NovelToon NovelToon

Dazzling Society

Episode 1; Aku Zoey Park

Bagaimana aku akan mendeskripsikan diriku pada kalian?

Namaku Zoey Park atau Park Zoey, sama saja.

Usiaku saat ini 33 tahun dan aku tinggal di Paris, separuh hidupku aku habiskan di kota ini. Ya, negara yang penuh dengan romantismenya itu. Apa kalian pikir aku romantis dan menjalani kisah romansa yang indah?

No comment!

Apalagi yang harus aku ceritakan?

Apa aku cantik?

Tentu saja, dari ujung rambut sampai ujung kaki semua orang mengakuinya. Keluargaku dikaruniai oleh visual yang luar biasa. Ayahku bernama Park Young Nam yang merupakan keturunan Korea asli dan Ibuku bernama Leona Cohen, memiliki darah Korea-Canada yang berasal dari nenekku yang Korea dan kakekku yang orang Canada. Wajahku tentu saja mewarisi keelokan itu.

Bagimana kecerdasanku?

Kalian tahu spons? Sepertilah otakku. Otakku seperti spons yang dengan mudah menyerap semua pelajaran dan ajaibnya, tanganku juga cukup berbakat untuk menggambar. Jadi bisa dikatakan, aku tidak hanya cerdas namun aku adalah seorang jenius yang berbakat.

Kaya?

Jangan ditanya lagi. Keluargaku memiliki banyak perusahaan di berbagai cabang mulai dari poperti, perhotelan, prodak makanan, bahkan beberapa lisensi obat-obatan. Lalu aku? Tidak buruklah, saat ini aku adalah CEO sebuah hotel bintang lima di Kota Paris dan eksekutif desainer untuk sebuah brand lokal di Paris.

Dunia ini tidak adil bukan?

Satu orang bisa memiliki semua itu dalam satu gengaman. Aku adalah orang sempurna yang dilahirkan dari keluarga berada.

Orang-orang iri denganku?

Tentu saja, aku bisa merasakannya dengan jelas sekali. Mereka merasa sangat tidak adil karena aku bisa memiliki semuanya. Bahkan aku bisa mendapatkan laki-laki kelas atas manapun yang aku mau jika aku menginginkannya.

Bahagia benar kan aku?

Cih!

Itu yang semua orang pikirkan tentangku.

Tapi kenyataannya aku adalah orang yang paling menyedihkan, orang yang paling kesepian, dan orang yang paling membenci keluargaku dan diriku sendiri. Tidak sepenuhnya benci sih. Tapi aku benar-benar merasa tidak beruntung dilahirkan dalam keluarga ini. Kenapa aku harus dilahirkan menjadi Zoey Park? Anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Park?

Bahkan aku iri dengan kakakku Dany Park yang pengecut itu.

Aku iri dengan adikku Juna Park yang sebenarnya imut tapi pemalas itu.

Mereka semua mendapatkan kebebasan karena mereka laki-laki di keluarga Park. Kenapa aku perempuan sendiri?

Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Semakin aku bertanya, aku justru semakin tidak menemukan jawaban apapun. Tidak ada yang bisa menjawabnya. Aku bahkan tidak memiliki satu orang pun yang bisa aku sebut sebagai teman. Aku selalu bertanya, apa gunanya perjuanganku, apa guna hidupku, dan apa gunanya aku hidup.

Aku masih ingat kata-kata Ayah saat menyuruhku pergi ke Jerman untuk menempuh pendidikanku, “Hati-hati Zoey, setiap orang yang mendekatimu pasti memegang belati di tangannya. Begitu dia menemukan kelemahanmu, kau akan ditikamnya...” ucapan Ayah itu tertanam dalam diriku sehingga aku selalu waspada dengan siapa saja yang mendekatiku. Membuatku menjadi orang yang begitu dingin dan kesepian.

Awalanya, aku pikir aku cukup dekat dengan Kak Dany, tapi suatu ketika ia berkata padaku, “Kau tidak boleh percaya dengan siapa pun Zoey, karena mereka lebih percaya dengan uangmu daripada ketulusanmu...” Kak Dany mengatakan hal itu ketika usiaku baru beranjak 12 tahun. Aku baru paham bahwa saat itulah hubungan harmonis kakak-beradik kami berakhir. Usia kami hampir terpaut 11 tahun, setelah mengatakan hal itu, ia menjalankan wajib militernya. Sepulangnya ia dari camp militer dan menyelesaikan kuliahnya, ia bukan lagi kakakku yang menyenangkan dan ramah, tiba-tiba ambisinya tinggi dan dia menjadi begitu dingin. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi ia begitu pengecut karena meninggalkanku sendirian seperti ini. Waktu itu, aku merasakan rasa kehilangan yang luar biasa. Hidupku serasa hancur begitu Kak Dany pergi dan aku mulai menyadari bahwa aku tidak dibutuhkan di keluarga ini.

