NovelToon NovelToon

Om Dokter Sarang Hae

Berkenalan

" Kenapa mbak Mell serapuh ini? " gumam Fitria dalam hati.

Fitria tidak tahan dengan situasi di dalam kamar sebuah rawat inap. Ia ingin berteriak. Ia berlari meninggalkan kamar kakaknya. Entah kemana ia berlari, iapun tak tahu. Saat ini ia hanya ingin berlari dan berlari meninggalkan orang-orang yang sedang berkabung. Sampai dia menabrak seseorang.

" Hei, hati-hati nona. Jangan berlarian seperti ini. " ujar seseorang yang Fitria tabrak.

" Maaf, dokter. Saya tidak sengaja. " jawab Fitria sambil sesenggukan dan menatap ke bawah.

Dokter yang Fitria tabrak, seperti tidak asing dengan suaranya.

" Nona..." panggilnya.

Fitria mendongakkan kepalanya. " Dokter..." sapa Fitria.

" Kalau tidak salah, kamu adiknya Armell? " tanya dokter itu. Fitria mengangguk sambil mengusap air matanya.

" Kamu kenapa? Kenapa berlarian seperti itu? " tanya dokter itu.

" Maaf dok. Saya tidak tahan di sana. Semua orang menangis. Saya jadi pengen nangis. Apalagi denger mbak Armell sama bang Seno seperti itu... Pipit jadi nyesek dok rasanya...." ujar Fitria sambil menangis kembali.

" Ssssss.....Udah jangan nangis di sini. Malu kalau di lihat orang. Masak udah gede kok nangis. Mau ke taman rumah sakit ini? Kamu bisa menangis sepuasnya di sana. " tawar dokter itu.

Fitria mengangguk. " Dokter mau menemani saya? Saya tidak tahu tamannya di mana. " ucap Fitria dengan polosnya.

Dokter Bryan mengangguk. Lalu mulai berjalan dengan di ikuti oleh Fitria dari belakang.

" Nama dokter siapa? " tanya Fitria.

" Bryan. "

" Oh, pantesan wajah dokter kayak orang bule. " ujar Fitria. Bryan tersenyum tipis. " Kalau nama saya Fitria dok. Tapi mbak Armell sama ibu manggil saya Pipit. " ucapnya memperkenalkan diri.

Mereka sama-sama berjalan menyusuri lorong rumah sakit dan menuruni anak tangga untuk ke taman yang di bilang oleh sang dokter.

" Dok, kenapa harus turun lewat tangga? Bukankah di rumah sakit ini ada liftnya? Turun dengan lift akan lebih cepat sampai. " ujar Fitria yang biasa di panggil Pipit oleh ibu juga kakaknya. Ia berjalan dengan agak cepat karena langkah dokter Bryan lebar.

" Kalau lewat lift, banyak orang yang memakainya. Nona akan bertemu banyak orang. Lihat mata nona yang sudah bengkak itu. Nanti di kira saya ngapa-ngapain nona. " sahut dokter Bryan sedikit bercanda.

" Pipit kan emang habis nangis dok. Ya wajarlah kalau mata Pipit jadi sembab. Tapi kan capek kalau harus turun tangga gini. Lama lagi. Kita tadi di lantai paling atas loh. " sahut Pipit.

" Ck. Masa gini aja capek. " ujar dokter Bryan.

" Ya capek lah dok. Haus. " gerutu Pipit.

" Bentar lagi sampai lantai paling bawah. Tinggal turun satu anak tangga lagi. Nanti saya belikan minuman. Biar hausnya hilang. " jawab dokter Bryan.

Pipit sudah tidak lagi menjawab. Semakin ia menjawab, maka tenaganya akan semakin berkurang.

" Tamannya di sebelah sana. " ujar dokter Bryan sambil menunjuk ke arah taman dengan jari telunjuknya sebelah kanan. Pipit mengangguk. " Nona kesana saja dulu. Nanti saya akan menyusul. " tambahnya.

Kembali Pipit menganggukkan kepalanya. Lalu ia berjalan menuju tempat yang di tunjuk oleh dokter Bryan tadi. Ia memilih duduk di bangku taman yang berada di bawah pohon cemara.

Setelah sampai di bangku itu, Pipit langsung meletakkan p*ntatnya di sana sambil menselonjorkan kakinya yang terasa capek. Lalu ia mengelap peluh yang ada di pelipisnya, dan mengibas-ngibaskan tangannya ke kanan dan ke kiri sehingga mengeluarkan sedikit angin untuk mendinginkan tubuhnya yang terasa panas.

