Desa Angin. Pertama kali aku membaca nama itu yang terpampang di gerbang Desa, sudah terbayang bagaimana rasanya tinggal di Desa ini. Seperti yang diperkirakan, Desa ini amat sejuk dan membuat nyaman. Seperti namanya, Desa ini penuh dengan sepoy angin sepanjang harinya. Semoga betah.
Setelah turun dari angkutan umum aku dan beberapa orang yang datang bersama dipimpin untuk dibagikan kamar kost untuk permulaan. Nanti sambil berjalan terserah pada kita apabila akan berganti pasangan atau bahkan berpindah kost-kostan.
Kost-kostan yang akan menjadi rumahku mulai saat ini terlihat apik. Tidak mewah sama sekali, tapi entah kenapa bisa membuat jatuh cinta.
Didepan kamar-kamar kost ditanam pepohonan yang membuatnya terasa semakin sejuk.
Suara riuh mulai terdengar, mereka yang saling mengenal akan memilih teman untuk tinggal satu kamar karena saat itu kamar yang ada tidak memadai untuk kita tinggal satu orang satu kamar. Jadi satu kamar ada yang ditempati dua orang, tiga orang, bahkan ada yang empat sampai lima orang bagi mereka yang datang dari daerah yang sama atau yang sudah saling kenal.
Ah ya, aku sampai lupa memperkenalkan diri.
Namaku Airy. Airy Annisa. Aku datang ke Desa ini untuk bekerja.
Iya benar. Aku dan semua orang yang ada disini datang untuk bekerja.
Aku baru lulus sekolah tahun ini. Aku tidak melanjutkan kuliah, lebih memilih untuk bekerja. Aku bukan termasuk kalangan orang mampu apalagi orang kaya seperti teman sekelasku yang selalu merendahkan orang lain berdasarkan kemampuan finansial keluarganya.
Aku dan semua orang disini datang melamar pekerjaan pada satu perusahaan yang sama. Kami datang dari berbagai daerah, berbagai kota. Yang jelas kami semua merantau ke luar provinsi.
Kami disini untuk bekerja di sebuah perusahaan otomotif yang sudah berdiri lebih dari tujuh puluh tahun. Sudah pasti perusahaan itu bonafit. Tentu saja gaji yang di janjikan menyilaukan.
Oke kita kembali ke pembagian kamar.
Aku mendapatkan kamar nomor tiga bersama satu orang yang bernama Fara. Yaa itu usulan dari leader yang membawa kami kesini agar aku tinggal satu kamar bersama Fara karena aku tak mengenal satu orangpun disini. Aku datang dari daerah yang berbeda dari mereka semua.
Tak masalah aku tinggal bersama siapa saat ini. Toh semua tak ada yang kukenali, bukan? Yang terpenting adalah aku sudah mendapatkan tempat di kost-kostan ini. Dan lagi nomor tiga ada nomor yang aku suka sekaligus tanggal lahirku. Ah, semoga betah di kamar ini.
Sedangkan sebagian orang yang tidak kebagian kamar di kost-kostan ini mereka dibawa ke kost-kostan sebelah. Tidak jauh dari sini. Bangunannya hampir bergandengan.
Setelah pembagian kamar selesai, kami semua dipersilahkan istirahat, atau makan bekal yang kita bawa. Dan di sore hari nanti kami akan dibawa berkeliling memperkenalkan tempat-tempat yang pasti akan kita butuhkan seperti warung makan, pasar, pangkalan ojek dan lainnya.
Oh aku kasih tau kalian satu hal lagi. Kost-kostan ini belum sepenuhnya jadi. Masih dalam tahap pengerjaan namun sudah hampir selesai. Kuperkirakan sekitar tiga atau empat hari lagi sudah beres. Paling tidak tidak sampai satu minggu sudah akan selesai. Untungnya kamar yang aku tempati bersama Fara sudah selesai dibangun, namun belum finishing. Belum ada stop kontak yang dipasang didalam. Alhasil kami menyambungkan kabel dari kamar penjaga ke kamar kami. Baterai handphone sudah mulai hampir habis. Butuh diisi kembali.
