NovelToon NovelToon

Kutikung Kau Dengan Bismillah

Bab 1

Suara dentingan gelas-gelas kaca yang saling beradu terdengar sangat meriah. Bercampur dengan teriakan-teriakan bersemangat dan dentuman musik yang menghentak dengan keras. Semakin menyemarakkan acara birthday bash yang diadakan di Boshe VVIP Club, Jogjakarta.

"Wuidiih, Freya makin jago aja sekarang minumnya," ujar Teresa, si birthday girl.

Freya terkekeh seraya menjawab, "gue ngimbangin kalian aja. Biar nggak dikatain cupu mulu. Maleees,"

"Siapa sih yang berani ngatain cewe kesayangan aku ini cupu?" Dion menyahut. Si tampan memesona itu merangkul pundak Freya dengan mesra.

"Tuh, si Tere sama Hilla!" Freya pura-pura mengadu.

"Sok ngadu lo, Frey," Hilla tertawa pelan sambil melemparkan kulit kacang ke wajah Freya.

"Btw, gue udah penuhin janji ke kalian buat ngadain birthday bash di Jogja, nih. Dua bulan lagi ulang tahun Kelvin, kan? So, gimana kalau kita tantang Kelvin buat ngadain party-nya di Bali? Gimana?" Teresa menaik-turunkan alisnya, memberi kode pada teman-temannya.

Freya langsung menjentikkan jarinya di udara dan berseru antusias, "Hotel sekalian Kelvin yang bayarin. Gimana? Oke nggak tuh?"

"Akomodasi sama makan ditanggung sekalian, bisa lah yaaa. Iya kan, Vin?" Hilla ikut menimpali.

"Mau sekalian bayarin kita shopping, itu lebih boleh lagi. Yuhuuu!" Mega tak mau kalah memberi usulan. Ia menepuk-nepuk kedua tangannya bersemangat. Yang langsung disambut seruan persetujuan dari ketiga teman perempuannya.

"Dikata bapak gue punya mesin pencetak uang, kali!" Kelvin mendengus. "Nggak ada acara bayarin kalian shopping. Gue paham segila apa kalian kalau udah masuk mall. Bisa jual ginjal gue buat bayarin belanjaan kalian,"

"Idih, pelit amat.. bapak lo kan tajir, Vin. Jangan pelit-pelit amat, lah," cibir Freya.

"Lo ngaca dong, Freya sayang.. ketimbang bapak gue, bapak lo itu lebih banyak duitnya,"

"Kalau-kalau lo lupa, gue udah modalin lo semua liburan ke Lombok tahun lalu," Freya mendebat.

"Dan biar lo tetap ingat, bapak lo adalah yang paling tajir di antara kita semua. Jadi ya wajar aja lah, Frey," Kelvin terkekeh sambil mengedipkan sebelah matanya pada Freya.

Freya mengibaskan tangannya di udara. "Nggak mau tau. Pokoknya, ultah lo nanti harus dirayain di Bali. Lo yang bayarin kita semua, titik!!"

"TITIK!!" Teresa, Hilla dan Mega menimpali dengan serempak.

"Yeay! Dua bulan lagi kita party di Bali, gaees. Cheers!" Seru Freya bersemangat sambil mengangkat segelas vodca miliknya.

"CHEEERRSS!!"

Freya dan ketiga teman perempuannya mengecup sekilas pipi Kelvin, kemudian turun ke lantai dansa. Menari energik mengikuti alunan musik yang kian menggila.

Kelvin mendengus lagi. Kalau sudah begini, mau tidak mau, ya harus mau.

Dion dan Galih tertawa melihat wajah masam Kelvin. Pasalnya mereka berdua tahu, kalau Kelvin sudah mendapat ultimatum keras dari kedua orangtuanya. Kelvin diminta untuk mengontrol uang jajannya yang kelewat boros. Kalau tidak, ia akan dilempar ke Lampung. Biar saja ikut saudara sepupu ayahnya, bertani kopi di daerah Liwa atau malah disuruh  mengurus gajah saja di Way Kambas sana.

Galih menepuk bahu Kelvin dan berbisik, "Tenang aja, Vin. Ntar biar gue sama Dion yang bantu bayarin. Lo nggak akan keluar banyak modal. Dan nggak akan diungsikan ke Lampung sama bapak lo."

Kelvin langsung tersenyum lebar dan merangkul kedua sahabatnya. "Kalian berdua emang the best!"

Semakin malam suana Boshe Club semakin memanas. Musik yang diramu sang DJ kian terdengar liar. Freya dan teman-temannya semakin hanyut di dalamnya. Menari tanpa beban dengan keadaan yang sudah mulai setengah sadar akibat mengkonsumsi alkohol yang tergolong cukup banyak.

"Lo beneran nggak mau nyoba, Frey? Ini enak, asli!" Teresa lagi-lagi menawarkan sesuatu kepada Freya.

"Nggak, ah. Gue minum oke, tapi ngobat nggak!" Dan lagi-lagi, Freya menolak.

"Ah, payah! Lo katanya nggak mau dibilang cupu? Tapi ginian aja, lo nggak berani make," ejek Teresa.

"Iya, tuh. Jangan ngaku gaul kalau nyicip mecin aja lo nggak berani," Hilla ikut mengompori.

Dion merangkul bahu Freya dan turut menimpali, "Dikit aja, Beb. Nggak bikin lo kenapa-napa juga. Malah bikin lo serasa di surga. Tubuh lo bakal berasa terbang di awang-awang. Lepas.. bebas.. seperti hidup tanpa beban. Percaya sama gue!"

"Lo bakal ngerasain yang namanya melayang di udara. Enjoy, nikmat..." Kelvin memejamkan mata dengan raut wajah terlihat tanpa beban.

Freya tampak berpikir keras. Selama ini ia memang sedikit nakal. Kelap malam dan minuman keras sudah mulai akrab dengan kehidupannya. Tapi untuk narkoba dan sejenisnya, sejauh ini Freya belum berani menjajal.

"Ayo, lah.. sedikit aja.." Teresa masih saja merayu.

"Itu jenisnya apa? Nikotin? Sabu-sabu? Ganja?"

"Heroin, Frey."

Setelah kembali berpikir beberapa saat, akhirnya Freya mengangguk. Membuat semua teman-temannya bersorak kesenangan. Kecuali Galih, yang malah terlihat tidak senang dengan keputusan yang diambil Freya.

"Setelah lo nyicipin rasanya, lo pasti bakal ketagihan. Dan gue jamin, lo nggak bakalan pernah nyesel!" Teresa segera menyerahkan bungkusan kecil berisikan mecin ke tangan Freya.

**

Freya mengemudikan mobil sambil sesekali memegangi kepalanya yang terasa berat. Selain diserang rasa kantuk, kepalanya juga pening akibat pengaruh alkohol yang tadi ia konsumsi. Meski begitu Freya tetap berusaha untuk fokus menyetir, tidak mau mati sia-sia jika sampai mobil yang dikendarainya menabrak mobil lain atau trotoar jalan. Freya tidak mau mati muda.

Freya memutuskan untuk kembali ke hotel lebih dulu. Dengan berbagai alasan, ia mencoba menghindar saat teman-temannya memaksanya untuk mencipipi heroin. Karena sejujurnya Freya masih ragu untuk menjajal barang haram tersebut. Freya takut menjadi pecandu dan malah masuk penjara. Akhirnya dengan sedikit bantuan dari Galih, Freya berhasil kabur dari teman-temannya.

"Pening banget kepala gue. Seumur-umur baru tadi gue minum banyak banget." Ringis Freya sambil memegangi kepalanya.

Freya sedikit bernafas lega saat terjadi kemacetan di sepanjang ruas jalan menuju hotel. Setidaknya, ia bisa memanfaatkan waktu untuk sedikit mengurangi efek alkohol di tubuhnya. Freya menenggak banyak air mineral dingin dan sedikit membasahi kepalanya dengan air tersebut.

Di tengah kesibukannya mengusir rasa pening di kepala, Freya dikagetkan dengan pemandangan tak jauh di depan sana. Berjarak tak lebih dari sepuluh meter dari tempatnya, Freya melihat bebarapa orang berseragam polisi sedang memeriksa kelengkapan kendaraan pengguna jalan.

