Hello, perkenalkan nama gue Anggita Rahmawati. Gue lahir di Solo, namun besar di Jakarta. Tapi semenjak Kakek gue yang di Solo meninggal, kedua orang tua gue memutuskan pindah ke Solo untuk mengurusi pabrik batik warisan Kakek di sana. Sedang gue dan Abang gue memilih untuk menetap di Jakarta karena urusan pekerjaan.
Oke, gue bakalan cerita sedikit tentang gue. Gue ini anak bungsu dari dua bersaudara. Gue punya Abang yang mesumnya ngalahin Tante girang haus belaian, tapi berduit, jadi kalau gue lagi pengen apa-apa gampang. Muka Abang gue ini masuk kategori ganteng. Masalah body pun, Abang gue ini juara. Meskipun perut kotak-kotaknya tidak seoke model L-men, tapi kata salah satu temen gue bilang kalau bokong Abang gue paling top markotop. Bahkan beberapa temen kerja gue pun menjulukinya si Abang Boksi.
Jujur, awalnya gue tidak paham dengan julukan aneh itu. Tapi setelah Vinzi, salah satu sahabat karib gue memberi tahu. Gue jadi paham julukan itu. Gue pun akhirnya penasaran untuk membuktikan. Bahkan demi membuktikan itu semua, gue rela nungguin Abang gue boker kala itu, dan setelah si doi keluar dari kamar mandi langsung gue pantau seoke apa itu bokong, dan hasilnya cukup mencengangkan. Gue sampai melongo kala itu, saking nggak percayanya. Gue jadi heran, itu temen-temen gue matanya jeli banget. Tapi kalian tahu apa reaksinya kala gue memandanginya dengan tatapan kagum?
"Apa? Lo pengen pegang? Apa jangan-jangan pengen ngerasain go--"
Tanpa menunggu Bang Riki nyelesain kalimatnya, langsung gue menendang bokongnya saat itu juga. Alhasil, dada biasa Bang Riki pun sukses menyentuh lantai. Membuat gue terbahak puas, sementara Bang Riki jelas saja langsung menumpahkan segala umpatan, makian, sampai sumpah serapahnya.
Oke, udah kali ya, cuap-cuap tak berfaedah gue. Karena gue udah kesiangan dan harus menggoreng telor ceplok untuk juragan gue, yang gue yakini saat ini baru akan masuk kamar mandi.
Dengan langkah riang, gue menuruni anak tangga, kemudian berbelok menuju dapur. Membuka isi kulkas yang membuat gue melongo. Anjiirr, kenapa tidak ada stok telor di kulkas, dan kenapa cuma ada stok minuman kaleng Bang Riki? Dengan gemas, gue menepuk jidat gue sendiri karena lupa emang belum belanja bulanan.
Sialan!
Pagi gue indah banget, ya?
Sambil menghela nafas pasrah, gue membuka kulkas bagian atas. Beruntung saat menemukan ada bungkus naget di dalam freezer.
"Alhamdulillah, seenggaknya pagi gue nggak buruk-buruk amat." Dengan perasaan senang gue mengangkat bungkus naget yang ternyata enteng itu. Membuat gue gemas untuk kembali mengumpat.
"Astaghfirullah, mulut gue gatel banget pengen ngumpat."
Sambil mengusap dada, gue mencoba untuk bersabar.
"Sialan! Tinggal dua biji doang." Akhirnya karena gemas, gue berteriak. Bahkan umpatan yang gue tahan-tahan dari tadi pun keluar. "Sial banget nasib gue, ya Allah!"
Dengan pasrah, gue pun mulai menyalakan kompor untuk memanaskan minyak. Selagi menunggu minyak panas, gue pun berinisiatif untuk menyiapkan kecap dan juga bubuk cabe, yang diiklanin anaknya Sule itu lohh. Lalu gue lanjut dengan menyiapkan dua piring nasi.
"Selamat pagi Adek-kuh sayang!"
Dalam hati gue meringis tak enak, kala mendengar sapaan riang dari Bang Riki. Wah, sepertinya mood-nya lagi bagus. Tapi sebentar mungkin akan hancur karena kelalaian gue.
