Dia adalah Aurora atau biasa disapa Ara. Gadis itu selalu bersemangat tiap kali menginjakkan kaki di halaman kampus yang masih baru seminggu ini menjadi salah satu mahasiswa baru di Universitas ternama di Jakarta.
Senyum manisnya selalu mengembang tatkala tiba-tiba saja sosok Zayn mulai melintas di benaknya. Seakan semua hal-hal indah mulai berhalusinasi tentang Zayn.
Zayn, ia adalah mahasiswa yang di kenal sebagai orang yang paling pintar dan cerdas seangkatannya. Tampan, sudah pasti. Banyak cewek-cewek yang naksir, jangan di tanya lagi. Seakan predikat makhluk paling sempurna sangat cocok ia sanding. Hanya sayangnya sampai saat ini masih belum ada satu perempuan pun yang berhasil memikat hatinya.
Hari ini terik matahari begitu terasa menyengat, cucuran peluh tidak terasa mulai menetes dari kening Ara yang mulus.
"Aaahhh..." Berulang-ulang Ara menghembuskan nafasnya sambil menikmati semilir angin yang sesekali berhembus sejuk.
Ara mulai merebahkan tubuhnya sambil beralaskan rumput hijau yang tumbuh subur di lapangan kampus itu. Benar-benar rasa lelah yang ia rasakan saat ini. Kegiatan ospek yang ia ikuti selama seminggu ini benar-benar menguras tenaganya.
Tiba-tiba senyum semangatnya mulai mengembang, mengingat nanti malam adalah malam penutupan kegiatan ospek. Akhirnya ia akan segera terbebaskan dari macam-macam hal konyol yang sering ia alami selama mengikuti kegiatan ospek tersebut.
"Sil, gue haus nih."
Ara menyapa Sisil yang sedari tadi duduk di sampingnya. Sisil pun menoleh sambil mengangkat botol air mineralnya yang sudah tandas tak tersisa, lalu kemudian hanya nyengir saja.
"Aah!" hanya dengusan kesal Ara yang terdengar. Tapi tangannya masih terulur mengambil botol berbahan plastik yang di pegang Sisil, sahabat sekaligus masih saudara sepupu dengannya. Lantas tanpa peduli lingkungan sekitar Ara melempar botol kosong itu secara kesal.
Sisil langsung melotot menatap Ara.
"Kebiasaan deh! Buanglah sampah pada tempatnya!" sentak Sisil.
"Sumpah, Sil, gue haus banget!"
"Ya beli sana di kantin, mumpung masih istirahat nih." Sisil melirik jam tangannya yang masih kira-kira ada waktu setengah jam lagi untuk kembali mengikuti kegiatan ospek hari ini.
" Tapi males." Suara manja Ara terdengar merengek.
" Ya udah," balas Sisil sambil melirik Ara yang mulai memejamkan matanya.
Sisil memandangi dari kejauhan sosok Zayn yang selama ini menjadi incaran Ara. Jiwa kepemimpinannya terpampang nyata di diri Zayn. Tubuhnya yang tinggi semampai dengan kulitnya yang bersih, seakan menjadi paket komplit yang sempurna.
Tak sadar Sisil pun turut tersenyum sendiri jika mengingat hampir tiap hari bahkan saat-saat menjelang tidur malam pun Ara selalu membicarakan Zayn. Mungkin kali ini Ara telah benar-benar jatuh cinta kepada Zayn.
Sesekali Sisil menoleh kepada Ara yang entah sejak kapan sudah terlelap. Memandanginya membuatnya tak percaya saja kalau Ara benar-benar berhasil meyakinkan hati kedua orang tuanya untuk bisa kuliah di tempat ini.
Awalnya kedua orang tua Ara menginginkan anaknya untuk kuliah di Singapore. Mereka meyakini pendidikan di sana akan lebih menjamin mengingat nanti Ara lah satu-satunya pewaris tunggal dari perusahaan yang orang tuanya miliki.
Dengan segala sikap keras kepala yang di miliki Ara, akhirnya orang tuanya pun mengalah. Dan itu tentu saja membuat Sisil diam-diam tersenyum bangga, mengingat dirinya yang sudah terbiasa kemana-mana selalu bersama Ara.
Tiba-tiba saja Sisil menepuk-nepuk lengan Ara, ketika menyadari kedua kakak seniornya, Zayn dan Tommy berjalan ke arahnya.
" Apaan sih!" Dengan matanya yang masih terpejam Ara menangkis tangan Sisil.
