"Satu bulan tidak ada whiskas dan kamu akan makan tulang ikan sisa aku." Gadis itu menggertak kucingnya. Sepertinya kesal, dia berjalan pergi dengan langkah kaki yang menghentak keras ke lantai.
Baru saja ingin merebahkan tubuh nya di kasur. "Bulan." Seseorang memanggil nya dari luar kamar.
"Ya?!" jawabnya.
"Cepat keluar!"
"Ck, aku tidak punya waktu untuk bersantai, ya?" Dia mengeluh dan berusaha untuk melangkah ke luar kamar.
Dia membuka pintu kamar nya dan sudah menampakkan pria berambut putih berdiri di hadapan nya. "Cepat mandi!"
Gadis bernama Bulan itu membelalak. "Bulan? Bulan sudah mandi, kok," seru nya dengan suara serak. "Ekhem." Dia mencoba mengembalikan suara nya.
"Mandi lagi. Cepat! Jangan membantah!" ujar pria itu dengan lantang.
"Iya." Bulan kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil pakaian nya. Ayah, pria yang menyuruhku mandi teratur tapi dia sendiri mandi sekali dalam satu hari bahkan biasa nya dua hari. Bulan mengumpat.
Mandi adalah hal wajib tapi jika berlebihan juga dapat menimbulkan hal negatif bagi tubuh, seperti kedinginan dan akan membuat kulit menjadi keriput. Rutin nya mandi tiga kali dalam satu hari.
Dengan memakai hoodie putih dan celana hitam bisa terlihat biasa saja tapi jika Bulan yang mengenakan akan terlihat lebih dari kata biasa. Rambut panjang melebihi pundak ia uraikan, tak lupa topi hitam yang selalu menemani nya.
"Sudah?" tanya pria yang merupakan ayah dari Bulan.
Bulan mengangguk. "Memang kita mau kemana?"
"Ke gedung untuk pernikahan," kata nya membuat Bulan menghentikan langkah di belakang ayah nya. "Loh, kenapa berhenti?"
"Siapa yang mau menikah? Ayah? Kalau gitu aku mau mengganti baju ku dulu." Bulan membalikkan tubuh yang berniat untuk kembali ke kamar.
"Eh, jangan! Nanti di sana sudah ada baju nya, kok."
"Eh? Benar?" tanya Bulan dan di jawab anggukan oleh ayah nya.
Kedua nya kembali melangkah ke luar rumah. Terdapat mobil berwarna hitam di luar yang seperti nya sedang menunggu mereka berdua.
Ayah Bulan itu membuka pintu mobil bagian tengah dan naik ternyata itu membuat Bulan bingung.
"Ayo, naik!" pinta ayah Bulan.
"Ayah, ini mobil siapa?" tanya Bulan penasaran.
"Udah, kebanyakan tanya. Ayo, naik!"
"Tapi-"
"NAIK!" Ayah Bulan sudah naik pitam pasal nya Bulan banyak omong sejak tadi.
Bulan pun memasuki mobil itu dengan perasaan tidak tenang. Mesin mobil dinyalakan lalu melaju perlahan meninggalkan rumah kecil dan sempit itu.
Pria yang biasa dipanggil dengan sebutan pak Teno itu merupakan pekerja serabutan yang setiap malam biasa nya berjudi dan pergi ke tempat karaoke untuk menikmati masa tuanya yang seperti nya akan berakhir sebulan lagi. Bulan yang merupakan pekerja keras itu tidak menyukai pekerjaan ayah nya, meskipun itu juga untuk menghidupi dirinya. Bukan hanya sekali untuk memberi tau pada ayah nya agar berhenti berjudi tapi itu tetap tidak berpengaruh apapun pada ayah nya. Lelah sudah, bahkan ia pernah berfikir untuk bisa menikahi om-om seperti sugar daddy di media sosial.
Sampai di gedung yang dituju. Aula di luar gedung terlihat sepi membuatmu Bulan semakin berfikiran yang tidak-tidak.
Hotel? Aku mau dijual, ya?-Bulan
Bulan terus membatin dalam setiap langkah nya. Hingga sampai di lantai 40 yang merupakan lantai paling atas. Bulan mengerutkan dahinya sembari berjalan menyusuri koridor.
Happy Wedding Purnama Bimangkara & Bulan Suci Lestari
Loh?
Bulan menghentikan langkah nya saat sudah berada di depan pintu sebuah ruangan besar. Teno yang menyadari nya segera berbalik dan menghampiri putri nya. "Ayo."
Bulan menggeleng. "Ayah, jual Putri, ya?"
"Ayo, nanti telat!" Teno sudah tidak sabaran itu menarik tangan Bulan dengan kasar.
Banyak nya bunga-bunga yang menghiasi ruangan yang terang dan luas itu. Tidak ada siapapun di dalam nya, kecuali pria yang mengamati dari sudut ruangan. Pria tinggi dengan kaos berwarna hitam berdiri di pojok ruangan dengan ekspresi wajah datar.