Sedangkan aku dan Juna, kami lebih banyak bertengkar. Usia kami hanya terpaut dua tahun dan dia sering sekali membuatku kesal dengan tingkahnya yang menyebalkan. Kami dekat dengan tanda kutip, tidak pernah akur.

Aku benar-benar tak mengerti kenapa hidupku tidak adil seperti ini.

Pada siapa aku minta tolong? Siapa yang akan menolongku dari semua monolog ini?

Aku tidak banyak berharap, aku hanya menyimpannya dalam hatiku yang menjadi diari yang ku simpan rapat-rapat. Bahkan pencitraan itu paling penting di keluarga Park. Tidak perlu orang tahu kelemahan keluarga kami. Cukup aku bahagia dengan memakan aura iri dari mereka. Mengenaskan sekali bukan?

Jadi jangan salahkan jika hatiku tumbuh menjadi hati yang tak mudah percaya, dingin, dan tak berperasaan. Aku dibesarkan dengan semua itu.

Aku...

I don't even know how to describe the person in me more.

Can you stay with me more?

No. Please, stay with me!

***

Episode 2; Perintah Kabur di Masa Lalu

“Apa yang dilakukan Ice Princess di tempat seperti ini?” aku menoleh, mencari sumber suara itu. Bukannya ke ge-eran, namun rumor itu juga sampai di telingaku. Aku tidak tuli dan banyak orang yang memberikan julukan aneh itu padaku. Aku mendengus pelan, uap tipis terlihat keluar dari hidungku. Walaupun ini belum musim dingin, udara sudah cukup membuat kulitku pedih dan kering.

Aku menemukannya, seorang laki-laki kurus dan kecil itu berdiri di atas pagar tembok pembatas sekolah sambil mengulum permen lolipop di mulutnya. Aku menatapnya tajam dan terkesan meremehkan. Laki-laki itu masih SMP, masih anak-anak.

“Bukan urusanmu, Bocah!” jawabku ketus, tak ingin meladeninya.

“I know...” bukannya pergi tapi bocah itu justru mendekatiku.

“Cih...” mau tak mau aku mendecakkan mulutku. Merasa heran dengan kepercayaan diri bocah itu, “mau apa kau?”

“Tidak ada, hanya penasaran dengan penerus Keluarga Park. Zoey Park. Itu kan namamu?” bocah itu tersenyum dengan sinis, sudut bibirnya terangkat menyebalkan sambil menatap nametag di bajuku.

“Kau siapa?”

“Sudah mulai penasaran denganku?” ia tersenyum lagi, kini aku bisa melihat kilatan di matanya yang yang bisa dikatakan cukup besar untuk seorang laki-laki. Mata indahnya yang bulat hitam itu tidak cocok dengan wajahnya yang tengil. Benar-benar sangat menyebalkan.

“Terserah kau sajalah...” aku muak berurusan dengan bocah seperti dirinya.

“Aku anggap jawabanmu itu sebagai kata iya...” jawabannya membuatku melotot. Bocah itu kini meloncat turun dan bersandar di pagar pembatas sekolah. Ia terus mengamatiku dengan tatapan yang aneh, membuatku benar-benar risih.

Aku tak ingin lebih lama lagi di tempat ini. Bahkan di tempat yang sudah kugunakan untuk bersembuyi ini kini sudah menjadi sama, sama tidak menyenangkannya dengan sekolah ini. Terlebih lagi ada seorang bocah pengganggu yang sangat menyebalkan.

“Zoey!” reflek aku berhenti di tempat, saat bocah itu memanggilku dengan begitu akrab. Jelas-jelas aku lebih tua darinya. Enak saja dia memanggilku seperti itu!

Aku sudah memutusakan untuk mengabaikannya ketika ia menyahut lagi dengan lebih lantang, “jangan mau dijodohkan!”

“APA?!”  aku keget bukan main dan berbalik. Langkahku semakin cepat dan tak segan-segan aku mencengkeram kerah bocah itu. Tinggi kami hampir sama, membuat mata kami sejajar, aku menatapnya tajam.