Lagi-lagi setelah tubuhnya terasa lebih segar dan capeknya sudah berkurang, air mata Pipit meluncur begitu saja. Ia kembali teringat keadaan kakaknya. Ia bertanya dalam hati, kenapa kakaknya harus mengalami hal yang menyakitkan seperti ini.

Sroot....( bunyi Pipit menyedot ingus yang hampir meluncur dari dalam hidungnya karena ia menangis)

Pipit mengusap air matanya yang mengalir di kedua pipinya. Ia begitu menyayangi kakaknya. Ia tidak tega melihat kakaknya, Armell yang histeris karena kehilangan janinnya.

" Berhenti menangis dulu, nona. Minumlah ini. " Bryan datang sambil menyodorkan sebotol minuman ke Pipit. " Tadi nona bilang haus. Minum dulu baru menangis. Kalau tidak minum dulu, nona bisa dehidrasi karena banyak air yang keluar dari mata indah nona. " lanjutnya.

Pipit menerima botol minuman itu dari tangan Bryan. Sekuat tenaga Pipit membuka tutup botol karena biasanya tutup botol yang masih tersegel akan susah untuk di buka. Tapi Pipit sedikit terkejut karena ternyata tutup botol itu sudah tidak tersegel. Sepertinya Bryan sudah membukakan segelnya.

Setelah tutupnya di buka, Pipit segera menenggak habis minuman itu. Bryan sedikit menyunggingkan bibirnya dan duduk di sebelah Pipit sambil menenggak minumannya.

Melihat minuman Pipit sudah langsung kandas, Bryan mulai berbicara, " Masih haus? Punyaku masih. " tanyanya sambil menyodorkan botol minumannya yang masih terisi setengah.

Pipit menggeleng sambil meletakkan botol yang sudah kosong itu di sebelahnya. " Terima kasih banyak, om. " ucapnya.

" Sekarang kamu bisa menangis lagi sepuasnya. Kamu tidak akan dehidrasi. " ujar Bryan sambil tersenyum.

Pipit menggeleng. Raut wajahnya terlihat sangat mendung.

" Sepertinya nona sangat menyayangi Armell. " ujar Bryan.

" Tentu saja, om. Mbak Mell satu-satunya saudara yang saya punya. " jawab Pipit sambil menunduk.

Bryan menghela nafas berat. Ia juga merasa tidak tega melihat sahabatnya juga terpuruk seperti kakak dari gadis yang ada di sebelahnya ini.

" Mbak Mell terlihat begitu hancur. Dia berteriak-teriak histeris, om. " ujar Pipit sambil kembali meneteskan air mata. " Kenapa Mbak Mell harus mengalami hal ini? Hiks ..Hiks..." lanjutnya.

Bryan mengangkat tangan kirinya dan menepuk perlahan pundak Pipit.

" Kenapa mbak Armell harus kehilangan janinnya? Kehilangan janin yang bahkan belum ia ketahui keberadaannya. Padahal mbak Mell sangat menginginkan hadirnya seorang anak dalam pernikahannya. Hua ..Hua...." ujar Pipit di selingi tangisannya.

Bryan mendekatkan duduknya ke Pipit, kemudian merengkuh tubuh Pipit ke dalam dekapannya. Ia hanya ingin menenangkan adik ipar dari sahabatnya ini.

" Semua sudah takdir dari yang di atas. Kita sebagai manusia, hanya bisa berserah diri, ikhlas, dan bersabar menjalaninya. Nona juga tidak boleh seperti ini. Jika nona ikut bersedih seperti ini, maka Armell juga akan semakin bersedih. Jika nona menyayangi kakak nona, nona harus bisa ikut memberinya semangat. " ujar Bryan.

Mendengar ucapan Bryan, hati Pipit terasa lebih tenang. Ia melepaskan diri dari dekapan Bryan, lalu mengusap air matanya.

" Armell masih bisa hamil kembali. Asalkan ia mau mengikuti saran dari dokter Ratna. Mengikuti terapi, pengobatan rutin, dan meminum suplemen untuk kesuburan. " terang Bryan.

" Jadi mbak Armell bisa hamil lagi om? " tanya Pipit memastikan. Bryan mengangguk sambil tersenyum.

" Jadi, sebaiknya nona jangan bersedih seperti ini lagi. Kita harus bisa memberikan semangat untuk Armell. Juga Seno. Karena dia juga tidak kalah hancur. " ujar Bryan.

Pipit mengangguk, kemudian dia menyunggingkan sedikit senyumannya.

" Kita kembali ke atas sekarang? Mereka pasti mencari nona. Jangan sampai om Adi menduga nona hilang. Beliau bisa meratakan rumah sakit ini jika sampai itu terjadi. " ujar Bryan sambil terkekeh.