"Cantik?" celetuk seorang wanita dari samping pria itu. Pria itu tidak bergeming hanya menghembuskan nafas panjang.
Ternyata saat di dalam sebuah ruangan khusus, Bulan disuruh untuk mengenakan sebuah gaun mewah dan akan segera di rias.
"Selamat atas pernikahan nya," ucap seorang MUA di hadapan Bulan yang sedang menata gaun Bulan.
Bulan hanya tersenyum tidak tulus untuk menanggapi nya.
"Cantik sekali," seru MUA itu sekali lagi.
Bulan segera melihat pantulan diri nya di kaca cermin yang berada di samping nya.
Gaun ini seperti nya mahal. Apa suami ku akan baik padaku?-Bulan
Seorang pria tampan yang berada di khayalan Bulan hilang dan malah menjadi wajah pria tua berambut putih dan banyak brewok putih di wajah nya. Bulan menjadi geli dengan apa yang ada di pikiran nya.
Bulan mendudukkan tubuh nya di sofa dengan wajah gelisah. Detak jantung yang memenuhi pendengaran nya membuat hati nya menjadi tidak tenang.
"Pengantin ku ini kenapa?" ujar MUA membuat lamunan Bulan memudar.
"Saya, sebenar nya dijodohkan," ujar nya lalu menunduk.
"Saya tau kok." Bulan mendongak. MUA itu duduk di samping Bulan lalu memegang tangan nya. "Kamu, tenang saja. Dulu saya juga dijodohkan tapi saya sangat bersyukur karena suami saya sekarang sangat baik pada saya."
"Tidak semua pernikahan itu dikarenakan cinta tapi permintaan seseorang yang berarti dalam hidup kita itu juga bisa jadi alasan di laksanakan pernikahan."
"Pernikahan itu bersifat suci dan jika salah satu dari pengantin tidak melakukan itu dengan tulus mungkin satu bunga akan layu dan hancur."
"Cinta memang datang sendiri tapi dengan belajar mencintai itu akan membuat cinta menjadi lebih besar."
"Kamu, mengertikan apa maksud saya?"
Bulan mengangguk. "Terima kasih."
"Keep spirit!" MUA itu melangkah pergi meninggalkan Bulan sendiri, mungkin karena tugas nya sudah selesai.
Bulan dengan gaun mewah berwarna putih itu melangkah perlahan menemui calon suami yang berada di depannya. Bulan mendongak karena penasaran dengan wajah orang yang akan menjadi suaminya. Kedua nya duduk berdampingan.
Dump!
"Pengantin pria sudah siap?" Pak penghulu bertanya dan di jawab anggukan oleh nya.
"Pengantin wanita siap?" Bulan menatap calon suami nya lalu beralih menatap pak penghulu dan mengangguk.
"Saya nikahkan engkau Purnama Bimangkara bin Bimangkara dengan Putri saya Bulan Suci Lestari binti Teno dengan mas kawin sebesar satu miliar dibayar, tunai." Itu Teno yang menjadi penghulu pernikahan Bulan dan Purnama.
Bulan membelalak ketika mendengar satu miliar.
"Saya terima nikah nya Bulan Suci Lestari binti Teno dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Sah?!" Pak penghulu berteriak dengan lantang.
SAH
Hari ini tepat nya pada tanggal 22 bulan Februari, Bulan telah sah menjadi istri dari seseorang.
. . .
"Sudah sampai." Purnama melihat ke kebelakang, ternyata Bulan sedang tidur.
"Bulan, bangun!"
"Bulan."
"BULAN!"
Bulan terkejut dan itu membuat tubuh nya langsung bangkit berserta jiwa nya.
"Sudah sampai."
"Oh."
Bulan membuka pintu mobil lalu melangkah mengikuti Purnama dengan tubuh nya yang masih setengah.
Rumah besar dan terang karena lampu di luar yang mengelilingi rumah menambah unsur kemewahan. Bulan yang berasal dari keluarga miskin menikahi Purnama yang berasal dari keluarga berada.
Purnama membuka pintu rumah dan sudah di sambut oleh beberapa barang antik di dalam nya. Bulan tidak berhenti kaget setelah mengedarkan pandangan nya mengamati seisi rumah. Besar, luar mewah, elegan sangat berkelas.
"Bulan," panggil seorang wanita yang sedang menuruni tangga.
Bulan menoleh ke arah tangga yang berada di samping nya. Tidak berkutik dan pikiran nya mulai muncul hal tidak baik.
Jadi Purnama sudah punya istri dan istri nya terlihat lebih tua dari nya. Berondong muda yang mendapat mangsa janda tua, ya?
"Bulan, Menantu Mama." Wanita itu langsung memeluk Bulan membuat mata Bulan membulat.