"Dududu, calon istri idaman. Pagi-pagi udah di depan kompor, nyiapin nasi segala pula. Mau minta apaan lo?"
Seketika gue menoleh, meringis lalu menggeleng. Baru kemudian meniriskan dua buah naget yang baru selesai gue goreng.
"Pagi ini temanya belajar hidup susah ya, Bang."
Gue nyengir sembari meletakkan satu naget di atas piringnya. Kemudian mendekatkan cabe bubuk dan kecap ke arahnya.
Bang Riki menghela napas. Ketara sekali kalau dia sedang menahan diri agar tidak mengamuk. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman, meski terkesan terpaksa.
"Tema hidup susahnya besok-besok lagi, ya. Sekarang mending Adek goreng naget lagi. Nggak papa, Abang ikhlas kok cuma sarapan sama naget goreng. Tapi jelas Abang nggak ikhlas kalau cuma sebiji demi memenuhi tema hidup Adek."
Gue kembali meringis, mendengar nada suara Bang Riki yang penuh penekanan. "Kulkasnya kosong, Bang. Adanya ya cuma itu, yang bisa dimakan. Lainnya cuma soda kaleng."
"APA?! Lo kasih makan gue cuma naget sebiji sama kecap doang? Wah, parah lo. Gue aduin Ayah sama Ibu di Solo, ya. Jadi adek durhaka banget deh. Heran gue. Pantesan jomblo!"
Dengan emosi yang memuncak, gue pun akhirnya berdiri sambil menggebrak meja, membuat Bang Riki terperanjat kaget.
"Eh, maksud lo apaan ngatain gue jomblo segala? Jangan mentang-mentang lo tiap minggu ganti cewek, lo bisa seenak pantat lo gini ngatain gue. Gue udah berupaya semampu gue ya, gue juga udah berbaik hati mau ngelayani lo sebagai adek yang baik. Jangan mentang-mentang lo bisa ngasilin duit banyak lo bisa seenak lo gini. Gue nggak terima. Kesel gue punya Abang kayak lo!"
Setelah selesai mengeluarkan unek-unek, gue kembali duduk. Mengatur nafas yang sedikit ngos-ngosan karena berceloteh panjang lebar.
"Minum!" kata Bang Riki sembari menyodorkan segelas air mineral.
Gue meliriknya sinis, namun tetap menerimanya.
"Sorry, gue nggak tahu kalo lo lagi mens."
Gue melotot tak terima mendengarnya. Apa tadi yang dia bilang barusan?
"Mata lo biasa aja kali, copot mampus lo," gerutunya sambil menuangkan kecap dan juga bubuk cabe di atas nasinya. "Nih, buat lo aja," imbuhnya sembari meletakkan nagetnya di atas piring gue.
Abang gue, meski hobinya ngatain gue. Tapi doi sayang banget sama gue. Apapun yang gue minta selalu diturutinya. Tapi doi beruntung, karena gue bukan tipekal adik yang nggak tahu diuntung, yang suka minta ini-itu seenak dengkul gue. Karena bagaimana pun juga, gue udah ngerasain susahnya cari duit. Kerjaan gue memang biasa saja, cuma seorang resepsionis di salah satu hotel yang kebetulan sudah berbintang. Tidak seperti Bang Riki yang kini baru saja dipromosiin menjadi General Manager di salah satu perusahaan makanan ringan.
Maklum, Abang gue gitu-gitu lulusan S2 di UI. Sementara gue, enggak lulus kuliah karena memang tidak tertarik untuk kuliah. Bisa dibilang, kerjaan gue yang paling tidak bisa dibanggain sama sekali. Berbeda dengan saudara sepupu gue yang punya gelar dan jabatan yang oke-oke.
Gue melirik Bang Riki yang kini tengah memiringkan tubuhnya, dan mengeluarkan dompetnya dari saku celana. Mengeluarkan beberapa lembar seratus ribuan dan menyodorkannya untuk gue.
"Nih, nanti pulang kerja belanja dulu. Naik ojol aja. Gue ada janji soalnya."