Pipit mengusap perutnya. " Tapi Pipit lapar om. Belum makan dari tadi pagi. " ujar Pipit sambil menyengir.

" Ya sudah, ayo kita ke kantin dulu. Saya akan menemani nona. " sahut Bryan.

" Hanya menemani? " tanya Pipit memastikan.

Bryan mengangguk. " Saya tadi sudah makan siang nona. Jadi tidak mungkin kalau saya makan lagi sekarang. " jawabnya.

Pipit tiba-tiba terdiam dan sedikit cemberut. Bryan tersenyum merasa gemas dengan wajah belia yang ada di sebelahnya ini.

" Baiklah, saya akan memesan secangkir kopi. Sepertinya secangkir kopi tidak buruk sambil menemani nona makan. " ujar Bryan.

" Bukan itu maksudnya om. " sahut Pipit. " Pipit nggak bawa uang. Jadi kalau om cuma menemani Pipit, gimana Pipit bayar makanan Pipit? " lanjut Pipit lirih.

" Pfft...." Bryan menahan tawanya. Adik ipar sahabatnya ini sangat lucu selain cantik tentu saja. " Jadi nona mau, saya membayari makanan nona? " tanya Bryan. Yang di jawab anggukan oleh Pipit.

Bryan tersenyum, " Baiklah. Tidak masalah. Anggap saja sebagai tanda perkenalan kita hari ini. Ayo kalau gitu. " ajaknya

" Beneran om? " tanya Pipit dengan wajah yang berubah ceria.

Bryan mengangguk sambil berdiri dari duduknya. Lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku baju dokternya. " Ayo cepetan. " ajak Bryan kembali.

Pipit segera bangkit dari duduknya dan mengikuti Bryan dari belakang. Tapi tiba-tiba, Bryan menghentikan langkahnya. Yang membuat Pipit sedikit terkejut. Untung saja rem kakinya masih set. Jadi dia tidak menabrak tubuh tinggi nan kekar laki-laki yang ada di depannya.

" Bisa tidak nona jangan berjalan di belakang saya? " ujar Bryan sambil memutar tubuhnya ke belakang.

" Hem? " Pipit tidak mengerti maksud ucapan Bryan.

" Berjalanlah di samping saya. " ucap Bryan sambil menunjuk sebelahnya yang kosong dengan kepalanya.

" Oh .." sahut Pipit dan kemudian ia berjalan di samping Bryan.

" Om, bisa tidak jangan memanggilku nona? Agak aneh dengernya. " pinta Pipit saat mereka sedang berjalan menuju kantin rumah sakit. " Panggil aja saya Pipit. Seperti mbak Armell sama bang Seno juga. " lanjutnya.

" Baiklah, Pipit. " sahut Bryan sambil tersenyum.

" Dan jangan berbicara terlalu formal sama saya. Santai saja om. Pipit nggak biasa bicara formal gini. Lagian om kan sahabatnya Abang Pipit. Jadi anggap saja Pipit ini adik atau ponakan om aja. Biar nggak terlalu kaku. " ujar Pipit. Dan tentu saja di iyakan oleh Bryan.

***

bersambung

Halo guysss..... Ketemu lagi .... Othor udah mulai buka nih lapak buat Pipit juga Bryan...Sesuai janji othor ya...Akhir bulan, othor mulai cerita Bryan-Pipit....

Ayo, ramaikan lapak ini juga ya guys ....Jangan lupa untuk di like, vote, komen, juga klik favorit Yach ...

Makan siang bersama

Tuan Adiguna dan istrinya serta ibu dan Pipit juga di buat bingung oleh kondisi Armell. Sudah sejak pagi sebelum mereka tiba di rumah sakit, keadaan Armell seperti itu.

" Baby, makan dulu ya. Dari pagi kamu belum makan. " rayu Seno. Tapi tetap tidak ada jawaban dari Armell. Ia masih dengan posisinya. Duduk dengan kaki di tekuk dan kepala menyandar di kedua lututnya.

Seno menghela nafas panjang dan matanya kembali berkaca-kaca. Ibu Armell mendekat, dan mengambil alih piring dari tangan Seno.

" Biar ibu coba. " ucap sang ibu. Dan Seno mengangguk.

Ibu mendekati Armell. Beliau menyendok nasi dan lauk dengan sendok. Lalu membawanya ke depan mulut Armell.

" Makan, nak. Ibu suapi. Sudah lama kan nggak di suapi sama ibu? Ayo buka mulutnya. Aaa....." ujar ibu Armell.