"Kamu cantik sekali. Maaf, mama tidak bisa hadir karena lambung Mama kumat."
"Cantik, beruntung loh kamu Purnama dapat wanita cantik seperti ini daripada-" Wanita itu memotong ucapan nya. "Iya, kenalin mama Sinta Mama nya Purnama."
"Iya, Tante."
"Kok Tante, sih. Mama!"
"Iya, Mama," ucap Bulan dengan gugup.
"Ya sudah kalian istirahat, ya. Jangan lupa buatin mama cucu hehehe."
"Ma...!"
"Hehehe." Mama Sinta itu terus ketawa sambil berjalan meninggalkan Bulan dan Purnama.
Purnama berjalan menaiki tangga mendahului Bulan sambil membawa tas besar milik Bulan. Memasuki kamar yang hanya terdapat satu ranjang dan kasur. Bulan membelalak kaget ketika mendapati kamar Purnama yang super berantakan.
"Ini kamar, Mas?" tanya Bulan dan di jawab anggukan oleh Purnama.
"Kok berantakan," ucap Bulan sedikit takut.
"Saya sengaja ngelarang ART saya buat bersihkan kamar saya agar istri saya saja yang membersihkan."
Bulan membelalakkan matanya. "Terus aku harus bersihkan ini?"
"Iya, kalau kamu tidak mau bersihkan silakan tidur di luar."
"Em, oke."
Bulan memunguti satu per satu bungkus makanan yang berserakan di lantai. Purnama hanya duduk di kasur dan menonton Bulan. Tersisa satu plastik yang berada di samping ranjang. Baru saja melangkah untuk mengambil plastik itu tapi Bulan malah terpeleset dan jatuh karena botol air mineral.
"Auh," rintih Bulan. Purnama bergegas menghampiri Bulan. "Akh," lirih nya sembari memegangi kaki kanan nya.
"Sakit? Di sebelah mana?" tanya Purnama yang terlihat panik.
"T-tidak apa-apa kok, mas."
"Tidak bagaimana! Kamu keseleo ini."
"Sini!" Purnama meraih kaki kanan Bulan lalu memijat nya.
"Akh akh sshh sakit."
"Diam!"
Bulan bungkam seketika. Dia menatap wajah Purnama yang berada lebih dekat dari wajah nya. Purnama meraba kaki Bulan lalu menekuk nya dengan keras membuat Bulan menjerit.
"AAAA."
"BERISIK! Sudah?" Bulan mengangguk.
"Cepat ganti baju dan tidur!" Perintah Purnama selalu terdengar tegas di telinga Bulan.
Bulan berjalan menuju kamar mandi dengan langkah kaki nya yang pincang.
. . .
"Mas, ngapain?" tanya Bulan kala melihat Purnama menyiapkan alas di lantai dan bantal juga selimut.
"Saya, tidur di bawah memang nya kamu mau satu ranjang dengan saya?"
Bulan menggeleng. "Ya sudah tidur!" bentak Purnama membuat Bulan segera tidur.
Satu menit berlalu, ternyata Bulan belum tertidur. Dia melirik ke arah Purnama yang berada di samping kanan ranjang nya. Dia mengamati pergerakan Purnama. "Mas, belum tidur kan?"
Purnama yang benar belum tidur itu menoleh. "Kenapa?"
"Mas, tidur di sini saja pasti mas tidak biasa tidur seperti itu," ujar Bulan membuat Purnama berseri.
"Boleh?" tanya Purnama kembali. Bulan mengangguk dan dengan segera Purnama mengangkat bantal nya dan ia letakkan di samping bantal Bulan.
Satu pertanyaan terlintas di benak Bulan. Bukankah saat pulang tadi Purnama mampir ke toko bunga lalu membeli bunga tapi bunga itu tidak di berikan untuk Bulan lalu untuk siapa.
"Mas," panggil Bulan.
"Hm?" jawab Purnama yang membelakangi Bulan.
"Tadi Mas Purnama mampir ke toko bunga, itu bunga nya buat siapa?"
Setelah itu Bulan bisu seribu bahasa. Kini dia hanya tidur terlentang dan menatap langit-langit kamar.
"Itu gak penting." Sontak Bulan terkejut, Purnama menjawab dengan singkat padahal Bulan hampir mati terlentang.
Tring
Ponsel Bulan berbunyi yang menandakan ada pesan masuk. Bulan meraih ponsel yang berada di samping bantalnya. Membaca pesan nya berulang kali.
Ayah
|Bulan, ini Gita mau menyampaikan pesan.
|Bulan, yang tabah ya. Tuhan ternyata sayang sama Ayah nya Bulan.
|Di makam kan jam 8. Bulan, kesini,ya! Tadi Ayah titip sesuatu sama aku.
Air mata nya menetes. Dada nya menjadi sesak, tubuh nya gemetar seperti ada yang mengguncang. Purnama yang melihat Bulan menangis itu langsung mengambil alih ponsel Bulan dan membaca pesan itu.
