20 tahun lalu, rumah besar dan mewah ini sempat terlihat sangat menonjol di antara lainnya. Pemiliknya adalah orang kaya yang mempunyai perkebunan sangat luas. Sekarang rumah ini terlihat tidak terawat. Penghuninya adalah sepasang suami istri dan keponakannya. Suami istri ini bukan pemilik aslinya, melainkan adik dari mendiang pemilik rumah. Mereka biasa dipanggil Paman Garvin dan Bibi Carmen.
Paman Garvin berusia 47 tahun, sedangkan Bibi Carmen 45 tahun. Mereka merawat keponakannya sejak berusia 7 tahun. Bibi Carmen adalah adik dari mendiang Nyonya rumah besar ini.
Keponakannya bernama Eleonara. Dia gadis yatim piatu dan sekarang berusia 27 tahun. Dia sangat cantik, memiliki rambut panjang bergelombang, dan perawakan yang proporsional. Namun, sampai sekarang dia belum menikah, bahkan tidak mempunyai seorang kekasih.
Paman dan Bibinya adalah orang yang gila harta. Sejak orang tua Eleonara meninggal, mereka langsung menempati rumah ini dengan dalih akan merawat keponakannya. Mereka merawat keponakannya dengan baik. Namun, mereka selalu memanfaatkan keponakannya untuk mengambil keuntungan pribadi.
"Ele... Dimana kau?" teriak Bibinya yang baru keluar dari kamar.
"Aku di dapur, Bi...," balas Eleonara berteriak.
Bibi Carmen langsung ke dapur. Dia melihat Eleonara sedang menyiapkan sarapan pagi.
"Kau masak apa hari ini?" tanya Bibinya yang berada di belakang Ele.
"Bukannya Bibi meminta daging saus pedas dan kentang rebus?" jawab Eleonara masih berkutat dengan alat memasaknya.
"Iya, kau benar! Ingat, kau tidak boleh memakannya sedikit pun. Jatah makananmu roti, sayuran, buah, dan telur. Jangan makan daging!" pesan Bibinya.
Bibinya selalu melarang Eleonara untuk memakan daging, apalagi ikan. Dengan alasan untuk berhemat! Benar-benar orang yang sangat pelit, bukan?
"Lekas selesaikan! Bibi akan memanggil Pamanmu," ucap Bibi Carmen langsung melenggang pergi ke kamarnya.
Eleonara menyiapkan makanan kemudian meletakkannya di meja makan. Setelah itu, dia kembali ke kamar untuk membersihkan diri.
'Rasanya badanku lengket sekali setelah berkutat dengan alat dapur. Padahal pagi tadi aku juga sudah mandi. Huft, melelahkan!' batin Eleonara.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Eleonara keluar kamar untuk melanjutkan pekerjaannya. Dia yang mengerjakan semua pekerjaan rumah. Bibinya hanya tukang memerintah.
Mengenai keuangan, Eleonara memang mendapatkan jatah dari Bibinya, tetapi hanya sedikit dan kadang tidak cukup untuk satu bulan.
"Ele...," panggil Bibinya ketika melihat Eleonara melewati ruang tengah.
"Iya, Bi. Ada apa?" tanya Eleonara mendekat.
"Duduklah! Pamanmu ingin berbicara," jawab Bibi Carmen yang duduk di meja makan.
"Ele... Kau harus tau diri. Kami sudah merawatmu dengan baik sejak orang tuamu meninggal. Sekarang kau harus membalas budi kepada kami," ucap Paman Garvin.
Deg!
Apa yang dimaksud Pamannya? Eleonara nampak belum memahami arah pembicaraan mereka.
"Maksud Paman?" tanya Eleonara dengan raut wajah yang terlihat bingung.
Pamannya mengambil nafas panjang kemudian menghembuskannya. "Jadi begini Ele...," Paman Garvin menjeda ucapannya. "Kau sudah dewasa dan untuk balas budi kepada kami tidaklah susah. Kau harus menuruti semua keinginan kami. Termasuk tentang jodohmu."
Deg!
Apalagi ini? Setelah kehilangan orang tuanya, Eleonara selalu menjadi anak rumahan. Dia dilarang Paman dan Bibinya keluar rumah, kecuali bersekolah. Dia bersekolah sampai tingkat atas dan tidak melanjutkan ke bangku kuliah. Perintah dan larangan Bibinya harus selalu dipatuhi. Jika melanggar, Bibinya tak segan-segan akan menghukumnya.