"Mampus gue! Ternyata ada razia!" Gumam Freya, seketika langsung panik.

Bukan karena tidak memiliki SIM, Freya punya. Mobil sewaannya selama di Jogja pun semua suratnya juga lengkap. Yang membuat Freya panik adalah keadaannya yang setengah teler dan nekat menyetir sendiri. Juga karena ada heroin yang Teresa selipkan di dalam tasnya. Sudah jelas, Freya akan jadi sasaran paling empuk untuk digelandang ke kantor polisi.

Ingin putar arah, jelas tidak bisa. Di belakangnya sudah mengekor beberapa mobil dan motor. Kalau terus maju, sama saja menyerahkan nasib sendiri.

"Aduh, mampus! Mesti gimana gue?" Freya mulai gelagapan.

"Kalau sampai gue ketangkap, bisa habis gue sama papa! Nggak, gue nggak mau! Kabur! Iya, gue harus kabur!"

Freya memerhatikan para polisi yang sedang sibuk merazia para pengendara bermotor di depan sana. Perlahan tapi pasti, ia keluar dari dalam mobilnya. Dengan mengendap-endap, ia berjalan meninggalkan mobil.

Namun sayang sekali, salah satu polantas di sana mengetahui gerak-gerik Freya. Polisi itu meniup peluitnya dan berteriak dengan keras. Mengintrupsi Freya untuk berhenti di tempat.

Sontak Freya jadi kalang kabut dibuatnya. Ia buru-buru mengambil jurus langkah seribu. Berlari dengan cepat dan semakin cepat karena polisi itu mengejarnya.

Di tengah kebingungan dan ketakutannya, Freya melihat sebuah mobil pick up. Mobil bak yang tertutupi terpal biru di bagian bak belakangnya itu sedang terpakir di seberang jalan. Freya dengan segera berlari menghampiri mobil tersebut. Dan tanpa pikir panjang, Freya langsung melompat naik di bak mobil. Lalu, ia dengan cepat bersembunyi di antara karung-karung dan menutup rapat terpalnya.

"Semoga polisi kampret itu nggak berhasil nemuin gue. Bodo amat tas dan barang-barang gue yang ada di mobil itu. Gue kaya, nanti beli lagi. Iya, beli lagi!!" Rapal Freya, berusaha menenangkan diri sendiri.

***

"TOLONG!! HEY, SIAPA AJA TOLONG GUE!! GUE MAU PULANG!! GUE NGGA MAU HIDUP DI TEMPAT AJAIB INI! CEPETAN BAWA GUE KE KANTOR POLISI, BIAR GUE DIANTAR PULANG KE KOTA!! CEPAAAATTT!!" Freya menjerit sekeras-kerasnya, histeris setengah mati karena mendapati dirinya berada di sebuah tempat yang menurutnya aneh.

Saat ini Freya sedang duduk bersila dengan rambut ombrenya yang tampak acak-acakkan. Ia dikerumuni oleh banyak pemuda berbaju koko, juga para pemudi yang seluruhnya memakai kerudung. Mereka semua berkerubung membentuk lingkaran, menonton Freya yang jejeritan seperti orang tidak waras.

"Waahh, beneran kurang asem nih lo semua.. lo semua nggak mau nganterin gue pulang ke kota?" Freya menatap satu persatu santri dan santriwati di hadapannya. Sedangkan mereka yang ditatap hanya diam saja. Memandangnya dengan ekspresi aneh.

"Gue pingsan, nih! Gue pingsan loh kalau nggak ada yang mau nganterin gue pulang ke kota!" Ancam Freya. Dan lagi-lagi tak ada yang menanggapi, membuatnya semakin kesal. "Oke! Gue beneran pingsan nih, ya!" Ancamnya sekali lagi.

Freya sudah bersiap untuk pura-pura pingsan, namun terhalang saat terdengar suara seseorang menginterupsi.

"Ada apa ini ramai-ramai?"

Semua yang berkerumun di sana menoleh ke sumber suara. Freya menjulurkan kepala, berusaha melihat siapa pemilik suara itu. Tapi percuma, tidak kelihatan. Akhirnya Freya cuma mengedikkan bahu saja. Memilih meluruskan kakinya yang sudah pegal karena terlalu lama duduk bersila.

"Ini loh, Mas Irsyad.. Ada cewe aneh nyasar ke sini,'

Freya mendengus mendengar dirinya dikatai cewek aneh oleh seorang perempuan berkerudung ungu yang sedang berdiri membelakanginya.

"Cewe aneh nyasar?"

"Iya, Mas. Dari tadi teriak-teriak terus. Minta diantar ke kantor polisi katanya,"

"Coba aku lihat,"

"Silahkan, Mas,"

Lalu kerumunan tadi membelah diri, seperti memberi jalan untuk pemuda bernama Irsyad tersebut.

"Astagfirullah!" Irsyad langsung refleks memekik kaget. Melihat seorang perempuan duduk selonjoran dengan kaki dan paha putih mulus yang terumbar dengan bebas.

Sekilas, Irsyad juga tidak sengaja melihat belahan dada perempuan yang sedang membungkuk memegangi lutut itu. Buru-buru Irsyad membalikkan badan memunggungi Freya. Mulutnya pun sibuk merapalkan kalimat istigfar berkali-kali.

Freya yang juga kaget mendengar pekikan Irsyad, langsung menegakkan duduknya. Kepalanya mendongak, menatap seorang pria berstelan kemeja biru muda dengan celana kain warna hitam, berdiri di depanya. Freya mendengus melihat pria itu berbalik badan dengan cepat. Dan diikuti juga oleh semua pria yang ada di sana.

"Heh! Ngapain lo semua balik badan gitu sambil nyebut? Kalian pikir gue setan?!" Hardik Freya.

"Tolong ambilkan kain buat menutupi aurat perempuan itu," Suruh Irsyad pada siapa saja.

Perempuan berkerudung ungu yang tadi mengatai Freya aneh, langsung cepat bergerak. "Biar Zahra yang ambil, Mas." Katanya, lalu berlalu meninggalkan kerumunan.

"Kamu, siapa nama kamu?" Masih dengan tubuh membelakangi Freya, Irsyad bertanya.

"Hm? Lo nanya sama siapa? Sama gue?" Freya balik bertanya.

"Iya,'

"Lo pernah diajarin sopan santun, nggak? Kalau lagi ngomong sama orang itu menghadap ke orangnya dong. Bukannya malah munggungin gue begitu. Nggak sopan tau? Emang lo pikir gue nyeremin kaya mbak kunti, apa? Sampai nggak mau ngadep ke gue, buset," Gerutu Freya, kesal sekaligus agak tersinggung.

"Kalau mau ngomongin sopan santun, coba kamu ngaca dulu. Pakaian kamu aja jauh dari kata sopan," Sahut Zahra yang baru datang dengan membawa sebuah selimut. "Ini, pakai selimut ini buat nutupin aurat kamu. Supaya Mas Irsyad dan semua laki-laki di sini nggak harus munggungin kamu," Disorongkannya selimut berwarna hijau kepada Freya.

Freya menaikkan sebelah alis. "Ngapain gue harus pakai selimut? Gue nggak kedinginan keles,"

"Tadi kan saya bilang, buat nutupin aurat kamu. Mereka semua nggak mau lihat ke arah kamu karena takut dosa. Dosa karena melihat aurat perempuan yang bukan mahromnya,"

"Bah! Munafik!" Freya langsung tertawa keras mendengar penjelasan Zahra. "Tadi aja sebelum cowok satu itu datang,"-menunjuk Irsyad-"para cowok ini biasa aja kan? Mereka malah melotot ngeliatin gue, sampai matanya pada mau copot. Jelas banget lah kalau pada mupeng lihat body gue yang seksi ini,"

Mendengar penuturan Freya, Irsyad segera melirik satu persatu teman-teman prianya yang kini sedang cengar-cengir salah tingkah. Irsyad cuma menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas panjang.

"Mereka sedang khilaf!" Bela Zahra.

"Khilaf berjamaah selama hampir setengah jam?" Freya mencibir, "You think!"

"Sudah-sudah. Cepat tutupi aurat kamu," kata Irsyad.

Sambil berdecak malas, Freya akhirnya melilitkan selimut milik Zahra tadi ke tubuhnya. Sekarang Freya persis seperti ulat kepompong. Tubuhnya yang mungil terbungkus rapat dengan selimut tebal berwarna hijau daun.