'Tuhan ternyata sayang sama ayah nya Bulan'
Deg
Purnama menatap Bulan yang diam tidak bergeming. Bak dilempari sejuta batu, tetapi ditinggalkan oleh seseorang lebih menyakitkan daripada itu. "Ayah," ucap Bulan lirih.
Brukh
Tubuh Bulan melemas setelah penglihatan nya menjadi kunang-kunang. Dia pingsan di pangkuan Purnama.
"Ayah, maafkan Bulan karena belum sempat membuat Ayah bahagia," ucap nya lirih dan dalam penuh arti.
"Ayah, kenapa Ayah pergi padahal Bulan belum tau pernikahan ini apa."
"Ayah belum sempat kasih tau tapi Ayah sudah pergi."
"Bulan," panggil mama Sinta. Bulan melihat mama Sinta yang berada di samping nya.
"Ayah Bulan bukan jual Bulan tapi ayah Bulan dan Mama Sinta jodohkan Bulan dan Purnama. Bukan jual ya, sayang. Ayah Bulan lakukan ini karena beliau mengidap penyakit kanker stadium akhir."
"Kanker stadium akhir? Ayah tidak pernah cerita sama Bulan."
Bulan sangat terkejut mendengar pernyataan mama Sinta. Ayah nya selalu memarahinya dan ayah nya ternyata juga menyembunyikan hal yang sangat penting dari nya itu sangat parah.
"Ayah Bulan tidak cerita ya?" tanya mama Sinta dengan nada rendah. Bulan menggeleng dengan lemah.
"Karena ayah Bulan tidak mau kalau Bulan sedih." Bulan mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu dia memeluk batu nisan berwarna putih yang ditancap kan di gundukan tanah yang di penuhi bunga.
Teno Abdurrahman
Bin Rahman
Lahir : 27 Februari 1977
Wafat : 22 Februari 20**
. . .
24 22 20**
22.30
"Aku tidak mengenal suami ku lebih dari kata 'sibuk'. Sejak bangun tidur pukul lima aku sudah tidak melihat nya. Mama Sinta bilang jika dia sudah berangkat ke kantor. Apa dia akan membersihkan kantor terlebih dahulu? Suami ku sangat rajin ternyata. Malam ini aku hanya mencoba untuk menidurkan tubuh ku di atas kasur milik suami ku. Bayangan ayah masih terlintas di pikiran ku. Bulan purnama bersinar terang diluar sedang menyaksikan pahit nya kehidupan ku." Begitu kata nya.
Bulan mendengar suara pintu yang dibuka dan Bulan memutuskan segara menutup mata. Ternyata itu Purnama dengan jas hitam dan tas di tangan nya. Dia meletakkan tas nya di sofa seperti biasa, lalu melepaskan sepatu dan kaos kaki. Mencuci tangan dan kaki sepulang kerja adalah kebiasaan nya.
Purnama keluar dari kamar mandi dan langsung merebahkan tubuh nya di samping Bulan. Tangan nya memeluk tubuh Bulan dari belakang. "Helena," gumam nya di telinga Bulan.
Bulan terkejut, mata nya membulat. Penciuman nya mendapatkan bau alkohol dari mulut Purnama. Bulan mencoba berfikir hal baik, dia memejamkan mata nya dengan keras.
Helena, ya? Siapa dia? Pacar Purnama? Tidak, mungkin salah satu fans Purnama.
Malam yang dingin seakan sirna, dikalahkan oleh pelukan hangat dari pasangan. Sepasang insan tengah tidur dengan lelap, saling memeluk tanpa sadar. Mungkin kedua nya sedang mimpi indah. Hingga Ponsel Bulan berbunyi membuat sang pemilik nya bangun.
Mimpi indah itu seketika buyar, Bulan yang setengah sadar meraih handphone nya di nakas. Menerima panggilan itu.
"Iya? Hallo?" ucap Bulan dengan suara serak khas bangun tidur.
"Bulan, Mas Purnama sudah sampai di rumah belum?
Bulan sontak membuka lebar mata nya, lalu menduduki tubuh nya dan melihat ke arah suami nya yang tidur pulas.
"I-ini siapa, ya?" tanya Bulan.
Sekarang hati nya tidak tenang, gelisah. Bulan terus memandang Purnama.
"Ini Pacar nya Purnama. Masa' kamu gak tahu, sih!"
Nada bicara wanita di sebrang seperti sedang mabuk berat. Bulan menjadi ngeri.
"PACAR?!" Sontak Bulan menaikkan nada bicara nya hingga membuat Purnama terkejut sampai bangun.
"Bulan?" tanya Purnama lirih.
"Mas..."
"Kenapa?!" Purnama bangun ketika melihat Bulan yang meneteskan air mata.