Melihat itu semua Pipit merasa hatinya ikut sakit. Matanya mulai berkaca-kaca. Melihat keluarga suami dari kakaknya yang begitu perhatian terhadap kakaknya, juga kakak iparnya yang terlihat begitu sayang kepada kakaknya membuat Pipit bersedih. Ia bersedih karena kondisi kakaknya yang seperti itu, membuat semuanya menjadi serba salah.

Keadaan masih sama. Armell sama sekali tidak merespon. Ia tetap menutup mulutnya rapat-rapat. Ibu mencoba menempelkan sendok berisi nasi dan lauk itu di bibir putrinya. Tapi tetap sama. Armell masih tidak bergeming. Akhirnya ibupun menyerah.

Sore menjelang. Seorang psikolog datang ke kamar Armell. Beliau berusaha mengajak Armell berbicara banyak hal. Tapi Armell tidak menunjukkan respon sama sekali. Ia tetap asyik dengan kesedihan dan rasa bersalahnya.

Bryan yang kala itu datang bersama sang psikiater, melirik sekilas ke arah Pipit yang berada di pojok ruangan sambil menggigit kuku jarinya. Ia terlihat begitu tegang. Terlihat raut kesedihan di wajahnya.

Setelah psikiater mencoba berkomunikasi dengan Armell dan mencoba berbicara, sang psikiater segera keluar dari ruangan. Terlihat raut kekecewaan dari semua orang.

Bryan mengajak Seno keluar ruangan. Dan tanpa pemberitahuan, Pipit mengikutinya. Ia juga ingin tahu apa yang di bicarakan oleh dokter Bryan dan iparnya.

" Sen, istrimu masih begitu terpukul. Sepertinya psikiater belum berhasil kali ini. " ujar Bryan.

Seno terlihat menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya.

" Sepertinya gue tidak akan meneruskan lagi cara ini . Sepertinya akan percuma. Armell terlalu sibuk dengan kesedihannya. " sahut Seno.

" Bang, jangan gitu dong bang. Jangan putus asa. " ujar Pipit.

" Abang bukannya putus asa. Tapi kamu lihat tadi kan, kakak kamu tidak menunjukkan respon apapun. " jawab Seno.

" Tapi kita harus tetap berusaha, Sen. " sahut Bryan.

" Iya, gue tahu. Kita akan bicara dengannya sedikit demi sedikit. Kita akan melakukannya pelan-pelan. " ujar Seno. " Kamu mau kan bantu abang, bicara pelan-pelan sama kakak kamu? " tanyanya ke Pipit.

Pipit mengangguk, " Pasti bang. " jawabnya.

" Gue masuk dulu. " pamit Seno sambil menepuk pundak Bryan.

Bryan dan Pipit hanya bisa memandang punggung Seno yang berjalan masuk ke dalam ruang rawat inap Armell.

" Kasihan bang Seno. " ujar Pipit.

" Iya, kasihan mereka. " sahut Bryan. Pandangan mereka masih terfokus ke pintu ruangan yang telah kembali tertutup.

" Mbak Mell masih tidak mau makan. " ujar Pipit sambil memutar tubuhnya dan duduk di bangku yang ada di samping pintu masuk kamar Armell.

Bryan mengikutinya duduk di sebelahnya. " Dia gadis yang kuat. Dia pasti bisa melalui semua ini. Kita hanya perlu berusaha membuat moodnya membaik. " ujar Bryan.

" Hah.." Pipit mendesah sambil menyandarkan kepalanya di dinding rumah sakit. " Om, bantuin balikin kakak Pipit seperti dulu. " pinta Pipit sambil memejamkan matanya.

" Lo nggak usah khawatir. Gue pasti bantu. Cuma sekarang kita belum menemukan solusi yang tepat aja. " jawab Bryan.

Kini hubungan Pipit dan Bryan sudah tidak kaku seperti saat mereka baru berkenalan. Setelah acara makan di kantin, mereka menjadi dekat. Bahkan Bryan sudah menggunakan bahasa informal saat berbicara dengan Pipit.

" Berdoa saja semoga kakak Lo bisa segera membaik. " lanjut Bryan.

Pipit mengangguk lemah. " Iya om. " jawabnya.

" Sebenarnya banyak juga pasien yang mengalami hal ini. Tapi mereka akhirnya bisa move on. " lanjut Bryan.

" Semoga saja mbak Armell juga bisa segera move on. Kasian bang Seno juga. Dia juga sudah kehilangan. Tapi di tambah keadaan istrinya yang seperti ini. Dia pasti benar-benar down. " sahut Pipit.

" Iya. Gue udah bicara banyak sama dia. Insyaallah dia akan kuat. Ini adalah cobaan yang mampir di kehidupan rumah tangga mereka. " jawab Bryan.

