Erina kehilangan bayi yang baru saja ia lahirkan. Hingga beberapa hari setelahnya, ia didatangi oleh utusan yang menagih hutang suaminya yang telah meninggal beberapa bulan yang lalu.
Merasa putus asa, ia nekat mendatangi rumah pengusaha kaya yang bernama Adrian, tempat suaminya berhutang. Kondisi Erina yang mempunyai ASI, dimanfaatkan Adrian untuk memenuhi kebutuhan ASI anaknya. Karena istrinya yang bernama Cintya sedang koma setelah melahirkan anak mereka.
Namun, ibu Adrian malah memaksa mereka menikah dengan berbagai alasan. Namun pada kenyataannya, ibu Adrian tidak menyukai Cintya yang sangat Adrian cintai.
Waktu pun membuat Adrian dan Erina saling jatuh cinta. Hingga saat Cintya sadar dari koma, Cintya pun harus berbagi cinta dengan Erina.
"Anakkuuuuuuuu." Erina meraung-raung di atas makan kecil yang masih basah. Anaknya yang baru saja ia lahirkan lewat operasi Caesar meninggal dunia karena keracunan air ketuban.
Dengan kondisi lemah, ia mendatangi makam bayinya yang berada di belakang rumah sakit, tempat ia melahirkan.
"Bahkan ibu belum sempat memelukmu, Nak. Kenapa kau secepat ini meninggalkan Ibu. Beberapa bulan lalu ayahmu yang pergi, dan sekarang malah kau yang pergi meninggalkan Ibu."
Erina terus memeluk nisan bayi perempuannya yang ia namai putri.
Setelah puas menangis, Erina pun pergi dari sana untuk kembali ke ruangannya. Di depan gerbang makam, seorang pria memakai pakaian dokter sedang menunggunya.
"Jangan terlalu bersedih, kelak dia akan menjadi penolong mu di akhirat," ucap sang dokter yang diketahui bernama Dani. Ia memberikan tisu pada Erina.
"Terima kasih," ucap Erina sambil mengusap air matanya dengan tisu yang diberikan Dani.
"Sekarang kembali ke ruangan mu. Kau belum pulih," ujar Dani.
"Maaf sudah merepotkan mu." Erina tertunduk sambil melangkah menuju ruang rawatnya.
"Tidak masalah, justru aku yang minta maaf karena gagal menyelamatkan mu. Kalau saja aku datang tepat waktu, pasti semua ini tidak akan terjadi."
Dani menatap Erina sedih. Ia masih ingat, saat pagi tadi mendapatkan telepon dari Erina yang merupakan sahabatnya sejak kecil. Erina meminta tolong karena akan melahirkan.
Dani datang saat itu juga. Namun, jalanan yang macet dan mobilnya yang tiba-tiba mogok, membuat Erina terlambat dibawa ke rumah sakit hingga akhirnya anaknya harus meninggal.
"Mungkin ini memang takdirku. Ditinggalkan oleh dua orang yang aku sayangi dalam waktu yang berdekatan." Erina lagi-lagi menyeka air matanya.
"Aku turut berduka atas apa yang menimpa suamimu. Aku tidak menyangka dia akan meninggal secepat ini."
"Ini memang sudah nahasnya, Feri meninggal terkena serangan jantung setelah mengetahui perusahaan mengalami kebangkrutan, dan aku harus melunasi sisa hutangnya yang sangat banyak itu. Lima juta dollar bukanlah jumlah yang sedikit. "
"Erina, terimalah bantuan ku untuk melunasi semua hutang suamimu. Aku akan mengajukan pinjaman ke rumah sakit ini atau ke Bank," tawar Dani.
"Tidak, Dan, jangan lakukan itu. Aku tidak ingin membebani mu. Apalagi kau punya istri dan anak yang harus kau nafkahi. Jangan buat istrimu membenciku lebih dalam lagi."