"Kenapa urusan jodoh harus mengikuti kemauan Paman? Aku ingin memilih jodohku sendiri, Paman," bantah Eleonara yang sudah mulai lelah mengikuti kemauan mereka.
"Ele... Kau harus tau berterima kasih! Sudah untung kami tidak membuangmu," balas Pamannya mulai tampak geram.
"Sudahlah suamiku! Nanti aku yang akan berbicara lagi padanya. Ele, lanjutkan pekerjaanmu!"
Eleonara melangkah ke dapur untuk membereskan alat memasaknya tadi.
Sementara di ruang makan, Paman dan Bibinya masih berkutat dengan rencana mereka.
"Suamiku, aku mau Ele mengikuti semua kemauan kita. Bagaimanapun caranya? Kau tau sendiri 'kan, sekarang kebun hanya tinggal sepetak. Kalau kita tidak segera mencari sumber keuangan baru, maka lambat laun rumah ini juga akan terjual. Lalu, kita akan tinggal dimana?" ucap Bibi Carmen mulai dilanda kebingungan.
"Iya, Carmen. Aku akan mengurusnya, tetapi berikan aku waktu untuk berpikir," ucap Paman Garvin
Dulu perkebunan yang dimiliki tuan rumah sangat luas sekali. Namun, setelah Paman dan Bibinya tinggal di sini, perlahan-lahan perkebunan mulai dijual. Uangnya digunakan untuk kebutuhan Paman Bibinya dan hanya sebagian kecil yang diberikan kepada Eleonara.
Paman Garvin nampak memikirkan sebuah rencana untuk keponakannya. Bagaimana cara mendapatkan uang? Tanpa menjual perkebunan yang tersisa sepetak.
***
Malam hari di kamar, Eleonara sedang menyelesaikan lipatan bajunya yang bertumpuk-tumpuk. Dia sengaja mengeluarkan semua baju yang ada di lemarinya, kemudian di tata ulang.
Tok tok tok.
Pintu kamarnya diketuk, Eleonara belum meresponnya sama sekali. Dia tau pasti Bibinya yang mengetuk.
Tok tok tok.
Ketukan kedua, Eleonara masih mengacuhkannya. Dia merasa lelah atas perlakuan Bibi dan Pamannya.
"ELE... APA KAU TULI?" teriak Bibi Carmen sangat kencang, hingga membuat Eleonara meletakkan lipatan baju di tangannya.
Eleonara berdiri membuka pintu.
"Ada apa, Bi?" jawabnya ketika pintu terbuka.
Bibi Carmen langsung masuk ke kamar Eleonara. Dia tampak sangat kesal terhadap keponakannya dan langsung duduk di kursi dekat bed yang ada di kamar itu.
Eleonara mengekor dari belakang kemudian duduk dihadapan Bibinya.
"Ele, Bibi sudah bilang berulang kali bahwa kau harus menuruti semuanya. Awas jika kau berani macam-macam!" ancam Bibinya.
"Bi, sejak kecil aku selalu menuruti semua kemauan kalian. Tolong... Sekarang bebaskan Ele! Ele ingin hidup seperti orang diluaran sana," ucap Eleonara memelas. Karena selama ini dia hidup bagaikan terpenjara.
"Ele mohon, Bi…," Eleonara memohon dengan mengatupkan kedua tangannya.
"Heleh, kau bisa apa hidup tanpa kami? Lihat saja bahkan kau selalu bergantung pada kami. Apa selama ini kau bekerja? Mendapatkan uang? Tidak, 'kan? Kau hanya bisa disuruh ini dan itu. Kalau kau bisa mandiri itu sangat mustahil!" ejek Bibinya.
'Mana mungkin aku bisa bekerja? Sedangkan untuk keluar rumah saja dilarang,' batin Eleonara.
"Kau mau bebas, 'kan?" Bibi Carmen memberikan penawaran.
Eleonara tampak sangat senang mendengar apa yang diucapkan Bibinya. Seperti panas setahun yang dihapus dengan hujan sehari. Penantian panjangnya akan terjawab.
"Tentu, Bi. Aku ingin lepas," jawab Eleonara semringah.
'Dasar anak tak tahu di untung. Kini saatnya kau harus balas budi!' batin Bibi Carmen.
