"Ada begitu banyak hal yang ingin ku ceritakan, tentang dia, tentang dia dan tentang dia. Tapi percuma bila kuceritakan langsung dari setiap inti bagiannya. Jadi, akan kumulai cerita ini dari awal," ucapku terduduk santai di puncak bukit tertinggi menatap luas langit biru yang membentang indah sembari mengingat kenangan masa lalu.
(Flash back 15 tahun lalu)
***
Namaku adalah Anita Sheila, aku seorang siswi kelas sepuluh B di SMA harapan bangsa kota bandung. Aku duduk disebelah Zain Azriel, seorang siswa yang telah sebulan lebih belakangan belum kembali masuk sekolah, setelah tragedi berdarah yang terjadi di hari pertama.
Saat ini Zain Azriel dijuluki sebagai roh pembantai dari kelas sepuluh B. Bulan lalu dia melukai kelima orang kakak kelas sampai mereka harus masuk rumah sakit. Sekarang pun, bukti tragedi berdarah itu masih sangat terlihat jelas. Tapi sekali lagi, Aku tak ingin ambil pusing.
"Astaga, Aku harus beli buku paket baru lagi," lirihku dalam ruang kelas menempelkan wajah diatas meja belajar.
Layaknya seorang wanita, Aku juga mempunyai impian. Demi meraihnya, Aku mengabdikan diri untuk mempelajari kalkulus. Aku wanita yang teramat sibuk dengan duniaku hingga aku tak punya waktu untuk meladeni orang lain.
"Anita, bisakah kamu membantuku?" sapa buk Dewi tersenyum manis.
Sebagai wali kelas, bu Dewi memintaku berkunjung ke salah satu toko game, tempat dimana Zain sering menghabiskan waktunya.
Ketika sampai di tempat tersebut, aku berjalan menuju seorang pria yang berdiri tenang di area kasir.
"Permisi, namaku Anita. Apa Zain berada disini?"
"Zain? Oh kalau dia..."
Bruakkk!! (Seorang pria terlempar akibat mendapat pukulan).
"Dasar sialan! Karena kamu, Mario jadi mati!" pekik Zain menatap amarah pria yang tersungkur dihadapan dirinya.
"Zain! Sudah berapa kali aku katakan, jangan mengamuk di toko!" sahut Rio sang penjaga kasir tersebut sekaligus pemilik toko game.
"Habisnya, karena dia Mario jadi mati bang," balas Zain berjalan mendekatiku dan juga Rio di depan meja kasir.
"Jangan salahkan orang lain bila Mario mati. Sudah jelas kalau kau sendiri yang payah saat memainkannya," jelas Rio menceramahi Zain.
Mario adalah nama karakter yang sering Zain mainkan bersama rekan-rekannya dalam sebuah game Super mario.
"Lihat tuh, ada tamu buatmu," lanjut Rio melirikku.
"Hah?" Zain menoleh menatapku dengan pandangan sangarnya.
Setelah ia sadar bahwa aku seorang murid yang berada satu kelas dengannya, Zain berlari keluar melompati jendela toko. Tak menghiraukan kelakuannya, Aku tetap bersikap cuek akan hal tersebut.
"Oh iya maaf hampir lupa, Aku hanya di suruh guru mengantarkan ini untuknya," lanjutku memberikan berkas tertutup pada Rio.
"Ah terimakasih karena sudah repot-repot datang kemari," balas Rio lembut.
Ketika aku keluar dari toko tersebut dan berjalan santai, tiba-tiba Zain menerkamku membuatku terjatuh dan menatap wajahnya yang berada di atas tubuhku.
"Sialan! Kau pasti mata-mata dari sekolah ya?"
"Hah?"
"Jangan pura-pura!" bentak Zain merentangkan kedua tanganku.
"S-s-sakit," lirihku menahan cengkraman kedua tangan Zain memaksa tetap berbaring.