"Udah, nih. Buruan balik badan! Penasaran juga gue sama tampang sok alim lo." Sinis Freya.

Irsyad perlahan membalikkan tubuhnya. Dan saat tubuh Irsyad sudah menghadap sempurna pada Freya, saat itulah mulut Freya terbuka dengan lebar.

Freya terperangah.

Freya terbelalak.

Freya terpesona.

Freya terkagum pada sosok pemuda tampan yang wajahnya tampak seperti bercahaya itu.

"Oh my Goddess.." desis Freya penuh kagum. "Demi tahu bulat lima ratusan, Justin Bieber berkolor aja kalah hot di bandingin lo,"Freya menatap Irsyad dengan mata berbinar-binar.

"Dasar perempuan gila," Celetuk Zahra.

"HEH! Sembarangan lo ngatain gue gila!" Freya melamparkan pandangan judes ke arah Zahra.

"Siapa nama kamu?"

Freya kembali mengalihkan fokus pada Irsyad, "Hm? Lo nanyain nama gue? Mau sekalian nanya nama orangtua sama alamat rumah gue nggak? Kali aja lo mau langsung ngelamar gue gitu kan," Freya mengedip-ngedipkan matanya dengan genit.

"Astagfirullah,," Irsyad bergumam pelan.

"Ngapain sih nyebut terus? Gue bukan setan. Nggak ada setan secantik dan seseksi gue,"

"Siapa nama kamu?" Ulang Irsyad, tidak mau menanggapi ocehan tidak jelas Freya.

"Panggil aja Sayang. Honey juga boleh. Bunda juga ngga apa-apa, sih. Tapi nanti aja kalau aku udah mengandung anak kamu," Freya kembali ngelantur.

Irsyad menggeleng pelan, mencoba sabar menghadapi gadis aneh di depannya ini. "Saya serius. Siapa namamu?"

"Duh, jangan serius-serius.. Pendekatan aja dulu," Freya terkekeh melihat ekspresi malas Irsyad."Oke, oke.., nama gue Freya,"

Irsyad mengangguk dan kembali bertanya, "Dari mana asal kamu?"

"Jakarta,"

Irsyad menaikkan sebelah alisnya, bingung. "Dari Jakarta? Gimana ceritanya kamu bisa sampai ada di sini?"

"Emang gue sekarang ada di mana sih?"

"Kamu nggak tau kamu ada di daerah mana?"

"Kalau gue tau ya gue nggak nanya dong, Ganteng.."

"Kamu ada Pekalongan. Di pondok pesantren Nurul Huda."

"Oh..," Freya ber-oh ria. "Jadi, gue sekarang ada di Pekalongan. Di pondok pesantren, ya.." Freya manggut-manggut dengan santai.

Sedetik.

Dua detik.

Tiga detik.

Seperti baru tersadar akan sesuatu, Freya mendongak menatap Irsyad. "Eh, ada di mana gue tadi?"

"Pondok pesantren Nurul Huda, Pekalongan." Ulang Irysad, memperjelas.

Freya diam, mengerjap-ngerjapkan matanya.

Irsyad dan orang di sana memandang Freya bingung.

Tiga detik..

Lima detik..

"PONDOK PESANTREN? KENAPA GUE BISA TERDAMPAR DI TEMPAT PENGASINGAN INI?? TIDAAAAKKKK!!!"

Setelah menjerit sekuat tenaga, Freya langsung terkapar pingsan.

"Astagfirullah!"

****

^^^Hay, salam kenal semuanya.^^^

^^^Aku penulis baru di noveltoon.^^^

^^^Semoga tulisanku bisa diterima dan dinikmati oleh pembaca.^^^

^^^Mohon untuk tidak berhenti membaca di bab pertama saja, ya..^^^

^^^'^^^

^^^Terima kasih .^^^

...Nav ❤️...

Bab 2

Freya terbaring di atas kasur tidak terlalu empuk milik Zahra. Tubuhnya masih tertutupi selimut hijau tebal yang juga milik Zahra. Sudah lebih dari tiga puluh menit Freya belum juga bangun dari pingsannya.

"Iki bocah pingsan opo mati yo? " Gumam Zahra, mengamati Freya yang masih memejamkan mata dengan damai.

"Hust, Zahra! Jangan ngawur kamu kalau ngomong,'" Tegur Ajeng.

"Habisnya dia nggak bangun-bangun dari tadi, Jeng. Udah dikasih balsem juga masih aja nggak bangun,"

"Yo mungkin dia sekalian capek, ngantuk juga. Jadi pingsannya lama,"

"Teori dari mana itu, Jeng?"

"Dari ngasal." Ajeng terkekeh.

Zahra ikut terkekeh dan mencubit pelan paha Ajeng.

"Engh..,"

Zahra dan Ajeng yang sedang bercanda langsung diam saat mendengar suara lenguhan. Keduanya menoleh ke arah kasur Zahra. Dan mereka mendapati Freya sudah membuka mata dengan perlahan.

Ajeng segera menghampiri Freya dan duduk di pinggiran kasur. Dengan ramah dia bertanya, "Hey, udah sadar?"

Freya hanya melirik Ajeng dan mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Alhamdulillah.. Aku tadi udah khawatir kamu ndak bangun-bangun," kata Ajeng.

"Iya. Kirain kamu tadi mati," celetuk Zahra.

Freya langsung melirik Zahra kesal. "Kalau gue tadi mati, lo adalah orang pertama yang bakal gue cekek pas gue jadi setan," sungutnya.

Ajeng tertawa pelan. Sementara Zahra memasang wajah sebal.

"Oh, iya.., tadi kalau ndak salah, nama kamu Freya, ya?" Tanya Ajeng.

"Iya, gue Freya. Nama lo siapa?"

"Aku Ajeng..," Ajeng mengulurkan tangan kanannya pada Freya, bermaksud bersalaman.

Freya pun menerima uluran tangan Ajeng dan berjabat tangan.

"Masya Allah.. kulit kamu halus banget, Freya. Kaya kulitnya kanjeng putri di keraton-keraton..," puji Ajeng, mengelus punggung tangan Freya yang memang putih dan halus.

Freya yang pada dasarnya sering narsis jelas langsung tersenyum lebar mendengar pujian dari Ajeng. "Elo adalah orang kesekian kali yang memuji kesempurnaan kulit gue,"

"Duh, aku loh jadi pingin punya kulit sehalus kulitmu, Frey. Mukamu juga mulus, ndak ada bekas jerawat sama sekali,"

Zahra mendengus mendengar pujian-pujian Ajeng untuk Freya. "Halah, Jeng.. Namanya wong kota, ya wajar kalau kulitnya halus. Pasti nggak pernah kerja, nggak pernah nyapu, ngepel, apalagi megang alat-alat dapur. Terus ya, perawatannya itu pasti di salon mahal. Coba aja kalau kamu perawatan mahal kaya dia, ya jelas bisa punya kulit kaya gitu," cerocos Zahra agak sedikit sensi.

"Idiihh, sok tau, lo!" Freya melirik Zahra sinis, "Asal lo tau aja ya, kulit mulus gue ini emang udah bawaan orok. Gak perlu perawatan mahal pun gue memang udah putih mulus tanpa cacat. Bilang aja lo sirik!"

"Aku? Sirik sama kamu?" Zahra tertawa remeh, "Ngapain aku sirik sama kamu? Biarpun kulitmu mulus, tapi murah. Diumbar sana-sini, dilihat sama banyak mata laki-laki. Mendingan aku lah, walaupun nggak semulus kamu, tapi mahal. Nggak pernah ada mata laki-laki yang nikmatin kulit aku sembarangan,"

"Ikh! Gue cakar juga lo, ya!" Freya mendengus. Kedua tangannya terangkat, membentuk gerakan seperti ingin mencakar wajah Zahra.

"Eh.. sudah, toh. Kok malah ribut?" Ajeng menengahi. Ia kemudian menoleh pada Freya, "Oh iya, Frey, tadi kata mas Irsyad kalau kamu udah sadar dari pingsan aku disuruh antar kamu ke ruangan kepala ponpes,"

"Mas Irsyad? Itu cowo baju biru yang ganteng banget tadi, bukan?" Freya berusaha mengingat-ingat.