Pipit mengangguk. Suasana menjadi hening. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

" Ngomong-ngomong, Lo lagi liburan sekolah atau gimana? Kok lama Lo di sini. Bukannya Lo masih SMA kan . " tanya Bryan.

" Ijin om. Kemarin niatnya cuma ijin dua hari. Cuma buat datang di acara wisuda mbak Mell. Tapi malah ada kejadian kayak gini. Mana mungkin Pipit pulang kalau mbak Mell masih kayak gini. " jawab Pipit.

" Oh..." sahut Bryan. Kemudian ia melihat jam tangannya. " Udah jam segini. Makan yuk di kantin. Lo pasti belum makan. Kebetulan gue juga belum makan siang. " ajak Bryan.

" Di bayarin lagi sama om? " tanya Pipit.

Bryan mengangguk dan tersenyum.

" Ih, nggak ah. Pipit nggak enak. Masak di bayarin terus sama om dokter. " sahut Pipit.

" Ya udah, kalau gitu Lo gantian yang bayarin. " ujar Bryan.

Pipit menggeleng, " Pipit mana punya uang buat traktir om dokter. " ujarnya.

Bryan tersenyum lalu berdiri dari duduknya. " Ayo, nggak usah sungkan. Gue yang bayarin. Besok kalau Lo dah kerja, dah punya duit sendiri, Lo gantian yang bayarin. " ajak Bryan.

" Kuy lah. " jawab Pipit bersemangat dan langsung berdiri dari duduknya. Membuat Bryan geleng-geleng kepala. Sungguh amazing pikir Bryan.

Mereka berjalan berdampingan. Sambil sesekali bercanda. Selama perjalanan menuju kantin, beberapa kali mereka bertemu dengan suster-suster muda. Pipit perhatikan, gelagat aneh dari laki-laki yang ia panggil om dokter itu.

Sesekali Bryan mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum kala bertemu dengan suster-suster itu. Dan suster-suster itupun menyambutnya dengan sangat antusias. Sepertinya om dokter ini sangat terkenal di rumah sakit ini. Pikir Pipit.

Tak lama, mereka sampai di kantin. Bryan mengajak Pipit duduk di kursi yang berada dekat dengan dinding kaca besar dimana mereka bisa melihat pemandangan ibukota. Karena kantin yang ini berada di lantai 15.

Pipit nampak keheranan. Wah, benar-benar rumah sakit yang elit.

" Om emang ada berapa kantin di rumah sakit ini? " tanya Pipit keheranan. Karena kantin yang mereka datangi kali ini, berbeda dengan kantin yang kemarin.

" Ada tiga. Satu di lantai dasar, yang kemarin itu. Lalu satu lagi ada di lantai 10. Dan ini yang ketiga. " jawab Bryan.

Tak lama, datang seorang gadis yang cantik menghampiri mereka.

" Eh, dokter Bryan. Selamat siang, dok. " sapa gadis itu.

" Siang nona Zana. " sapa Bryan balik dengan senyum manisnya.

Membuat gadis yang berdiri di sampingnya nampak salah tingkah. Ia tersenyum malu-malu sambil merapikan rambutnya dan diselipkan di belakang telinga.

" Dokter mau makan apa nih? " tanya gadis itu.

Oh, sepertinya gadis itu adalah pelayan di kantin itu.

Bryan tersenyum, menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, sambil mengelus dagunya ia berkata, " ingin makan kamu. " godanya.

Si gadis nampak tersipu di buatnya. Gadis itu memang cantik. Kulitnya bersih, meskipun agak kecoklatan warnanya. Tapi tak menutupi kecantikannya. Tubuhnya molek.

Pipit memandang gadis itu dari atas sampai bawah. Lalu kembali mengamati Bryan yang duduk di depannya. Ia merasa agak tidak nyaman.

Bryan segera mengingat kehadiran Pipit di sana. Ia tadi sempat lupa jika ia tidak datang sendirian. Ada anak di bawah umur yang datang bersamanya.

" E hem. " Bryan berdehem menghilangkan suasana tidak nyaman yang tadi sempat di buatnya. " Lo mau makan apa Pit? " tanyanya ke Pipit.

" Mmm...apa ajalah dok. Saya suka semua jenis makanan. " jawab Pipit.

" Oke. " jawab Bryan. lalu ia segera memesan makanan untuknya dan untuk Pipit. Setelah memesan makanan, Bryan membiarkan gadis tadi pergi menjauh darinya. Padahal dia belum selesai menggoda dan merayunya.

Saat sedang menunggu makanan tiba, tiba-tiba ada seorang dokter muda menghampiri mereka. Kalau di lihat penampilannya, seperti masih dokter magang alias koas.

