Nurul...!"
Terdengar suara seseorang memanggilku setengah berteriak. Aku terkejut. Seketika aku mendongak dari layar HP yang sedang ku genggam. Saat itu aku sedang mengaso, setelah selesai mencuci perkakas yang baru selesai digunakan untuk memasak. Kebetulan ada Rara, jadi aku malah menonton tik tok di HP Rara.
"Bu Surti... " Ucap Rara pelan seakan memberitahu sambil meraih HP nya kembali dan memasukkannya segera ke saku celana panjangnya. Ya, dari suaranya aku yakin kalau yang tadi memanggilku memang bu Surti, salah seorang pelayan senior di rumah ini.
"Ada apa?" Tanyaku juga pelan pada Rara dengan hati yang mendadak galau. Ya, gimana enggak galau coba, kalau tiba-tiba namamu diteriakkan dengan nada seperti itu...
"Nurul...!"
Seruan itu terdengar lagi.
"Iya, bu..!" Aku spontan menyahut sambil bergegas melangkah mendekati arah suara. Tak kuhiraukan tatapan orang-orang yang kulalui. Tatapan setengah kasihan juga geli. Ya, seperti itu juga tatapan yang aku berikan, jika ada nama lain yang diteriakkan bu Surti. Enggak jelas bagian mana yang bikin geli dari panggilan yang setengah berteriak itu. Cuma rasanya senang aja, karena ternyata enggak cuma aku yang pernah mendapat teriakan itu. Mungkin istilah kasarnya, senang punya teman yang sama-sama "bego" ha ha ha. 😂
Di ruang makan belakang, tempat para pekerja pelayan di rumah ini makan, aku berhasil menemukan keberadaan bu Surti. Beliau menatapku tajam, membuat langkahku menjadi berat.
"Ya, bu... " Ucapku sambil memaksakan langkah untuk lebih mendekat. Di ruangan itu ada Sulis dan Yudi yang sedang menata perkakas yang tadi sudah aku cuci bersih kembali ke rak penyimpanan. Kelihatan sekali mereka sengaja berlama-lama mengerjakan pekerjaan mereka. Bisa dipastikan, mereka ingin menjadi saksi dari sidang ku kali ini.
"Kamu ini... apa kamu enggak mendengarkan apa yang saya perintahkan tadi...?!" ucap bu Surti setengah mengecam.
"Eng... "
Aku berusaha mengingat-ingat, apa kesalahan yang sudah aku lakukan sampai membuat pelayan senior ini sebegitu gusar nya.
"Dasar..! Saya suruh kamu menata serbet biru di meja, kamu dengar? B I R U ... bukan tosca... Masa kamu enggak bisa membedakan warna biru dengan tosca... " bu Surti terus mengomel. Aku sendiri cuma bisa bilang...
"Oh... "
"Ah, Oh saja bisanya! Makanya kalau ada orang yang ngomong itu dengarkan baik-baik...." Samber bu Surti melanjutkan omelan nya. Aku sendiri akhirnya cuma bisa diam. Habis mau ngapain lagi coba. Mau komentar lain, takutnya malah bikin bu Surti tambah marah. Padahal sih kalau menurut pemikiran ku, ini kan bukan masalah besar, cuma masalah warna serbet yang salah, enggak bakalan bikin keracunan orang yang makan juga keles...
"Ah, dasar bu Surti sedang pms aja kali. Masalah kecil gitu aja jadi drama... " Batinku.
"Tunggu apalagi?! Ayo cepat ganti serbetnya sebelum tuan dan nyonya datang untuk makan... " Sentak bu Surti saat melihat aku cuma diam menunduk mendengarkan omelan nya.
"Eh, iya. Baik bu... " Sahutku. Aku mengangguk dan langsung bergegas mendekati lemari tempat tumpukan serbet di simpan.
Aku meraih serbet biru. Ya, kali ini aku benar-benar memastikan kalau yang aku ambil itu biru, bukan tosca. Usai mengambil setumpuk serbet, sambil menutup pintu lemari, aku melirik Sulis dan Yudi yang masih ada di sana. Mereka terkikik saat pandangan kami bertemu. Aku cuma bisa mesem tidak berkomentar, karena bu Surti masih duduk di tempatnya memeriksa sendok dan garpu yang sepertinya baru selesai di poles.