"Itu tidak gratis, Ele! Selama ini kau sudah menumpang hidup dengan Bibi."
'Menumpang? Bibi Carmen sudah tidak waras. Harusnya dia yang sadar diri. Ini rumah peninggalan orang tuaku, tetapi kenapa seolah aku terkesan hidup menumpang?' batin Eleonara.
"Jadi, aku harus membayar semuanya? Berapa Bi yang harus ku bayar?" Eleonara menantang Bibinya. Niatnya ingin lepas dari Bibinya sangat dinantikan sekali. Karena selama 20 tahun lebih, dia dengan sabar menjalani semua kemauan Paman dan Bibinya itu.
"Ck... Seperti kau punya uang saja. Selama ini siapa yang memberimu uang? Bukankah Paman dan Bibi? Yakin kau mau tau apa syaratnya?" Bibi Carmen mempermainkan Eleonara agar keponakannya itu menuruti kemauannya.
"Iya, Bi. Aku mohon...," balas Eleonara.
"Kau harus menikah dengan pria pilihan Paman. Itu syaratnya!"
Deg!
Eleonara tidak bisa berkata-kata lagi. Sepertinya kebebasannya kali ini hanya sebuah wacana yang tak kunjung terealisasi.
"Baiklah! Terserah Bibi saja," Eleonara akhirnya mengalah.
"Bagus! Pamanmu akan segera mengurusnya," ucap Bibi Carmen.
Setelah perbincangan Bibi Carmen dan Eleonara beberapa hari yang lalu, Paman Garvin menemukan orang yang tepat untuk menjadi calon suami keponakannya.
Dia adalah Tuan Aric Marson, pria berusia 45 tahun yang akan dijodohkan dengan Eleonara. Dia merupakan tuan tanah yang selalu membeli perkebunan peninggalan orang tua Eleonara yang dijual Paman dan Bibinya.
Sepasang suami istri sedang berbincang di kamarnya untuk melanjutkan rencana perjodohan.
"Siapa orangnya, suamiku?" tanya Bibi Carmen penasaran dengan teka-teki suaminya.
"Kau sudah pernah mendengar namanya," ucap Paman Garvin sembari merebahkan dirinya di atas bed.
"Baiklah. Mungkin aku pernah mendengar namanya, tapi belum pernah bertemu orangnya. Tidak mengapa, asalkan pohon uang akan terus mengalir untuk kita, suamiku," ucap Bibi Carmen bahagia. Sebentar lagi dia berhasil menukarkan keponakannya itu.
"Kapan pertemuan itu akan berlangsung? Saranku, lebih cepat lebih baik. Keuangan kita sudah menipis," ucap Bibi Carmen memberikan usulan.
"Aku akan segera mengurusnya," jawab Paman Garvin.
Paman Garvin mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. Dia mendial nomor seseorang untuk mengabari.
"Hallo, Tuan," sapa seseorang di ujung telepon.
"Hallo Tuan Robert. Kapan keponakan saya bisa bertemu dengan tuan Aric?" tanya Paman Garvin.
"Secepatnya, Tuan! Besok rencananya Tuan Aric akan berkunjung ke perkebunan," ucap tuan Robert, asisten tuan Aric Marson.
"Baiklah, Tuan. Besok keponakan saya akan datang. Sampaikan kepada tuan Aric," ucap Paman Garvin memutuskan.
"Baik, Tuan," ucap tuan Robert mengakhiri pembicaraan.
"Jadi, bagaimana sayang? Apa sudah oke?" tanya Bibi Carmen setelah suaminya meletakkan ponsel.
"Lekas beritahu Ele. Besok harus datang ke perkebunan!"
Bibi Carmen beranjak menuju kamar keponakannya.
Tok tok tok.
"Masuk!" perintah Eleonara dari dalam.
Ceklek!
"Ada apa Bi?"
"Besok pergilah ke perkebunan. Pamanmu sudah menemukan calon suami yang tepat untukmu," ucap Bibi Carmen menjelaskan.
Deg!
Bagaimana dia harus menolak perjodohan yang tidak pernah diinginkannya itu?
"Baiklah, Bi," ucapnya mengalah. Entah sampai kapan dia akan terus mengalah?
"Bibi akan mencarikan baju yang pantas untuk kau pakai," ucapnya lalu keluar kamar.