" Hai, dokter Bryan. " sapa dokter koas itu.

" Hai. " Bryan menyapanya dengan senyuman. " Kamu...." Bryan mengerutkan keningnya mengingat-ingat nama dokter koas itu.

" Michelle dok. " sahut dokter itu mengingatkan Bryan siapa namanya.

" Oh iya, sorry. Saya sedang banyak pikiran jadi kurang fokus. " sahut Bryan sambil tersenyum.

' Ilih modus. ' gumam Pipit dalam hati. Sepertinya Pipit mulai paham situasi.

" Mau makan siang dok? " tanya dokter koas itu.

" Iya. " jawab Bryan singkat.

" Wah, sayang sekali...Saya malah barusan selesai. Seharusnya saya bisa menemani dokter makan siang. Tapi dokter Diego memanggil saya. Beliau bilang mau ada operasi mendadak. " ujar dokter Michelle dengan tampang penuh penyesalan.

" Tak apa, dokter Michelle. Kebetulan saya di temani sama adik saya. " jawab Bryan.

Dokter Michelle segera melihat ke arah depan Bryan. Ia sedikit tersenyum menyapa Pipit. Dan Pipit pun tersenyum menyapanya.

Lalu dokter Michelle sedikit membungkuk, dan membisikkan sesuatu di telinga Bryan, " Bagaimana kalau nanti malam kita habiskan malam bersama? "

Membuat Bryan tersenyum menyeringai. " Boleh juga. " jawabnya. Lalu dokter Michelle meninggalkan sebuah kecupan di pipi Bryan sebelum ia meninggalkannya. Bryan tersenyum menerima kecupan itu dan memukul pelan pan**t dokter Michelle.

Dokter Michelle tersenyum, " I Will call you. " ucapnya sembari berjalan meninggalkan mereka.

" Pacarnya om dokter? Cantik. " ujar Pipit ketika Michelle telah berlalu.

***

bersambung

Dasar bocah

Dokter Michelle tersenyum, " I Will call you. " ucapnya sembari berjalan meninggalkan mereka.

" Pacarnya om dokter? Cantik. " ujar Pipit ketika Michelle telah berlalu.

" Hem? " sahut Bryan. " Ah, bukan. " jawabnya enteng.

" Kalau bukan pacar, kenapa terlihat mesra gitu? Terus tadi om dokter juga menggoda si mbak-mbak tadi. " tanya Pipit kembali.

" Sebenarnya om dokter ini sifatnya bagaimana sih? " Pipit berdialog sendiri.

Bryan tersenyum mendengarnya. " Lo tu masih kecil. Masih bocah. Nggak bakalan ngerti masalah kayak gini. Mending lo pikirin sekolah yang bener. Masalah orang dewasa kayak gini, belum waktunya Lo tahu. " jawabnya.

Pipit hanya mengendikkan bahunya. Ia nampak tidak begitu peduli dengan bagaimana sebenarnya si om dokter ini.

Tak lama, pelayan tadi datang menghampiri dengan membawa minuman yang mereka pesan. Ia meletakkan di atas meja sambil sesekali melirik ke arah Bryan. Dan jangan tanya bagaimana reaksi Bryan. Ia sesekali mengerlingkan sebelah matanya. Membuat Pipit yang sedari tadi ada di depannya merasa jengah.

Pipit tidak begitu memperdulikan apa yang ada di depannya. Ia segera menyeruput juice mangga yang tadi di pesannya sambil menunggu makanannya tiba.

" Om dokter genit banget. " ujar Pipit kala pelayan tadi sudah pergi dari sana

" Genit gimana? " tanya Bryan sambil mengaduk-aduk juice sirsak yang ada di depannya dengan sedotan.

" Itu tadi. Pakai kedip-kedipin mata. Ih, geli Pipit ngeliatnya. " ledek Pipit.

" Dasar bocah. " ejek Bryan.

Lalu suasana hening ada di antara mereka. Hanya suara serutupan minum yang terdengar, hingga makanan mereka tiba. Mereka lalu segera menghabiskan makanan mereka.

" Om, Pipit udah selesai makannya. Udah kenyang. Pipit mau ke kamar mbak Mell dulu. " pamit Pipit sambil mengelap mulutnya dengan tisu. " Terima kasih juga atas traktirannya. " lanjutnya.

Tanpa menunggu jawaban dari Bryan, Pipit segera berlalu dari sana. Bryan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap punggung Pipit yang telah berlalu dari hadapannya.

💫💫💫

Pipit membuka pintu ruang rawat inap Armell dengan perlahan. Keadaan masih sama. Kakaknya masih tetap berdiam diri. Seno berada di sampingnya sambil sesekali mengelus punggung Armell. Tuan Adiguna dan nyonya Ruth sudah tidak ada di sana. Mungkin beliau sudah pulang duluan.