"Cepat! "
Seru bu Surti, saat melihat aku masih berdiri di depan lemari, menumpuk dengan benar serbet di tangan sebelum aku bawa melangkah.
"Iya, bu."
Setelah itu aku terbirit-birit pergi ke ruang makan keluarga. Berharap para tuan dan nyonya tidak memulai acara makan siang ini lebih awal...
...* * *...
Setengah tergesa aku menata serbet warna biru itu di samping setiap piring yang disediakan di meja makan yang besar itu. Biasanya aku hanya menata enam piring di meja itu. Untuk tuan besar Darmawan di kepala meja. Nyonya super besar (He he he itu julukan kami kaum pelayan, untuk ibu dari tuan Darmawan) di ujung meja yang lain.
Dua piring untuk dua nyonya besar kami (istri tuan Darmawan) di samping kiri dan kanan tuan Darmawan. Dan dua piring lagi untuk anak-anak tuan Darmawan yang masih tinggal di rumah ini. Nona Sabrina dan tuan muda Danu. Tapi untuk yang dua ini biasanya kalau acara makan siang jarang ada di tempat. Hanya untuk makan pagi dan makan malam saja yang pasti (harus) ada.
Tuan muda Danu putra dari istri pertama tuan Darmawan yang bernama Santi, usianya sekitar dua puluhan. Masih kuliah entah jurusan apa. Tampan? Jangan ditanya... Dia adalah salah satu tokoh fantasi kami para pelayan untuk berkhayal. Ya, cukup berfantasi saja, kami para pelayan tau diri lah dengan status kami, tapi enggak ada larangan untuk berkhayal kan?
Nona Sabrina ini masih sekolah kelas 12. Sedang kakak-kakaknya yang empat itu sudah bekerja. Melanjutkan dan mengembangkan usaha keluarga yang sudah dirintis oleh ayahnya tuan Darmawan. Dua diantaranya katanya sudah menikah, sedang yang dua lagi belum. Tapi aku enggak tahu yang mana yang sudah menikah dan yang mana yang belum.
Hari ini, dua dari anak tuan Darmawan akan datang, karena itu, aku harus menambah tatanan piring untuk acara makan siang ini menjadi sembilan.
"Anaknya yang mana ya, yang mau datang hari ini...?" Tanyaku dalam hati. Mengingat itu, aku langsung menoleh ke arah foto keluarga besar yang terpajang di ruang makan itu.
Difoto itu, semua anggota keluarga tuan Darmawan berjajar rapih, mengapit sepasang manula yang masih memiliki kharisma yang tinggi. Siapa lagi kalau bukan nyonya super besar bersama suaminya.
Aku tahu, foto itu cetakan lama, karena dalam foto itu masih ada tuan super besar, padahal katanya tuan super besar sudah meninggal lebih dari lima tahun yang lalu. Di foto itu juga nampak nona Sabrina masih kecil. terlihat manis dengan dua buntut kuda berpita pink di kepalanya.
"Ehem... " Suara deheman dari arah pintu mengejutkan ku. Serentak aku menoleh.
"Nyonya... " Sapaku sambil menunduk hormat saat kulihat nyonya Yulia melangkah masuk. Aku berjalan mundur menepi.
"Sudah siap semuanya?" Tanya nyonya sambil memperhatikan tatanan meja di depannya.
"Sudah nyonya... " Jawabku masih sambil menunduk.
Ya, begitulah peraturan dirumah ini. Para pelayan tidak diperkenankan mendongak jika tidak diperintahkan.
"Baiklah.... Em, kamu Nurul kan?" Tanya nyonya. Sepertinya saking banyaknya pelayan dirumah ini, membuatnya sulit mengingat nama masing-masing pelayan.
"Iya nyonya. " Jawabku masih sambil menunduk.
"Coba kamu pergi ke kamar tuan Bagas, kasih tahu kalau sekarang sudah waktunya makan. Sekalian bantu dia kemari... " Perintah nyonya.
