaminya membuntuti motor pak Bahar yang mengantar pulang istrinya. Nadia turun dari motor temannya dan mengucapkan terimakasih. Hatinya merasa lega karena ia pulang duluan sebelum suaminya sampai di apartemen mereka, jadi ia punya kesempatan untuk memasak makan malam untuk mereka berdua.
Tiba di kamar apartemennya, ia begitu terkejut suaminya sudah duduk di ruang tengah sambil memainkan ponsel miliknya.
"Tuan sudah pulang?" tanya Nadia gugup.
"Kamu jadi pulang naik taksi?" pancing Daffa ingin menguji kejujuran istrinya.
"Maaf tuan tadi saya sudah pesan taksi, tapi pak Bahar menawarkan diri untuk mengantarkan saya pulang dan saya tidak enak menolaknya." ucap Nadia apa adanya pada Daffa.
"Apa?" tidak enak menolaknya?" astaga, jadi kamu tidak enak padanya dan tidak memikirkan perasaan suamimu?" ucap Daffa tersenyum sinis menatap wajah Nadia yang tertunduk takut menatap wajahnya.
"Iya tuan!" mohon maafkan saya." ucap Nadia makin gugup dengan tangannya mulai gemetar.
"Kamu sudah menikah, kamu pasti sangat tahu batasanmu sebagai seorang istri yang sudah menikah, apa lagi kamu mengenakan pakaian syar'i harusnya kamu jaga kehormatanmu sampai akhir, bukan sembarangan menerima begitu saja tawaran lelaki lain yang bukan mahram kamu, sekalipun itu adalah teman kerjamu sesama guru." sahut Daffa murka pada istrinya.
"Ya Allah, saya lupa posisi saya tuan, mohon maafkan saya kali ini, karena saya sudah khilaf tuan dan saya janji tidak akan mengulanginya lagi." jawab Nadia langsung menjatuhkan tubuhnya memeluk kaki suaminya.
"Kamu kira aku bisa memaafkan perbuatanmu yang tercela tadi hah!" hardik Daffa makin memanas
dan menghempaskan kakinya hingga membuat Nadia terhuyung ke belakang.
plak..plak!"
Dua tamparan mendarat ke pipi Nadia, tidak cukup sampai di situ tangan Nadia di tarik, tas kerjanya dibuang dan pinggangnya dipeluk dari belakang dengan mempelitir tangan istrinyanya membuat gadis itu memohon ampun pada Daffa.
"Allahu Akbar, sakit tuan, mohon ampuni saya." rintih Nadia yang sangat kesakitan saat tangannya di pelintir oleh Daffa.
Dengan sekencang mungkin Daffa mendorong tubuh Nadia hingga akhirnya Nadia jatuh tersungkur dengan kepala membentur sudut meja yang di atasnya berlapis kaca.
Darah segar mengucur di wajah gadis itu karena dahinya yang berdarah. Daffa yang tidak melihat istrinya berdarah meninggalkan Nadia begitu saja dan keluar dari apartemennya. Hatinya yang telah terbakar api cemburu membuat ia tidak mampu mengendalikan emosinya.
Nadia membuka cadarnya memegang cairan merah yang telah menetes dipipinya. Pandangan matanya mulai kabur karena kucuran darah yang tidak mau berhenti mengalir.
Dengan merangkak ia menggapai tasnya untuk mengambil ponsel di dalam tasnya itu. Gadis malang ini tak henti- hentinya beristighfar ketika sedang menghubungi ibu mertuanya, nyonya Laila. Nada panggilannya diterima di seberang sana.
"Hallo Nadia, assalamualaikum!"
"Waalaikumuslam mami, tolong Nadia mami!"
"Ada apa sayang kenapa suaramu jadi serak begitu, nak?"
"Nadia jatuh mami dan pelipis Nadia berdarah."
"Ya Allah, kenapa sampai begitu sayang, tolong perlihatkan kepada mami sayang, kita video call saja ya, supaya mami bisa melihat seberapa parah keadaanmu." pinta nyonya Laila.
Nadia beralih ke panggilan video call, nyonya Laila sangat shock melihat wajah menantunya sudah bersimbah darah.