*****
Waktu malam hari adalah waktu berbincang bersama bintang. Bukan ngobrol dengan bintang, namun ngobrol ditemani bintang diatas sana pada musim dingin ini.
Kami saling memperkenalkan diri satu sama lain. Menceritakan dengan singkat asal-usul masing-masing dan semacamnya sebagai perkenalan pada umumnya. Lama-lama juga akan saling mengenal dengan sendirinya. Malam ini bisa dikatakan hanya sebagai formalitas saja.
Namun tidak jarang dari mereka yang sudah memiliki teman klop dengan cepat padahal belum ada satu hari bersama. Ya, itu memang untuk mereka yang bisa berbasa-basi, dan mengikat dengan tali pertemaman. Dan yang pasti mereka berani. Tidak seperti diriku yang untuk menyebutkan huruf A saja tidak berani. Iya begitulah aku, aku bukan orang yang suka bertanya terlebih dahulu pada orang yang belum aku kenal. Makanya aku hanya mengobrol seadanya saja dengan Fara disebelahku yang kebetulan Fara sendiri orangnya tak banyak bicara, mirip sepertiku.
Tak lama kemudian mas Andi - yang jaga kost-kostan ini, ikut bergabung dengan kami di pelataran yang dipayungi daun-daun rimbun dan bertabur cahaya hangat dari bintang-bintang. Mas Andi membawa gitar. Seperti tebakan kalian, dia memang hendak memainkan gitar untuk meramaikan malam hari ini.
Satu ide terlintas dikepala. Detik berikutnya aku sudah masuk kedalam kamarku, mengambil gitar dari kamarku dan kembali ke pelataran lagi dengan gitar ditangan kananku.
"Mas Andi, saya boleh ikut main gitar?" Kataku seperti tak punya rasa malu lagi.
Oke. Banyak pasang mata menatap menyelidik padaku. Sebagian dari mereka seperti menatap penasara, ada yang menatap 'aku juga ingin bisa bermain gitar', namun sebagian besar menatap tak percaya. Dari mata mereka terbaca kalimat-kalimat seperti 'caper banget sih pake pengen ikutan main gitar.' Genit banget jadi cewek.' 'Nggak tau malu.' Kira-kira seperti itu.
Namun kepalang tanggung. Toh aku sudah berdiri disini bersama gitarku. Kalau aku mundur bukankah aku akan tambah malu?
Didetik aku akan kembali membuka suara, mas Andi sudah berbicara terlebih dahulu.
"Duduk disini." Mas Andi menepuk-nepuk tempat disebelahnya agar aku duduk disana.
Aku mengangguk "Terimakasih." Lalu tersenyum canggung.
"Ada yang bisa main gitar lagi nggak? Biar tambah ramai." Seru mas Andi menginterupsi bisik-bisik yang tak kunjung usai.
Tak ada yang bersuara, yang ada hanya gelengan kepala dari beberapa orang. Yang lain memilih tak menjawab.
"Oke kalau gitu aku disini mau main gitar sama - maaf, siapa nama kamu?" Mas Andi beralih menatapku, bertanya siapa namaku.
"Airy. Nama saya Airy."
"Oke disini aku ditemani Airy, mau meramaikan suasana malam hari ini dengan bernyanyi beberapa lagu. Kira-kira kita mau nyanyi lagu apa?"
Untuk pertanyaan kali ini banyak sekali yang menjawab. Ada yang memilih lagu sedih, lagu galau, lagu yang sedang hits, lagu barat, dan masih banyak lagi.
"Ada yang suka lagu-lagunya Sheilla on 7 nggak? Kalau aku nyanyi lagu 'Itu Aku' aja gimana?"