" Bagaimana mbak Mell Bu? Apa masih tidak mau makan? " tanyanya saat ia menghenyakkan pantatnya di sofa di samping ibunya.

Sang ibu hanya menggelengkan kepalanya lemah sambil menatap ke arah Armell. Setitik air mata terlihat meluncur di pipi ibunya.

Pipit menggenggam tangan ibunya, lalu berkata, " Mbak Mell pasti akan segera baik-baik saja Bu. Mbak Mell perempuan yang kuat. Mungkin sekarang dia masih berkabung saja. " ujarnya. Ibu menganggukkan kepalanya sambil menepuk-nepuk tangan Pipit.

Pipit memindahkan tangannya di lengan ibunya. Ia mengamit lengan ibunya, dan meletakkan kepalanya di bahu sang ibu.

" Kamu habis dari mana? " tanya sang ibu.

" Makan siang Bu. " jawab Pipit.

" Sendiri? " tanya ibu kembali.

Pipit menggeleng, " Sama om dokter. " jawabnya.

" Om Dokter? Siapa itu om dokter? " tanya ibu .

" Dokter Bryan Bu. Temennya Abang. " jawab Pipit.

" Ooh..." sahut sang ibu. " Jangan suka merepotkan orang lain. " ujarnya.

" Pipit nggak ngerepotin kok Bu. Om dokter yang ngajak Pipit makan. Katanya sekalian nemenin dia makan siang. Daripada makan sendirian. " jawab Pipit. " Oh iya, ngomong-ngomong ibu juga belum makan siang. " Pipit teringat jika ibunya belum makan. Ia menegakkan kepalanya menghadap sang ibu. " Pipit belikan makan siang ya ? " tanyanya.

Ibu menggeleng. " Melihat kakak kamu seperti ini, mana bisa ibu makan Pit. " ujarnya sambil kembali menatap Armell.

" Pipit tahu Bu. Tapi ibu harus makan. Jangan sampai mbak Mell udah sakit gini, ibu juga ikut sakit. " ujar Pipit.

Ibu kembali menggeleng. " Mending kamu suruh abang kamu makan. Dari tadi pagi dia belum makan sama sekali. Kalau ibu kan tadi pagi udah makan dari rumah. " pinta sang ibu.

Pipit mengangguk, lalu ia berdiri dan berjalan menghampiri kakak iparnya yang masih setia menggenggam tangan Armell.

" Bang ..." panggil Pipit sambil memegang bahu Seno sebentar.

Seno menengok.

" Abang makan dulu gih. Dari tadi pagi perut Abang belum kemasukan apa-apa. " pinta Pipit pelan.

Seno menggeleng. Ia kembali menatap sendu ke arah istrinya yang masih tetap enggan untuk berkomunikasi. Kini ia bahkan menutup matanya rapat-rapat.

" Abang bisa sakit kalau nggak makan apa-apa. Kalau Abang sakit, gimana sama mbak Mell? " ujar Pipit.

" Abang nggak mungkin ninggalin kakak kamu sendirian. " jawab Seno.

" Mbak Mell nggak sendiri, bang. Ada ibu, ada Pipit. Kalau ada apa-apa, Pipit janji akan langsung kasih tahu Abang. " sahut Pipit.

Seno tetap menggeleng. Ia masih kekeh enggan untuk meninggalkan istrinya. Pipit menarik nafas beratnya. Ia memijat pelipisnya sesaat, lalu ia mendapatkan sebuah ide. Ia berjalan kembali ke tempat ibunya.

" Bu, Pipit keluar sebentar. " pamit Pipit. Ibu mengangguk tanpa bertanya Pipit akan pergi kemana.

Pipit segera keluar dari dalam kamar. Ia berjalan menuju ke ruang jaga suster.

" Permisi, sus. Mau tanya. " sapa Pipit.

" Oh iya, nona. Ada yang bisa kami bantu? " tanya salah satu suster yang ada di sana. Suster-suster itu sudah tahu siapa Pipit.

" Boleh saya tahu, ruangan praktek dokter Bryan ada di mana ya? " tanya Pipit.

" Oh, dokter Bryan. " ujar suster. Pipit mengangguk.

" Ruangan dokter Bryan ada di gedung sebelah. Lantai 15 juga. Nona cari saja kamar 156. Itu ruang praktek dokter Bryan. " jawab suster.

" Oh .."

" Nona bisa lewat jalur tengah situ. Kalau nona keluar dari ruangan VVIP ini, nona di situ ada penyeberangan ke gedung sebelah. Jadi nona tidak perlu turun dari lantai ini. " suster kembali memberitahu.