"Cewek mana kali ini?" Gue tetap menerima duit itu, meski pandangan gue menatapnya curiga.
"Ada. Cakep pokoknya."
"Percuma cakep, Bang, kalau nggak bisa dijadiin istri."
Bang Riki terkekeh lalu meneguk air mineralnya. "Gue belum pengen nyari istri. Gani juga gagal kawin kok. Santai." Ia kemudian berdiri. "Gue duluan ya, ada rapat bulanan nih sama tim manager yang lain. Lo kan tahu sendiri gue baru naik jabatan, kalau gue telat bisa-bisa langsung dimutasi atau bahkan dipecat gue ntar. Ohya, untuk daftar belanjaan kebutuhan gue nanti gue WA aja. Gue udah telat soalnya."
Gue mengangguk sembari mengibaskan tangan kanan gue, memilih meneruskan makan gue sembari memesan ojek online.
Setelah selesai sarapan dan membereskan piring kotor. Gue pun bergegas untuk keluar rumah. Dan ternyata tukang ojek online yang gue pesan sudah nangkring depan rumah. Dengan gerakan buru-buru gue pun segera mengunci rumah.
"Udah lama ya, Mas?" tanya gue agak panik.
Mas-mas ojol-nya tersenyum sembari menggeleng. "Santai aja, Mbak, kalau sama saya."
Gue meringis sembari mengangguk. Mendekat ke arah motor dan menerima sodoran helm yang diberikan Mas-Mas ojol. Tak lupa mengucapkan terima kasih.
"Siap, Mbak?"
Gue mengangguk sembari memakai helm. Membuat Mas-Mas ojol ini berseru, "Berangkat!" Sembari memelintir stang motor meticnya.
Setelah berjibaku dengan kemacetan kota Jakarta, yang tak berujung macem sinetron di tipi-tipi. Gue akhirnya sampai di tempat kerja.
"Makasih ya, Mas," kataku sembari menyodorkan helm dan juga uang kepada Mas-mas ojol.
"Sama-sama, Neng. Saya duluan. Mari!" ucap si Mas-mas ojol sebelum melajukan motornya.
"Tumben naik ojek? Mumpung nggak becek, ya?" canda Vinzi salah satu rekan kerja dan juga teman curhatku.
"Belajar hidup susah." Gue berkata dengan sedikit ketus dan berjalan meninggalkan Vinzi.
Tbc,
Sekarang gue sudah tiba di supermarket untuk belanja keperluan bulanan. Tanpa Vinzi yang tadinya sepakat mau menemeni gue. Namun sayang, perempuan cantik nan seksi asal Bandung itu tiba-tiba mangkir dari janjinya, karena sang Ibunda sedang melakukan kunjungan dadakan ke kostannya. Gue sebenarnya kurang suka belanja sendirian, tapi apa mau dikata, nasib gue mengatakan demikian.
Akhirnya setelah gue selesai memilih beberapa bahan makanan cepat saji semacam, nugget, sosis, telur, mie instan, dan juga sarden. Gue memilih melipir ke bagian peralatan mandi, yang sebenernya punya gue masih ada stoknya. Kalau bukan karena duit yang disodorkan Bang Riki tadi pagi, gue tidak bakalan sudi membelikan keperluan pribadinya begini.
Gue mulai mencomot barang-barang sesuai dengan catatan yang diberikan Bang Riki. Namun langkah kaki gue tiba-tiba berhenti saat menjumpai kalimat ganjil yang membuat gue harus memutar otak dengan sangat keras.
Wadah masa depan.
Barang apakah itu?
Eh, masa iya balon yang itu. Dengan setengah jengkel, sekaligus penasaran akhirnya gue memilih menghubungi Bang Riki melalui via telepon. Karena sudah dapat dipastikan kalau hanya mengirim pesan pasti tidak akan digubris olehnya.
"Halo, Abang ini--"
"Apaan sih, Wat? Ganggu banget sih, orang lagi enak ini. Udah mau klimaks nih gue."