" Ra!" Sisil semakin mengeraskan tepukannya begitu mendapati Zayn dan Tommy sudah tepat berdiri di hadapannya.
Ara hanya menggeliatkan tubuhnya. Matanya mulai terbuka, kemudian merentangkan kembali kedua tangannya dan benar-benar tak menghiraukan mata Sisil yang sudah melotot tajam menatapnya.
" Ehem...ehem... waaah.. santai sekali rupanya ya."
Ara terperanjat kaget begitu mengenali suara Tommy. Lalu sambil sempoyongan berusaha berdiri di samping Sisil yang sudah berdiri lebih awal.
Tommy memandangi Ara penuh licik. Tangannya menepuk-nepukkan botol air mineral yang dibuang Ara tadi hingga mirip seperti bunyi denyut jantung Ara saat ini.
Bukan karena takut kepada Tommy yang terkenal usil, jail, bahkan tegaan, tapi lebih kepada rasa yang tiba-tiba saja lemas ketika mendapati tatapan Zayn yang dingin.
"Maaf, Kak."
"Gak ada toleransi bagi siapapun yang ketahuan membuang sampah sembarangan."
Ara mulai menunduk lemas. Ia tak bisa membayangkan akan mendapat hukuman di akhir-akhir acara ospek ini. Sial! Ia pun merutuki dirinya yang ceroboh.
Sesekali Ara melirik ke arah Sisil yang hanya diam mematung. Ia pun juga tak melewati kesempatan untuk curi-curi pandang melirik Zayn yang juga hanya terdiam di samping Tommy.
Tanpa di sadarinya, memandangi Zayn bagai magnet tersendiri bagi senyum Ara yang tiba-tiba mengembang.
"Wiiihh.... Senyum senyum." Suara Tommy kembali menyadari kehaluan Ara terhadap Zayn. Seakan mati berdiri saking malunya.
"Setelah entar malem, baru puas-puasin senyumnya. emang udah siap sama hukuman entar malem?" kata Tommy lagi.
Tommy mulai menyeringai licik memandangi Ara yang mulai panik. Sesekali ia mengitari Ara dan Sisil, sok-sokan berlagak senior yang garang. Berbeda dengan Zayn yang tetap stay cool.
Sudah panas terik, haus pula, masih di tambah Tommy yang muter-muter mirip obat nyamuk, bikin Ara tambah pusing melihatnya.
" Uuh, dasar! Mentang-mentang senior. Awas aja kalo acara ini udah selesai, gue bales lo!" Berbagai macam sumpah serapat mulai mengoceh di benak Ara.
Seakan tahu dengan apa yang ada di benak Ara, Tommy semakin menatapnya tajam. Tapi kali ini Ara memilih menatapnya juga. Tiba-tiba keberanian itu muncul tiap kali memandangi Zayn yang menyejukkan pandangannya.
Diam-diam mata Ara kembali curi pandang menatap Zayn. Kakak senior yang sudah selesai skripsi dan hanya menunggu wisuda, yang terkenal cool, smart, calm, dan banyak meraih prestasi yang membanggakan di Kampus, juga sudah mulai di perebutkan oleh beberapa perusahaan ternama karena bidang keahliannya.
Aahh... rupanya Ara sudah tau banyak tentang Zayn, cowok yang ia yakini sudah benar- benar menempati singgasana hatinya.
Tiba-tiba Zayn membuka tutup botol air mineral yang sedari tadi ia pegang. Lalu tanpa sungkan meminumnya di depan Ara dan Sisil.
Glekk!!
Glekk !!
Ara turut menelan salivanya sendiri, tak tahan merasakan dirinya yang teramat haus.
"Kak Zayn, aku juga haus," batinnya sudah mulai meronta memandangi Zayn yang begitu menikmati minumnya.
" Ehm, Kak." Ara bersuara, membuat Zayn dan Tommy menatapnya intens.
"Boleh aku minta minumnya?" Katanya santai, tanpa menghiraukan ekspresi Sisil yang terperangah akibat keberaniannya.
Tommy pun turut membulatkan kedua bola matanya. Namun sedetik kemudian tersenyum simpul menatapi Ara, satu-satunya mahasiswi baru yang telah berani dan lancang meminta hal demikian terhadap seniornya. Lebih-lebih ini yang di minta adalah bekas minumnya Zayn.
Dan Zayn tetap dengan mode biasanya, hanya diam tanpa bergeming apa-apa. Lalu kemudian tangannya mengangkat botol yang masih ada sisa minumnya itu.