" Iya, terima kasih atas informasinya suster. " ucap Pipit. " Permisi. " pamitnya.

Pipit segera keluar dari ruangan VVIP. Ia melewati jalan yang di tunjukkan oleh suster tadi. Ia menyeberangi jembatan untuk ke gedung sebelah. Setelah sampai di gedung sebelah, Pipit segera mencari kamar yang di maksud oleh suster.

Setelah berkeliling sebentar, akhirnya Pipit menemukan kamar yang dia inginkan.

Tok....tok ..tok....( bunyi pintu di ketuk )

Ceklek

Seorang suster membuka pintu ruangan tersebut.

" Ada yang bisa saya bantu, nona? " tanya suster itu.

" Maaf, sus. Apa benar ini ruang praktek dokter Bryan? " tanya Pipit.

" Iya benar. " jawab suster sambil mengangguk.

" Apa dokter Bryan ada di dalam? " tanya Pipit.

" Ada nona. " jawab suster.

" Bisa saya bertemu sebentar, sus. Jika dokter Bryan sedang tidak ada pasien. " pinta Pipit.

" Oh, kebetulan dokter Bryan belum mulai praktek. Jadi beliau belum menerima pasien. Nona tunggu di sini sebentar, saya akan memberitahu dokter Bryan. " sahut suster.

" Terima kasih, sus. Nanti bilang saja kalau adik sahabatnya yang ingin bertemu. " pinta Pipit.

Suster mengangguk, lalu kembali masuk ke dalam ruangan. Pipit menunggu di depan pintu. Tak lama kemudian, suster tadi kembali keluar.

" Silahkan masuk, nona. Dokter Bryan sudah menunggu. " suster mempersilahkan Pipit untuk masuk.

Pipit mengangguk, lalu ia masuk ke dalam ruangan.

" Ada apa? " tanya Bryan tanpa melihat siapa yang datang.

Pipit menghenyakkan pantatnya di kursi di depan meja Bryan. Ia lalu menaruh ponselnya di atas meja, tepat di depan Bryan.

" Tolong, tuliskan nomer telpon om dokter di sini. Biar kalau saya butuh om, nggak usah capek-capek nyari kayak gini. " ujarnya.

Bryan tersenyum, " Modus nih sepertinya. " goda Bryan.

" Modus gimana? Pipit serius ini om. " ujar Pipit.

" Ya siapa tahu Lo naksir sama gue. Terus modus biar bisa dapet nomer telpon gue. " goda Bryan kembali. Tapi tak urung, ia mengambil ponsel Pipit dan mengetikkan nomer telponnya di sana, lalu menge-save-nya.

" Iddiihhh ... siapa juga yang naksir sama om dokter. Kayak nggak ada yang masih muda aja. " sahut Pipit.

" Ck. " Bryan berdecak kesal. " Nih, ponsel Lo. " ucapnya sambil mengembalikan ponsel Pipit. " Sekarang bilang, ada apa Lo nyariin gue. Bukannya tadi kita barusan ketemu? " tanyanya.

" Pipit mau minta tolong sama om dokter. " ujar Pipit. Ia menghela nafas kasar. " Bang Seno nggak mau makan. Terakhir ia makan kemarin siang pas acara wisuda mbak Mell. Tadi Pipit suruh makan, dianya nggak mau. Om kan sahabatnya, bujukin dia lah om, biar mau makan. Kalau di terus-terusin, dianya jadi sakit gimana? " ujarnya.

Bryan mengangguk, lalu melihat jam dinding. Kemudian ia berdiri, " Ya udah, ayo. Sebelum gue mulai praktek. " jawabnya.

Pipit ikut berdiri.

" Sus, tolong nanti waktu praktek saya di undur beberapa menit. Saya ada urusan mendesak sebentar. " ujar Bryan ke suster asistennya.

Sang suster mengangguk. Lalu Pipit dan Bryan segera berlalu dari sana dan menuju gedung sebelah.

" Lo, masuk aja ke kamar kakak Lo. Abang Lo, urusan gue. " ujar Bryan saat mereka sudah berada di ruang VVIP.

Pipit mengangguk dan segera masuk ke kamar rawat inap Armell. Dan Bryan entah kemana.

***

bersambung

Hai ..hai ..hai ...

Jangan lupa like'nya ya kak ...

Buat pada reader baru yang belum baca novel othor sebelum novel yang ini, baca dulu novel othor yang berjudul " My Handsome Police " yah....biar nggak bingung sama cerita di novel ini... nyambung soalnya guys....

Salam lope-lope sekarung...😍😍😍😘😘😘😘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!