"Loh? Mas Purnama, ya? Bulan, tolong sampaikan ke Mas Purnama, ya. Besok lagi."
Tut
Panggilan itu terputus. Bukan hanya Bulan yang mendengar tapi Purnama juga mendengar nya. Kedua nya saling menatap.
Panggilan telepon di handphone Bulan dari nomor yang tidak dikenal membuat malam itu menjadi seram. Bulan yang mulai sesak, tidak mengerti apa maksud itu semua mulai meneteskan air mata nya, tanpa sadar kedua pipi nya sudah basah.
Purnama yang melihat itu diam seribu kata, menatap Bulan dengan sendu.
"Mas..." lirih Bulan.
"Mas, sayang sama Bulan?"
Hati Purnama terlonjak kaget. Dia, Istrinya, tengah menangis karena nya. Purnama sudah tahu kalau panggilan itu memang benar dari kekasih nya.
Bulan memutuskan kontak mata nya dengan Purnama dan membuang muka. Segera ia menyeka air mata yang membanjiri pipi nya. Lalu beranjak turun dari kasur.
"Aku tidur sama Bila, aja." Bulan melenggang begitu saja meninggalkan Purnama yang masih diam membisu.
Bulan pergi tak lupa menutup pintu.
Rahang kokoh milik Purnama mengeras. "Argh..."
Nampak nya dia juga kesal. Meski belum mencintai Bulan tapi dia memiliki kewajiban sebagai suami nya.
Di sudut kota, tepat nya club dengan nama yang tidak biasa. Beragam warna lampu itu memenuhi ruangan, lagu dj yang menggema membuat para kelelawar yang ada di dalam nya melengok-lenggokkan tubuh nya.
Wanita berbaju merah dengan lipstik yang menyala tengah duduk di sifa sambil meneguk segelas minuman. "Sebentar lagi," kata nya sambil memutar air yang ada di dalam gelas itu.
"Bulan!" panggil Purnama mengejar Bulan yang berjalan sangat cepat menuruni tangga.
"Bulan, yang tadi itu pasti salah sambung."
Sontak Bulan berhenti. Ah, Bulan sudah cemburu, bagaimana kalau yang dikatakan Purnama benar?
Bulan berbalik. Purnama berjalan menuruni tangga lalu berdiri di hadapan Bulan yang tengah diam membeku.
"Kamu harus percaya sama Mas!"
"Bulan, iya, kan?"
Bulan yang menunduk akhirnya mendongak menatap Purnama lalu mengangguk.
. . .
25 02 20**
20.49
"Di rumah saja tidak usah berkerja," ucap Purnama dengan lembut.
Mata Bulan membulat sempurna. Tidak dapat berkata-kata Bulan hanya mengangguk. Purnama kembali fokus pada laptop nya, sedangkan Bulan masih diam membeku menatapi wajah tampan Purnama. Sebelum nya Bulan meminta izin pada Purnama untuk kembali bekerja menjadi florist tapi permintaan nya ditolak.
Seperti diguncang dunia yang luas tapi tidak bisa bergerak, apa lah daya jika di depan mata ada pemandangan indah.
"A-anu..."
"Bicara! Saya, tidak suka bertele-tele."
"Em... Besok aku mau pergi ke tempat kerja eh anu ke tempat kerja aku dulu em mau izin dulu, boleh?" ujar Bulan.
"Iya, aku antar," seru nya.
"Di antar, ya?"
"Kenapa? Tidak mau, ya?"
"Aa mau kok hehehehe," sarkas Bulan.
. . .
26 02 20**
8.36
"Saya, tinggal nanti hubungi saya kalau sudah selesai!" ujar Purnama di samping Bulan.
"Iya, mas," seru nya.
Purnama menatap Bulan yang tidak turun-turun dari mobil. "Ada apa?" bentak Purnama bertanya.
Bulan mengigit bibir bawah nya. Dia langsung beranjak pergi setelah mencium punggung tangan milik Purnama. Sedangkan, Purnama hanya menatap dengan wajah datar dan melakukan mobil nya dengan cepat.
Bunga-bunga memenuhi toko itu. Toko kecil dengan bau bunga yang semerbak. Warna-warni bunga membuat toko itu selalu ramai. Di samping toko terdapat halaman tempat menanam semua bunga. Banyak sepasang kekasih yang berfoto dan banyak pria yang memilih bunga, seperti nya ingin membelikan kekasih nya.
Pria tampan berdiri di samping rak bunga mawar. Bintang adalah teman kerja Bulan semenjak dua tahun yang lalu. Tanpa berfikir panjang Bulan menghampiri nya. Menepuk pundak nya membuat Bintang menoleh. Sontak pria itu terkejut. Entah apa yang membuat pipi nya memerah setelah melihat Bulan.
Bulan melempar senyum pada Bintang. "Hai, apa kabar?" sapa Bulan dengan ramah.