"Lepaskan, lepaskan aku. Aku hanya ingin mengantarkan berkas dari bu Dewi," lanjutku meminta Zain melepaskan cengkramannya.
"Berkas tugas?" ucap Zain bingung kemudian menunduk melepaskan kedua tangannya.
Dengan sigap aku merangkak mundur kebelakang menjauhi Zain.
"Kau gak lagi bohong kan? Huh, kukira kau bakal menyeretku kesekolah seperti guru wanita sialan itu!"
Melihat Zain terduduk menundukkan pandangan sembari menggerutu, Aku mencoba berjalan pelan berniat segera melarikan diri darinya.
"Woi!" pekik Zain menghentikan langkahku.
"Ya Tuhan, lindungilah aku," batinku memicingkan mata berdiam diri membelakangi Zain.
"Siapa namamu?" lanjut Zain.
Walau takut, Aku coba memberanikan diri kembali berbalik arah menatapnya.
"A-Anita Sheila."
"Oh Anita ya? Em...jadi...bisa dikatakan kalau ini yang disebut dengan mengantarkan berkas kerumah teman yang lagi sakit ya? Iya kan?" ujar Zain dengan raut wajah mulai terlihat berbeda.
"Kenapa nih anak? Kok tiba-tiba jadi senyum-senyum nyengir begitu," batinku melihat Zain terduduk tersipu malu.
"Oh iya, kau boleh memanggilku Zain. Soalnya kita ini teman bukan?" jelas Zain tersenyum semringah memicingkan kedua mata.
Tanpa menjawab perkataan Zain, Aku berjalan santai pergi meninggalkannya.
"Sampai ketemu lagi, Anita!" Teriak Zain.
"Dasar gak tau diri, menyeramkan," gumamku berjalan semakin menjauh.
***
Itulah kesan pertamaku pada Zain.
***
Setibanya kembali kesekolah, Aku berjalan menuju ruang bu Dewi.
"Seperti yang telah ibu janjikan, imbalan dari mengantarkan berkas padanya adalah buku paket baru," jelasku berdiri di samping bu Dewi.
"Terimakasih ya Anita. Habisnya Zain terus menghindari ibu dan ibu jadi bingung harus lakuin apa. Terus bagaimana hasilnya?"
"Dia menganggapku sebagai temannya."
"Hah? Serius? Hebat kamu. Kalau begitu kamu bisa bujuk dia agar kembali masuk kesekolah gak?"
"Membujuknya?" batinku.
"Skors yang diberikan padanya sudah ditarik kembali dari pihak sekolah. Memang benar kalau Zain sudah kelewatan, tapi tetap saja yang salah ya para kakak kelas itu. Setelah hal tersebut, Zain langsung dijatuhin hukuman tanpa pemberitahuan. Makanya sampai sekarang dia gak percaya lagi dengan pihak sekolah," jelas bu Dewi.
"Bodoh amatlah dengan hidupnya," pikirku singkat.
"Nah sekarang karena ada kamu, ibu gak lagi cemas kalau Zain bakal dikeluarkan dari sekolah bukan? Tolong bujuk dia ya," pinta bu Dewi kembali tersenyum manis.
"Enggak mau!" jawabku tersenyum manis membalas senyuman bu Dewi kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan miliknya.
"Ke-kenapa? Padahal ibu sudah memohon seperti ini. Jadi harus ibu yang membujuknya, begitu?" lirih bu Dewi terus memegang tanganku berjalan mengikuti kemudian melepaskan genggaman tangannya setelah melewati pintu ruangan.
"Mentang-mentang guru terus seenaknya aja gitu? Gak sudi aku dekat-dekat dengan monster itu lagi!" gumamku terus berjalan menuju ruang kelas.
Bel sekolah berbunyi, menandakan jam pelajaran telah usai. Ketika berjalan melewati celah bangunan gedung, seseorang menutup mulutku dari belakang menarikku dengan cepat mendekap tubuhku.
