Laura memandang dengan tatapan kosong ke arah taman rumah dari balkon kamarnya, cuaca sore itu mendung di sertai hujan deras yang sedang turun menyirami berbagai jenis tanaman yang tumbuh di taman rumah.
Cuaca hari ini menggambarkan perasaanku, bahkan mereka pun seperti mengejekku. Laura tersenyum sinis menatap langit mendung.
Laura teringat kejadian beberapa jam yang lalu, kejadian yang mengubah nasibnya mulai sekarang dan mungkin selamanya.
Tiga jam yang lalu.
"Laura, kamu di dalam kamar sayang ?" Mama memanggil dari luar pintu kamar.
"Iya mama, masuklah pintu nya tidak terkunci." Laura menyahut dari dalam.
Mama membuka pintu kamar, masuk ke dalam bergabung dengan Laura yang sedang duduk di sofa asik membaca buku yang berada di pangkuannya.
Laura duduk bersila melipat kedua kakinya bersandar duduk di sofa, meletakkan bantal sofa di pangkuannya mempermudah dirinya membaca buku yang sedang di bacanya.
"Sedang belajar sayang ?" tanya mama menatap anaknya yang sedang serius membaca.
"Tidak ma, Ara sedang membaca novel fiksi percintaan." Jawab Laura tersenyum tipis mengangkat pandangannya dari buku menatap Mama yang duduk di sebelahnya.
"Papa sedang mencari mu, ada yang ingin dia katakan padamu."
Laura mengerutkan kening mendengar perkataan Mama. "Tumben Papa mencari ku, Mama tahu apa yang ingin papa katakan ? Dia tidak memarahiku bukan ?" Pertanyaan beruntun yang diberikan Laura pada Mama nya.
"Kamu langsung saja menemui papa mu, ada hal serius yang ingin dia katakan pada mu."
"Baiklah, Ara akan menemuinya."
Laura menutup buku yang sedang di bacanya meletakkan di atas meja, bantal sofa di kembalikan ke tempatnya semula dan berdiri di ikuti Mama yang juga ikut berdiri.
Bersama mereka berdua turun ke bawah menuju ruang kerja di mana Papanya sedang menunggu.
Laura langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
"Mama memberi tahu kalau Papa mencari ku." Laura bertanya ketika masuk ke ruang kerja dan mendapati Papanya yang sedang duduk di balik meja kerjanya.
"Duduklah nak, ada hal serius yang ingin Papa bicarakan padamu." Papa berjalan keluar dari meja kerjanya menuju sofa yang berada di tengah ruangan. Laura dan Mama menyusul duduk di sofa.
"Sepertinya hal yang sangat serius." Komentar Laura melihat raut wajah kedua orangtuanya.
"Papa kemarin di panggil oleh Raja kita, yang mulia Arthur membahas masalah pernikahan Putra Mahkota pengeran Albert." Papa mulai bercerita.
"Apa hubungannya hal itu dengan Laura, Papa ?" Laura mengerutkan kening bertanya heran.
"Papa mu di panggil karena Raja mengikuti wasiat mendiang Raja terdahulu." Mama ikut berbicara.
"Wasiat yang isinya Putra Mahkota akan di nikahkan dengan anak perempuan keluarga kita, keluarga George." Tebak Laura yang di balas anggukan kepala oleh Mama.
Laura mulai tidak senang dengan arah pembicaraan yang sedang terjadi di antara mereka.
"Lalu ?" Laura kembali bertanya.
"Sesuai wasiat itu, kamu akan di nikahkan dengan pangeran Albert" Kata Papa, kalimat yang di takutkan Laura selama ini keluar juga dari mulut Papa nya.
"Tapi Papa setahu Laura tertulis di dalam wasiat anak pertama perempuan dari keluarga kita. Ara anak ke dua Papa jadi wasiat itu tidak berlaku untuk Ara." Protes Laura, tidak menerima keputusan yang diambil oleh keluarganya.