Bintang diam membeku, tidak berkutip hingga akhir nya seseorang datang.
"Bulan, apa kabar," sapa nya.
Bulan menoleh. "Baik, bos."
"Ada keperluan apa?" tanya nya.
Bulan baru membuka mulut tapi bos nya itu langsung menyambar. "Iya, selamat ya atas pernikahan nya," sarkas nya. "Bintang kalah cepat, sih."
Bintang segera menoleh ke arah bos nya dan menatap tajam. "Apaan, sih!"
Bulan hanya cengengesan. "Saya, mau berhenti kerja. Maaf, sebenarnya masih ingin tapi tidak diizinkan keluarga saya."
"Iya, saya tahu kok. Sekali lagi selamat atas pernikahan nya, ya."
"Iya, terima kasih."
Bos tampan Bulan itu pergi. Beliau sangat sopan dan juga ramah oleh karena itu Bulan ingin kembali bekerja.
Bulan merogoh saku nya untuk mengambil ponsel karena dia tidak membawa tas. Dia menyalakan ponsel nya. Mata nya membulat seketika. Dia memutar malas bola mata nya membuat Bintang bertanya-tanya.
"Kenapa?" tanya Bintang.
"A-aku, mau menghubungi Suamiku tapi aku lupa kalau aku tidak punya nomor ponselnya," ucap nya diiringi tawa ringan.
"Loh, nomor Suami nya kok tidak punya," gerutu Bintang.
"Aku, lupa tidak minta."
"Coba di cek lagi di kontak nya!"
Bulan mengangguk dan kembali membuka kontak yang ada di ponsel nya. Mata nya kembali membulat sempurna setelah melihat kontak bertuliskan Suami tampan.
"I-iya, ini ada," sarkas Bulan yang tidak mau jika Bintang ikut melihat nya.
"Sebentar, ya." Bulan melenggang pergi ke sudut ruangan yang sedikit jauh dari posisi Bintang.
Bintang hanya diam menatapi punggung gadis yang ia sukai sejak saat itu. Pertama kali bertemu masih canggung tapi setelah beberapa bulan Bintang dibuat jatuh cinta oleh nya. Ikhlas, relakan karena dia sudah menjadi milik orang lain dan itu adalah yang Bintang coba lakukan sekarang tapi sayang nya mungkin itu tidak berjalan mudah.
"Aku, pergi dulu, ya," pamit Bulan pada Bintang.
Mobil Purnama sudah berada di depan toko menunggu Bulan.
Bintang mengangguk sambil tersenyum lalu Bulan melangkahkan kaki nya selangkah tapi terhenti karena Bintang memegangi pergelangan tangan Bulan. Bulan berbalik. "Iya?"
"Ini, buat kamu," ucap nya memberikan setangkai bunga mawar berwarna merah pada Bulan.
Bulan tersenyum sambil mengambil bunga dari tangan Bintang. Dia pun melangkah pergi menaiki mobil Purnama. Bintang tersenyum kecut melihat kepergian kedua nya.
Bulan masih sentiasa memegangi bunga yang diberikan Bintang. Purnama melirik tajam ke arah Bulan.
"Itu tadi siapa?!" tanya nya dengan suara agak berat.
"Bintang, teman aku."
"Pacar kamu?"
"Bukan!" tolak Bulan.
Purnama kembali diam dan menatap ke arah depan dengan wajah serius. Apa dia cemburu? Tidak mungkin.
Perjalanan itu berjalan singkat karena toko tidak terlalu memakan waktu dari rumah. Bulan turun dari mobil dengan perasaan takut karena selama perjalanan Purnama hanya diam dan selalu menatap nya dengan tatapan mematikan.
"Lain kali jangan terima bunga dari orang lain!" ujar nya saat hendak masuk ke dalam rumah.
Bulan yang mendengar itu tubuh nya terasa seperti ada setruman. Mata Bulan berbinar melihat ekspresi Purnama tadi. Dengan wajah merah merona dan tatapan mata nya yang tajam tapi dalam arti nya.
"Mas Purnama, jealous?" tanya Bulan pada diri nya sendiri.
. . .
27 02 20**
"Ruangan pak Purnama dimana, ya?" Setelah mengumpulkan keberanian akhirnya Bulan bisa bertanya. Setelah memakan masakan istri nya ternyata Si Suami ketagihan.
"Siapa, ya?" tanya Wanita itu.
"Oh, saya, Istrinya." Bulan mengulurkan tangan pada nya.
"Helen."
"Bulan."
"Ruangan pak Purnama ada di lantai atas. Beliau sedang ada meeting jadi silahkan di tunggu." seru nya membuat Bulan melihat ke atas.
"Mari! Saya temani."
"Oh, iya, terima kasih," ucap Bulan dengan ramah dan dijawab anggukan oleh Helen.
Helen berjalan mendahului Bulan. "Cih, level bawah," gumam nya.