"Jangan bergerak, kalau teriak, kuperkosa kau!"
"Zain?" batinku mendonggakkan pandangan cemas.
Mendengarkan peryataan tersebut, hanya mengganguk yang bisa kulakukan untuk menghindari hal buruk menimpaku.
"Bagus. Ayo ikut," ucap Zain melepaskan dekapan tubuh sekaligus tangannya.
Terus berjalan hingga akhirnya sampai di tepi sungai yang tak begitu jauh dari belakang sekolah.
"Emm maaf, kenapa kamu membawaku kesini?" ujarku sedikit takut melihat suasana begitu sepi.
"Aku menemukan kucing liar, jadi aku taruh aja disini," balas Zain kemudian mendekati sebuah kotak.
"Kucing?"
"Kenapa?" pekik Zain melihatku merenung.
***
Sebenarnya aku dan kucing, tepatnya aku gak suka semua jenis hewan. Hal itu bermula ketika aku berada di bangku sekolah dasar. Disaat seluruh teman menangisi kelinci ruangan kelas yang telah mati, Aku justru tak merasakan apapun. Setelah itu, seluruh teman menjulukiku Dry ice. Habisnya mau gimana lagi, Aku memang gak merasakan sedih.
***
Sampai disini dulu kisah baru Anita dan Zain ya kak, jadilah bagian dari kisah mereka. Agak lebay dikit lah otornya, itung-itung salam kenal. Lanjut...
"Ah, ini dia, kamu pasti sudah menunggu ku ya kucing," lanjut Zain tertawa menggendong kucing yang sangat imut.
Aku terdiam beberapa saat setelah melihat kucing tersebut, kemudian membalas Zain dengan ucapan bernada tinggi.
"Dilihat dari sisi manapun, sudah jelas itu bukan kucing liar! Zain!"
Pada akhirnya, aku juga yang memulangkan kucing manis tersebut kepada pemiliknya. Setelah mengantar kucing tersebut, kami singgah untuk sekedar bersantai di resto terdekat.
"Kenapa aku malah ada disini?" batinku ketika menyantap burger.
"Sebentar, siapa mereka?" lanjutku melirik segerombol pria berada di samping Zain.
"Yo, Zain," sapa salah seorang pria.
"Ada apa, Rega?" balas Zain ramah.
"Siapa dia?" lanjut Rega melirikku.
"Ah, dia temanku, Anita namanya."
"Temanmu? Oh."
Tak ada yang bisa aku lakukan kecuali diam dan mengamati Zain bersama rekan-rekannya.
"Oh iya Zain, Aku pinjam duitmu lagi dong," sahut salah seorang pria yang berparas licik.
"Pinjam lagi?" balas Zain menekuk wajah.
"Habisnya aku lagi banyak pengeluaran, terus uang saku juga di potong."
Zain terdiam untuk beberapa saat.
"Ayolah, kita ini teman bukan?" lanjut pria tersebut.
Mendengar kata teman, wajah Zain yang tadinya cemberut, kembali ceria tersenyum sembari memberikan beberapa lembaran uang ratusan.
"Untuk saat ini hanya segini dulu ya," singkat Zain.
"Ternyata dia ini bodoh," batinku singkat melirik Zain.
Sebelum Rega dan teman-temannya pergi, mereka meninggalkan lirikan sinis padaku.
"Jadi bagaimana?" lanjut Zain kembali menatapku.
"Hah?"
Bruk..... (Zain berdiri menepuk meja)
"Jangan hah, heh, hah, heh doang! Aku tau kalau hari ini kau pergi ke sekolah!"
"Te-terus kenapa?" balasku terbata-bata.
"A...apa sekolah itu....menyenangkan?" lirih Zain kembali duduk.
"Hah?"
"Jadi ini yang disebut bermain bersama teman setelah jam sekolah telah usai ya, iya kan?" lanjut Zain mengalihkan pandangan sedikit tertawa.