"Eng... Kamar tuan Bagas itu yang sebelah mana ya nyonya... " Aku memberanikan diri bertanya sambil mengangkat wajah sebentar menatap wajah nyonya. Ya habis, rumah sebesar ini kamarnya juga banyak. Aku mana tahu kamar siapa dimana...
"Oh iya, kamu belum tahu ya... itu, kamarnya ada di ujung kiri dekat kolam..." Nyonya Yulia memberi tahu.
"Baik nyonya, permisi... " Aku lalu melangkah menuju kamar yang ditunjukkan.
Beneran, rumah ini memang besar sekali. Mungkin karena memang anggota keluarganya juga banyak. Setiap anak mempunyai kamar masing-masing, walaupun nyatanya, empat kamar yang ada jarang dihuni karena pemiliknya memilih tinggal di rumah atau apartemen mereka sendiri.
tok tok tok
"Tuan, tuan diminta ke ruang makan..." Kataku setelah mengetuk pintu.
"Masuk! "
Terdengar suara sahutan dari dalam. Dengan kening sedikit berkerut aku mendorong pintu kamar itu.
"Tadi perintahnya suruh masuk kan?" Batinku sedikit ragu.
Perlahan aku melangkah masuk sambil celingukan mencari orang yang tadi menyuruhku masuk.
Eh, itu dia orangnya sedang duduk di atas ... eh, kursi roda? Kenapa dia? Apakah dia sedang sakit?
"Masuklah, tolong kamu bereskan ini... " Katanya sambil mendorong kursinya mundur dan menunjuk meja di depannya yang agak berantakan dengan beberapa kertas.
"Baik Tuan... " Sahutku sambil berjalan mendekat.
"Apakah semua kertas ini boleh ditumpuk menjadi satu, tuan?" Tanyaku memastikan, karena dari posisinya, sepertinya kertas-kertas ini habis dipilah.
"Itu, kertas yang sebelah sana, kamu tumpuk jadi satu di sini. Lalu yang sebelah sana kamu tumpuk sendiri di sebelahnya.... " Jawab tuan Bagas memberi petunjuk.
Aku lalu melakukan sesuai permintaannya.
"Begini tuan...?" Tanyaku setelah selesai.
"Ah, iya... Terima kasih...." Ucap tuan Bagas setelah melihat hasil pekerjaanku.
"Sama-sama tuan. Maaf tuan, tapi sekarang tuan ditunggu di ruang makan oleh keluarga tuan... " Ucapku mengingatkan.
"Oh iya... ayo." Katanya.
Eh?! kok ayo? Maksudnya dia ngajak aku gitu? Mau ngapain? Aku bukan pelayan yang akan melayani di acara makan siang ini...
"Loh? kok malah bengong?" Tegur tuan Bagas sedikit mengejutkan ku. Setelah mengatakan itu, dia lalu memutar roda kursinya menuju pintu.
"Dasar bodoh." Makiku pada diri sendiri. Dalam hati tentu saja. Maksud tuan Bagas tadi pasti aku disuruh mendorong kursi rodanya, habis mau apalagi? Masa mau mengajakku makan bersama? Enggak mungkin banget...
he he he
Tanpa sadar aku mentertawakan diri sendiri yang sudah ngelantur enggak jelas.
Aku bergegas mendekati tuan Bagas, membuka lebar pintu kamarnya dan meraih handel kursi rodanya.
"Mari tuan, biarkan saya membantu." Kataku.
"Terima kasih." Katanya.
Ah, senangnya mendengar kata itu. Terima kasih. Seuntai kata sederhana yang penuh makna, yang jarang sekali kami dengar. Ya, mungkin karena kami memang pelayan, sudah kewajiban kami untuk melayani. Tapi kalau dari hasil kerja kami mendapatkan ucapan terima kasih, kami sama sekali enggak menolak kok.
Kami sampai di ruang makan. Semua kursi yang disediakan sudah penuh, tinggal kursi untuk tuan Bagas yang kosong. Seorang tuan lain yang aku enggak tahu namanya segera bangkit. Dia memindahkan kursi makan yang ada dan memberi tempat untuk kursi roda tuan Bagas.
"Silahkan, mas." Katanya.
Aku lalu mengarahkan kursi roda tuan Bagas ke sana.