Ajeng tertawa pelan, "Iya, yang itu.."

"WAH!" Freya langsung berdiri dengan cepat, "Lo ada sisir nggak, Jeng?"

"Sisir? Ada. Sek, tak ambilin dulu ow," Ajeng mendekati meja kayu kecil yang berada di sudut kanan kamarnya. Ajeng memang satu kamar dengan Zahra. Kasurnya berada tepat di sebelah kasur Zahra.

"Nah, ini sisirnya, Frey," Ajeng menyerahkan sebuah sisir berwarna biru pada Freya.

"Btw, rambut lo nggak kutuan kan, Jeng?" Tanya Freya, seraya mengamati lekat-lekat sisir milik Ajeng.

"Alhamdulillah, ndak. Paling cuma rada ketombean aja sedikit," Ajeng terkekeh pelan, tidak sama sekali tersinggung dengan pertanyaan Freya.

"Syukur, deh." Freya meraih sisir di tangan Ajeng. Ia mulai menyisir rambutnya dengan sangat hati-hati. Tidak ingin membuat rambut mahal nan indahnya itu jadi rusak.

Usai menyisir, Freya berdiri di depan kaca lemari yang ada di kamar itu. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk mamantulkan bayangan seluruh bagian tubuhnya.

"Cantik banget sih, gue.." puji Freya pada dirinya sendiri.

"Hih, lenjeh!" Cibir Zahra.

"Halah, sirik aja lu!" Sahut Freya, ketus.

Setelah selesai, Freya menghampiri Ajeng yang sudah berdiri di dekat pintu. "Yuk Jeng, anterin gue ke ruangan kepala ponpes. Kepala ponpesnya si Irsyad ganteng itu, kan?" Tanyanya antusias.

Ajeng tertawa pelan, "Ya bukan, toh.. kepala ponpesnya itu, ustad Arifin. Moso mas Irsyad,"

"Oh? Kirain Irsyad. Soalnya kalian semua tadi kaya yang segan gitu sama si Irsyad,

"Salah satu alasannya karena mas Irsyad anak dari pemilik pondok pesantren ini, Frey. Selain itu, mas Irsyad juga salah satu santri terbaik di sini. Makanya dia disegani,"

"Oh, gitu.." Freya manggut-manggut, "Berarti, Irsyad itu anaknya ustad Arifin dong, ya?"

"Bukan.."

"Loh, kok bukan?"

"Ya memang bukan. Ustad Arifin memang ketua pengurus ponpes. Tapi bukan pemilik ponpes. Pemilik pondok ini, namanya Kiai Hj.Umar Al Hikam,"

"Oh.. ya, ya, ya.." Freya mengangguk mengerti.

"Yaudah, yuk? Aku antar kamu ke ruangan ustad Arifin," Ajak Ajeng.

"Ada Irsyad nggak kira-kira di ruangan itu?"

"Ya aku mana tau, Frey.."

"Kamu ini dari tadi nanyain mas Irsyad terus. Menel tenan!" Zahra menyela.

Freya melotot dan mendengus sebal karena Zahra terus mengatainya, "Ish! Lo diam, deh. Komen mulu perasaan,"

"Sudah, sudah. Ayo, Frey?" Ajeng meraih tangan Freya, menggandeng tangan gadis itu untuk diajak keluar.

"Yuk. Siapa tau nanti gue ketemu si ganteng Irsyad lagi." Freya tersenyum lebar sambil mengibaskan rambutnya.

Zahra geleng kepala sambil bergumam, "Ono yo bocah lenjehe pok ko kae. Nggilani."

Sepanjang perjalanan menuju ruang kepala pengurus ponpes, Freya sangat menjadi pusat perhatian. Gadis itu berjalan begitu santai dengan penampilannya yang cukup terbuka. Ia bahkan sesekali mengibaskan rambutnya ala iklan shampo, dan melambaikan tangannya seperti model yang tengah berjalan di atas catwalk. Dasar Freya!

Beberapa santriwan langsung beristigfar dan segera memalingkan wajah saat melihat Freya. Tapi ada juga beberapa santriwan yang malah terang-terangan memandang Freya tanpa berkedip. Malah tak segan juga memuji kecantikan gadis kota itu.

"Ini ruangannya ustad Arifin, Frey," Kata Ajeng, saat mereka sudah tiba di depan sebuah ruangan dengan pintu berwarna biru tua. Ajeng langsung saja mengetuk pintu itu beberapa kali.

"Assalamualaikum, Ustad.." seru Ajeng dan kembali mengetuk pintu.

Tak lama, terdengar suara knop pintu yang ditarik dari dalam. Pintu terbuka perlahan, berbarengan dengan suara ustad Arifin yang menjawab salam dari Ajeng tadi.

"Waalaikumsa--astagfirullah!!" Belum juga ustad Arifin menyelesaikan kalimat salamnya, beliau langsung beristigfar keras. Kaget karena tiba-tiba melihat perempuan berpakaian kurang bahan berdiri di depan pintu ruangannya.

Melihat reaksi ustad Arifin membuat Freya berdecak malas. Mengingatkan lagi kejadian sewaktu Irsyad pertama kali melihatnya.

"Maaf, Ustad.., tadi kata mas Irsyad, saya disuruh mengantarkan Freya ke ruangan Ustad," kata Ajeng, merasa tak enak hati.

Ustad Arifin melirik sekilas ke arah Freya lagi, kemudian mengangguk perlahan. "Ya sudah, ayo masuk." Beliau mempersilahkan kedua remaja putri itu untuk masuk ke dalam ruangannya. Ia ikut menyusul dan membiarkan pintu sedikit terbuka.

Ustad Arifin duduk di single sofa yang berhadapan dengan Freya dan Ajeng. Beliau berdeham dan beristigfar dalam hati saat tidak sengaja melihat paha Freya yang terbuka. "Maaf sebelumnya. Tapi tolong gunakan bantalan sofa itu untuk menutupi aurat kamu yang terbuka," tegur beliau pada Freya.

"Hadeh," Freya memutar bola matanya malas, "Ribet amat, elah!" Gerutunya. Ia lantas meraih bantalan sofa di sampingnya dan meletakkan dengan sebal di atas pahanya.

Pintu ruangan ustad Arifin diketuk lagi dari luar. Kemudian terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam.

"Assalamualaikum. Permisi Ustad, boleh saya masuk?" Irsyad memunculkan sedikit kepalanya dari celah pintu. Meminta izin pada ustad Arifin untuk bisa masuk ke dalam.

"Waalaikumsalam. Oh, Nak Irsyad? Kebetulan kamu sudah datang. Ayo, silahkan masuk!" Ustad Arifin tersenyum hangat.

Mendengar nama Irsyad disebut, mata Freya jadi berbinar. Ia menoleh ke Irsyad dan langsung tersenyum lebar pada laki-laki itu. "Hay, calon masa depanku," sapanya sambil mengedip genit.

Irsyad melirik ke arah Freya. Gadis itu masih memasang wajah centil dan memberi kecupan jauh untuknya. Ia hanya menggelengkan kepala saja. Lebih memilih untuk tidak menanggapi gadis aneh tersebut.

"Ini gadis yang saya ceritakan tadi pada Ustad," Irsyad menunjuk Freya dengan jempol kanannya, "Gadis nyasar yang sudah buat heboh satu pesantren pagi-pagi tadi. Namanya Freya, Ustad," ujarnya memberi tahu.

"Ciee yang ingat sama nama gue, ciee.." Freya kembali menggoda Irsyad, meski lagi-lagi tidak ditanggapi.

"Baiklah, Nak Freya. Jadi, bisa tolong jelaskan siapa sebenarnya kamu, dari mana asalmu dan bagaimana ceritanya kamu bisa ada di sini?" Ustad Arifin pun segera memulai interogasi.

"Kalau nanya satu-satu dong, Bang. Keder nih mau jawab yang mana dulu," gerutu Freya.

"Bang?" Ustad Arifin membeo.

"Panggilnya Ustad, Frey," Bisik Ajeng.

"Iya, iya. Kalau nanya satu persatu aja Bang Ustad. Jangan beruntun kaya kereta api,"

"Ustad saja manggilnya. Jangan pakai bang," Irsyad mengoreksi.