"Mami akan menghubungi ambulance untuk menjemputmu supaya kamu langsung dibawa ke rumah sakit, nanti kita bertemu di sana. Mami menghubungi orang tuamu dulu ya." ucap nyonya Laila panik setelah melihat menantunya terluka parah.
"Jangan mami!" Mereka tidak perlu tahu tentang kejadian ini, cukup mami saja yang tahu." ucap Nadia mencegah ibu mertuanya, menghubungi orangtuanya.
"Kamu sudah menghubungi Daffa nak?" tanya maminya Daffa lagi.
"Aku tidak mau menganggu pekerjaannya mami." ucap Nadia berbohong.
"Baiklah sayang tunggulah sebentar lagi ambulance akan menjemputmu." ucap. nyonya Laila menenangkan menantunya ini.
Nyonya Laila meminta sopir pribadinya untuk mengantar dirinya ke rumah sakit yang akan dituju oleh Nadia, ia begitu panik dan sedikit curiga mengapa Nadia tidak ingin keluarganya mengetahui keadaan dirinya yang sedang terluka parah.
"Ya Allah apakah Nadia sedang membunyikan sesuatu dariku?
ataukah Daffa yang telah menganiaya gadis itu, tapi katanya Daffa tidak ada di apartemennya, apakah ini murni kecelakaan?" ucap nyonya Laila sedang menelaah keadaan Nadia yang kelihatan sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
Pertanyaannya nyonya Laila tidak bisa menemukan jawaban kecuali harus bertemu langsung dengan Nadia. Mobilnya sudah memasuki halaman parkir rumah sakit. Ia segera turun menuju ke ruang IGD di mana Nadia sedang mendapatkan penanganan medis.
Sebelumnya itu nyonya Laila menyelesaikan administrasi untuk pasien atas nama Nadia. Setelah semuanya dibereskan administrasinya, nyonya Laila kembali menunggu di depan ruang IGD. Tidak lama dokter keluar menemui keluarga pasien, nyonya Laila bergegas berdiri ketika nama menantunya disebut oleh dokter yang merawat menantunya.
"Keluarga pasien Nadia!" panggil dokter diantara para keluarga pasien lainnya.
"Saya, dokter!" ucap nyonya Laila bergegas menghampiri dokter tersebut.
"Maaf nyonya, nona Nadia kehilangan banyak darah karena pelipisnya sobek terkena benda tumpul, lukanya cukup dalam dan kami harus menjahitnya. Pasien sudah mendapatkan donor darah dan akan segera dipindahkan ke kamar inap, tolong dibereskan administrasinya." ucap dokter Luna.
"Sebentar dokter kalau bisa jangan sampai luka itu berbekas, saya mohon dokter." pinta nyonya Laila.
"Kalau untuk itu kami akan melakukan operasi plastik untuk menutupi bekas lukanya." jawab dokter Luna menyanggupi permintaan nyonya Laila.
"Terimakasih dokter!" ucap nyonya
Laila senang mendengar jawaban dokter memenuhi permohonannya.
"Kalau begitu saya permisi nyonya." ucap dokter Luna pamit pada nyonya Laila.
"Silahkan dokter!"
🌷🌷🌷
Di ruang inap pasien, Nadia sudah dipindahkan. Gadis itu tetap menggunakan hijabnya dan juga cadarnya walaupun lukanya cukup serius yang dideritanya. Ia begitu sabar ketika melihat nyonya Laila menemui ia dikamarnya.
"Sayang, apakah sangat sakit?" bagaimana bisa terjadi sampai kamu terluka?" tanya nyonya Laila yang masih penasaran dengan kecelakaan kecil yang menimpa menantunya.
"Saya jatuh mami, tadi pulang ngajar saya tidak sadar menabrak benda yang ada didepan saya hingga wajah saya menimpa sudut meja." ucap Nadia berbohong.
"Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari mami bukan?" tanya nyonya Nadia menatap mata Laila penuh curiga.
Nadia nampak gugup ketika mertuanya mencurigainya. Ia buru-buru memalingkan wajahnya merasa takut ketahuan jika ia dan suaminya sedang bertengkar.