"Zain, jangan-jangan kamu sangat ingin pergi ke sekolah? Kalau memang iya ya masuk aja."
Tawa Zain perlahan pudar menunduk lemah.
"Aku takut. Gak tau kenapa tapi kayaknya mereka semua takut padaku dan tiba-tiba semua menghindariku. Hal itu yang membuat aku gak suka sekolah," jelas Zain.
Zain terus berkeluh kesah dan yang kulakukan menyedot minuman segar menikmati setiap inci cerita darinya.
"Tapi, kaulah orang pertama yang datang kerumahku, Anita. Mereka yang tadi juga orang-orang pertama yang mau main dan gak merasa takut denganku. Jadi, Aku gak perlu lagi pergi kesekolah," lanjut Zain kembali ceria.
"Menurutku itu cuma pandanganmu saja, Zain," singkatku.
Senyum Zain hilang seketika.
"Menurutku, teman yang benar itu gak bakal memanfaatkan uangmu. Aku juga gak tau pasti, soalnya belum pernah punya teman. Tapi masih lebih baik daripada punya teman seperti mereka," lanjutku.
Zain perlahan bangkit dari tempat duduknya, mengangkat minuman cup di meja kemudian menuangkan isi minuman tersebut di atas kepalaku.
"Kamu....gak bisa hargain orang lain ya?" pekiknya berjalan santai meninggalkanku bermandi jus orange.
Ketika Zain nyaris keluar pintu ruangan, Aku segera bangkit berdiri menggenggam cup minuman dan melemparkan sekeras mungkin tepat mengenai kepala Zain.
Brueeeekkkk!!! (Kepala zain berlumur minuman jus)
Tak membuang waktu yang ada, langsung melarikan diri sekencang-kencangnya setelah melihat Zain menekuk raut wajah.
"Apa-apaan sih dia? Padahal aku cuma mengatakan yang sebenarnya. Kenapa dia sampai semarah itu," gerutuku terus melarikan diri.
Keesokan harinya di sekolah.
"Anita," sapa bu Dewi menghentikanku di depan perpus.
"Kamu berhasil membujuknya untuk kembali kesekolah?" lanjut bu Dewi.
"Belum," balasku datar.
"Begitu ya, Zain juga gak mau mengangkat telepon dari ibu. Kalau terus begini, mungkin dia akan dikeluarkan dari sekolah," lirih bu Dewi kembali berjalan pergi.
Mendengar ucapan bu Dewi, ketika jam istirahat siang tiba, Aku kembali menemui Zain di toko game sekaligus tempat tinggalnya.
"Selamat datang, Zain sedang keluar," sapa Rio ketika aku memasuki toko tersebut.
"Oh, bukan, Aku cuma...bisa tolong sampaikan pada Zain jika terus membolos, ia akan dikeluarkan dari sekolah? Aku pamit," singkatku berjalan keluar.
"Tunggu sebentar."
Kembali berbalik arah menatap Rio.
"Apa kau mau coba main?" lanjut Rio mengangkat sebuah kunci ruangan game.
Berjalan kembali mendekati Rio, mengambil kunci tersebut tuk sekedar menghibur diriku.
Setelah mencoba beberapa permainan.
"Hah....Enggak ada yang kena," lirihku bermain di ruang bisbol dan tak satupun pukulan mengenai bola yang melesat mengarah padaku.
"Kenapa aku malah main beginian sih? Harusnya aku gak usah datang kesini," pekikku kembali mengangkat tongkat pemukul bersiap memukul bola selanjutnya.
Tiba-tiba terdengar suara lelaki bersaut-sautan.
"Dasar, Zain kenapa sih? Akhir-akhir ini dia agak sulit pinjamin aku uang. Kalaupun dikasih pasti sangat sedikit jumlahnya."
"Iyakah? Yasudah lagian gak masalah juga kan? Toh uangmu masih banyak."