Kembali mereka bersorak. Kali ini mereka setuju. Sejurus kemudian intro telah kami mainkan. Dilanjutkan dengan nyanyian dari suara kami semua. Mereka yang tadi menatap tak masuk akal padaku pun sudah ikut hanyut dalam alunan. Syukurlah.
*****
Sudah malam. Hampir larut malam. Dan aku besok harus kerja shift pagi. Hari pertama kerja tidak boleh kesiangan. Maka setelah mengiringi beberapa lagu, aku pamit untuk istirahat terlebih dahulu. Mengabaikan mereka yang masih melanjutkan malam ini dengan menonton film fast furious dengan DVD milik mas Andi.
"Airy, aku harus panggil apa ya untuk panggil kamu? Kalau aku panggil Ay, takut jadi salah paham."
"Terserah mas Andi aja. Tapi kalau temen-temen saya panggilnya sih, Ay."
"Oke. Ay, jangan terlalu resmi ngomong sama aku. Nggak usah pake saya. Pake aku kamu aja."
"Ah iya mas maaf udah kebiasaan. Kalo gitu saya - ah aku masuk dulu. Permisi mas"
"Iya. Selamat malam, Ay. Mimpi indah."
*****
Hallo... Aku bawa cerita dari Airy nih. Gimana menurut kalian prolognya?
Katanya cerita horor kenapa jadi kayak romance? Atau sebenernya mas Andi itu makhluk jadi-jadian lagi?
Hahaha .maaf maaf. Oke ini kan baru prolognya. Pengantar ceritanya. Nanti seterusnya bakalan banyak horor-horornya loh. Siap-siap aja.
Oke terimakasih untuk kalian yang sudah sudi mampir. Tolong klik suka dan kasih aku saran di kolom komentar yaa. Terimakasih sebelumnya.
See ya..
Aku dan beberapa teman yang masuk shift pagi berangkat bekerja bersama. Ah bukan bekerja. Kami masih harus training selama kurang lebih tujuh sampai sepuluh hari.
Seperti yang diperkenalkan kemarin, kami mampir ke warung makan milik Bu Yayuk. Ada berbagai macam sarapan seperti nasi uduk, nasi kuning, nasi bakar, atau nasi rames. Aku membeli paket lima ribu yang sudah termasuk gorengan dan satu gelas air mineral. Paket goceng namanya. Isinya ada nasi, tidak pake lauk seperti ayam atau ikan. Hanya ada nasi ditemani tumis dan satu tempe goreng atau bala-bala (bakwan). Segitu sudah cukup untuk aku yang masih harus menghemat uang untuk sekitar sebulan sampai dua bulan kedepan.
Selesai sarapan di warung Bu Yayuk kami melanjutkan berjalan menuju perusahaan.
Ada sih tukang ojek di pangkalan ojek yang kemarin diberi tau oleh leader yang memimpin perjalanan kami. Tapi lebih enak jalan ramai-ramai. Seru. Sambil olahraga pagi juga.
Sampai di gerbang perusahaan, kami diarahkan agar menuju ke aula terbuka. Pak satpam paham kami yang berbaju hitam putih masih bukan seorang karyawan. Maka kami yang berbaju sama semua berkumpul di aula terbuka tersebut sambil menunggu pengarahan selanjutnya.
*****
Saat pertama kali masuk ruang produksi setelah beberapa pengarahan yang memakan waktu lama bahkan hingga waktu istirahat makan siang baru selesai tadi, aroma besi berkarat langsung masuk ke penciumanku. Mungkin itu bau besi tua yang telah berdiri kokoh untuk perusahaan ini hingga umur tujuh puluh tahunan.
Toilet dan keran air minum tersedia di masing-masing bagian produksi. Dan aku mendapat bagian dalam salah satu bagian di bagian pertama dalam roses produksi disini. Proses pertama produksi. Berjalannya produksi adalah tergantung pada bagaimana kondisi bagian kami bekerja. Kalau diibaratkan menjahit, bagianku adalah membuat pola dan memotong bahan mungkin. Semacam itu kira-kira.