Bibi Carmen mengambil baju lama milik mendiang kakaknya. Dia langsung memberikannya kepada Eleonara. Baju berwarna hijau botol khas milik orang kaya.
"Baju milik siapa ini, Bi?" tanya Eleonara yang penasaran. Karena yang diterimanya bukanlah baju baru.
"Baju mendiang ibumu!" ucap Bibi mampu meluluhlantakkan perasaan Eleonara.
Deg!
Sudah lama sekali Eleonara tidak berkunjung ke makam Ibunya. Setelah Bibi meninggalkan kamarnya, dia langsung menangis memegangi baju itu.
'Ele rindu Ibu. Hiks. Hiks.'
***
Hari yang ditentukan tiba. Bibi Carmen mengingatkan Eleonara untuk lekas bersiap dan pergi ke perkebunan.
"Ele, kau jangan lupa pergi ke perkebunan," ucap Bibi Carmen ketika melihat Eleonara masih berkutat dengan alat pelnya.
"Iya, Bi. Sebentar lagi aku akan bersiap," jawab Eleonara.
Setelah selesai, Eleonara masuk ke kamar. Dia membersihkan diri kemudian memakai baju pemberian Bibinya semalam. Dia memakai bedak tipis lalu bercermin.
'Secantik inikah, Ibu?' batin Eleonara.
Eleonara bergegas pergi ke perkebunan. Sesampainya di persimpangan jalan, dia memutar arah untuk mampir ke makam Ibunya.
***
Di perkebunan, Tuan Aric Marson, Tuan Robert Delwyn, dan Paman Garvin sedang berbincang.
"Tuan Garvin, sepertinya keberuntungan akan menjadi milik saya dan Anda akan mendapatkan apa yang diinginkan sesuai kesepakatan," ucap Tuan Aric memulai pembicaraan.
Mata Paman Garvin tampak berbinar. Tidak sia-sia dia merawat dan menjaga Eleonara selama 20 tahun. Sekarang, dia akan memetik buah kesabarannya itu.
"Tentu, Tuan. Sebentar lagi keponakan saya akan datang. Bersabarlah!" ucap Paman Garvin.
Setelah menunggu sekitar 1 jam lebih dan keponakan Paman Garvin tak kunjung datang, Tuan Aric Marson mulai kesal. Dia tidak mau membuang-buang waktu dengan percuma.
"Tuan Garvin, satu jam menunggu keponakan Anda yang tak kunjung datang. Tampaknya keponakan Anda ingin bermain-main dengan saya!" amarah Tuan Aric. "Jangan harap Anda akan mendapatkan apa yang telah kita sepakati," ancam Tuan Aric.
Deg!
Paman Garvin seakan mendapatkan pukulan telak. Semua rencananya yang sudah tersusun rapi ambyar seketika. Pikirannya sekarang tertuju pada Eleonara. Gadis itu yang membuat semuanya kacau.
"Jadi, bagaimana Tuan Garvin. Mana pertanggungjawaban yang akan Anda berikan kepada saya?" tantang Tuan Aric lagi.
"Ma-maafkan saya, Tuan. Saya akan menjemput keponakan saya lagi. Barangkali masih ada dirumah," ucap Paman Garvin sedang berusaha merayu Tuan Aric.
"Tidak perlu!" ucap Tuan Aric.
"Maaf, Tuan. Sebaiknya sekarang kita pergi. Ada rapat penting yang harus kita hadiri. Lusa, kita akan kembali lagi," ajak asistennya, Robert Delwyn.
Berkat ajakan asistennya, Paman Garvin selamat. Tuan Aric Marson dan asistennya langsung meninggalkan perkebunan.
Paman Garvin pulang membawa kilatan amarahnya. Sesampainya di depan rumah, dia menggedor pintu dengan kerasnya.
Door door door.
Ceklek!
Istrinya yang membukakan pintu. Paman Garvin langsung masuk ke dalam tanpa memperdulikan istrinya. Di ruang tengah, Paman Garvin duduk. Istrinya melihat sesuatu yang berbeda dalam diri suaminya.
"Dimana, Ele?" tanya Bibi Carmen.
"Harusnya aku yang bertanya padamu, CARMEN!" teriak Paman Garvin dengan kemarahannya.
Bibi Carmen lantas mengambil kesimpulan, jika Eleonara tidak pernah sampai ke perkebunan.