Freya mendengus. "Aduh, panggilan doang aja ribet, deh!"

"Sudah, sudah," Ustad Arifin menengahi dan kembali fokus pada Freya. "Saya ulang pertanyaannya tadi. Sebenarnya, kamu ini siapa?"

"Oke. Perkenalkan, nama gue Freya. Gadis cantik nan manis yang juga sangat modis. Serta super laris manis menjadi rebutan cowo-cowo bermobil klimis sampai yang punya kumis tipis. Tapi anti pacaran sama cowo berkantong tipis karna nggak bercita-cita jadi pengemis. Putri tunggal dari pengusaha kaya raya yang timbunan hartanya berlapis-lapis," Freya mengakhiri perkenalan panjangnya dengan kibasan rambut ala iklan shampoo. Lengkap dengan memasang senyum anggun ala Putri Indonesia.

Ajeng, Irsyad dan ustad Arifin hanya menggelengkan kepala sembari beristigfar melihat kelakuan Freya.

"Selanjutnya, dari mana asalmu?"

"Jakarta,"

"Jauh sekali. Lalu bagaimana ceritanya kamu yang berasal dari Jakarta bisa sampai ada di sini?" Ustad Arifin mengerutkan keningnya karena sangat penasaran dan juga bingung tentunya. Sama halnya seperti Irsyad dan Ajeng yang juga ingin tahu.

'Aduh! Harus jawab apa nih gue? Masa iya, gue cerita yang sebenarnya?' Freya membatin.

'Tapi kalau nggak cerita yang sebenarnya, gue harus ngarang cerita kaya gimana? Gue ini kan gadis cantik berbudi pekerti luhur yang nggak pernah bohong.' Batin Freya lagi. 'Eh enggak ding tapi! Gue sering ngibulin emak sama bapak gue kok.'

"Freya?" Tegur ustad Arifin karena Freya malah melamun.

"Eh?" Freya tersadar. "Sebenarnya.. em, sebenarnya.."

"Iya? Sebenarnya?"

"Begini Bang Ustad," Freya menggaruk telinganya, bingung harus bagaimana, "em, sebenarnya gue bisa ada di sini, itu karena.. karena itu loh.. em..," Freya tidak tau harus bercerita apa.

Ustad Arifin tersenyum hangat melihat Freya yang sepertinya gugup dan takut untuk bercerita. "Cerita saja, tidak apa-apa, Freya.."

"Iya, ceritakan aja. Nggak perlu takut," Irsyad ikut menimpali.

"Iya, Frey. Ayo, cerita aja ngga apa-apa,"

Freya tersenyum kaku, kemudian mulai bercerita. "Sebenarnya, gue udah dua hari ada di Jogja. Gue sama teman-teman gue sengaja terbang ke Jogja khusus untuk ngerayain ulang tahun temen kami. Partynya di adain di Boshe Club, Jogja. Ya namanya juga party anak muda, di kelap malam pula, jadi jelas ada alkoholnya," Freya berhenti sejenak. Ia melihat satu persatu wajah ketiga orang di sana. Dan tampaknya mereka semua masih memasang wajah biasa, atau pura-pura biasa.

"Kami semua minum sampai nyaris oleng. Teman-teman gue juga pada 'ngobat'. Gue dipaksa ikut nyobain, tapi gue nggak mau kok, sumpah beneran gue nggak bohong. Gue belum berani sejauh itu. Gue akhirnya izin buat kembali ke hotel lebih dulu. Dengan keadaan setengah teler, gue nekat nyetir mobil sendiri. Nggak ada masalah, sampai ternyata ada razia di sepanjang jalan menuju hotel," Freya meringis melihat Irsyad menggelengkan kepala.

"Gue panik dong, karena dengan keadaan gue yang rada mabuk dan nekat nyetir sendiri, jelas jadi sasaran empuk buat para polisi. Apalagi ada heroin di tas gue. Udah pasti gue bakal digelandang ke kantor polisi. Dan kalau sampai itu kejadian, bisa abis gue sama mama-papa!" Lanjut Freya.

"Yaudah, gue kabur aja dong. Diam-diam keluar dari mobil, tapi kampret banget malah ketahuan sama polisi. Pas lagi panik dan bingung-bingungnya, gue lihat ada mobil pick up markir di sebrang jalan. Gue lari aja, terus naik ke mobil itu tanpa pikir panjang. Gue masuk di bawah tutupan terpal. Terus, udah deh.. Gue nggak tau lagi karena ketiduran. Pas bangun, tau-taunya mobil udah berhenti di tempat aneh ini. Gitu ceritanya." Tutup Freya, mengakhiri cerita panjangnya.

"Astagfirullah.." gumam ustad Arifin, Irsyad dan Ajeng bersamaan. Mereka bertiga menatap Freya dengan raut wajah tak menyangka.

Freya menggaruk tengkuknya sambil nyengir sok polos melihat reaksi ketiga orang tersebut. Tapi setidaknya dia sudah berani bercerita dengan jujur.

"Pergaulan anak muda jaman sekarang benar-benar sudah mengkhawatirkan," komentar ustad Arifin, menggeleng tak habis pikir.

"Namanya juga hidup di kota besar Bang Ustad. Hal kaya gitu udah wajar banget. Yang penting gue nggak sampai menganut **** bebas dan nggak narkoba. Nggak maksiat," Freya membela diri.

"Apanya yang nggak maksiat? Bersenang-senang di tempat hiburan malam, ditambah mengkonsumsi minuman keras, itu namanya juga maksiat,"

"Oke, oke. Tapi masih maksiat tingkat mini. Nggak masalah, lah.." Freya mengedikkan kedua bahunya tak perduli.

"Yang namanya maksiat, tetap saja maksiat. Sekecil apapun perbuatan maksiat itu menurut kamu, tetap saja itu berdosa. Tidak diperbolehkan dan diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala." Irsyad memberi penjelasan.

Ustad Arifin menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan, kemudian kembali bertanya pada Freya, "Sekarang apa rencana kamu? Masih ingin minta diantar ke kantor polisi supaya kembali dibawa ke kota?"

Irsyad yang lebih dulu menyahut dan menghadap ke arah Freya, "Tapi menurut saya, tidak akan semudah itu. Polisi pasti akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki apa penyebab kamu bisa sampai nyasar di pondok ini. Dan kalau sampai polisi tau penyebab sebenarnya, kamu pasti paham apa yang akan polisi lakukan pada kamu,"

"Iya, yah? Baru nyadar gue.." Freya menepuk kening menyadari kebodohannya. "Untung kamu ngingetin aku. Duh, kamu perhatian banget sih sama aku, Honey? So Sweet banget nggak mau akunya kenapa-napa," ucapnya menatap Irysad dengan manja.

"Jangan salah paham," kata Irsyad, malas.

"Kalau begitu sekarang bagaimana? Kamu mau menghubungi teman-temanmu yang masih di Jogja? Atau menelfon orangtuamu saja?"

"Hp gue, gue tinggalin di mobil," Freya mengangkat kedua bahunya.

"Apa kamu tidak ingat nomor telpon orangtua atau teman-temanmu?"

"Ingat sih, bang Ustad. Gue hapal di luar kepala nomor mama sama papa,"

"Ya sudah, kamu bisa menghubungi kedua orangtuamu. Ini, pakai saja hp saya." Ustad Arifin menyorongkan sebuah ponsel lawas berwarna hitam pada Freya.

Freya langsung tertawa terbahak-bahak saat ponsel ustad Arifin sudah berada di tangannya. "O EM JI, HELL NO?? Ini hp apa ganjelan lemari? Hahaha, hari gini? Masih pakai hp ceng-ceng po? Ya ampun, ya ampun! Apa gunanya hp beginian? Gak bisa buat selfie, gak bisa buat video call, gak bisa buat main sosmed, jadul banget hpnya,"

"Tidak baik menghina barang milik orang lain!" Tegur Irsyad. Yang langsung menghentikan tawa Frrya

"Aku nggak menghina, cuma bicara kenyataan aja," Freya cuek, "Yaudah, gue mau nelpon mama gue dulu."

Butuh beberapa kali mencoba, sampai akhirnya panggilan Freya diangkat oleh sang mama.

"Halo?" Sapa seorang wanita di seberang sana.