"Kamu tahu kalau Kakak mu tidak bisa menikah dengan keluarga kerajaan karena kondisi kesehatan yang tidak bagus." Mama berkata lembut membujuk Laura.
"Tapi Mama, Ara tidak ingin menikah dengan keluarga kerajaan." Protes Laura.
Sudah terbayang di kepala Laura bagaimana kehidupan nya nanti setelah menikah dengan pangeran Albert, memikirkan nya saja membuat Laura ngeri.
"Sayang kamu tahu bagaimana nasib keluarga kita jika kita menolak perintah Raja." Mama berkata lembut mengingatkan Laura.
"Kenapa Raja Arthur harus mengikuti wasiat mendiang Raja terdahulu ?"
"Wasiat mendiang Raja terdahulu sama seperti titah Raja yang tidak bisa di tolak Laura." Papa berkata dengan nada tegas.
"Tapi Papa -."
"Laura Clarissa George, kamu tidak bisa menolak pernikahan ini. Mau atau tidak kamu tetap harus menikah." Papa memotong perkataan Laura dengan nada tinggi.
Laura terdiam terpaku, air mata berusaha di tahanannya agar tidak mengalir keluar.
Jangan menangis Laura, hal seperti ini jangan sampai membuat air matamu mengalir.
"Aku tidak akan menikah Papa !" Tukas Luara sebelum berlari keluar ruangan.
Papa hanya menggeleng kepala melihat sikap Laura sedangkan Mama hanya menatap sedih pada Laura yang berlari keluar.
Tiga jam kemudian.
Laura tersadar dari lamunannya, hujan mulai reda tapi cuaca masih terlihat mendung. Laura menghela nafas panjang, mengutuk dalam hati wasiat itu.
Kenapa mendiang kakek harus membuat perjanjian seperti itu dengan mendiang Raja terdahulu walaupun mereka bersahabat dekat. Apakah mereka tidak memikirkan kemungkinan kalau cucu mereka belum tentu menyetujui keinginan mereka itu.
Albert Philip Seymour, Putra Mahkota yang tampan dan memiliki banyak kekayaan tapi sayang di mata Laura dia hanyalah pria sombong, seorang yang tidak pernah serius dan pelengkap dari semua itu adalah dirinya yang seorang playboy.
"Bella mana adik mu ? kenapa dia tidak turun untuk makan malam ?" tanya Papa.
"Masih di kamarnya Papa, katanya dia sedang tidak ingin makan." Jawab Bella sambil melirik Mama.
Mama menghela nafas. "Nanti akan Mama suruh pelayan mengantar makanan ke kamarnya." Mama berkata muram.
"Dia terlihat sangat sedih." Ucap Bella membuat kedua orangtuanya saling menatap.
"Kamu tahu adikmu, dia akan bersikap begitu kalau ada sesuatu hal terjadi di luar kemauannya." Mama berbicara sambil mulai menguyah makanannya.
"Aku merasa bersalah kepada Ara, andaikan kesehatanku baik-baik saja tentu hal seperti ini tidak terjadi kepadanya." Bella berkata.
"Kamu juga tahu Bella kalau keluarga kita tidak mungkin menikahkan mu dengan pangeran Albert mengingat kondisi kesehatan yang mungkin mempengaruhi garis keturunan keluarga kerajaan." Ucap Papa.
"Iya Papa, aku tahu hal itu hanya saja kita juga tahu bagaimana perasaan dan keinginan Laura. Laura tidak ingin di kekang oleh segala aturan yang harus dilakukan semua anggota keluarga kerajaan dan di tambah keinginannya menjadi pengawas perpustakaan kerajaan karena kecintaan terhadap buku-buku." Ucap Bella.
"Papa tahu itu semua Nak, Papa lebih tahu tentang kalian tapi kita tidak mungkin menolak perintah kerajaan." Papa berkata serba salah.
"Coba kamu bujuk adikmu Bella, buat dia menerima keputusan ini bagaimana nasib keluarga kita nanti jika dia menolak dan mempermalukan keluarga kerajaan." Mama berkata dengan nada lembut.