Sedangkan, Purnama berdiri diam sembari menatap punggung Selena rekan meeting nya yang memudar. Helen membuka pintu lalu masuk ke dalam ruangan.
"Engga cukup memang?" tanya Helen sambil menunjuk wajah nya sendiri.
"Maaf, saya khilaf," seru nya.
"Tadi ada istri kamu di luar."
Purnama mengernyitkan dahi nya. "Ya sudah, suruh masuk!"
Bulan memandangi Purnama yang berada di depan nya yang sedang menyantap makanan dengan lahap. Ayam goreng dengan sambal tomat sekaligus nasi hangat favorit nya.
"Kamu, sudah makan?" tanya Purnama.
"Sudah, tadi di rumah."
Purnama menganggukkan kepalanya.
Tok tok tok tok
Seseorang mengetuk pintu. "Masuk!" Lalu orang itu masuk.
Pria tinggi dengan kemeja putih dengan beberapa berkas di tangan nya menyapa Bulan dan Purnama dengan ramah.
"Ini, tanda tangan semua nya!" pintar nya.
"Iya, letakkan di situ saja!"
Pria itu meletakkan di meja Purnama, sebelum permisi untuk pergi.
"Sepertinya dia suka sama kamu," celetuk Purnama membuat Bulan menganga.
28 02 20**
Purnama duduk di meja kerja nya refleks melihat jam tangan nya, lalu tersenyum entah kenapa. Satu ide terlintas di pikiran nya. Dia meraih ponsel di meja nya.
Mengirim pesan untuk istri tercinta yang ada di rumah. Setelah itu dia berdiri tegak sambil membenarkan jas nya. Dia melangkah perlahan dengan senyum yang terukir di wajah nya.
Bulan di sebrang yang sedang memainkan game merias kesukaannya mendapatkan pesan masuk. Dia membuka nya lalu tersenyum lebar begitu bahagia.
Suami tampan
|Jam 7 saya tunggu di cafe roman.
|Dandan yang cantik jangan bikin saya malu!
You
Oke. |
Bulan segera beranjak dari tempat tidur nya untuk menuju almari. Dia membuka nya, mengamati satu per satu pakaian yang ada. Mata nya berbinar ketika mendapati dress berwarna hitam. "Bagus," gumam nya. "Tapi warna hitam, memangnya aku mau melayat?" lanjut nya dengan kesal.
Tok tok tok
"Ini, ada paket," ucap nya seperti meledek.
"Dari siapa, Ma?" tanya Bulan.
"Lihat saja dulu isinya," ujar nya.
"Mama tinggal, ya. Have fun!" Mama Sinta pun melangkah pergi ke luar kamar.
Bulan yang penasaran segera membuka isi tas itu. Tas pink dengan gambar love yang terlihat sangat lucu. Bulan mendapati kertas yang seperti nya surat. Bulan membuka nya.
Nanti pakai ini! Semoga kamu suka. P
Rambut yang terurai panjang ia bentuk menjadi sebuah gelungan. Dress yang menempel di tubuh nya membuat nya terlihat cantik. Apapun yang digunakannya pasti terlihat indah. Juga jangan lupakan bibir berwarna pink yang menunjukkan jati diri nya yang sebenarnya.
Bulan segera bergegas masuk. Dari nama nya saja sudah cafe roman yang pasti disini banyak sepasang kekasih yang sedang berkencan.
Bulan berjalan dengan anggun layaknya seorang perempuan. Hingga dia sampai di ruangan outdoor yang terdapat cahaya lampu-lampu yang indah menyinari. Mata nya berbinar ketika mengedarkan pandangan nya, Bulan merasa sangat senang.
Senyum lebar Bulan sirna seketika. Sepasang kekasih yang saling berpelukan membuat hati nya hancur. Wajah pria dan wanita yang tidak asing bagi nya.
"Mas Purnama?" ucap nya lirih.
Jarak yang lumayan jauh tidak membuat pria itu mendengar nya. Seperti sepasang kekasih yang saling mengobati rindu, sedangkan gadis itu sedang sakit hati. Dia korban bukan pelaku. Manik mata Bulan memanas begitu juga hati nya, tanpa sadar ia meneteskan air mata.
Dia yang tersakiti diselimuti banyak nya sepasang kekasih. Bulan, wanita yang dikhianati. Bulan berbalik berniat untuk pulang saja. Namun, langkah nya itu terhenti ketika melihat tubuh seorang pria menghalangi tubuh nya.
Bulan mendongak. "Bintang?"
Bintang tau, dia segera membawa Bulan kedalam pelukan nya. Hangat, rasa yang belum Bulan dapatkan dari suami nya kini ia dapatkan dari pria yang hanya berstatuskan teman.