"Halo, Mama? Ini aku, Ma, Freya,"

"Freya? Astaga, kamu dimana, Sayang? Kamu baik-baik aja, kan?" Suara mama Freya terdengar lega bercampur panik.

"Aku baik, Ma. Ma, aku mau ngomong sesuatu sama Mama.." Freya menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu untuk bicara.

"Kamu nggak perlu bicara apapun. Mama sama papa udah tau semuanya. Tadi malam pihak kepolisian Jogja sudah menghubungi Mama. Sudah, kamu nggak usah khawatir, Sayang. Kamu nggak usah takut. Urusan sama polisi, sudah diselesaikan papamu. Sekarang kamu bilang, kamu sembunyi di mana? Biar Mama sama papa langsung jemput,"

"Ma.." mata Freya berkaca-kaca mendengar mamanya berbicara dengan suara yang begitu lembut. Ia pikir, mamanya akan langsung membentaknya dengan keras karena kelakuan nakalnya. "Mama sama papa nggak marah?" Tanyanya kemudian, mencoba memastikan.

"Kita bahas soal itu nanti di rumah. Sekarang Freya bilang, Freya sembunyi di mana, Sayang?" Kali ini suara papa Freya yang menyahut.

"Freya terdampar di tempat pengasingan, Pa. Freya ada di pondok pesantren Nurul Huda, Pekalongan,"

"Pondok pesantren??"

"Iya, Pa. Cepat jemput Freya, Pa. Freya nggak suka di sini. Orang-orangnya pada nyebelin. Istighfar terus kalau lihat Freya. Dikiranya Freya ini setan, nyebelin banget,"

"Kamu tenang aja, Sayang. Papa sama mama segera ke Pekalongan. Tapi bukan untuk menyusul dan membawamu pulang ke Jakarta. Melainkan untuk mengantarkan baju dan barang-barang keperluanmu. Sepertinya, kamu terdampar di tempat yang memang cocok untuk kamu. Papa akan titipkan kamu di pondok pesantren itu!"

...Tuuttt.....

Panggilan langsung terputus saat papa Freya selesai mengucapkan serentetan kalimat panjangnya tadi.

Freya melongo. Ia menatap ponsel di tangannya sambil mengerjab beberapa kali. Otaknya masih berusaha mencerta kata-kata sang papa.

Papa akan titipkan kamu di pondok pesantren itu!

"Bercanda nih pasti bapak gue.." gumam Freya pada dirinya sendiri. Tapi, raut wajahnya mulai berubah panik saat menyadari jika sang papa bukan orang suka main-main dengan ucapannya.

"TIDAAAAAKKKKKKK!!!!"

Dan teriakan histeris Freya langsung memenuhi seluruh ruangan ustad Arifin.

.

.

......Mohon dukungannya teman-teman........

Bab 3

Ternyata papa Freya benar-benar serius dengan ucapannya. Ia menepati janjinya pada Freya untuk segera meluncur ke Pekalongan, sebuah kota kecil di wilayah Jawa Tengah.

Saat ini kedua orangtua Freya dan juga Gio, sepupu Freya, sudah berada di depan sebuah pondok pesantren. Pondok pesantren Nurul Huda, tempat di mana putri mereka 'terdampar'.

"Om sama Tante serius mau nitipin Freya di tempat begini?" Tanya Gio, dengan wajah sangat tidak yakin. "Gila aja, Freya mana betah tinggal di tempat kaya begini?" Lanjutnya, mengamati keadaan sekitar ponpes sambil bergidik. Membayangkan jika dia yang harus tinggal di sebuah tempat terpencil, jauh dari hingar bingar kehidupan kota.

Kedua orangtua Freya tidak berniat menjawab pertanyaan Gio. Mereka lebih memilih untuk mengeluarkan barang-barang Freya dari dalam mobil. Ada dua koper besar yang berisikan baju-baju yang semuanya baru. Maklum saja, baju-baju lama milik Freya jelas tidak ada satupun yang pantas dipakai di lingkungan pondok pesantren.

"Om, Tante, mending batalin aja niat kalian. Lihat deh, tempat ini nggak bakal cocok buat Freya. Freya nggak bakalan betah," kata Gio lagi.

"Dari pada Gio ngoceh terus, mending bantu keluarin barang-barang Freya. Gih, buru!" Tukas Astrid, mama Freya.

Gio mendengus, dan tidak mengindahkan perintah sang tante. Ia lebih memilih untuk pergi dan mencari keberadaan Freya, sepupu tersayangnya. Dengan gayanya yang cool dan tampilan khas remaja gaul ibu kota, Gio sukses membuat para santriwati yang melihatnya langsung terpesona. Tapi Gio cuek saja. Tidak berniat sedikit pun melirik para gadis berkerudung itu, sama sekali bukan selera Gio.

"Freya ada di mana ini, ya?" Gumam Gio, celingukan kesana-kemari mencari sosok Freya. Ia kemudian mencegat Zahra, yang kebetulan melintasinya. "Eh, stop dulu, stop!"

"Hah? Aku?" Zahra menunjuk dirinya sendiri. Matanya berkedip beberapa kali saat melihat sosok tampan di hapadannya. 'Ya Allah.. ganteng temen wong iki!' Batinnya.

"Iya, elo. Gue mau nanya. Lo tau nggak, Freya ada di mana?"

Zahra tidak fokus dengan pertanyaan Gio. Ia malah fokus memandangi wajah cowo itu, yang menurut Zahra adalah cowo paling tampan yang pernah ia jumpai sepanjang hidupnya di dunia. Bahkan lebih tampan dari Irsyad yang menjadi idolanya kaum santriwati di PonPes Nurul Huda.

"Heh, lo dengerin gue nggak, sih?" Gio berdecak lumayan keras, menyadarkan gadis berkerudung ungu di depannya.

"Hah? Iya? Sampean tadi nanya apa, ya?" Zahra menunduk, sedikit malu karena ketahuan melamun.

"Ck! Gue nanya, lo tau nggak Freya ada di mana?"

"Freya," Zahra membeo. "Si perempuan aneh yang bajunya kekurangan bahan itu? Yang anak kota nyasar di sini? Yang gayanya kaya wong bule itu?" Cerocos Zahra dengan raut wajah menyebalkan.

Gio menatap Zahra datar. Mendadak kesal dengan gadis itu. "Lo tau Freya di mana atau nggak?" Tanyanya lagi, kali ini terdengar lebih jutek.

"Kamu ngapain nyari perempuan itu? Memang kamu siapanya dia?"

"Kepo banget buset. Tinggal jawab aja, lo tau nggak Freya ada di mana?"

"Tadi sih, dia keliaran di pondok ini sambil ngoceh-ngoceh sendirian. Persis koyo cah edan!" Jawab Zahra acuh.

Gio makin kesal dengan Zahra karena dari tadi menghina sepupunya. Mulutnya sudah terbuka untuk sedikit mendamprat gadis itu. Tapi, suara teriakan seseorang lebih dulu menarik fokusnya.

"GIOOOO.."

Gio melihat Freya berdiri tak jauh dari tempatnya. Kemudian gadis itu berlari antusias ke arahnya. Gio pun langsung merentangkan kedua tangan lebar-lebar dan dengan sigap menyambut sang sepupu yang langsung melompat memeluknya.

Freya memeluk Gio erat-erat, dan dibalas tak kalah erat pula oleh Gio.

"Astagfirullah!" Pekik Zahra dan beberapa santri saat melihat apa yang dilakukan Freya dan Gio.

Tapi kedua remaja kota itu sama sekali tidak perduli dan tidak mau ambil pusing. Masa bodo saja dan tetap berpelukan erat, merasa tidak ada yang aneh.

"Gio, tolongin gue, Gio, tolongiiinn!" Freya merenggangkan pelukannya, menatap Gio dengan wajah melas. "Gue nggak tau habis mimpi apaan, sampai gue bisa terdampar di tempat ini. Tolongin gue, tolongin, Gi..," Freya menarik-narik baju Gio.

"Husstt, tenang. Gue bakal tolongin lo, Frey. Tenang, oke?" Gio menangkup wajah Freya, mencoba menenangkan.

"Gue nggak mau di sini lebih lama. Gue nggak betah, Gi. Orang-orang di sini aneh. Bahasanya juga aneh. Gue nggak suka. Mau pulang aja.. mau pulang.."