Gue melongo, saat mendengar kalimat yang Bang Riki ucapkan. Gue bahkan belum selesai bicara, dan harus mendengar suara anehnya yang terdengar serak. Masih dengan sedikit shock, gue kemudian melirik jam tangan pemberian dari Bang Riki waktu ulang tahun gue tahun lalu.
Gila! Jam segini udah main 'itu' aja, emang sakit jiwa Abang gue ini. Nggak bisa apa agak maleman? Astagfirullah!
"Anjiirr, lo lagi 'itu' Bang? Gila! Jam berapa ini woyy?"
Gue sudah tidak peduli dengan tatapan aneh orang-orang saat mendengar gue berseru heboh. Masa bodo. Ini masalah gawat, Abang gue satu-satunya lagi enak entah dengan perempuan mana kali ini. Wajar kalau gue heboh.
Astaga, jangan-jangan dia lagi main sama sekertarisnya lagi. Macem di novel-novel bergenre dewasa yang pernah gue baca secara tidak sengaja.
"Nggak ada yang salah sama waktu, ya babe. Yang penting bisa saling memuaskan."
Ingin rasanya gue membanting semua yang ada di hadapan gue. Gondok tahu enggak rasanya. Apa perlu gue potong itu burung kali ya, kalau setiap hari dicelupin sana-sini. Mana desahan mereka kedenger jelas banget. Anjiirr parah, bikin gue keringet dingin deh.
"Astaghfirullah, Abang!" pekik gue geram.
Dapat gue dengar dia tertawa disela-sela desahannya.
Gue mendengar lagi suara grusak-grusuk. "Udah deh, sekarang kasih tau gue kenapa lo tiba-tiba nelfon? Nggak minta jemput kan lo?"
Kali ini gue dengar suara Bang Riki sudah terdengar normal, tanpa ada suara aneh-aneh lainnya. Mungkin udahan kali penyatuan mereka.
Gue mendengkus sebal. "Bukan. Gue mau nanya catetan ambigu lo. Ini apa wadah masa depan? Tupperware apa balon?"
Gue dapat mendengar dengan jelas suaranya tengah tertawa terbahak-bahak. Astaga, sepertinya hobi Abang gue itu menertawakan gue.
"Bukan bego, itu ******, CD elah. Ya, kali Tupperware. Lagian nggak mungkin lah gue nitip 'balon'. Mana mungkin juga coba lo mau dititipin sama barang laknat itu."
Gue kembali mendengkus sebal sambil mendorong trolli gue menuju bagian celana dalam. "Iya, itu lo tau. Ya udah deh, gue tutup. Lo lanjut lagi gih, asal jangan sampai kebobolan!"
Gue mendengar bang Riki kembali tertawa sumbang. "Siap, cayangkuh! Gue lanjut ya, lo ati-ati pulangnya. Bye!"
Gue hanya mampu mengelengkan kepala, sambil menatap ponsel keluaran negeri Gingseng dengan tatapan miris. Baru kemudian gue masukin ponsel gue ke dalam tas selempang. Lalu berniat mengambil satu kotak CD pesenan bang Riki. Namun sepertinya memang nasib gue hari ini sedang sial. CD pesenan Bang Riki main dicomot oleh pria berperawakan tinggi. Gue yang lumayan tinggi aja cuma nyampe sebahunya.
Sebenernya sih, tampilannya oke juga. Tatapan mata datar persis yang digambarin di novel-novel yang biasa gue baca. Dada bidang, hidung mancung, rahang tegas. Kemeja slimfit, yang sialnya digulung sampai siku, justru menambah pesonanya yang sudah memancar secara luar biasa. Bahunya yang terasa sandar-able, belum lagi tidak ada brewok-brewok tipis di sekitar rahangnya, menambah nilai plus di mata gue.
Astagfirullah al'adzim!
Gue baru aja ngapain? Kok malah melamun tidak jelas, dan membiarkan pria yang belum gue tahu namanya itu pergi begitu saja tanpa gue ketahui namanya. Enak saja, gue belum puas memandangi wajahnya juga, main pergi saja. Enggak sopan banget di itu manusia.
"Woyy! Mas, tunggu!!" teriak gue tak punya malu.