"Terima kasih dek." Kata tuan Bagas.
Selesai menempatkan tuan Bagas di meja makan, aku lalu berpamitan untuk undur diri.
"Permisi tuan, nyonya... " Kataku sambil menunduk dan berjalan mundur ke arah pintu belakang.
Tidak ada sahutan. Ya... apalah aku ini, ada atau tidak adanya diriku bukan sesuatu yang penting kan? Sejenak aku mendongak melihat kearah meja. Ingin mencuri lihat, seperti apa wajah-wajah baru yang duduk mengitari meja itu.
Ada tuan yang tadi membantu memindahkan kursi. Mungkin itu adiknya tuan Bagas. Lalu ada seorang wanita lain duduk di sampingnya, mungkin itu istrinya tuan tadi. Lalu terakhir aku menatap wajah tuan Bagas. Aku terkesiap. Wajahku langsung aku tundukkan lagi. Tuan Bagas sedang menatapku penuh perhatian. Dan tatapannya itu seketika membuat darahku berdesir dan memacu detak jantungku untuk bekerja lebih cepat.
Aduh emak! Aku terkena serangan jantung dadakan... ? 🥴
Aku mencari Rara di dapur. Tapi aku enggak melihat bayangannya sedikitpun.
"Mbok, lihat Rara enggak?" Tanyaku akhirnya pada mbok Darmi. Mbok Darmi adalah salah satu sesepuh para pelayan di sini. Beliau sudah ikut mengabdi di rumah ini sejak masih kecil dulu. Ya, bisa dibilang teman sepermainan nyonya super besar dulu, walaupun mereka berbeda kasta.
Keluarga mbok Darmi sudah bekerja di keluarga ini turun temurun, makanya walaupun kelas pembantu, mbok Darmi cukup disegani, karena sudah menjadi pembantu kepercayaan keluarga.
Sebagai bentuk rasa terima kasih keluarga tuan Darmawan pada mbok Darmi, anak-anak mbok Darmi disekolahkan sampai perguruan tinggi dan akhirnya mereka (anaknya mbok Darmi) diberi jabatan di perusahaan tuan Darmawan. Begitu, menurut cerita yang aku dengar...
Rara sendiri adalah cucu dari mbok Darmi. Saat ini dia sudah kuliah semester tiga di sebuah akademi keuangan. Karena kesibukannya kuliah, dia yang memang tinggal bersama mbok Darmi di rumah ini, hanya sesekali membantu pekerjaan rumah di sini. Kadang bantu masak, kadang bantu nyapu-nyapu rumah. Dan karena sifatnya cuma membantu, dia tidak mempunyai tanggung jawab khusus. Sama dengan aku ini....
Cuma bedanya, kalau Rara tidak diberi tanggung jawab pekerjaan rumah karena sibuk kuliah, lain dengan aku. Aku ini tidak diberi tanggung jawab khusus, karena aku memang orang baru yang "terpaksa" masuk ke rumah ini.
Aku belum punya tugas pokok yang pasti harus aku kerjakan setiap hari, karena saat aku datang, semua pekerjaan rumah sudah ada yang menangani sendiri-sendiri. Selama tiga bulan ini aku hanya diperbantukan di sana... diperbantukan di sini... pokoknya jadi seksi sibuklah. ☺
Em, kamu pasti bertanya kenapa ada kata "terpaksa" aku masuk ke rumah ini. Siapa yang maksa? Yang maksa aku tinggal di sini adalah keadaan. Gini ceritanya....
Lebih dari tiga bulan yang lalu (menurut cerita yang aku dengar), aku mengalami kecelakaan lalu-lintas yang parah, yang menyebabkan aku lupa akan apapun yang pernah terjadi dan aku alami seumur hidupku ini. Istilah kerennya aku kena amnesia.
Aku enggak tahu dimana rumahku, siapa keluargaku, apa pekerjaanku. Pokoknya aku lupa semuanya. Bisa kamu bayangkan bagaimana bingung dan frustasinya aku menghadapi kehidupan yang serba gelap seperti itu? Mau bertanya, tanya sama siapa?