"Tapi jadi membosankan, tau? Kayaknya gadak gunanya lagi berteman dengannya."
"Tuh, apa aku bilang," batinku melewatkan lemparan bola.
Bola kembali datang dan aku bersiap memukul, "Dasar bodoh!" pekikku sembari menghentak pukulan keras dan berhasil mengenai bola untuk pertama kalinya.
Ketika melirik sisi kanan dan berniat mengambil minuman, Aku terkejut melihat Zain telah cukup lama bersandar terduduk lemah.
"Oh, ternyata dia juga punya kepekaan seperti manusia ya? yah bukan urusanku juga sih," batinku mengambil tas berjalan pergi meninggalkan ruang bermain.
"Hari ini ada yang salah denganku, kenapa juga aku harus melakukan ini. Tapi, setelah melihat ekspresi wajah Zain tadi...." pikirku seketika berhenti di depan keempat pemuda yang telah meledek Zain.
"Ada apa?"
"Hei, bukankah dia perempuan yang pergi dengan Zain kemarin?"
Dengan tubuh tak henti bergetar, coba terus memberanikan diri.
"Zain telah menganggap kalian sebagai temannya. Jika kalian juga menganggapnya begitu,
harusnya kalian berteman denganya tanpa pamrih! bentakku memancing emosi salah seorang pria tersebut langsung bangkit berdiri menghampiri.
"Apa-apaan dia ini?"
Ketika pria tersebut ingin menyentuh menyakitiku, Zain telah berdiri di ssampingku menghentikan laju tangan sang pria.
"Z...Zain?" ucap pria tersebut sedikit panik.
Zain langsung mengangkat tubuh sang pria lengkap dengan tatapan tajam miliknya.
"Lebih baik kalian pulang sekarang!" kecam Zain berwajah datar.
Tanpa perlawanan, keempat rekan Zain tersebut pergi meninggalkannya. Setelah itu Zain mengantarkanku pulang meski aku telah menolak permintaan darinya.
Setibanya di sebuah jembatan penyebrang jalan dan hanya ada kami berdua, Zain mengisak tangis di belakangku.
"Begitu doang kok sampai menangis sih?" pekikku berhenti melangkah.
Aku berbalik arah dan tanpa sadar air mata mengalir membasahi pipiku setelah melihat Zain bersedih hati.
"Bukan, Aku hanya merasa senang sekali," lirih Zain kembali tersenyum mengusap air mata.
"Kenapa ini? Padahal waktu kecil aku susah bersedih hati, apalagi sampai menangis. Tapi ketika melihatnya, kenapa aku juga ikut menangis?" batinku terdiam cukup mengerti apa yang Zain rasakan.
Langkah kaki ini berjalan dengan sendirinya mendekati memeluk lembut tubuh Zain. "Tenang saja, mulai sekarang kamu bakal dikelilingin sama banyak orang yang tanpa pamrih."
"Asal ada Anita, akan kucoba pergi kesekolah lagi," lirih Zain membalas pelukanku.
"Syukurlah, Aku senang mendengarnya," balasku melepaskan pelukan sembari tersenyum ceria.
"Loh? Kok dadaku jadi cenut-cenut begini?" ucap Zain panik.
"Hah?"
"Kayaknya aku suka dengan kamu, Anita."
"Mak...maksudmu sebagai teman?"
"Sebagai lawan jenis!"
"Tunggu dulu, sepertinya kamu cuma salah bilangnya aja. Soalnya kamu belum pernah punya teman sebelumnya."
"Jadi kalau aku sudah punya teman, kamu baru percaya dengan kata-kataku tadi?" ucap Zain berbalik sisi kiri memandang jalanan raya.
"Yah, mungkin saja."
"Baiklah, tapi perasaanku tetep gak berubah. Aku bakalan terus menyukaimu."
Dibawah indahnya sinar matahari senja, untuk pertama kalinya seorang cowok menembakku.