Pria itu langsung membalikkan badannya sembari menunjuk dirinya tak yakin. "Maaf? Saya?" tanyanya terlihat ragu.
Astagfirullah, apaan itu tadi kok malah minta maaf? Mana tatapan matanya innocent banget lagi. Kampret! Kan gue jadi salah tingkah.
Gue berdehem sejenak. Berharap bisa menghilangkan kegugupan gue yang melanda secara tiba-tiba.
"Sorry, Mas, itu tadi Cd-nya gue duluan yang liat. Bisa tolong dikembalikan."
Seketika dahinya mengkerut. "Lalu?"
Gue menyilangkan kedua tangan gue di depan dada. "Ya, lo kembaliin lah, kan gue dulu tadi yang liat. Lo asal comot aja, enak banget lo, lo nggak ngerti kalimat ladies first?"
Astaga, gue sudah nyerocos panjang kali lebar kali tinggi masih ditambah juga, tapi doi malah ketawa sengak. Sialan! Untung ganteng. Kalau enggak.... ya enggak gue apa-apain juga sih. Hehe.
"Maaf ya, Mbak. Anda juga jelas tahu kan kalimat siapa cepat dia dapat?"
Skakmat, dia ngebalikin kalimat gue.
Mampus gue!
"Nah! nggak bisa jawab kan? Berarti udah clear kan?" Dengan tampang songong itu pria langsung pergi begitu aja.
"Ya, nggak bisa gitu dong, Mas. Gue kan yang pertama liat dan gue udah mau ambil cuma--"
Gue belom selesai mengeluarkan segala unek-unek gue, tapi tiba-tiba pria itu berbalik dan memotong kalimat gue sekali lagi. Gue langsung mingkem seketika. "Maaf, kalo niatan anda ingin berkenalan dengan saya bukan begini caranya. Lagi pula saya tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan anak di bawah umur. Permisi."
Gue hanya melongo setelah mendengar semua penuturannya yang super pede barusan. Apa coba yang dibilang tadi, pengen kenalan? Enggak tertarik dengan anak di bawah umur? Ini bener-bener gila. Gini-gini, gue udah bisa kali kalau diajak bikin bocah kali. Sembarangan aja.
Gue mendengkus sebal sembari menatap punggung lebarnya yang kian menjauh. Sial. Kalau dilihat dari belakang kenapa jadi makin menggoda, ya. Enak kelihatannya, kalau gue coba peluk dari belakang. Uuhhhh, rasanya pengen nyusulin deh, terus peluk-peluk manja.
Astagfirullah! Ini kenapa dengan otak gue yang mendadak malah melantur tidak jelas begini.
Gue kemudian menggelengkan kepala, mengusir pikiran gila gue barusan. Sambil mendorong trolli gue, berjalan menuju kasir untuk membayar dan langsung bergegas pulang setelahnya.
Sesampainya di rumah, langsung meletakkan barang belanjaan gue di atas meja. Lalu gue menghempaskan tubuh gue di sofa. Kalau boleh jujur, gue sebenernya masih agak kesal dengan pria songong tapi ganteng tadi.
"Awas aja kalau sampe ketemu lagi, gue cakar-cakar mukanya. Arghhhh, sebel!" teriak gue melampiaskan emosi gue.
"Siapa yang pengen lo cakar-cakar?"
Gue langsung menoleh dan mendapati Bang Riki baru masuk ke dalam rumah, sambil melongarkan dasinya.
"Orang. Tadi nggak sengaja ketemu."
"Terus kenapa pengen lo cakar?" tanya Bang Riki sambil duduk di samping gue.
"Ya, abis nyebelin parah, Bang. Emang ganteng sih, tapi nyebelin. Emang kalau orang ganteng itu harus banget ya, Bang, songong?"
Bang Riki tertawa sambil membongkar barang belanjaan gue, lalu mengambil yakult punya gue. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, Bang Riki langsung membukanya dan meneguknya sampai habis. Meski hanya sebotol, tapi tetep saja kan, dia tidak meminta izin dahulu. Di mana-mana kalau tidak meminta izin itu namanya tidak sopan.