Yang aku tahu, aku korban kecelakaan sebuah bis yang terperosok jatuh ke jurang. Dari sekian banyak korban cuma aku yang selamat. Walaupun aku mengalami luka-luka, tapi luka di tubuhku ini tidak terlalu parah. Ya, dibandingkan korban lainnya tentu saja.
Bis itu meledak, membakar habis semua bukti yang seharusnya bisa aku gunakan untuk melacak siapa jati diriku sebenarnya. Jangan tanya bagaimana bisa cuma aku sendiri yang selamat, aku sendiri tak tahu.
Beberapa hari, beberapa minggu setelah kecelakaan itu, aku rasanya frustasi sekali. Ingin mengingat siapa aku dan dari mana asalku, malah membuat kepalaku sakit bukan kepalang. Belum lagi rasa sedih dan kesepian yang amat sangat, rasanya seperti memeras hati ini. Sakit sekali. Beberapa lama aku hidup bagai layangan putus. Tidak berdaya tidak bisa melawan kemana arah angin membawaku. Sepi sendiri di tengah luasnya angkasa. Hingga akhirnya aku bertemu dengan Rara...
Kami bertemu di rumah sakit tempat aku dirawat usai kecelakaan. Waktu itu Aku yang sedang termenung sendiri, bingung memikirkan apa yang harus aku lakukan untuk melanjutkan hidup ini, tiba-tiba tanpa sengaja tertabrak oleh Rara yang sedang terburu-buru hendak ke toilet.
"Maaf.... maaf... " Katanya sambil lalu, karena setelah mengatakan itu, dia langsung ngibrit masuk ke toilet. Waktu itu aku cuma terpaku melihatnya berlalu begitu saja setelah menabrak ku. Tapi... ya sudahlah, mau gimana lagi? Masa iya aku harus mengejarnya masuk ke toilet juga.
Beberapa lama aku masih duduk di dekat toilet itu sambil memegang tangkai sapu. Oh iya, lupa kasih tahu. Sebagai ganti biaya perawatanku di rumah sakit, dan biaya makan aku selama tinggal di sana, aku bekerja sebagai OB sukarela.
Ya, disebut sukarelalah, karena aku tidak bisa menuntut gaji yang seharusnya atas hasil kerjaku. Aku bukan karyawan, dan tidak bisa melamar sebagai karyawan di sana. Pikirku, asal aku punya tempat untuk bernaung serta makanan yang cukup okelah. Jangan berpikir untuk senang-senang atau menabung. Asal hari ini bisa bertahan hidup tanpa mengemis aku sudah bersyukur sekali.
Saat aku sedang termenung itu, tiba-tiba terdengar suara yang menyapaku...
"Mbak, maaf ya yang tadi... "
Aku menoleh setengah terkejut. Rupanya perempuan yang tadi menabrak ku sudah keluar dari toilet. Aku mencoba tersenyum.
"Oh, enggak apa-apa kok. Mbak e kebelet ya?" Tanyaku iseng.
"He eh... " Jawabnya sambil tertawa kecil. "Hei, namaku Rara... nama mbak siapa?" Katanya lagi sambil mengulurkan tangan mengajak berkenalan.
"Aku.... " Aku bingung reflek otakku berputar mencoba mengingat siapa aku. Tapi yang ada malah kepalaku sakit bukan main.
"Loh?! Mbak kenapa?" Tanya Rara saat melihat aku mengernyit kesakitan. Tanpa bisa aku tahan, meluncur lah cerita dari mulutku ini. Tentang kecelakaan yang telah menimpaku dan akibatnya. Aku lihat perempuan yang bernama Rara itu mendengarkan ceritaku penuh perhatian.
Saat itu aku baru bisa bercerita dan menangis. Selama ini, walaupun rasanya sedih sekali, aku mencoba tabah dan tegar. Tak ku izinkan air mata ini jatuh. Karena dengan jatuhnya air mata, akan terasa semakin nelangsa aku. Tapi, saat ada seseorang yang bertanya, ada apa denganku? Dan dia begitu penuh perhatian mendengarkan ceritaku. Pertahanan ku hancur. Aku bercerita sambil berurai air mata.