"Kemana gadis bodoh itu?" tanya Bibi Carmen.
Paman Garvin tak menyahut. Jika dia tau, urusan dengan Tuan Aric Marson pasti akan beres sejak tadi.
Dari luar, seseorang mengetuk pintu.
Tok tok tok.
Bibi Carmen seakan tau siapa yang datang. Sebelum membuka pintu, dia telah menyiapkan sesuatu untuk keponakannya.
Ceklek!
Bibi Carmen lantas menyeret paksa Eleonara masuk ke gudang. Kemudian menguncinya disana. Eleonara memohon ampun untuk dilepaskan.
"Bibi... Lepaskan aku!" teriaknya dari gudang.
Bibi Carmen tidak menghiraukannya. Dia langsung menemui suaminya.
"Dimana kau letakkan rotan-nya?" tanya Bibi Carmen.
"Ada dilemari kamar. Memangnya mau kau apakan rotan itu?" selidik Paman Garvin.
"Kau harus memberikan pelajaran kepada Ele!" perintah Bibi Carmen.
Paman Garvin lantas menerima rotan sepanjang 1 meter itu.
***
Malam hari, di gudang. Eleonara merasakan perutnya perih luar biasa. Sejak siang, Bibinya tidak memberikannya makan.
Ceklek!
Pintu gudang terbuka. Paman dan Bibinya masuk membawa sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh Eleonara.
Dengan sisa tenaganya, Eleonara berusaha bangkit. Namun, Bibinya langsung mengikat tangannya supaya dia tidak memberontak. Eleonara hanya bisa pasrah ketika Pamannya mulai memukuli dirinya.
Buug buug buug buug buuug.
Entah sudah berapa kali rotan itu menjamah punggung Eleonara. Dia lantas memohon ampun kepada Paman dan Bibinya.
"Aduuuh... Aduhh... Ampuni aku, Paman, Bibi... Aku mengaku salah. Maafkan aku...," teriaknya dengan menahan rasa sakit.
"Kemana saja kau tadi, HAH?" teriak Paman Garvin yang masih kesal.
"A-a-ku pergi ke-ke makam Ibu, Paman, hiks...," ucapnya terbata-bata menahan sakit di sekujur badannya.
"Bagus, biar aku kirim ke surga untuk menemui Ibumu! Apa kau sudah bosan hidup, HAH?" ucap Pamannya berapi-api.
Setelah melihat Eleonara lemah tak berdaya, Bibi Carmen berusaha menyudahi hukuman itu.
"Sudahlah, suamiku! Lepaskan dia," ucap Bibi Carmen.
Paman Garvin mengikuti arahan istrinya. Baginya, memberikan hukuman kepada Eleonara akan membuat dia semakin jera.
Keduanya keluar dari gudang. Bibi Carmen sengaja tidak mengunci pintunya lagi. Dia yakin, Eleonara tidak akan berani kabur karena masih terikat dan terkulai lemas di lantai gudang.
Eleonara mendapatkan secercah harapan. Dari kejauhan, dia melihat pintu gudang yang tidak terkunci. Ini kesempatan emas baginya. Tinggal menunggu waktu yang tepat. Kebebasannya akan segera terwujud.
'Sebaiknya aku kabur sekarang!' batin Eleonara.
Seorang pria tampan yang sangat dingin terhadap siapapun sedang menunggu calon pengantin wanitanya. Dia adalah Erlan Dallin Harrison, pria yang berusia 33 ini adalah seorang CEO dari Harrison Corporation. Dia ditemani oleh asistennya yang bernama Boy Rashad.
Erlan mengenakan jas pernikahan sangat rapi sesuai pilihan calon istrinya. Calon istrinya bernama Shelly dan baru berusia 25 tahun. Shelly adalah kekasih Erlan yang dipacarinya sejak 3 tahun lalu dan hari ini mereka memutuskan untuk menikah.
Erlan tipikal orang yang dingin, tetapi berhadapan dengan Shelly membuatnya memiliki sisi yang berbeda. Karena Shelly mampu mengambil hatinya dan selalu berusaha membahagiakan Erlan dalam situasi apapun.
"Boy, apa Shelly sudah tiba?" tanya Erlan kepada asistennya yang sejak tadi terus saja memainkan ponselnya.