Dani terdiam. Ia mengerti maksud Erina. Sudah beberapa kali, Sisil istrinya melabrak Erina karena ia sering membantu Erina dalam hal finansial. Sisil cemburu karena perhatian Dani berlebihan pada Erina. Padahal, Dani melakukan hal itu karena ia adalah sahabat dekat Erina.
"Erina, bagaimana kalau kau jadi istri keduaku. Aku berjanji akan bersikap adil padamu. Sisil juga tidak akan tahu. Dengan begitu kau tidak perlu hidup dengan kesendirian seperti ini." Dani menatap Erina lekat. Entah sejak kapan ia sudah menggenggam kedua tangan Erina.
"Apa maksud mu, Dan? Kau bukan menolong ku. Kau malah akan membuat ku berada dalam masalah besar. Lagipula kita sahabat, bagaimana bisa kau mengatakan hal itu." Erina menatap tidak percaya pada Dani. Ia melepaskan genggaman tangannya dari Dani saat itu juga. Sebuah tatapan tajam pun menjurus pada Dani.
"Bukan itu maksud ku. Aku melakukan hal ini agar aku bisa terus memantau mu. Aku sudah berjanji pada Feri, bahwa setelah dia, akulah orang yang harus menjagamu."
"Tidak, lupakan hal ini. Aku baru saja kehilangan bayiku, dan kau malah menawarkan hal tidak masuk akal seperti ini."
"Maafkan aku, Erina. Aku hanya ingin terus melindungi mu. Itu janjiku pada Feri."
"Aku mengerti. Tapi, bukan hal seperti itu yang harusnya kau lakukan. Sekarang dan seterusnya kita tetap sahabat, tidak lebih. Aku juga wanita, aku tidak mungkin menyakiti perasaan sesama wanita. Sisil pasti akan terluka dengan ini semua."
"Baiklah, maafkan aku."
"Maafkan aku juga jika aku memarahi mu. Aku harap kau mengerti dan,,,, ahhh." Erina meringis kesakitan sambil memegangi dadanya.
"Ini pasti karena kau tidak menyusui. Sebaiknya kau pompa saja ASI mu. Alatnya ada di dalam," ujar Dani.
Erina mengangguk, ia pun langsung masuk ke dalam ruangannya dan memompa ASI nya dengan alat yang sudah tersedia di dalamnya.
Beberapa hari kemudian, Erina sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Ia sedang duduk di dalam kamar sambil memandangi foto almarhum suaminya.
"Kenapa kau begitu cepat pergi? Kau bahkan tidak meninggalkan pesan apapun padaku." Memeluk foto Feri dan semakin menangis terisak.
Tokk tokk tokk.
Terdengar suara pintu diketuk. Erina langsung keluar membukakan pintu. Ternyata yang datang adalah seorang pria berpakaian rapi dan dua orang pengawal bertubuh kekar.
"Si-silakan masuk." Erina mempersilakan orang yang sebelumnya pernah menemuinya beberapa kali untuk menagih hutang suaminya.
Setelah pria itu duduk, ia langsung menyerahkan sebuah map pada Erina. "Ini adalah rincian hutang yang sebelumnya sudah Anda bayar dari hasil penjualan rumah dan aset lain milik suami Anda. Tapi maaf, semua itu masih belum bisa membayar hutang suami Anda."
"Maafkan saya, Tuan. Tapi saya belum bisa membayar hutang-hutang saya pada bos Anda. Saya bahkan menyewa rumah untuk tinggal." Erina menatap memelas.
"Maafkan saya, Nona. Tapi itu diluar kuasa saya. Di sini saya hanya menjalankan tugas. Pesan dari Tuan Adrian, jika Anda tidak bisa melunasinya, maka beliau akan menjebloskan Anda ke penjara. Waktu yang diberikan hanya satu minggu."
"Tuan, saya mohon, jangan lakukan ini." Erina mulai bergetar ketakutan.
"Maaf, Nona, saya sudah menyampaikan pesan dari Tuan Adrian. Kalau begitu, saya permisi."