Aku diperkenalkan pada leader yang akan menjadi leader-ku untuk waktu kedepannya. Setelah berkeliling memperkenalkan aku pada rekan-rekan yang satu naungan dibawah pimpinan bapak Suparman, aku di berikan tugas sesuai yang aku dapat di ruang training tadi pagi. Aku butuh proses tersendiri untuk mengerjakan pekerjaan yang sedang aku pandangi kini. Memang, dalam teori aku sudah hafal diluar kepala, tapi nyatanya untuk mempraktikkannya aku tetap memerlukan bimbingan tersendiri. Aku kuwalahan. Kalian sama sepertiku tidak? Teori paham tapi jika disuruh mempraktikkannya akan berpikir dua sampai tiga kali lagi untuk memahami? Apa hanya aku? Hahaha... Memang begitu aku. Apalagi ini hari kerja pertamaku. Sebisa mungkin aku tak akan membuat kesalahan walau rasa gugup terus menjalar di sekujur tubuhku.
"Hai, Airy. Selamat datang di one piece flow." Sapa seorang yang baru saja menghampiriku.
"Terimakasih." Balasku sesopan mungkin. Meskipun dia terlihat seumuran denganku, namun sebagai orang baru aku harus hormat pada orang lama, bukan?
Oh ya, one piece flow yang disebutkan tadi adalah bagianku. Bagian pertama yang ku maksudkan tadi. Untuk kedepannya mungkin aku akan banyak menyebutnya lagi.
"Namaku Eva." Aku tersadar dari lamunanku. Untung saja aku masih sempat mendengar namanya. Eva.
"Namaku Airy." Balasku tanpa basa-basi.
Bodohnya aku! Bukankah tadi Eva sudah memanggil namaku? Dia sudah tau namaku mengapa aku masih memperkenalkan diri?
Aku tersenyum canggung.
"Semoga betah disini. Kalau ada yang belum ngerti langsung tanya ke temen-temen disini aja. Kalau kiita nggak bisa nanti bisa tanya ke pak Superman."
"Pak Superman?" Tanyaku mengerutkan dahi karena bingung.
"Iya. Leader kita." Balas Eva sambil cekikikan.
"Suparman? Superman?" Dari sini aku mulai memiliki feeling, dan..
"Iya itu. Kita semua disini panggil dia emang pak Superman. Dia baik dan suka becanda. Nggak bakal sakit hati kalau dibecandaain. Jangan takut meskipun kelihatannya sangar." Cerita Eva panjang lebar.
"Hehe, iya." Balasku.
"Ah ya, aku kenalin disini ada siapa aja. Itu ibu Dena. Yang itu teh Ipeh. Yang itu kakek, lihat deh dia udah tua kan? Udah ubanan. Haha.. kalau yang itu bapak Sapri. Dan yang gayanya kayak bos itu om Japar." Eva mulai memperkenalkan rekan-rekan baruku sesekali diselingi tawa riang dengan suaranya yang sedikit serak.
Eva terus berceloteh menceritakan hal-hal yang terdengar menarik selama dia bekerja disini.
Setelah sedikit banyak mengobrol dengan Eva, aku tau kalau Eva, Risa dan Uci juga baru lulus tahun ini sama seperti aku. Bedanya mereka memang asli orang sini, bahkan sebelum ijazah keluar mereka sudah bekerja disini. Sudah sekitar tiga bulan lamanya.
Dari cerita Eva, aku tau bahwa meskipun teh Ipeh terlihat sama dewasanya dengan ibu Dena, tapi teh Ipeh belum menikah. Berbeda dengan ibu Dena yang umur pernikahannya sudah menginjak tahun ke tiga. Maka aku tidak boleh sembarang bicara apalagi sampai menyinggung perasaan teh Ipeh. Itulah satu hal yang harus paling aku ingat.