Bella mengangguk setuju. "Akan aku coba Mama."
Setelah itu percakapan mereka terhenti, sampai selesai makan malam tidak ada satupun yang bersuara terdiam dengan pemikiran mereka masing-masing.
Tok tok tok.
Lamunan Laura terhenti karena ketukan dari luar pintu kamarnya.
"Masuk !" Laura berseru menyahuti ketukan pintu.
Pintu kamar terbuka, pelayan masuk dengan bagi berisi makanan di tangannya.
"Aku tidak berselera untuk makan, bawa kembali makanan itu." Laura berkata dengan nada tegas.
Pelayan yang masuk membawa makanan hanya terdiam di tempatnya, tidak tahu harus mengikuti perintah siapa di antara Nyonya besar dan Nona mereka.
Laura menoleh melihat pelayan masih berdiri di pintu kamar yang terbuka. "Kenapa masih di situ ? kau tidak mendengar perkataan ku ?" Laura berkata dengan nada ketus.
"Tapi Non Ara ini perintah Nyonya besar, dia berkata untuk mengantar makan malam ke kamar Non Ara." Pelayan berkata serba salah.
"Bawa masuk ke dalam saja makan itu." Bella bersuara muncul dari belakang pelayan.
"Iya Non Bella." Pelayan berkata patuh, melangkah masuk ke dalam kamar. Pelayan meletakkan makanan yang di bawanya di atas meja kecil yang berada di tengah kamar Laura. Selesai meletakkan makanan yang di bawanya pelayan itu keluar kamar dengan menutup pintu kamar dari luar.
Bella bergabung dengan Laura yang berdiri bersandar di balkon kamarnya.
"Begitu sulit menerima keputusan keluarga kita ?" Bella bertanya pelan pada Laura.
Laura hanya tersenyum sinis mendengar perkataan kakaknya.
"Aku tahu kamu pasti membenciku." Bella kembali berkata.
"Bagaimana aku harus membenci mu jika hal ini bukan sesuatu hal yang kamu mau dan di luar kendali mu." Laura berkata muram.
"Jadi bagaimana keputusan mu ? Orang tua kita juga gelisah memikirkan hal ini. Aku tahu ini sangat berat untuk mu tapi bagaimana pun juga kamu tetap harus memikirkan nasib keluarga kita Ara."
Laura menoleh menatap Bella. "Aku tahu, aku tahu semua itu. Aku harus merelakan kebebasanku untuk keluarga kita. Orang lain berpikir ini adalah anugerah karena bisa menikahi keluarga kerajaan terutama Putra Mahkota tapi bagi ku ini adalah penjara seumur hidup.
"Aku hanya bisa berharap di balik ini ada hal yang indah yang menunggu."
"Semoga saja Ara." Bella berkata penuh harap.
Merasa tidak ada lagi yang perlu di bicarakan, Bella melangkah pergi meninggalkan Laura yang masih berdiri di balkon kamarnya.
Lelah dengan segala pemikiran di kepalanya, Laura memutuskan untuk tidur tanpa menyentuh makan malam yang terletak di atas meja kecil dalam kamarnya.
Esok paginya setelah selesai berpakaian rapi Laura turun ke bawah untuk sarapan dan berniat pergi ke kampusnya.
Turun dari tangga Laura melihat Papa yang duduk di ruang tengah sambil membaca koran pagi menunggu waktu sarapan.
Melangkah mendekati Papa dengan keputusan bulat di kepalanya.
"Papa ada yang ingin Ara bicarakan." Laura duduk di sofa dengan Papa.
Papa menutup koran yang di pegannya, manatap Laura yang balik menatap dengan raut wajah serius kepadanya.
"Apa yang ingin kamu bicarakan Ara ? Kamu sudah mengambil keputusan tentang masalah pernikahanmu ?"
Laura mengangguk. "Iya Papa, Ara sudah mengambil keputusan. Laura akan menikahi pangeran Albert."