***
Sampai disini dulu semuanya, tanpa iklan dan sponsor, yang penting like komen fav. Lanjut...
Keesokan harinya, ternyata Zain Azriel memang datang kesekolah.
"A-Anita, kaki aku beku, gak bisa bergerak nih!" sapa Zain sangat gugup sejadi-jadinya.
"Kenapa munculnya harus disini sih?" pekikku ketika berada di halaman sekolah pagi hari.
Satu bulan kemudian di halaman olahraga belakang sekolah.
"A-Anita bantu aku, Aku di palak. Mereka maksa minta uang dariku!" lirih Zain terlihat panik sembari kedua tangan masih mencekram seorang pria yang telah berlumur darah akibat ulah dirinya.
Tak menghiraukan Zain, sekejap memalingkan pandangan, Aku berjalan kembali seperti biasa.
Ketika jam pelajaran matematika usai
"Kau mau kemana Anita?" ucap Zain ketika aku melewati meja duduk miliknya.
"Olahraga," singkatku.
"Oh, begitu ya. Tapi ini hal wajar kan....?" gumam Zain.
Zain kemudian mengendurkan ikatan dasi di leher serta pengikat pinggang celana bersamaan melepaskan baju seragam sekolah yang ia kenakan.
Teriakan panik seluruh siwsi yang berada satu ruangan menyaksikan ulah Zain tersebut, beramai-ramai memukulinya.
"Apa-apaan sih kamu ini!" pekikku menghantam Zain diikuti beberapa gadis lainnya.
Plukkkk..
Plakkk..
Plukkk....
Plekkk.....
Selama sebulan terakhir, Aku mulai menyadari tentang tingkah laku dan persepsi Zain yang salah mengenai apa sebenarnya sekolah itu bagi dirinya.Tapi, tetap saja aku gak mau ambil pusing.
"Ajak aku ke tempat ini!" jelas Zain menunjukkan brosur menu makanan resto padaku ketika aku lagi belajar buku pelajaran sekolah.
"Ogah!"
"Kenapa sih? Memangnya kau gak tau apa burger jumbo? Burger jumbo loh!"
"Sudah berulang kali aku katakan, sehabis pulang sekolah aku harus belajar!" bentakku pada Zain yang terus merengek.
"Burger, burger, burger," teriakan Zain pada telinga kiriku.
Benar saja, sekembalinya Zain kesekolah, dia selalu mengikutiku kemanapun. Sampai-sampai, Aku kesulitan tuk fokus belajar.
"Anita," sapa buk Dewi kemudian terkejut melihat Zain yang saat itu berada di sisiku.
"Hah? Sedang lihat apa kau?" sahut Zain memasang wajah sangarnya menatap buk Dewi.
"Cup cup cup sudah jangan dilawan," lanjutku mengelus punggung Zain layaknya seekor peliharaan.
"Aku membencimu! Pergi sana!" ketus Zain masih menatap sinis buk Dewi.
"Kamu juga sama," gerutu ku melirik Zain.
"Apa!" Zain memalingkan pandangan menatapku seketika menarik kedua sisi kera bajuku.
"Cu-cukup sudah hentikan! Zain, kamu tidak boleh kasar dengan perempuan! Ini ibu pinjamkan salah satu buku kesayangan ibu. Sudah ya, jangan berkelahi," jelas buk Dewi pergi meninggalkan kami berdua.
Setelah mengambil buku tersebut, Zain membuka setiap isi lembaran.
"Disaat tangannya merangkul dan memelukku dengan lembut, dadaku mulai berdegup kencang," ucap Zain membaca potongan kalimat buku tersebut dan langsung memeluk tubuhku memperagakannya.
Setelah kupikir-pikir dan terus kupikir tentang maksud perkataannya, untuk pertama kalinya aku lepas tangan terhadap suatu masalah.
Keesokan harinya di jam pelajaran sastra.