Rasa kesal itu solah menggila bagaikan tornado di otakku karena ucapan bocah sialan ini. Bagaimana ia tahu apa yang sedang menganggu pikiranku? Aku masih kelas tiga SMA, aku masih sangat muda, akan tetapi keluarga besarku sudah mencarikan jodoh untukku. Tentu saja, aku tidak bisa menolak, aku juga tidak mungkin lari. Keluargaku termasuk keluarga kaya yang terpandang dan tentunya akan sangat mudah bagi orang tuaku untuk mencariku. Aku menyadari bahwa aku masih belum cukup dewasa untuk bisa bertahan hidup sendiri. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah melampiaskan emosiku di lorong pemisah antara gedung sekolah senior dan junior, inilah salah satunya tempatku melarikan diri. Tapi sekarang, di tempat ini pun ada seseorang yang mengusik ketenanganku. Aku sangat membenci diriku sendiri.

Sekolah ini benar-benar sempit! Sekolah swasta ini memang sekolah elit yang mencakup jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Siswanya pun berasal dari keluarga kaya yang sanggup memfasilitasi semua pembiayaan program untuk anak-anaknya. Adapun ‘anak-anak miskin’ di sekolah ini termasuk orang yang pintar dan menjadi siswa penerima berasiswa sebagai salah satu ‘program pelayanan masyarakat’.

Bukan nilai yang menentukan statusmu, tapi kekayaan keluargamu. Cih. Aku benar-benar muak dengan semua itu. Aku juga sangat membenci sekolah ini. Aku tidak bisa menemukan seorang pun yang dapat dijadikan teman. Teman yang kata orang tuaku tidak akan pernah aku temui seumur hidup itu. Semuanya hanya mengincar kesuksesan keluargaku semata.

Persetan dengan semua itu!

Aku sangat membenci keluargaku.

“Andai saja dia itu laki-laki!” Aku terkejut saat mendengar Ayah berteriak pada Ibu. Aku baru saja masuk SMA saat kenyaatan itu menyadarkanku. Aku berdiri di balik pintu kamarku yang sedikit terbuka dan mendengar semuanya, "“Kenapa dia harus lahir sebagai anak perempuan?”

Hatiku terasa begitu pedih mendengar perkataan Ayah. Apa selama ini ia tidak menginginkanku ada di sini? Kenapa Ayah begitu membenciku? Aku tahu Ayah selalu bersikap dingin padaku, tapi aku tidak tahu ia sampai membenciku sepeti ini.

“Ayah, kan ada Dany dan Juna! Tak ada sangkut pautnya Zoey dengan semua ini!” ibunya mencoba menenangkan Ayah.

“Tapi Dany dan Juna itu tidak seperti Zoey! Aku tidak mungkin menujuk Zoey sebagai pewaris perusahaan kita. Ia seorang wanita!” suara Ayah bergema di telingaku. Jadi ini semua masalah harta? Masalah aku adalah seorang wanita?

Aku menutup pintu kamarku dengan hati yang sedih. Aku tidak ingin mendengarnya lagi. Aku memandang rak buku dihadapanku yang setinggi langit kamar dengan hati yang kosong. Aku juga melihat dinding meja belajarku penuh dengan tempelan ketas berwarna-warni yang berisi semua kerja kerasku dalam belajar. Aku tahu Ayah tidak menyayangiku seperti Ayah meyayangi kakakku Dany dan adikku Juna. Aku berusaha keras agar Ayah melihat ke dalam diriku dengan cara belajar mati-matian untuk menjadi yang terbaik di sekolah. Aku bahkan membuang mimpiku jauh-jauh untuk masuk ke sekolah seni daripada ke sekolah yayasan terkutuk itu. Aku percaya bahwa Ayah akan menghargai usahaku kelak. Tapi ternyata semua itu tetap sia-sia. Aku tidak bisa mengubah kenyataan bahwa dia adalah serorang wanita. Semua kepercayaan dalam diriku menguap malam itu.

Tadi malam, seusai makan malam keluarga, untuk pertama kalinya aku mendengar itu. Perjodohan.

“Dany, apa Joon sudah setuju jika ia dijodohkan dengan Zoey?” pertanyaan Ayah membuatku membeku. Perjodohan?

“Sudah Yah, Joon bilang kalau Zoey sangat cantik. Ia mau bertemu dulu dengannya...” Dany menjawab pertanyaan Ayah dengan bangga.