"Iya, iya. Gue bakal bawa lo pulang. Gue juga nggak rela lo tinggal di tempat kaya beginian. Jangan takut, oke?"

Freya mengangguk dan kembali memeluk Gio sebentar.

Zahra terus beristigfar melihat apa yang dilakukan Freya dan Gio, "Astagfirullah, astagfirullah ya Allah, astagfirullah.."

Freya melirik Zahra yang terus menerus menggumamkan kalimat istigfar. Ia mendengus seraya memutar kedua bola matanya. "Heh, ngapain lo nyebut terus-terusan? Kaya kaset rusak aja, lo!" Ketusnya.

"Yang penting kelakuan aku nggak rusak kaya kamu," Sahut Zahra tak kalah ketus.

"Ngomong apa lo barusan? Atas dasar apa lo ngatain kelakuan gue rusak? Beneran gue cakar ya muka jelek lo!"

"Jelas atas dasar apa yang aku lihat. Kamu peluk-pelukan dan mesra-mesraan sama pacarmu tanpa tahu malu. Di tempat umum lagi. Belum muhrim, dosa. Kamu nggak tau dosa?"

Freya mencibirkan bibir bawahnya, "For your information aja nih ya, cowo ini bukan pacar gue. Tapi sepupu gue, SE.PU.PU. Tau arti sepupu, kan? Artinya itu, SAUDARA! Sampai sini paham?"

"Biarpun saudara, jika bukan sekandung tetap saja namanya bukan mukhrim. Tidak dibenarkan, laki-laki dan wanita dewasa bersentuhan seintim tadi." Itu bukan suara Zahra yang kembali menyahut. Melainkan Irsyad.

"Ah, ya ampun.. Ada calon imamku," Freya langsung mengerling genit pada Irsyad. Entahlah, ia senang sekali menggoda laki-laki berparas setengah Arab itu. "Honey mau kemana? Mau nyusulin aku, yah? Cari-cari aku, yah? Khawatir akunya hilang, yah? Uh ya ampun, so sweet banget..," Freya menangkupkan kedua tangannya di bawah dagu dengan ekspresi yang dibuat seimut mungkin.

"Iya, saya memang mencari kamu," jawab Irsyad, jujur.

"Ya ampun, pesona Freya memang luar biasa ternyata," Freya mengibaskan rambutnya dengan angkuh, "Baru sehari aja udah berhasil bikin si mamas ganteng ini jatuh hati dan takut kehilangan. Honey, aku padamu, muach!" Ia melemparkan kecupan jauh untuk Irsyad dengan gaya centil, namun sedikit jenaka.

"Saya memang mencari kamu. Itu karena melaksanakan perintah dari ustad Arifin. Kamu diminta segera ke ruangan beliau, orangtuamu sudah menunggu di sana," Kata Irsyad, menjelaskan. "Dan untuk kamu ketahui, saya sama sekali tidak perduli jika kamu pergi dari sini." Tukas Irsyad yang langsung berlalu pergi begitu saja. Meninggalkan Freya yang melongo serta Gio yang tertawa keras.

"Anjir, Frey, anjir! Lo dikacangin sama cowo model begitu? Jatuh pasaran lo, Frey!" Ejek Gio masih dengan tawa lebarnya.

"Kampret!!"

****

"Jadi, Ibu dan Bapak ini adalah kedua orangtua dari Freya?" Tanya ustad Arifin, kepada sepasang suami-istri yang sekarang sedang duduk berhadapan dengannya.

"Benar," Baskoro yang menjawab sambil menganggukkan kepala. "Saya Baskoro, dan ini istri saya, Astrid. Kami berdua orangtua dari Freya," lanjutnya memperkenalkan diri dan sang istri.

Ustad Arifin tersenyum, "Saya Arifin," ujarnya ikut memperkenalkan diri. "Ini Bapak dan Ibu dari Jakarta langsung kemari setelah mendapat telfon dari Freya?" Lanjutnya, membuka obrolan.

"Iya, Ustad. Tapi tadi sempat singgah dulu di Semarang dan Setono. Mencarikan makanan dan baju-baju baru untuk Freya," jawab Baskoro.

Ustad Afirin melirik sekilas ke arah dua koper besar yang tadi dibawa sepasang suami istri itu. "Sebanyak itu, semuanya baru? Kenapa tidak membawa baju yang sudah ada saja? Apa tidak terlalu buang-buang uang?" Tanyanya, heran.

Baskoro menjawab sambil terkekeh kecil. "Baju lama anak saya tidak ada satupun yang memungkinkan untuk dibawa. Sangat tidak layak untuk dikenakan di tempat seperti ini, Ustad. Semua baju anak saya, ya.. begitulah. Khas pakaian remaja kota,"

"Oh, begitu.." ustad Arifin mengangguk paham, "Maaf sebelumnya. Tapi kalau saya tidak salah tafsir, apa benar Bapak dan Ibu berniat untuk menitipkan Freya di pondok pesantren ini?" Tanyanya yang kali ini mulai serius.

"Ya, Ustad. Itu benar," Baskoro mengangguk mantap, "Saya ingin putri saya dididik di tempat ini. Supaya Freya tidak semakin menjadi dan makin terjerumus ke hal-hal yang tidak baik. Saya ingin Freya memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang baik," tuturnya.

"Saya sudah mendengar apa yang sebenarnya terjadi sampai putri Bapak dan Ibu bisa sampai berada di tempat ini. Freya sudah menceritakan semuanya," ustad Arifin menjeda sejenak kalimatnya. Mempersilahkan Irsyad yang baru tiba untuk masuk dan kembali bergabung bersama mereka.

"Saya sangat prihatin sebenarnya mendengar pergaulan putri Anda yang, maaf, sudah di luar batas. Menurut Freya itu adalah hal biasa yang sangat wajar di lakukan para remaja ibu kota. Tapi, sebagai seorang yang beragama islam, itu sangat tidak diwajarkan, bahkan diharamkan. Dari segi penampilan saja sebenarnya sudah tidak pantas. Wanita muslim tidak sepantasnya mengenakan pakaian yang bisa mempertontonkan auratnya. Itu dosa, haram hukumnya. Karena semua wanita muslim diwajibkan untuk memakai pakaian tertutup dan berhijab," sambung ustad Arifin.

Astrid merasa tersindir mendengar ucapan ustad Afirin barusan. Pasalnya, ia sendiri juga tidak mengenakan hijab.

"Maaf, saya tidak bermaksud untuk menyinggung Bu Astrid," ustad Arifin berkata dengan wajah tidak enak hati. Baru tersadar jika ibunda Freya juga tidak mengenakan hijab.

"Tidak apa-apa, Ustad," kata Astrid, mengangguk mengerti. "Saya sadar, penampilan Freya sedikit banyaknya memang mencontoh pada saya. Tidak tertutup dan gemar mengikuti tren fashion luar negri,"

"Tapi untung saja Freyya tidak terjerumus kedalam paham **** bebas. Dia juga masih tidak berani mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Alhamdulillah, yah?" Ujar Irsyad sambil terkekeh kecil, supaya suasana sedikit mencair.

"Ya, Alhamdulillah," Baskoro ikut terkekeh singkat. Ia kemudian menghela nafas panjang dan bertutur, "Sebenarnya, semua yang terjadi pada Freya adalah tidak lepas dari kesalahan saya. Sebagai seorang papa, saya terlalu memanjakan Freya. Menuruti semua yang dimau oleh Freya. Saya membesarkan Freya dengan limpahan materi dan kasih sayang berlebihan. Terlalu membiarkan Freya untuk menikmati masa mudanya dengan mengikuti arus perkembangan jaman. Yang saya mau, yang penting putri saya senang, putri saya bahagia, itu saja. Dan sekarang saya sadar, cara didik saya itu lah yang membentuk karakter Freya menjadi sosok yang luar biasa manja dan tidak tau aturan seperti sekarang. Dan kesalahan terfatal saya, adalah tidak pernah membekali Freya dengan ilmu agama sedari dia kecil. Jadinya begini, putri saya malah terjerumus dalam pergaulan yang mengerikan," Baskoro menunduk dalam setelah usai bercerita panjang lebar.