Pria itu pun langsung pergi meninggalkan Erina yang kini tengah menangis dan bergetar ketakutan.
"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lalukan?"
Erina berjalan mondar mandir sambil memikirkan ide.
"Bagaimana kalau aku kabur. Ah tidak, kalau aku kabur, sama saja aku bunuh diri. Tuan Adrian sangat berkuasa. Lari ke lubang semut pun dia akan tetap menemukanku."
Erina masih tampak berpikir dalam kebimbangannya. Hingga terlintas sebuah ide yang ia rasa cukup berani.
"Baiklah, sepertinya aku harus mendatanginya langsung. Aku akan memohon padanya agar memberikan ku kelonggaran waktu." Erina menatap penuh keyakinan.
*****
Di sebuah rumah mewah di tengah kota.
"Bagaimana, Nick, apa kau sudah menagih hutang-hutang para pembisnis payah itu?" tanya Adrian.
"Sudah, Tuan. Namun ada satu orang yang sepertinya akan mengalami kesulitan dalam membayar. Namanya Nona Erina, istri dari Feri Ariawan, pembisnis yang meninggal beberapa bulan yang lalu."
"Aku tidak peduli, mereka harus tetap membayar. Jika tidak, maka aku akan memasukkan mereka ke dalam penjara." Adrian menatap tajam ke sembarang arah.
Tak berselang lama, terdengar suara langkah kaki datang mendekat. Seorang wanita separuh baya yang merupakan ibu Adrian yang bernama Heni datang sambil membawa seorang bayi.
"Adrian, bagaimana ini? Arga tidak mau meminum susu formula. Ibu sudah membeli semua jenis susu, tapi ia tetap tidak mau."
"Bagaimana dengan ASI, Bu? Yang sudah kita cari di rumah sakit?"
"Ibu sudah memberinya. Tadi dia mau bahkan meminumnya sampai habis, tapi stok di rumah sakit tidak ada lagi karena pasien tersebut sudah pulang. Hanya tersisa dua botol lagi yang hanya cukup sama besok. Sebelumnya Ibu sudah memberikan ASI yang lain, tapi dia tidak mau. Dia juga terus memuntahkannya. Sepertinya dia hanya ingin ASI pertama yang dia minum."
"Baiklah, aku akan menanyakan ke pihak rumah sakit siapa wanita yang memberikan ASI nya pada Ibu. Aku akan membawanya ke sini."
"Kau harus cepat. Ibu tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa dengan Arga."
"Bu, jangan bicara seperti itu. Kita harus yakin Arga akan baik-baik saja. Berikan dia padaku, Bu." Adrian menggendong putranya. Perlahan, bayi yang baru berumur beberapa hari itu tertidur dengan nyenyak.
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah akan melakukan semuanya untukmu." Adrian mengecup kening putranya, lalu menyerahkan pada ibunya.
Heni pun langsung membawa Arga ke dalam kamar.
"Nick, hubungi pihak rumah sakit dan tanyakan dimana keberadaan wanita itu. Bila perlu kau ke sana dan menjemputnya. Dia harus datang ke sini. Berapapun biayanya akan aku bayarkan padanya asal dia mau menyusui Arga."
"Baik, Tuan. Tapi sepertinya saya harus datang ke sana mengingat ASI yang diberikan pada Tuan Arga tidak hanya dari satu orang."
"Terserah, yang penting besok wanita itu harus sudah ada di sini. Waktumu sampai besok pagi setelah Arga bangun."
"Baik, Tuan, saya permisi." Nick yang merupakan asisten Adrian pun pergi ke rumah sakit.
Sementara Adrian pergi ke sebuah kamar yang di dalamnya terdapat sang istri yang sedang koma. Ia mengusap kepala istrinya dengan lembut, lalu mencium keningnya.
"Bangunlah, Sayang, aku mohon." Bulir air mata pun menetes dari pelupuk mata Adrian. Terlihat jelas betapa besar cintanya pada istrinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!