"Ya enggak harus sih, cuma menurut gue wajar. Kalau orang ganteng songong, ya wajar. Yang nggak wajar itu udah jelek, belagu, songong, dan terus nggak ada bagus-bagusnya. Nah, itu baru kurang ajar namanya."
Gue mendengkus, masih tak rela dengan yakult gue yang dicomot dia. "Itu yakult gue, Bang."
"Satu elah, pelit amat lo jadi adek. Lagian ini juga pake duit gue kan?" Bang Riki berdecak sebal. "Eh, betewe ini ****** pesenan gue mana? Kok enggak ada?"
Gue hanya memutar bola mata malas waktu melihat Bang Riki sedang mengubek-ubek kantong kresek barang belanjaan.
"Heh, ditanya malah diem, kuping lo ke mana sih?"
"Kalah cepet gue."
"Hah?"
"Iya sama cowok yang gue bilang ganteng tadi. Dia yang menang."
"Hah? Maksud lo? Lo rebutan ******?" Bang Riki menatap gue tak yakin, seperti gemes ingin mengatai gue namun ia tahan, dan gue hanya mampu mengangguk lemah sebagai tanda jawaban.
Seketika tawa bang Riki pecah. "Astaga, lo bego apa gimana, sih? Tadi lo misuh-misuh nggak jelas cuma gara-gara rebutan ******? Parah lo, sumpah!"
Gila ini Abang gue. Gue bela-belain agar gue mendapatkan itu ****** pesanannya. Lah ini gue malah dikatain bego, dasar Abang nggak tahu diuntung. Ingin sekali rasanya gue menyakar wajahnya agar terlihat jelek sedikit.
"Gila ya lo, Bang. Gue tadi ribut sama cowok juga buat lo. Lah ini lo malah ngatain gue seenak posisi 69."
Gue menyilangkan kedua tangan gue, lalu membuang napas kasar. "Anje gile, udah tau aja nih ceritanya enaknya posisi 69." Bang Riki tertawa, sementara gue hanya mendengkus sebal, "tapi kalau menurut gue lebih enak posisi woman on top," kelakarnya dengan senyum mesum yang super nyebelin.
"Serah lo deh bang!"
Tbc,
Gue membuka kedua kelopak mata, menggeliat, merenggangkan otot, kemudian meraih ponsel yang ada di meja rias, mengecek jam berapa sekarang. Kedua mata gue membelalak dengan sempurna begitu mendapati sekarang jam berapa.
10.58 WIB
Gila! Udah mau dhuzur?
Perasaan tadi gue masih baca novel lalu, habis itu gue maraton drama korea. Gue semalaman memang begadang untuk menyelesain drama korea bertema medical yang dimainkan Kang Min Hyuk CN Blue, Ha Ji Won dan juga aktor pendatang baru dari Blassom Entertaiment Lee Seo Won yang berjudul Hospital ship, dan mungkin sepertinya gue tidak sadar kalau gue ketiduran.
Gue kembali meletakkan ponselku di tempat semula, menyibakkan selimut bergambar bunga mawar lalu beranjak turun dari ranjang. Baru kemudian beranjak keluar kamar untuk mencari makanan penganjal perut gue yang mulai keroncongan.
Sambil mengacak rambut gue secara asal. Gue menuruni anak tangga, melirik ke arah sofa. Ada Bang Riki dengan temannya, entah siapa namanya, kalau diliat dari punggungnya sih terlihat sedikit familiar, tapi gue juga tidak tahu siapa dia. Karena yang menjadi tujuan gue sekarang adalah pergi ke dapur untuk mencari makan.
Gue segera beranjak pergi dari dapur setelah mengambil beberapa snack beserta dua botol air mineral dingin dan kembali ke kamar. Namun, tiba-tiba gue harus menghentikan langkah kaki gue sejenak, saat melihat teman Bang Riki dengan tampang datarnya tengah meneķan-nekan stik PS. Sementara Bang Riki sudah dengan gaya hebohnya, sambil teriak-teriak tidak jelas pula.