“Baguslah, semoga Joon suka dengan Zoey. Jika keluarga Park dan Hwang bersatu maka kita akan menguasi Korea...” Ayah tertawa dengan senang. Lagi-lagi ini tentang harta. Kak Dany juga merasa lega ia berhasil membujuk temannya itu untuk dijodohkan denganku. Dan seorang Zoey? Aku terkejut sambil memandang Ibu, meminta penjelasan ini. Ibuku menggeleng, prihatin.

Kenapa tidak minta persetujuanku? Bukankan aku yang akan dijodohkan? Aku menatap Ayah dan Kak Dany dengan tatapan terluka. Ini benar-benar keterlaluan! Tanpa mengatakan apapun aku berdiri dan pergi ke kamar.

“Zoey!” panggilan Ayah untuk kali pertamanya aku abaikan. Aku menutup pintu kamarku dengan kencang. Aku ingin menangis, tapi menangisi apa? Aku tidak sedih tapi benar-benar marah.

Dan kini seorang bocah menyebut kata laknat itu. Dari mana dia tahu bahwa aku akan dijodohkan? Aku saja baru mengetahuinya tadi malam.

“Dari mana kau tahu itu?” Aku masih mencengkeram erat kerah bocah itu.

“Bukan rahasia umum kan? Di sekolah ini tidak ada yang bisa kita sembunyikan, bahkan kentut kita sekalipun...” bocah itu tidak berusaha melepaskan cengkramanku.

“Siapa kau?” tanyaku lagi.

“Aku hanya mengingatkanmu, jangan kau terima perjodohan itu atau kau akan menderita seumur hidupmu...” bocah itu melepaskan tanganku dalam sekali hentakan.

“Kenapa?” kini aku bertanya heran.

“Apanya?”

“Kenapa aku tidak boleh menerima perjodohan itu?” mataku bergetar menatap bocah itu.

“Boleh saja kalau kau memang mau menikahinya, aku hanya mengingatkanmu...” bocah itu menjawab dengan santai sambil merapikan kerahnya yang kusut.

“Lalu kenapa kau memperingatkanku!” aku masih bertanya dengan keras kepala. Apa maksud semua ini?

“Aku sudah bosan melihatmu sedih, hanya kasihan saja...” ia menatapku iba. Berani-berani dia mengasihaniku. Benar-benar menyebalkan!

“Kenapa?!” aku berteriak marah saat melihat bocah itu berjalan dan meloncat naik ke pagar, ia duduk di atas sana dan kembali memanggil namaku.

“Zoey, ingat wajahku baik-baik, kau berhutang budi padaku...” bocah itu lalu melompat turun dan menghilang sebelum aku kembali menghandriknya.

“Aku tak sudi mengingatmu, bocah!” aku hanya bisa menatap pagar pembatas itu dengan amarah. Aku tak tahu kenapa hidupku sungguh tak adil. Kenapa harus mengalami hal seperti ini dan tak memiliki kehidupan remaja normal pada umumnya?

Aku benci.

Episode 3; 14 Years Daydream

Paris

Empat belas tahun kemudian

Cahaya matahari yang masuk melalui kaca jendela di sebelah tempat tidurku membuatku membuka mata perlahan. Aku melirik jam di atas nakas, masih pukul sepuluh pagi. Aku menguap, mengusir sisa kantuk yang tersisa dari lemburku semalam.

Tepat setelah aku menenguk segelas air dingin dari dalam lemari pendingin, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku berjalan mendekati pintu dan membukanya.

“Selamat pagi Zoey?” ucap laki-laki kaukasoid itu. Lucas namanya, ia adalah partner desain yang sudah bekerja bersamaku selama enam tahun ini.

Desain?

Ya, aku berhasil menjadi desainer di Paris. Di Paris!

Ceritanya panjang sekali.

Bukan, jangan bayangkan ayahku menginjinkaku untuk menjadi seorang desainer. Beliau tidak pernah menginjinkan apalagi memberiku kesempatan itu. Aku mengusahakannya dengan Lucas. Aku bertemu dengannya saat kompetisi terbuka delapan tahun yang lalu. Kami kemudian menggabungkan style desain kami hingga menghasilkan sebuah karya yang unik dan berbeda.

Manajemen Brand mode La Red De Alice yang masih begitu belia itu juga aku serahkan semuanya ke Lucas. Jika aku ikut campur dalam perijinan brand itu, aku tidak tahu apa yang akan ayahku lakukan padaku atau padanya. Dan dia tidak tahu bahwa ayahku mampu untuk melakukannya.