"Mungkin sebentar lagi, Tuan. Sopir sedang menjemputnya ke salon," balas Boy yang masih berkutat dengan ponselnya. Entah apa yang dia lakukan? Mungkin mengirim pesan atau sedang menunggu kabar dari seseorang. Hanya Boy yang tau.
Dari arah berlawanan, tiba-tiba terdengar bunyi sepatu seperti high heels wanita yang memiliki hak runcing.
Tak tok tak tok tak tok.
Erlan yakin, itu adalah bunyi sepatu calon istrinya.
Benar saja, seorang wanita muda yang memakai gaun pengantin simple terkesan sangat mewah itu menghampirinya.
"Maaf, sayang. Aku terlambat! Salon langgananku harus bekerja ekstra untuk semua ini," ucap Shelly dengan suara manjanya dan menunjukkan hasil riasan natural yang begitu cantik.
"Kau selalu cantik, sayang!" puji Erlan di depan Shelly yang juga disaksikan oleh Boy.
"Ehemm... Baiklah, Tuan dan Nyonya. Sebaiknya kita langsung masuk ke dalam untuk menyelesaikan rangkaian pernikahan," ajak Boy yang sejak tadi seolah tak dianggap kehadirannya.
Setelah berada di dalam ruangan, mereka menyelesaikan semua persyaratan dan rangkaian pernikahan. Keduanya sekarang telah resmi sebagai sepasang suami istri.
"Selamat, Tuan dan Nyonya! Kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri," ucap Petugas Pencatat Pernikahan.
Rona bahagia tampak tergambar sangat jelas di wajah keduanya. Tanpa menunggu aba-aba, Erlan segera memberikan ciuman terbaiknya untuk sang istri.
Shelly berusaha melepaskan pagutan suaminya itu. Pasalnya, dia sangat malu diperhatikan Petugas Pencatat Pernikahan dan asisten suaminya.
"Nanti saja, sayang! Kita lanjutkan di Mansion," bisik Shelly.
Mereka kemudian keluar dari kantor Pencatat Pernikahan.
"Sayang, kita menginap di hotel New Palace. Besok baru pulang ke Mansion," ajak Erlan. "Boy, kau langsung saja ke kantor! Untuk beberapa hari ke depan, gantikan semua pekerjaanku. Aku ingin mengambil cuti," lanjut Erlan memberikan perintah kepada asistennya.
"Baiklah, Tuan! Saya pergi dulu," pamit Boy.
Erlan mengajak istrinya ke mobil. Disana, sopir sudah menunggu. Mereka langsung masuk ke mobil dengan perasaan yang berbunga-bunga.
"Pak, kita langsung ke hotel New Palace, ya!" perintah Erlan.
Mobil melesat sesuai arahan yang diterima sang sopir.
Sementara Shelly yang sedang berbahagia selalu saja menempel pada suami kesayangannya itu. Bahkan, dia tak sedikitpun melepaskan genggaman tangan suaminya.
"Apa kau bahagia, sayang?" tanya Erlan.
"Tentu, sayang! Inilah yang sejak dulu aku tunggu. Aku benar-benar bahagia bisa memilikimu seutuhnya, sayang," jawab Shelly dengan senyum mengembang dan rona bahagia jelas tergambar di wajahnya.
'Maafkan aku, Shelly! Aku sangat mencintaimu. Bahkan, kau segalanya untukku. Maaf, jika aku hanya mampu menjadikanmu istri kedua. Aku minta maaf!' batin Erlan.
Mobil memasuki area parkir hotel. Keduanya bergegas turun dan langsung naik ke kamar president suit yang sebelumnya telah di reservasi atas nama tuan Erlan Dallin Harrison.
Dengan membawa kartu akses yang didapat dari resepsionis hotel, keduanya langsung masuk ke kamar.
"Rasanya aku sangat lelah sekali, sayang. Mau mandi bersama?" Shelly menawarkan.
"Tidak, sayang! Kau mandilah terlebih dahulu. Jika kita mandi bersama, kau tau kan? Aku selalu kalap jika sedang bersamamu!" ucap Erlan jujur. Selama ini, Erlan sangat menyukai istrinya yang apa adanya. Bahkan, sejak menjalin hubungan beberapa tahun yang lalu.
"Ah, iya sayang," Shelly langsung masuk ke bathroom.
Shelly lekas menyelesaikan ritual mandinya dengan segera. Dia ingin secepatnya menemui suaminya yang dirindukan sejak beberapa hari yang lalu.