Ini aneh, biasanya teman Bang Riki itu tidak beda jauh sama dia kalau sedang main PS. Tapi ini kok beda banget, anteng, kalem bikin adem mirip sama pria yang rebutan.....
"******!" Gue memekik saat tersadar kalau temen Bang Riki itu adalah pria ganteng yang rebutan cd dengan gue kemarin.
Kedua pria itu langsung menoleh setelah mendengar teriakan gue. Mereka menoleh secara bersamaan, dengan gerakan cepat kilat, yang membuat gue ingin tertawa terbahak-bahak sebenarnya, namun harus gue tahan-tahan demi menjaga image.
Bang Riki langsung memberikan tatapan mautnya. "Ronaldowati! Mulut lo itu nggak bisa banget ya, dikondisiin. Jaga image kek, ini ada temen gue," semburnya, sebelum akhirnya kembali memfokuskan pandangannya ke layar tv. Tanpa melirikku atau menoleh ke arahku sekilas, berbeda dengan temennya itu, yang entah hanya perasaan gue saja, atau emang temen Bang Riki mencuri-curi pandang ke arah gue.
Eh, apa gue yang kepedean kali, ya?
"Nggak sengaja, Abang. Keceplosan," kataku dengan suara agak kalem, sementara Bang Riki hanya mendengkus samar.
"Lo, mah, kalau dikasih tau bisa banget jawab. Makanya kalo punya mulut itu dikontrol, kalo mau ngomong, nggak asal nyablak biar cowok nggak pada kabur," ceramahnya kemudian.
Astagfirullah! Ingin sekali rasanya gue sekedar memukul mulutnya menggunakan cemilan yang gue bawa, atau paling tidak ya, gue siram dia menggunakan air mineral dingin yang sedang gue pegang. Untung saja gue baik, jadi gue membiarin Bang Riki menyerocos sesuka hatinya, sementara gue memilih naik ke lantai atas menikmati waktu liburku.
"Lo sama aja kali, Rik. Mulut lo kalo ngomong kan nggak pake filter, jadi kali aja adek lo ngikutin lo."
Samar-sama gue mendengar suara temen Bang Riki, membuat gue akhirnya tergiur untuk melirik ke arah mereka. Gue melihat temen Bang Riki menyengol lengan Bang Riki sambil membalikkan kalimat yang diucapin Bang Riki, membuat gue ingin tertawa puas karena dibelain pria ganteng itu tanpa sadar. Sambil mengangkat bahu acuh tak acuh, gue lebih memilih melanjutkan langkah kaki gue menuju kamar.
Setelah adzan dhuhur gue memutuskan untuk turun. Penasaran dengan pria yang sepertinya akrab dengan Bang Riki. Heran. Kok Bang Riki yang punya mulut modelan emak-emak tukang gosip begitu, bisa kenal sama pria datar dan juga minim ekspresi macem pria yang rebutan CD dengan gue kemarin, ya. Sepertinya gue harus segera mengintrogasi Bang Riki.
"Bang Riki!" panggil gue sambil menuruni anak tangga. Baju gue kini sudah berganti dengan kaos putih oblong yang kupadukan dengan celana jean super pendek, yang tidak kelihatan karena tertutup kaos gue yang terkesan kebesaran.
Gue melongo saat sampai di lantai bawah. Bukannya menemukan Bang Riki, gue justru menemukan temennya Bang Riki yang sedang asik makan chitato sambil mengutak-atik ponselnya.
Ehem
Gue pura-pura berdehem, dan berhasil membuat temennya Bang Riki itu langsung menoleh ke arah gue, dengan ekspresi melotot. Sepertinya dia agak terkejut dengan penampilan gue. Atau mungkin dia sedang berpikir gue tidak mengenakan celana. Ya ampun, ekspresinya terlihat mesum. Gue jadi agak takut deket-deket dia.
Gue kembali berdehem, mencoba mengusir rasa gelisah yang melanda tiba-tiba. "Bang Riki kemana?" tanya gue mencoba biasa aja. Padahal aslinya ketar-ketir gue.
Takut kalau sewaktu-waktu gue diterkam. Haha, kok gue lebay, ya?