Kalian pasti bingung, bagaimana aku bisa melakukannya?

Jawabannya tetap satu.

Kerja keras.

Aku kabur dari rencana perjodohan itu dengan alasan akan melanjutkan kuliahku di luar negeri. Bukan kabur tepatnya, awalnya aku tidak menyangka alasanku ingin belajar di luar negeri itu akan di setujui. Aku hanya mengarang cerita, tapi Ayah tiba-tiba langsung mengurus segalanya dan menyuruhku untuk meninggalkan Korea. Pernikahan itu otomatis tertunda. Begitulah ceritanya aku bisa sampai di  Jerman untuk kuliah bisnis, tentu saja. Aku menyelesaikan studiku dengan waktu yang bisa dikatakan lebih lama. Bukan karena aku malas tapi aku memang sengaja melakukannya.

Aku mengikuti kelas desain di luar kegiatan belajarku. Aku juga rajin mengumpulkan portofolio desain-desainku dan mengikuti berbagai kompetisi untuk meningkatkan skill dan kepekaanku terhadap perkembangan fashion. Aku sudah bilang kan kalau aku berbakat? Ya, walau tidak banyak, aku pernah memenangkan beberapa kompetisi sampai akhirnya aku bertemu Lucas.

Aku kemudian pindah ke Paris setelah selesai kuliah. Seolah Tuhan menginjinkaku, Ayah membuka cabang perusahan di Paris. Hal ini tidak aku sia-siakan begitu saja. Aku menawarkan diri bergabung dengan perusahaan itu. Selain aku butuh pengalaman kerja, kemampuan bahasa, dan pengetahuan tentang pasar di Paris membuat ayahku menginjinkan aku tinggal di sana. Mimpiku selangkah lebih dekat. Paris. Di sinilah aku tinggal sekarang.

Tak pernah sekali pun aku pulang ke Korea setelah itu. Aku menyukai kesibukanku di sini. Aku bekerja di hari kerja dan setelahnya, aku akan berkutat di studioku untuk mendesain karya-karyaku bersama Lucas. Aku mulai menyukai kehidupanku. Ya, aku menyukai rutinitas dan kesibukanku saat ini.

Setelah diingat-ingat, sejak aku tinggal di luar negeri, tidurku hanya sekitar 3-4 jam sehari.

“Pagi...” aku menyambut laki-laki itu dengan senyum cerah di wajahku. Ia sudah rapi dengan kemeja putihnya yang oversize dan celana jins yang membalut kaki jenjangnya. Aroma pafrumnya menguar melewati pintu dan masuk membelai hidungku.

“Apa sudah selesai?” Lucas kemudian masuk dan turun melalui tangga di sisi kanan kamarku menuju ruang lain yang aku jadikan sebagai studioku. Aku mengikutinya.

“Tentu saja...”

“Langsung aku bawa ya?” tangannya menyentuh gaun berwarna merah itu dengan hati-hati. Seolah ia gelas kaca yang mudah pecah.

“Iya, good luck ya...” kataku tulus. Laki-laki ini akan melangsungkan pernikahannya minggu depan. Ya, dia akan menikah, dengan orang lain, bukan denganku. Aku sendiri yang membuat gaunnya. Sungguh suatu kehormatan untukku bisa membuatkan gaun pernikahannya. Dia adalah satu-satunya teman yang aku miliki saat ini.

“Tentu saja...” Lucas mengambil gaun itu dan kembali ke lantai atas, “kau harus datang Zoey, aku ingin kau di sana menyaksikan wanita istimewaku menggunakan gaun yang juga istimewa.”

“Terima kasih...” ucapku tulus. Laki-laki ini benar-benar tahu cara menghargai orang, “aku pasti datang.”

“Aku akan membuatkan gaun pernikahanmu setelahnya, kau juga sudah saatnya menikah...” kata Lucas sambil menatapku penuh makna. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Teringat bahwa aku melupakan alasanku kabur sampai ke sini. Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Cinta? Bagaimana aku menemukan cinta jika aku tidak pernah memberikan kesempatan hatiku untuk menikmatinya? Aku terlalu sibuk untuk mimpi-mimpiku.

“Lain kali...” aku tertawa menanggapinya, “maafkan aku seharusnya aku mengantarnya, tapi aku ada meeting siang ini...” kataku mengalihkan perhatiannya. Aku melihat jam dindingku, masih cukup lama sebenarnya, tapi ada yang perlu aku siapkan sebelum acara meeting itu dimulai.