Belum sempat Zayn berkata apa-apa, Ara lantas meraih botol minum yang masih di pegang Zayn. Kemudian meminum bekas minumannya Zayn hingga nyaris tak tersisa.
" Aaahhh....," mata Ara kembali berbinar.Rasa dahaga seakan terobati.
" Makasih Kak." Tangan kanannya terulur ke arah Zayn mengembalikan botol itu, sedang tangan kirinya mengelap sisa air yang menempel di sudut bibirnya tanpa malu.
Ara memasang senyum termanisnya, berharap Zayn tidak akan marah karena perbuatannya. Ia sadar betul bahwa apa yang ia lakukan barusan adalah hal yang kurang sopan. Tapi ia tidak mempedulikan itu, karena rasa hausnya yang sudah tak tertolong. Sehingga membuat dirinya sudah kehilangan malu untuk meminta bekas minum Zayn, orang yang ia kenal hanya sebatas seniornya.
Zayn meraih botol itu sambil memandangi Ara dengan pandangan yang mulai berbeda. Cewek unik! Satu kata itu tiba-tiba melintas di benak Zayn. Selama ia memimpin sebagai ketua ospek, baru kali ini terjadi hal yang demikian.
Bergiliran Tommy mulai mencermati Zayn dan Ara, dan tiba-tiba saja ide konyolnya mulai tumbuh di benaknya. Ia pun memasang senyum devilnya memandangi Ara.
Ara yang merasa ditatap dengan pandangan aneh dari Tommy, memilih menundukkan kepala.
"Lo!" Tommy menunjuk tepat di hadapan Ara.
"Tunggu hukuman dari kami entar malem," ancam nya dengan serius.
Mendengarnya, Ara hanya membuang nafas kesal. Ia sudah menduga hal itu akan terjadi pada dirinya, mengingat Tommy adalah kakak senior dengan predikat super nyebelin menurutnya.
Karena tak ada respon yang berlebih dari Ara, Zayn dan Tommy akhirnya memilih pergi. Tapi Ara masih menyempatkan diri untuk melihat tubuh Zayn yang perlahan semakin menjauh dari pandangannya.
"Aahh....Sial!" Ara membanting tubuhnya yang lelah berdiri di atas rumput hijau itu. Ia duduk sambil menselonjorkan kakinya yang terasa amat keras efek terlalu lama berdiri barusan.
"Gini amat nasib gue." Satu persatu Ara mencermati teman-teman seangkatannya yang lain, terlihat amat santai dan sesekali terdengar gelak tawa di antara mereka.
"Makanya gue bilang apa? Coba lo gak buang sampah sembarangan, gak akan gini kan." Sisil hanya menasehati Ara yang memang kadang suka ceroboh kalau tidak di peringati.
Ara menyesali perbuatannya. Lalu kemudian matanya menangkap segerombolan teman-temannya yang lain tadi pergi meninggalkan sisa sampah yang cukup berserakan, dan itu tidak ada teguran apapun dari senior lain yang mengetahuinya. Cukup mengambilnya lalu membuangnya ke tempat sampah dan selesai.
" Nah, itu...itu..." Ara jengkel sambil menunjuk ke arah tumpukan sampah yang berceceran. Di tambah lagi ketika mendapati Tommy turut membantu memungut sampah tersebut dengan ekspresi yang tidak marah sama sekali.
"Dasar Tommy rese!" Umpatnya kesal, melihat perlakuannya yang berbeda antara dirinya dengan mahasiswa baru lainnya.
"Udah deh gak usah manyun gitu. Jelek lo!"
"Sil, emang kentara ya kalo gue suka kak Zayn?" Ara mulai curiga, mengingat memang hanya dirinya yang sering kena hukuman oleh Tommy karena hal-hal yang sepele.
Tommy memang best freindnya Zayn. Seantero kampus tahu itu. Kemana ada Zayn pasti tak jauh darinya ada Tommy. Pertemanan mereka sangat unik, Zayn yang dominan pendiam dan Tommy tipikal cowok usil dan bobrok. Tapi mereka bisa mendominasi karakter masing-masing yang berlawanan arah.
"Menurut gue, ia sih." Sisil menyahutnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Masa? Ah, malunya gue." Ara menutupi wajahnya, membayangkan malunya seandainya Zayn juga mengetahuinya.
"Seandainya lo gak murah senyum gitu ke kak Zayn pasti gak kentara, ini lo cuma murah senyum ke kak Zayn aja, ke yang lainnya gak."