"Keluar," jawabnya singkat.
"Ke mana?"
Cowok itu cuma menjawab dengan mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh.
Sepertinya gue mulai menyesal, karena selalu menyukai pria dengan gaya cool-nya. Karena serius, bicara dengan tipekal kulkas dua pintu semacam ini, ternyata benar-benar bikin sakit hati, sindiran dari mantan tidak ada apa-apanya.
"Terus kenapa lo masih di sini?" tanyaku mulai kehilangan kesabaran.
Temen Bang Riki yang sampai detik ini belum kuketahui namanya itu mendelik. Seperti tak terima dengan nada bicara gue, mungkin.
"Kalau bicara sama orang yang lebih tua itu yang sopan ya, Dek. Apalagi baru kenal."
Gue cuma mangguk-mangguk tidak peduli. "Maaf ya, Mas." Sambil memasang tampang tak rela.
"Mas?" ulang temen Bang Riki sambil menaikkan sebelah alisnya. "Memangnya kapan saya nikah sama Mbak kamu?" gerutunya kesal.
Bodo. Gue juga kesel ini. Ini manusia dari planet mana sih, nyebelin banget, deh. Spesies langka yang perlu dimusnahkan di bumi ini?
"Aro," katanya yang kini malah memperkenalkan diri.
"Alvaro?"
Gue juga tidak tahu kenapa malah menebak nama panjangnya. Membuat temen Bang Riki yang bernama Aro itu menggeleng.
"Aaron Aldric," ucapnya yang malah memperkenalkan nama lengkapnya.
Hah? Dia ini lagi modus apa gimana, aneh banget. Eh, tapi kok ini orang tidak menyinggung masalah cd kemarin ya, apa dia sudah lupa. Ah, bodo amat lah, gue tidak perduli.
Gue mengangguk. "Anggita Rahmawati," balasku, berencana mengajaknya bersalaman namun si Aro-aro ini malah sibuk sendiri dengan benda pipih berlambang apel digigit itu.
Sialan. Kalah pamor gue sama benda mati.
"Nggak nanya," ketus tiba-tiba tanpa melirik gue.
Seketika gue zonk.
Sumpah sakit hati banget gue.
Awas aja lo! Gue bikin lo nyesel karena sudah ngacuhin seorang Anggita Rahmawati.
Tunggu aja!
****
Gue langsung menghampiri Bang Riki yang baru saja pulang, lalu menarik paksa tubuh Abang satu-satunya yang gue miliki menuju dapur.
"Itu temen lo, Bang?" introgasi gue sambil berbisik. Sedikit melirik ke ruang tamu lalu menatap Bang Riki sekali lagi.
Bang Riki mengangguk. "Kenapa, naksir?" tanyanya yang malah meledek.
Gue melotot tak terima. "Najis. Amit-amit naksir cowok kaya gitu?" Sambil memasang wajah seakan ingin muntah.
"Yakin? Nggak nyesel lo, anu-nya gede juga lho," kelakarnya sambil memasang wajah super mesumnya, tak lupa disertai tawa kencangnya. Membuat gue mendengkus sebal, bersiap meninju selangkangannya namun naas, karena Bang Riki menghindar dengan cepat.
Ebuset, peka juga Abang gue ini. Tahu kalau mau gue hajar.
"Mulut lo emang nggak punya filter ya, Bang. Sedih tau nggak gue sebagai adek, apalagi kalo sampai Ibu sama Ayah di Solo tau kelakuan lo gini."
Karena kesal, gue memilih untuk bergegas naik ke lantai atas tanpa melirik temen Bang Riki yang gue rasa sedang menatapku heran. Tak memperdulikan teriakan tak jelas Bang Riki.
Sial banget gue, punya Abang kok gitu amat. Mood gue untuk bersantai hari ini hancur sudah hanya karena pria nyebelin bin sok kegantengan itu.
Eh, emang beneran ganteng ya?
Au ah, nggak penting.
Ya Tuhan, semoga gue tidak harus bertemu lagi dengan makhluk astral bin nyebelin itu. Aminnn!
Tbc,
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!