"Pak, Apa yang dimaksud dengan menaruh perhatian lebih kepada seseorang?" ujar Zain mengangkat sebelah tangan menanyakan sesuatu.
"Kamu harus menjaga perasaannya."
"Bagaimana cara menjaga perasaannya?" lanjut Zain.
Kringgggg!!!!! (Jam pelajaran sekolah usai).
Tanpa mendapat kepuasan atas peryataan dari guru, Zain hanya bisa mencari arti itu sendiri.
Seluruh siswa/siswi telah pergi meninggalkan ruangan terlebih dahulu, menyisahkanku dengan Zain.
"Mereka kelihatan senang sekali. Aku yakin mereka bakal pergi makan bareng atau main lempar bola. Enak kali kalau bisa seperti mereka," gumam Zain berdiri dari sisi jendela melihat beberapa siswa/siswa berjalan berpulang sekolah bersama.
"Hei, Anita," lanjut Zain melirikku menunjukkan brosur miliknya kembali.
"Sudah aku katakan, Aku gak akan pergi kemanapun! Lagian sebentar lagi ujian akhir semester."
"Lagian cuma pergi makan burger doang kok, wajar kalau pergi bareng temen bukan? Aku sih mau kali pergi bareng denganmu. Soalnya, gak ada yang berani menatapku selain kamu," lirih Zain memalingkan kembali pandangan.
"Salah sendiri, siapa suruh kamu selalu melototi, mengancam dan menghajar mereka," singkatku melanjutkan menulis beberapa rumus soal catatan pelajaran.
Zain terdiam tak berkata apapun, mungkin ia telah menyadari akan sikap dirinya yang selama ini salah.
"Kamu tau Zain, tentang sambutan pembukaan upacara? Sambutan khusus dari murid baru dengan nilai tertinggi? Sebelumnya, Aku selalu mendapatkan nilai tertinggi dan aku selalu berjuang untuk mencapainya. Tapi saat itu, bukan aku yang di panggil," lanjutku mengingat hari penyambutan siswa/siswi baru.
Zain mulai kembali melirik bersimpati akan diriku.
"Jadi mulai sekarang, Aku harus memperbaikinya dan akan kubuktikan di ujian akhir semester nanti. Karena alasan itu. Maka dari itu, aku gak punya waktu untuk sekedar bermain-main ataupun menikmati burger," jelasku kembali menatap sebuah rumus pelajaran yang sangat sulit di atas mejaku.
Zain melangkah perlahan, kemudian berhenti di hadapan meja belajarku mengamati pelajaran yang sedang ku kerjakan.
"Oh, kalau itu, pertama-tama kamu harus menemukan dulu titik kordinat untuk simpangan disini. Lagian jawabannya salah nih. Harusnya, B\=4 bukan B\=8," jelas Zain menunjuk buku soal pelajaran yang ada di meja.
"Sekarang aku ingat, siswa kelas sepuluh yang harusnya memberi sambutan tapi gak masuk sekolah, yaitu Zain Azriel," batinku terkejut mendongak menatap Zain.
Keesokan harinya di kantin sekolah.
"Ah, Anita! Kenapa kemarin kamu langsung pulang sih?" sapa Zain tersenyum semringah.
"Cih," pekikku bangkit pergi meninggalkannya.
"Kenapa sih?" lanjut Zain menghentikan langkahku.
"Maaf saja, tapi sampai akhir ujin semester, kamu adalah musuhku. Mulai sekarang jangan ganggu waktuku ketika aku lagi belajar," jelasku kembali berjalan.
"Memang apa asiknya belajar? Tiap pertanyaan pasti punya jawaban, jadi pasti gampang kan?" ujar Zain santai.
Aku membalikkan diri menatap Zain yang semudah itu berkata menyepelekan pelajaran.
"Apa segitu bencinya kamu denganku?" lanjut Zain berlalu pergi.