"Gitu ya..." Ara mulai mencerna omongan Sisil, sedang pipinya sudah mulai bersemu merah.
"Nah, kayak yang tadi. Ngapain lo nekat amat minta bekas minumnya kak Zayn, gak bisa nahan apa?"
"Ya itu karena gue kebelet haus, Sil."
"Bisa aja ngelles lo."
"Ya nanti gue coba minta maaf pribadi ke kak Zayn deh, gue mau jelasin."
"Eemm.... emang mau lo. Eh... Ra, emang gimana rasanya minum bekas kak Zayn?"
"Sama aja keles... air putih ya tetap tawar."
"Kali aja kerasa kayak ada manis-manisnya gitu." Sesekali Sisil menyikut manja lengan Ara.
"Apaan sih, Sil." Ara sedang tak mau meladeni godaan Sisil terhadapnya.Ia pun kembali terdiam, membayangkan hukuman yang akan ia terima nanti malam. Semoga saja tidak terlalu aneh-aneh.
"Ra, ada yang bilang minum bekas minuman orang lain itu sama dengan ciuman gak langsung."
Ara memandang langsung ke arah Sisil. "Gak pernah denger gue," elaknya pura-pura santai. Padahal sebenarnya hatinya begitu sensitif tiap kali mendengar kata ciuman yang tak pernah Ara rasakan.
"Nih gue jelasin ya, secara tidak langsung bekas bibir kak Zayn dan bibir lo--"
"Aaaah... udah deh gak usah di jelasin. gue laper." Ara sengaja memotong omongan Sisil. Ia tak mau otaknya semakin berhalusinasi dengan penjelasan Sisil yang menurutnya mulai ngaco.
" Ayuk ah." Sisil berdiri di ikuti pula oleh Ara.
Mereka pun bersemangat menuju kantin untuk mengisi perutnya yang menuntut untuk di isi.
*
Ara dan Sisil menuju ke kantin dengan langkah yang sedikit cepat, mengingat sisa jam istirahatnya sudah tinggal lima belas menit lagi. Sesekali mereka berlari-lari kecil sembari tertawa geli. Mereka menertawai dirinya sendiri yang mirip dengan orang-orang pengejar diskon gratisan, padahal sebenarnya hanya takut tidak menemukan meja kosong di sana.
"Di sini, Sil." Dengan nafas yang masih terengah-engah Ara menarik tangan Sisil duduk di meja kosong paling sudut di kantin itu.
"Yakin?" Sisil menanyainya ragu, karena setahunya meja ini adalah tempat favorit Zayn dan Tommy kalau lagi nongkrong di kantin.
"Mang mau di mana lagi coba?" Ara menyanggahnya, sambil matanya memandangi seluruh suasana kantin yang penuh.
Sisil ikut memandangi sekitar dan memang benar, tidak biasanya kantin ini begitu ramai seperti sekarang, dan kebanyakan yang makan memang teman-teman seangkatannya. Maklumlah mungkin tadi pagi sama-sama tidak sempat sarapan, karena memang kegiatan ospek pagi tadi menuntut mereka untuk datang ke kampus sebelum jam tujuh pagi.
"Oke lah." Sisil menyetujuinya pasrah, walau sebenarnya perasaannya masih ragu.
"Gue mau siomay pedeeees banget sama Boba cappucino." Ara sudah tak sabar untuk mengisi perutnya yang mulai keroncongan.
"Biar gue yang pesen deh." Sisil melangkah menuju stand tempat makanan yang Ara sebutkan tadi.
Sembari menunggu pesanan datang, Ara sesekali berswafoto seperti kebiasaannya.
Cekrek... Cekrek... Cekrek
Ara tersenyum sendiri mendapati hasil jepretannya yang memuaskan.
"Mang gue cantik," narsisnya sambil kembali berswafoto karena belum mendapatkan view yang cocok untuk ia unggah di laman Sosial media miliknya.
Seketika senyumnya merengut, ketika menyadari ada sosok Tommy ikut nimbrung di layar kameranya.
Ara menoleh ke arah Tommy dengan raut sebal. "Ngapain sih nongol di sini?" Mulutnya hanya mengoceh samar.
"Kok gak jadi?" Tommy menanyainya karena melihat Ara yang sudah mematikan handphonenya.
"Gak pa-pa." Ara menyahut tanpa menoleh ke arah Tommy yang berdiri tepat di belakangnya.
Lalu tiba-tiba Tommy turut duduk di meja itu juga, tak lagi peduli dengan ekspresi Ara yang sangat sebal karena perbuatannya.