"Ini juga salah saya. Bukannya mengajak putri saya untuk berpenampilan tertutup dan mengenakan hijab, saya malah sering mengajak putri saya mempercantik diri. Mewarnai rambut, membeli baju-baju terbuka, yang penting tampil cantik dan tidak ketinggalan jaman. Mengajarkan salat dan mengaji pun, saya tidak pernah," Astrid mengimbuhi. Suaranya terdengar pelan penuh sesal.

"Maaf jika pertanyaan saya akan menyinggung. Tapi, apa Bapak dan Ibu sendiri menjalankan kewajiban utama dalam islam?"

"Maksud Ustad, salat?"

"Ya, Pak,"

Baskoro dan Astrid saling melirik satu sama lain. Lalu kompak menjawab dengan sangat pelan dan malu luar biasa. "Tidak Ustad."

"Astagfirullah.." gumam ustad Afirin dan Irsyad bersamaan. Sama-sama menggeleng prihatin mendengar kejujuran orangtua Freya.

"Salat adalah tiang agama. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, amalan yang pertama kali dihisap pada saat hari penghitungan amal selepas kiamat datang adalah salat. Dosa besar jika kita sebagai seorang muslim dengan sadar meninggalkan salat!" Tutur ustad Arifin dengan serius. "Maaf, menurut saya bukan hanya Freya yang butuh pendidikan agama. Tapi saya rasa, Bapak dan Ibu juga membutuhkannya. Tidak bermaksud untuk lancang, tapi Bapak dan Ibu memang perlu mempelajari ilmu agama seperti kemauan kalian pada Freya. Supaya kalian bisa sama-sama kembali ke jalan Allah subhanahu wa ta'ala." Tukas ustad Arifin, tegas.

"Ya, Ustad. Kami memang sudah berencana untuk melakukan itu," Jawab Baskoro dengan mantap. "Semalam setelah mendapat kabar dari polisi mengenai Freya, kami langsung kalang kabut. Kami menghubungi orangtua saya yang kebetulan asli orang Jogja. Kami menceritakan perihal Freya dengan tujuan meminta tolong untuk ikut mencari keberadaan purti kami. Dan hal pertama yang saya dapat adalah semburan kalimat menyalahkan dari ibu saya, yang langsung menampar telak hati saya. Ibu dan ayah saya sudah berkali-kali mengingatkan untuk mendidik Freya dengan baik dan membekali ilmu agama. Tapi selalu saya abaikan. Dan sekarang, saya merasa malu dan menyesal."

"Maka dari itu, setelah merenung semalaman, kami memutuskan akan segera mencari ustad terbaik di Jakarta. Yang akan membimbing keluarga kami untuk kembali ke jalan Allah. Dan setelah mendengar kabar jika Freya ternyata ada di pesantren, suami saya langsung mantap menitipkan putri semata wayang kami untuk di didik di tempat ini saja." Astrid menambahi.

BRAK!

Suara pintu ruangan ustad Arifin yang dibuka dengan kasar, membuat semua yang ada di dalamnya melonjak kaget. Mereka semua menoleh untuk melihat siapa si pelakunya. Dan ternyata Freya.

"Papaaa, Mamaaa!" Freya memekik kesenangan. Berlari dan langsung menerjang kedua orangtuanya dengan bahagia. "Papa sama Mama beneran langsung ke sini jemput Freya? Kalian memang the best!"

Bagaskoro mengusap lembut kepala anaknya seraya berkata, "Papa dan mama memang kemari. Tapi, tidak untuk membawa Freya pulang ke Jakarta. Papa yakin, Freya masih ingat apa yang papa bilang di telfon,"

"Iya, Freya ingat," Freya mengangguk bersemangat, "Papa bilang, Papa mau ajak Freya liburan dulu ke Lombok, sebelum pulang ke Jakarta. Biar Freya nggak stress. Papa memang terbaik," Cerocosnya asal. Pura-pura lupa dengan ucapan papanya di telfon. Dan pura-pura tidak mendengar apa yang tadi orangtuanya bicarakan dengan ustad Arifin. Karena sebenarnya, Freya sudah menguping sebentar dari balik pintu.

"Freya..,"

"Iya, Mama. Freya setuju, kok sama usul papa. Yuk, kita pergi dari sini?" Freya menarik kedua tangan orangtuanya untuk berdiri.

"Sayang, nggak ada liburan ke Lombok. Kamu akan kami titipkan di pesantren ini untuk---"

"NO, NO, NO!! Freya nggak dengar apa yang barusan Mama ucapin!" Freya memotong cepat ucapan sang mama. "Ayo, sekarang Mama sama Papa berdiri. Kita pergi dari sini!" Freya kembali menarik kedua tangan orangtuanya. Tapi kedua orangtuanya tidak bergeming sama sekali.

"Freya sayang, Freya sudah besar. Freya sudah selayaknya mengerti tentang agama. Karena Papa dan mama sama zonknya soal agama, maka kami memutuskan untuk menitipkan kamu di pesantren ini. Supaya kamu bisa belajar agama dan memperbaiki diri, Sayang.." Baskoro coba menjelaskan dengan lembut.

"Apaan, sih? Nggak penting banget!" Freya mengibaskan tangannya di udara dengan tidak perduli.

"Sayang, dengarkan Mama! Mama dan papa sengaja ingin--"

"NGGAK MAU DENGAR!" Freya meninggikan suara. Kedua tangannya bergerak menutup kedua telinganya rapat-rapat.

"Freya, dengar! Papa--"

"FREYA NGGAK MAU DENGAR! FREYA CUMA MAU PERGI DARI TEMPAT INI, NGGAK MAU DISINI, TITIK!!" Freya memekik dengan histeris.

Gio yang sejak tadi berada di ambang pintu, segera masuk dan meraih Freya. Ia mengusap-usap punggung sepupunya, mencoba menenangkan. "Frey, tenang, Frey. Lo harus tenang,"

Baskoro menatap ustad Arifin dengan serius. "Saya mohon kepada Ustad dan semua pengajar di pesantren ini, untuk mau menerima Freya. Tolong, tolong didik putri saya dengan sebaik-baiknya. Perlakukan putri saya selayaknya kalian semua memperlakukan para santri di tempat ini. Saya mohon dengan sangat amat, bimbing putri saya supaya menjadi pribadi yang baik dan mengerti agama. Saya ingin putri semata watang saya ini, berubah menjadi gadis yang soleha," Pintanya tulus dari dalam hati.

"Papa udah selesai ngobrolnya sama bang ustad, kan? Ayo! Sekarang kita permisi dari sini!" Freya lagi-lagi menyeret tangan kedua orangtuanya untuk berdiri. Menolak dengar ucapan sang papa.

Baskoro tidak menggubris putrinya. Ia masih menatap ustad Arifin dengan serius. "Saya mohon, terima putri saya untuk belajar agama disini, Ustad,"

"Iya, Ustad. Tolong terima dan didik Freya dengan baik disini," Astrid menimpali.

Ustad Afirin memandang bergantian Baskoro dan Astrid. Sepasang suami-istri itu menatapnya penuh harap. Ia kemudian melirik ke arah Freya yang langsung dihadiahi pelototon sadis dari gadis remaja itu. Di tambah lagi Gio, yang ikut-ikutan memasang wajah galak sambil mengacungkan kepalan tangan padanya. Hal tersebut membuat ustad Arifin terkekeh geli, ada -ada saja.

Irsyad geleng kepala melihat kelakuan Freya dan Gio. Benar-benar sepasang manusia yang tidak tahu sopan santun menurutnya. Ia lantas menghela napas panjang, dan berujar, "Menurut saya Freya memang benar-benar krisis agama. Dia tidak tahu sopan santun. Maka saya simpulkan, Freya sangat butuh tinggal di pesantren."

Ustad Afirin tersenyum mendengar ucapan Irsyad. Ia lantas menoleh lagi pada Baskoro dan Astrid, kemudian mengangguk dan berujar dengan mantap. "Saya bisa pastikan, putri Bapak dan Ibu akan mendapat bimbingan agama sebaik mungkin di pesantren ini. Insya Allah, kami akan membantu Freya untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Saya menerima dengan baik Freya menjadi santriwati di pesantren ini."

Dan keputusan pun sudah final, tidak dapat diganggu gugat. Freya benar-benar dititipkan di pondok pesantren. Freya akan menjalani hari-hari barunya di sebuah tempat yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan seumur hidup.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!