“Tak apa, aku tahu kau sibuk Zoey”, Lucas menepuk bahuku pelan, “kau benar-benar gila...” katanya yang secara tak langsung memujiku. Aku tahu itu.

“Cepat pergi saja, pasti Mia sudah menunggumu di bawah kan? Sampaikan salamku untuknya...” Lucas lalu memelukku dan mengucapkan selamat tinggal.

Aku kembali ke kamarku dan mulai membuka laptopku. Aku buru-buru membuka email dari Maéva Maurel, ia adalah asisten sekaligus sekretaris yang sudah berkerja denganku dari awal Ayah mengakuisisi hotel berbintang lima di Paris. Maurel sudah menghubungi berulang kali untuk memastikan aku telah membaca email itu. Wanita itu memang cerewet, tapi aku akui dia cerdas. Tanpanya aku tidak mungkin bisa mengerjakan pekerjaan ini. Perkerjaan ini bagai pisau bermata dua. Salah sedikit saja bisa membuatku mati kapan saja.

Ponselku kembali berdering. Aku meraihnya sambil membaca berkas di laptop, “Iya Rel, aku sudah membacanya. Tenangkan dirimu...” aku hampir selesai membacanya. Tidak ada yang bermasalah dari dokumen ini. Sesuai dengan ketentuan yang kemarin disepakati dan hanya tinggal menandatangi kontrak dengan pattisier itu dan semuanya beres. Kami berencana membuka satu lagi lounge VVIP di hotel.

“Bukan Nona Park, bukan itu yang ingin saya sampaikan...” katanya tergesa-gesa.

“Ada apa?” dadaku ikut berdebar mendengar gelagat Maurel yang tidak biasa.

“Tuan Park menunggu Anda satu jam lagi di kantor...” perkataan Alice membuatku terkejut. Apa yang dilakukan ayahnya di Paris?

“Kenapa dia di sana?” pertanyaan bodoh. Tiba-tiba saja otakku tidak berkerja. Perusahaan itu jelas miliknya, dan jelas ia bebas ke sana sesukanya.

“Saya...”

“Lupakan, aku ke kantor sekarang...” aku bergegas untuk membersihkan diri dan mulai bersiap diri ke kantor. Aku harus menempuh perjalanan yang cukup lama jika harus menggunakan mobil, jadi aku memilih trasportasi umum untuk mobilitas di kota ini. Aku menyambar laptopku dan memasukkannya ke tas lalu bergegas menuju kantor yang jaraknya kurang lebih 30 menit dari apartemenku.

Pikiranku berkelana sepanjang perjalanan.

Apa yang diinginkan orang tua itu di sini?

Kenapa ia tak menghubungiku terlebih dahulu?

Tak ada masalah di perusahaan, jadi seharusnya ia tak perlu mengkhawatirkan aku di sini.

Mengkhawatirkanku?

Aku tersenyum kecut menyadari pemikiranku yang sangat tidak masuk akal itu. Sejak kapan ia menghawatirkan anaknya? Apa dia sudah berubah?

“Nona Park!” Maurel nampak gelisah menungguku di lobby kantor. Aku menghampirinya sambil melirik jam  tanganku. Masih ada limabelas menit sebelum Ayah datang. Kenapa dia sudah ribut di sini?

“Tuan Park sudah menunggu Anda...” aku menatap Alice dengan rasa bersalah. Ia pasti kebingungan mencari alasan kenapa aku belum berada di kantor. Aku menepuk bahunya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Mungkin.

“Appa...” panggilku begitu aku melihat wajah Ayah. Namun, berbeda dengan sapaanku yang lembut, ia justru berdeham tegas dan menunjuk dengan tatapan matanya seseorang yang ada di hadapannya.

“Presdir...” ralatku kemudian. Bahkan anaknya pun tak memiliki hak untuk memanggil ayahnya, Ayah.

“Selamat siang Zoey...” perhatianku berlaih saat seseorang memanggilku. Laki-laki yang datang bersama ayahku itu tersenyum padaku. Senyum yang menawan untuk wanita manapun kecuali diriku.

Mimpi buruk itu datang padaku.

Masa lalu itu berjalan dengan kejamnya ke arahku.

“Seperti biasa, kau masih tetap cantik seperti saat terakhir aku melihatmu Zoey...”

 

 

---

Note:

Appa : Ayah, Bapak,

 

Bagaimana jika orang yang tak ingin kau temui semur hidup tiba-tiba muncul dihadapanmu?

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!