Merasa enggan untuk ribut karena masalah Tommy yang menurutnya kurang sopan karena duduk tanpa permisi sebelumnya, Ara hanya melampiaskan kejengkelannya sambil jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja itu yang semakin lama semakin terdengar nyaring.
Bukannya Tommy merasa tidak enak, tapi ia semakin santai duduk menatap Ara yang terlihat sangat tidak nyaman karena kehadirannya.
Ara tolah-toleh mencari keberadaan Sisil yang tak kunjung datang, dan ternyata Sisil masih mengantre di stand mie ayam kesukaan Sisil.
"Waktu istirahatnya sudah kurang sepuluh menit lagi loh." Tommy menyapa Ara sambil melirik jam yang terpasang di tangan kirinya.
"Gak mau siap-siap? Entar kalo telat hukumannya nambah loh, mang mau?"
Perkataan Tommy terdengar sangat mengejek di telinga Ara. Di situ nyali ara tiba-tiba muncul untuk melawan perkataan Tommy.
"Gak takut!" Ara menjawabnya sambil memasang senyum sinis menatap Tommy. Senyum pertanda bahwa dari sinilah Ara tidak akan takut melawan Tommy setelah ospek ini selesai.
"Wuuiih...." Tommy menyeringai menangkap sinyal perang dingin dari sorot mata Ara.
"Zayn!" Tiba-tiba Tommy berteriak memanggil Zayn sambil melambaikan tangannya.
Deg.
Seketika denyut jantung Ara seakan berhenti berdetak. Ia menggenggam erat jemarinya yang terasa dingin, sedang lehernya seakan terasa kaku untuk menoleh di mana keberadaan Zayn yang Tommy panggil tadi. Semua terasa berhenti bergerak saat ini.
Terdengar bunyi langkah samar-samar tepat di belakang Ara, sedang yang Ara kini rasakan adalah kesulitan mengatur nafasnya yang terasa di luar kendalinya.
Ara sangat nervous. Kalau saja benar Zayn datang dan duduk bersama, ini benar-benar pengalaman pertama Ara bisa duduk satu meja dengan lelaki yang telah menyita perhatiannya seminggu ini.
Ara mencoba mengatur nafasnya sambil sesekali menghembusnya perlahan. Ia tak mau apa yang terjadi dengan perasaannya akan kentara di hadapan Tommy, meski sebenarnya Ara merasa risih dengan tatapan tommy yang menatapnya saat ini.
"Maaf Kak, udah lancang duduk di sini."
Sisil yang tiba-tiba saja sudah berdiri didepan Ara membuat Ara reflek menoleh ke arah pemilik suara itu.
"Hhhh.." Tarikan nafas ara begitu lega setelah mengetahui ternyata yang datang Sisil, bukan Zayn.
"It's okey, gak pa-pa selama meja ini kosong."
Sisil hanya tersenyum mendapati Tommy yang tak marah.
"Ra, ayuk!" Sisil menarik lengan Ara mengajaknya untuk pindah tempat.
"Ke mana?"
Sisil menatap Ara jengah. Di sini Sisil tak mau mencari masalah baru dengan Tommy, ia merasa takut tommy akan membalas ini nanti kepada mereka. Meski awalnya Tommy berkata tidak apa-apa, tetapi Sisil bisa menangkap senyum devil Tommy terhadap Ara.
Sisil masih mencoba menarik lengan ara. "Gue mau di sini." Ara menolaknya tegas.
"Silahkan!" Tommy menyahutinya sambil mengangkat kedua bahunya, lalu mempersilahkan Sisil untuk duduk di dekatnya.
Sisil masih tak percaya mendapati Tommy yang menepuk-nepuk kursi panjang di sampingnya, dengan pasrah sisil menuruti kemauan Tommy untuk duduk bersandingan dengannya.
Ara menatap Sisil penuh tanya, karena Sisil datang tanpa membawa satu pun pesanan miliknya dan Sisil hanya meresponnya dengan isyarat yang meragukan.
Ara berdiri, ia merasa sangat kesal. Tubuhnya yang sudah lelah, perutnya yang sudah terasa perih, di tambah kehadiran Tommy yang membuat mood makannya tiba-tiba menghilang.
Tanpa melihat situasi sekitar Ara menyambar tas selempang miliknya yang tergeletak di meja itu cukup kasar, kemudian pergi tanpa melihat ke belakang, dan.....
Bruukk !!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!