Rara mendengarkan ceritaku dan mencoba memahami penderitaanku tanpa banyak menyela. Dia juga bahkan memberikan bahunya untuk ku peluk dan ku basahi dengan air mata.
"Yang sabar ya mbak... semua ini ujian dari Allah. Dan Allah tidak akan menguji umatNya melebihi batas kemampuannya." Hibur Rara sambil membelai punggungku.
Aku mengangguk meski masih sambil terisak. Ya, aku tahu itu. Aku pernah mendengar tentang hal itu (entah kapan dan dimana), tapi saat menjalankan ujian itu rasanya seperti berat sekali. Terkadang aku berpikir apakah akan lebih baik jadinya jika aku ikut mati bersama korban yang lain? Tapi... kalau kamu mati? Apa yang bisa kamu lakukan lagi?
Rara berusaha menghiburku dengan balik bercerita tentang dirinya. Dia cerita tentang kekonyolan nya yang naksir anak majikan tempat neneknya bekerja.
"... Bayangin mbak. Waktu aku sedang membersihkan kamarnya, tau-tau dia keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk melilit di pinggang. Ampun! Rasanya panas dingin aku melihatnya waktu itu... " Cerita Rara yang sukses membuat aku tertawa membayangkan kejadian itu.
Entah kenapa, hanya dalam waktu yang singkat, kami merasa dekat. Berbagai cerita mengalir dari mulut kami tanpa canggung. Hingga HP nya tiba-tiba berbunyi. Seseorang menelponnya menyuruhnya segera pulang.
"Mbak, aku pulang dulu. Aku tadi pamit cuma sebentar ke sini, cuma mau ambil resep obat untuk nenekku. Sekarang aku harus pulang." Katanya
Ah, sayang sekali dia harus pulang. Aku seperti merasa akan kehilangan teman yang baru saja aku miliki.
"Oh iya, terima kasih sudah mau mendengar ceritaku... " Kataku sendu. Eh, dianya malah tersenyum.
"Jangan sedih mbak. kalau ada waktu, besok aku ke sini lagi menemuimu... " Katanya. Aku tersenyum lagi, tapi sekarang dengan sedikit harapan. Aku senang mendengarnya akan kembali menemuiku.
"Ya, kemarilah. Aku pasti masih di sini... " Jawabku lugas.
Beberapa hari kemudian, aku seperti memiliki sedikit semangat. Kalau aku bangun tidur di pagi hari, aku berharap Rara akan datang berkunjung. Tapi beberapa hari pula aku kecewa. Sampai sore menjelang, Rara tidak juga datang seperti harapan ku. Aku mulai berpikir, aku ini cuma seseorang yang tidak sengaja bertemu dengannya. Kenapa juga aku seperti berharap?
Ya, derita hati yang kesepian. aku hanya ingin punya keluarga. Aku sepi sendiri. Hingga seminggu kemudian, Rara ternyata benar-benar menepati janjinya. Bukan cuma itu. Rara juga ternyata sudah menceritakan kisah ku pada majikannya, dan meminta izin untuk membawaku bekerja di rumah majikannya itu.
Aku senang, majikannya merasa simpati akan kisah ku, dan mengizinkan aku bekerja di rumah mereka, walaupun sebenarnya mereka juga khawatir karena mereka sama sekali tidak tahu apa-apa tentang aku.
Kenapa aku senang dengan tawaran kerja sebagai pembantu di sana? Karena kalau bekerja di rumah (Walaupun hanya sebagian ART) aku akan bertemu orang yang sama yang bisa aku anggap keluargaku setiap hari. Bukan seperti di rumah sakit ini, orang datang silih berganti. Membuat aku harus selalu berbesar hati untuk ditinggalkan. Hari itu juga, Rara membawaku ke rumah majikannya. ke rumah ini.
Di sini aku dipertemukan dengan sekian banyak orang yang tinggal dalam satu rumah besar, lengkap dengan posisinya masing-masing. Di sini juga aku menerima nama baru yang telah dipilihkan oleh nyonya super besar untukku. "NURUL"
Itu namaku sekarang. Nyonya memberiku nama itu, dengan harapan, aku akan menemukan cahaya dalam hidupku, serta menjadi cahaya bagi kehidupan orang lain.
Aamiin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!