Papa tersenyum lega mendengar keputusan Laura. "Syukurlah nak, Papa lega mendengarnya."
"Tapi Ara punya satu keinginan Papa."
Papa mengerutkan kening. "Apa keinginanmu Ara ?" tanya Papa penasaran.
"Saat selesai dengan pendidikanku, Ara ingin tetap bekerja di perpustakaan kerajaan Papa." Kata Laura penuh harap.
"Papa tidak yakin dengan hal itu Ara."
Mendengar perkataan Papa tidak membuat Ara putus asa.
Aku harus bisa meyakinkan Papa, hanya ini keinginan yang bisa ku perjuangan setelah kebebasanku yang akan hilang.
Ara memasang raut wajah memohon Pada Papa. "Kumohon Papa, tidak bisa kah Papa memohon pada Raja dan Pangeran Albert tentang hal ini ? Ara tidak meminta apa-apa selain ini."
Papa terdiam sesaat, memperhatikan raut wajah Laura mempertimbangkan keinginan Laura dengan apa yang telah dia korbankan.
Papa menghela nafas panjang. "Baiklah Ara, akan Papa coba usahakan."
Laura tersenyum bahagia, bangkit berdiri memutari meja untuk memeluk tubuh Papanya.
"Terimakasih Papa, Ara tidak ingin yang lain semoga mereka menyutujui keinginan Ara."
Papa membalas pelukan Laura, menepuk-nepuk punggung Laura dengan lembut.
"Akan Papa usahakan agar keinginanmu terpenuhinya."
🍃🍃🍃🍃
Mobil berhenti di depan gerbang kampus Laura. Laura mahasiswi semester terakhir jurusan sastra yang sedang mempersiapkan hari wisudanya yang akan di laksanakan beberapa hari ke depan.
Memasuki halaman kampus yang di penuhi dengan mahasiswa dari berbagai jurusan dan tentunya dari berbagai kalangan elit mulai dari anak pengusaha, pejabat dan para bangsawan.
Charlotte, sahabat Laura berjalan mendekat begitu melihat kedatangan Laura.
"Kenapa wajahmu seperti itu ? Kamu ada masalah ?" Charlotte bertanya begitu berada di hadapan Laura.
"Sedikit, ada sedikit masalah keluarga." Laura belum menceritakan masalah pernikahan, belum saatnya.
"Kalau ada yang ingin kamu ceritakan, aku siap mendengar." Charlotte tersenyum lembut, tidak memaksa Laura untuk bercerita.
"Terimakasih, jika tiba saatnya pasti akan aku ceritakan semuanya pada mu." Laura balas tersenyum.
Charlotte mengangguk tersenyum. "Ayo kita masuk, pagi ini kita harus bertemu Professor Smith." Ajak Charlotte.
Bersama mereka masuk ke dalam gedung kampus menuju ruangan Professor Smith.
Abraham George pergi menemui Raja Arthur di istana kerajaan untuk membicarakan masalah pernikahan Laura dengan pangeran Albert, juga tentang keinginan Laura yang ingin bekerja di perpustakaan kerajaan.
Abraham mendekati ruangan dengan dua pintu besar yang di jaga dua pengawal di depannya.
Salah satu pengawal langsung membukakan pintu untuk Abraham masuk ke dalam. Begitu masuk ke dalam kita bisa langsung melihat kemegahan dan kemewahan ruang kerja Raja Arthur yang bernuansa klasik Eropa seperti ruangan lain di istana Raja.
Di dalam ruang kerjanya, Raja Arthur tidak seorang diri melainkan ada penasehat kerajaan, dan pengeran Albert.
"Selamat pagi yang mulia, Abraham George menghadap yang mulia." Sapa Abraham formal pada Raja Arthur.
"Duduk lah Abraham." Perintah Raja Arthur.
Abraham berjalan ke tengah ruangan menuju kursi mewah bergaya klasik Eropa dengan dominasi warna emas sama seperti keadaan ruang kerja Raja Arthur, bergabung dengan pangeran Albert yang telah lebih dulu duduk di sana.