Bulan terisak di dalam pelukan Bintang. Baju Bintang basah tapi ia sang pemilik nya tidak peduli. Hal yang terpenting baginya sekarang adalah membuat gadis yang ia cintai tidak merasa sebagai wanita yang tersakiti.
Bulan dan Bintang saling melepas pelukan lalu saling melemparkan senyum palsu. Kedua nya memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat yang membuat mata panas ini.
Tanpa kedua nya sadari,Purnama melihat punggung kedua nya. Istri nya yang mengenakan baju yang ia berikan tadi sekarang pergi dengan seorang pria.
Bulan lihat tidak, ya? tanya nya pada dirinya sendiri.
Tanpa merasa bersalah kedua nya malah melanjutkan pelukan itu tadi.
Bintang menatap Bulan yang duduk di kursi dengan sendu. "Ini!" Bintang menyodorkan botol air mineral pada Bulan.
Keduanya sedang berteduh dari langit malam di halte bus yang sepi. Hanya ada suara motor dan mobil yang lewat. Bulan meneguk air itu dengan puas. Dia menangis hingga kantung matanya membesar dan mata nya yang memerah. Begitu banyak air mata yang Bulan buang hari ini.
"Jangan sedih!" kata Bintang, dijawab anggukan singkat oleh Bulan.
"Makasih." Bulan terlalu lama menangis hingga suara nya ikut serak.
"Selesaikan semua nya dengan baik. Jangan sampai menyesal." Bintang begitu dewasa melebihi suaminya.
Bukankah pria dewasa tidak akan melukai hati seorang wanita? Jadi Purnama itu masih belum dewasa.
Malam yang begitu panas meski udara terasa dingin. Bulan pulang dan tidak mendapati siapa pun di rumah, seperti nya Mama Sinta sudah tidur. Bulan berjalan lurus menuju kamar nya.
Mata nya membulat lebar ketika melihat Purnama yang duduk di kasur sambil menatap ke arah pintu. Kedua nya saling menatap. Bulan berdiri, Bulan tersenyum ke arah Purnama sebelum melewati nya begitu saja.
"Bulan!" panggil nya.
Bulan menghentikan langkah nya, lalu berbalik. Purnama mendekat ke arah Bulan.
"Kamu, lihat?" Pertanyaan itu tentu saja membuat Bulan kembali mengingat hal itu tadi.
Bulan menghembuskan nafas berat nya, lalu membuang muka. Untuk pertama kali nya dia malas melihat wajah suami nya itu.
"Bulan," panggil Purnama sekali lagi, tetapi dengan suara yang terdengar lembut.
"Kamu pikir bagaimana?" sarkas Bulan sudah tidak tahan.
"Sakit, mas!"
"Bulan tau kalau Mas emang enggak cinta sama Bulan karena pernikahan ini terpaksa. Seenggaknya Mas hargai aku! Ajak aku jalan tapi waktu aku sampai di sana, Mas malah pelukan sama wanita lain."
"Aku sudah curiga tapi aku selalu berpikiran baik tentang kedekatan kamu sama Helen!"
"Sekarang terserah kamu. Aku ikut aja." Bulan pasrah, dia naik ke tempat tidur dan menutupi seluruh tubuh nya dengan selimut.
Purnama hanya terdiam, meski Bulan marah tapi tetap saja suara nya terdengar pelan. Purnama mencoba untuk tidak menganggu istri nya untuk saat ini. Dia memilih tidur sambil memandangi tubuh istri nya yang tertutup selimut.
. . .
"Maaf, sudah sembunyikan ini dari kamu," ucap Mama Sinta menghampiri Bulan yang sedang mencuci piring.
Bulan menghela nafas panjang lalu mengelap tangan nya yang basah. Dia menatap wanita yang merasa bersalah di hadapan nya itu. "Ma, ini bukan salah Mama. Bukan salah siapa-siapa. Memang dari awal aku yang datang dan aku penyebab ini semua." Bulan berucap dengan mudah membuat Mama Sinta mendongak menatap Bulan dengan dalam.
Perasaan bersalah nya semakin besar, andai saja dia mengatakan semua nya sejak awal. "Mama, akan bantu, kamu," kata nya sambil tersenyum.
"Bantu apa, ma?" tanya Bulan.
"Bantu untuk memisahkan Purnama dan Helen." Dengan bangga Bulan menggeleng.
Dia tersenyum ke arah mertua nya. "Enggak ada yang perlu dipisahkan, ma."
"Artinya kamu setuju?" tanya Mama Sinta tidak menyangka.
"Dari awal aku adalah orang ketiga nya, bukan dia. Hubungan mereka sudah ada sebelum Mas Purnama menikah sama aku, kan. Jadi Helen bukan perebut tapi ini adalah hak Mas Purnama untuk memutuskan. Aku sih ikut, aja."
Mama Sinta tersenyum ke arah Bulan. Menantu nya itu sangat baik padahal sudah menyaksikan perselingkuhan itu dengan kedua mata nya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!