Sekarang, Shelly telah menjadi Nyonya Erlan Dallin Harrison, istri dari seorang CEO tampan yang sempurna. Bahkan, jika semua orang tau siapa suaminya, maka mereka akan terkagum dengan apa yang telah Shelly dapatkan.
Selesai mandi, dia memakai bathrobe-nya. Kemudian menyemprotkan parfum ke seluruh badannya. Dia terlihat sangat segar sebagai seorang pengantin baru.
Dia menemui suaminya yang sedang duduk di bed kamar. Suaminya lekas berpindah posisi menurunkan kakinya ke lantai.
"Kemarilah, sayang! Duduklah dipangkuanku!" perintah suaminya.
Shelly mengikuti semua perintah suaminya tanpa membantah. Bergegas dia duduk di pangkuan suaminya.
Erlan menghujani beberapa kecupan. Mulai dari puncak kepalanya, kening, hidung, bibir, dan bahkan sampai ke perut istrinya yang masih tertutup bathrobe-nya itu.
'Bertumbuhlah dengan sehat, sayang,' batin Erlan ketika mengecup perut rata Shelly.
"Kau sebahagia itukah, sayang?" tanya Shelly.
"Tentu, sayang! Bukankah aku bilang, kau itu segalanya bagiku!" ucap Erlan setelah mengabsen inci demi inci tubuh istrinya.
"Aku juga. Jadi, apakah ini malam pertama untuk pernikahan kita?" tanya Shelly dengan mengalungkan tangan ke leher suaminya.
"Tidak! Aku sangat lelah, sayang. Kau bilang ingin melakukannya di kamar pribadi kita!" ucap Erlan dengan gamblang.
"Sayang, lekaslah mandi! Aku sudah sangat lapar sekali," ucap Shelly sembari turun dari pangkuan suaminya. "Aku akan berganti baju disini," lanjutnya.
"Baiklah, sayang. Itu sudah menjadi kebiasaanmu, 'kan? Setelah selesai, pesanlah makanan. Kita makan di kamar saja. I love you," ucap Erlan sembari memberikan ciuman lembut pada bibir Shelly, kemudian dia langsung masuk ke bathroom.
"I love you too, my husband!" teriak Shelly.
'Kebahagiaanku sangat lengkap. Kau, suami tampanku!' batin Shelly sembari tersenyum.
Shelly melepaskan bathrobe-nya kemudian lekas memakai gaun malam yang sangat indah. Dia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk suaminya.
Dia mengambil telepon yang ada di atas nakas, kemudian menghubungi pelayan hotel untuk memesan makanan. Setelah semuanya selesai, Shelly duduk di sofa sambil menaikkan kedua kakinya seperti pose seorang model.
Erlan yang sudah selesai membersihkan diri dan menggunakan bathrobe langsung keluar untuk mengambil baju ganti.
"Kau sudah selesai, sayang?" tanya istrinya.
"Iya, aku mau ambil baju ganti," jawab Erlan.
Erlan yang melihat istrinya dengan gaun malam yang indah, merasakan desiran yang hebat, tetapi di urungkan niatnya itu.
"Kau menggodaku, sayang?" tanya Elran.
"Apa kau merasa tergoda oleh istrimu ini, sayang?" balas Shelly.
Erlan tersenyum lalu bergegas masuk ke bathroom untuk berganti pakaian. Setelah selesai, dia kembali lagi ke kamar.
Makan malam sudah siap ketika Erlan berada di bathroom.
"Makanlah, sayang. Apa mau aku suapi?" ucap Shelly menawarkan.
"Terima kasih, sayang. Lain waktu ya?" balas Erlan tersenyum.
Keduanya langsung makan tanpa berbicara sedikitpun. Setelah selesai, mereka lanjutkan obrolan yang sempat tertunda.
"Besok, kita akan pulang ke Mansion, sayang," ucap Erlan.
"Baiklah, sayang!" ucap Shelly tanda setuju.
Keduanya merebahkan diri di atas bed. Erlan memeluk erat istrinya yang sudah terpejam terlebih dahulu.
'Besok aku akan memberikan kejutan untukmu, sayang! Maafkan aku, karena aku terlalu mencintaimu. Aku tak bisa menyembunyikannya terlalu lama, sayang,' batin Erlan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!