"Ada hal apa Abraham ? Bagaimana tanggapan keluarga mu tentang wasiat mendiang Raja." Ucap Raja Arthur keluar dari mejanya untuk bergabung dengan Abraham kursi yang di susul dengan penasehat kerajaan.
"Aku datang karena ingin memberitahu kan yang mulia tentang hal ini." Abraham melirik sekilas pada pangeran yang masih terdiam di tempatnya duduk.
"Ya lalu ?"
"Anakku menyetujui pernikahan ini yang mulia."
"Bagus, kita akan segera melangsungkan acara pertunangan dengan anak perempuan pertama mu."
"Maaf yang mulia, yang akan menikah dengan pangeran Albert bukan anak pertama ku tapi anak keduaku." Abraham berkata ragu-ragu.
Raja Arthur mengerutkan kening mendengar perkataan Abraham. "Kenapa bisa anak keduamu yang akan kamu nikahkan dengan pangeran Albert, bukankah di wasiat mendiang Raja tertulis anak pertama ?"
"Maaf yang mulia, aku bukannya menentang surat wasiat mendiang Raja terdahulu hanya saja keluarga kami memiliki pertimbangan sendiri kenapa memilih anak kedua kami yang akan di nikahkan dengan pangeran Albert."
Pangeran Albert yang dari tadi bersikap cuek mulai sedikit tertarik, perhatiannya kini teralih pada calon mertuanya.
"Pertimbangan seperti apa maksudmu ?" tanya Raja Arthur.
"Anak tertua keluarga kami memiliki masalah dengan kesehatannya, fisiknya lemah dan sering sakit-sakitan. Kami berpikir mungkin kesehatannya bisa menghambat pangeran Albert untuk memiliki keturunan jadi kami berpikir anak kedua kami bisa menggantikan anak pertama kami untuk menikah dengan pangeran Albert."
Kasian terdiam sambil berpikir. " Hmmmm... begitu." Gumam Raja Arthur pelan.
"Tapi itu tergantung dari yang mulia Raja dan yang mulia pangeran Albert." Abraham menambah, sedikit gugup.
Raja Arthur menoleh pada pangeran Albert yang dari tadi hanya diam mengamati. "Pangeran Albert, bagaimana menurut pendapatmu." Raja Arthur meminta pendapat.
Pangeran Albert hanya mengangkat bahu dengan sikap cuek dan santai. "Terserah ayahanda saja, aku juga tidak bisa menolak wasiat itu walaupun tidak ingin melaksanakan perjodohan ini."
Raja Arthur tepat bersikap tenang tidak terprovokasi dengan sikap dan perkataan pangeran Albert yang tidak bersikap sopan padanya.
"Aku setuju dengan pendapat keluarga kalian, sebenarnya tidak masalah anak pertama atau bukan yang terpenting adalah anak dari keturunan keluarga George sesuai dengan surat wasiat mendiang Raja." Kata Raja Arthur akhirnya yang membuat perasaan Abraham menjadi lega.
"Terimakasih yang mulia Raja." Kata Abraham tersenyum lega.
"Siapa nama anak kedua mu Abraham ?" Raja Arthur bertanya.
"Nama nya Laura Clarissa George, yang mulia."
"Umur berapa ?" Lanjut Raja Arthur bertanya.
"Umur dua puluh dua tahun yang mulia, dia sekarang sedang mengurus persiapan acara wisuda nya yang akan di laksanakan beberapa hari ke depan, dia mengambil jurusan sastra yang mulia."
"Kalau begitu acaran pertunangan mereka kita langsungkan setelah acara wisuda anakmu."
"Ayahanda, kenapa kami tidak langsung menikah saja ?" Pangeran Albert tiba-tiba bersuara, menyela pembicaraan Raja Arthur dan Abraham.
"Albert kenapa kamu berkata seperti itu ?" Raja sedikit menaikan nada suaranya tidak menyukai perkataan pangeran Albert yang seperti mengejek.