"Ini tidak ada kaitannya dengan Daffa bukan?" tanya mami Laila lagi pada menantunya ini.
"Tidak mami!" karena saat kejadian mas Daffa belum pulang kerja. Saya yang tidak hati-hati hingga melukai diri sendiri." jawab Nadia mencoba meyakinkan ibu mertuanya ini.
"Baiklah, mami percaya padamu, jika ini ada hubungannya dengan Daffa, aku tidak akan segan menghukum anak nakal itu. Istirahatlah Nadia, mami mau ke depan sebentar, ingin membelikan sesuatu untukmu." ucap nyonya Laila kemudian keluar dari kamar inap menantunya.
Di taman rumah sakit, nyonya Laila menghubungi putranya Daffa. Daffa yang saat ini sedang bersama wanita pela**r lagi membagi kenikmatan diatas pembaringan. Ia sama sekali tidak memperdulikan panggilan tersebut. Hingga akhirnya ia merasa puas dengan pelayanan wanita malam itu. Usai mengatur pernafasannya ia meraih ponselnya dan melihat banyak sekali panggilan masuk dan juga pesan dari maminya. Daffa membuka pesan itu dan betapa kagetnya ia, ketika membaca pesan itu yang menyatakan istrinya masuk rumah sakit karena luka sobek pada pelipisnya tadi sore. Daffa merasa pasti Nadia terluka karena ulahnya yang mendorong gadis itu hingga terjerembab. Ia tidak menyangka kemarahannya telah melukai istrinya.
"Ya Tuhan, kenapa aku separah itu, memarahi istriku hingga ia terluka," ucap Daffa yang merasa menyesali perbuatannya kemudian.
Daffa mengeluarkan beberapa lembar uang dan melemparkan ke atas tubuh perempuan jal**ng itu. Ia kemudian mengenakan kembali pakaiannya dan mengendarai mobilnya menuju rumah sakit di mana istrinya dirawat. Dalam perjalanan menuju rumah sakit tak henti-hentinya ia merutuki dirinya sendiri. Ia juga bingung mengapa ia sangat cemburu pada Nadia yang jelas-jelas ia sangat tidak menginginkan wanita itu menjadi istrinya.
🌷🌷🌷
Setibanya ia di rumah sakit, ia menanyakan kamar inap istrinya, dan perawat yang bertugas mengatakan istrinya berada di kamar VVIP. Daffa segera bergegas menuju ke kamar yang di tunjukkan oleh perawat. Ia kemudian membuka pintu dan melihat ada maminya yang sedang mengobrol dengan Nadia yang masih terbaring lemah dengan infus yang tertancap di punggung tangan kirinya.
"Assalamualaikum!" ucap Daffa memberikan salam pada kedua wanita beda usia ini.
"Waalaikumuslam!" jawab keduanya bersamaan.
Nadia berusaha bangun untuk salim tangan suaminya. Namun di tahan oleh Daffa, membiarkan istrinya untuk tetap berbaring, ia memberikan tangannya ke tangan Nadia supaya dikecup istrinya. Melihat interaksi suami istri ini, nyonya Laila merasa lega kalau keduanya rukun-rukun saja.
"Kamu dari mana Daffa? sampai tidak menghubungi istrimu. Kamu tahu Nadia banyak kehilangan darah akibat jatuh dan lukanya harus dijahit. Kalau dia tidak menghubungi mami, pasti Nadia kehilangan nyawanya karena kehabisan darah." ucap nyonya Laila mengisahkan bagaimana Nadia menghubunginya.
Daffa merasa Nadia tidak menceritakan keadaan yang sebenarnya pada maminya, entah apa niat gadis ini membunyikan kebenaran dirinya yang jelas-jelas menyiksa Nadia setiap punya kesempatan berupa hinaan dan makian dan sekarang melukai gadis itu tanpa ampun. Ia mengakui Nadia adalah gadis. tangguh yang tidak mudah menyerah pada dirinya yang memiliki sifat arogan. Walaupun seperti itu ia tidak cukup tersentuh dengan kejadian yang menimpa istrinya ini karena ulahnya.