Terus memikirkan ucapan sepele Zain, hingga akhirnya aku terhenti di depan pagar pembatas lapangan basket.
"Sialan! Sial! Sial! Kenapa aku jadi kesal begini!" ucapku menendang-nendang pagar besi tersebut.
Dengan nafasku yang masih terengah-engah, "Aku harus belajar, gak perlu peduli dengan orang lain, karena itulah motoko selama ini."
Seseorang menarikku kedalam ruangan kelas ketika aku berbalik arah berjalan ingin menuju ruangan kelas.
"Mereka ini, bukannya orang-orang yang telah di hajar Zain ketika ingin memalak ya?" batinku terduduk di lantai memperhatikan sekelompok kakak kelas berbincang-bincang.
"Em kamu wanita yang sering bersama monster itu kan?" tanya seorang pria kakak kelas bernada lembut.
"Iya kak."
"Bisa tolong sampaikan maaf perbuatan kami kemarin padanya?"
"Kirain ada hal apa sampai menarikku seperti ini," pikirku singkat.
"Maaf, hubungan kami saat ini sedang tidak baik-baik saja," singkatku.
"Seperti itu ya?"
"Maaf, apa boleh aku belajar disini?" lanjutku singkat.
"Heh? Ah, silahkan."
Dengan sigap aku mengeluarkan buku pelajaran dan menulis di lantai ruangan. "Benar, setelah Zain muncul dihadapanku, semua jadi berantakan. Aku hanya perlu menenangkan pikiran untuk belajar."
Bruaak!!!!!!!! (Pintu terbuka)
"Dimana Anita!" pekik Zain berdiri di pintu ruangan.
"Anita?" lanjutnya melirikku.
Segera aku bergegas bangkit karena tau akan hal bodoh yang Zain bakal perbuat.
"Kampret! Apa yang kalian laku..."
"Sudahlah, pergi sana," ucapku berdiri menghalangi langkah Zain yang ingin menghajar kakak kelas.
"Mana mungkin kubiarkan! Bagainana bisa aku diam ketika tau kalau mereka telah menculik kamu!" kecam Zain menghempaskan tanganku.
"Akan kubunuh mereka semua!" lanjut Zain melangkah kembali menatap sinis.
"Sudahlah, sudah henti...." Menggenggam kembali sisi tangan kiri Zain.
"Berisik!" Bentak Zain kembali menghempaskan kepalan tangan tepat mengenai di wajahku.
Mendapati kepalan keras tangan Zain, membuatku terduduk tunduk sekaligus menutup darah yang telah mengalir dari lubang hidungku.
"Ka-kamu gak apa-apa?" ujar kakak siswi kelas mendekatiku.
"Aku, Aku udah gak tahan lagi!" batinku mengecam tingkah laku Zain sekaligus melirik Zain.
"Kita akhiri semua disini!" bentakku menghentikan Zain yang hendak memukul kakak kelas.
"Aku sudah muak bermain teman-temanan dengamu! Enyalah dari kehidupanku! lanjutku bangkit berdiri dengan tubuh tertatih.
"Mungkin selama ini kamu berharap, Aku bakal kasih hubungan tertentu yang kamu cari. Maaf, tapi aku gak bisa. Soalnya bagiku semua itu hanya buang-buang waktu saja," jelasku kembali.
Zain terkejut bingung serta terperangah mendengar ucapan dariku. Kemudian ia menundukkan pandangan begitu lemah. "Begitu, ya?"
Dengan menundukkan pandangan, Zain pergi meninggalkan ruangan kelas saat itu.
Semua kembali seperti sedia kala, Zain kembali sibuk dengan rutinitasnya bermalas-malasan menghabiskan waktu untuk hal yang tak berguna, sedang aku berfokus belajar pada semua mata pelajaran.
***
Sampai disini dulu kak, tanpa banyak iklan karena masih sikit yang favorit, yok lanjut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!