"Kamu pasti tahu pernikahan anggota keluarga kerajaan tidak lah semudah itu, banyak tahap dan prosedur yang harus di lakukan. Ayah tahu kamu menentang pernikahan ini tapi sudah kewajibanmu untuk mematuhi wasiat mendiang Raja terdahulu yaitu kakekmu karena kamu merupakan Putra Mahkota penerus kerajaan ini." Raja Arthur menambahkan dengan nada tegas.
Semua orang di dalam ruangan bergeming mendengar perkataan Raja Arthur, pengeran Albert hanya bisa membuang muka tidak senang dengan situasi yang sedang terjadi di hadapannya.
Raja menoleh kembali pada Abraham. "Pihak istana akan mengabari keluarga mu kapan akan di laksanakan acara pertunangan mereka."
"Baik yang mulia." Abraham berkata patuh.
Abraham tetap bergeming di tempatnya setelah berkata seperti itu tanpa ada tanda-tanda ingin pergi membuat Raja menatapnya penuh dengan tanda tanya.
"Yang mulia ada yang ingin aku sampaikan." Abraham berkata ragu-ragu.
"Katakan Abraham." Ucap Raja Arthur penasaran.
"Ini keinginan dari putraku yang mulia."
"Iya katakanlah."
"Sebelum mengetahui perjodohan ini di bebankan padanya, dia memiliki keinginan besar untuk bisa bekerja di perpustakaan kerajaan sebagai pengawas. Putriku menyetujui pernikahan ini tapi dia berharap tetap bisa bekerja di perpustakaan kerajaan bahkan setelah dia menikah dengan pangeran Albert." Abraham menjelaskan dengan pelan berharap Raja Arthur bisa mengabulkan permintaan Laura.
"Tidak bisa Abraham." Raja langsung menolak dengan tegas. "Begitu menikah dengan Pangeran Albert, Putri mu langsung menjadi anggota keluarga kerajaan dan akan memiliki tugas tersendiri sebagai Putri Mahkota." Raja Arthur menambahkan.
"Maaf yang mulia, aku sedikit menambah." Penasehat kerajaan menyela pembicaraan mereka.
"Silahkan." Ucap Raja Arthur.
"Tuan Abraham, anda juga tahu bagaimana nanti image keluarga kerajaan jika Putri Mahkota bekerja di perpustakaan kerajaan. Kerajaan kita akan jadi sorotan media dan negara-negara lainnya." Kata penasehat kerajaan.
"Betul sekali apa yang di katakan penasehat kerajaan, jadi aku tidak bisa mengabulkan permintaan nya."
Abraham terdiam di tempatnya, membayangkan bagaimana reaksi kecewa Laura ketika mendengar penolakan Raja Arthur.
"Baiklah yang mulia, akan aku sampaikan kepada Putri ku." Kata Abraham beberapa saat kemudian. "Kalau begitu aku permisi yang mulia." Pamit Abraham yang di balas anggukan kepala oleh Raja Arthur.
Sesampainya di rumah Abraham langsung di sambut istrinya dengan raut wajah cemas bercampur khawatir.
"Bagaimana pertemuan Papa dengan Raja ?" tanya Mama bergabung dengan Papa duduk di sofa ruang tengah.
Papa menghela nafas panjang. "Raja menyetujui keinginan kita untuk menikahkan pangeran dengan Laura."
"Lalu kenapa wajah mu terlihat cemas begitu ?"
"Keinginan Ara tidak di setujui oleh Raja Arthur, Raja menolak keras keinginan Ara untuk bekerja karena di nilai merusak image kerajaan dan akan mengganggu tugas utamanya sebagai Putri Mahkota nanti." Papa menjelaskan.
Mendengar perkataan Papa membuat Mama ikut cemas.
"Kasian Ara Pa, dia pasti akan kecewa sekali."
"Mau bagaimana lagi, Papa juga tidak bisa menentang perintah Raja Arthur." Ucap Papa pasrah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!