"Kalian mengobrol saja, mami mau pulang dulu, malam ini ayahmu akan pulang ke rumah mami. Dan tolong Daffa jangan tinggalkan Nadia karena dia belum kuat ke kamar mandi sendiri. Nadia kamu bisa melepaskan cadarmu, jangan di pakai terus nak, kasihan lukamu." ucap nyonya Laila yang prihatin pada luka menantunya.
"Tidak apa mami, Nadia takut ada dokter cowok yang tahu-tahu masuk ke kamar ini." ucap Nadia membohongi ibu mertuanya.
Nadia membohongi ibu mertuanya karena permintaan Daffa yang tidak ingin melihat wajahnya.
Nyonya Laila mengecup pipi menantunya dan juga putranya. Wanita paruh baya itu harus pulang kembali ke rumahnya karena jatah hari untuknya tiga malam bersama suaminya karena ia merupakan istri kedua yang harus berbagi suami dengan istri pertama suaminya.
Sepeninggalnya maminya, Daffa mendekati istrinya yang masih terbaring sakit.
"Nadia, mengapa kamu tidak menghubungi aku segera, setelah kamu terluka, padahal saat itu aku masih di tempat parkir apartemen." tanya Daffa nampak kesal pada istrinya yang melibatkan maminya membawa Nadia ke rumah sakit tanpa memberitahunya.
"Apakah kamu akan merespon panggilan telepon dariku tuan?" tanya Nadia dengan nada sedikit sinis pada suaminya.
"Setidaknya kamu tidak perlu melibatkan mami dalam urusan rumah tangga kita, apakah kamu sengaja membuat mami tahu tentang hubungan kita ini hanya sebuah kebohongan?" bentak Daffa kembali kasar pada istrinya ini.
"Apakah kamu lihat aku mengadu pada mamimu, bagaimana perilaku kamu padaku?" tanya Nadia yang gregetan dengan sikap pongah suaminya ini.
"Aku ingatkan kamu, jangan sekali-kali kamu mengadu domba aku dengan mamiku tentang nasibmu yang sangat menyedihkan itu!" ucap Daffa menghardik lagi suaminya.
"Insya Allah aku akan tutup mulut tuan, tidak usah kuatir." ucap Nadia dengan bibirnya yang sudah gemetar menahan tangisnya.
"Bagus, kalau kamu cukup tahu diri." ucap Daffa datar pada istrinya.
"Apakah aku boleh tidur ataukah ada yang ingin kamu sampaikan lagi hinaan dan makianmu padaku tuan Daffa yang terhormat?" tanya Nadia geram pada suaminya yang tidak perduli pada keadaannya.
"Mengapa sekarang kamu baru keberatan, jika kamu ingin menggugat cerai padaku silahkan, dengan senang hati aku akan menandatangani surat perceraian itu." ucap Daffa kesal.
"Mengapa harus menunggu dariku, mengapa bukan kamu yang melakukannya terlebih dahulu?" balas Nadia ketus.
"Karena aku tidak ingin kehilangan perusahaan yang sudah aku bangun kembali dengan susah payah setelah kebangkrutan yang pernah terjadi jauh sebelum aku masuk ke perusahaan itu. Kamulah yang menjadi alasanku menjadikanmu sebagai syarat, agar aku bisa mendapatkan perusahaan itu seutuhnya tanpa di bayang- bayangi Subandrio group." ucap Daffa menjelaskan kedudukan Nadia disisinya.
Nadia menarik selimutnya lalu berusaha memejamkan matanya karena sudah terlalu kesal dengan ulah suaminya yang terus menekannya. Daffa juga ikut tidur di sofa dan tidak ingin lagi berdebat dengan Nadia. Ia pun terlelap karena terlalu lelah. usai bercinta dengan wanita panggilan. Keduanya sama-sama mengarungi mimpi mereka, menghabiskan sisa malam.
Nadia rupanya belum tidur ia masih menangis dan menyayangkan sikap suaminya yang masih begitu dingin kepadanya walaupun lelaki. itu sudah tahu keadaan luka yang dideritanya karena ulah Daffa yang cemburu tapi juga tidak perduli dengan dirinya. Itulah yang membuatnya bingung menghadapi lelaki yang memiliki seribu wajah, kadang baik, kadang galak dan kadang bersikap datar pada dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!