Kalau kakek dia suka nyanyi sambil kerja, biar nggak ngantuk katanya. Bahkan seringkali ditengah-tengah jam kerja dia pergi menyeduh kopi dan nongkrong di dekat toilet. Kenapa di dekat toilet? Karena saat jam kerja hanya toiletlah tempat yang boleh dikunjungi selain ruang produksi. Masa mau ngopi dikantin saat jam kerja? sudah pasti ada security. Dan biasanya kalau dia mau nyanyi akan mengajak teman duet seperti saat ini.
"Neng Risa, hayuk sini dangdutan sama kakek."
Dan dengan senang hati Risa mengiyakan. Duet mereka menjadi hiburan tersendiri bagiku. Mereka bukan satu keluarga, tapi mereka terlihat serasi dan kompak. Maka aku berpikir bawa aku juga harus secepatnya membaur dengan mereka agar aku tidak dicap autis.
Kalau om Japar seperti yang Eva katakan, dia bertingkah layaknya dia adalah bosnya. Bahkan dia suka nyuruh-nyuruh pak Superman. Eits...tapi cuma becanda kok, nggak seserius itu. Dia lumayan lucu orangnya, tapi laki-laki jangkung ini sering membicarakan hal-hal jorok. Dan aku tau aku harus sedikit memberi jarak dengan om Japar. Aku juga masih mempunyai rasa malu untuk mendengar hal-hal jorok tersebut.
Dan masih banyak lagi yang Eva ceritakan. Tapi aku skip saja lah cerita tentang Uci, Risa, teh Feby, teh Teti, teh Kokom, teh Adah, dan masih banyak lagi, biar nggak kebanyakan.
Oke baiklah. Sekarang aku sudah masuk tempat produksi jadi aku harus memproduksi, bukan melamun atau mengobrol tanpa bekerja.
Aku mengambil alat yang seharusnya aku gunakan ketika aku bekerja. Sekali dua kali Eva memberiku pengarahan agar pekerjaanku bisa efisien, sehingga bagian conveyor tidak mengalami masalah seperti harus menunggu.
Aku sedang berpikir 'teman-teman disini terlihat menyenangkan dan ramah. Gimana ya kondisi teman-teman satu kost ku pada bagian mereka masing-masing?'. ketika itu aku memikirkan teman-teman satu kost ku, seketika aku melihat bayangan putih lewat depan meja tempatku melakukan pekerjaanku. Aku mundur secara insting. Dadaku naik turun. Jantungku berdegup bahkn hingga berkali-kali lipat lebih cepat dari biasanya.
Apa itu? Aku yakin sekali itu bukan makhluk sebangsa kami seorang manusia. Memang setahuku aku tidak bisa melihat hal-hal yang tidak seharusnya aku lihat. Aku bahkan sama sekali tidak ingin memiliki kemampuan dapat melihat makhluk astral.
Aku seperti seorang linglung. Kemana perginya Eva yang sejak tadi mengajakku ngobrol? Lalu kenapa makhluk tadi melintas di depanku? Jika benar adalah makhluk astral, apakah aku telah mengganggu atau menyinggung keberadaannya?
Keringat membasahi sekujur tubuhku. Telapak tangan yang basah aku remas dengan kencang. Masih berpikiran yang tidak masuk akal, tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik aku masih diam. Aku menimang akan berbalik badan atau tidak. Bagaimana jika yang menepuk bahuku adalah sosok putih tadi yang aku lihat.
Ketika aku membuka mulut ingin berteriak, sebuah tangan besar tiba-tiba menutup mulutku cepat. Setelah mengumpulkan keberanian, aku membuka mataku dan menatap seorang yang tadi mengagetkanku sekarang ada di hadapanku.
"Maaf." Ucap seorang itu.
Aku tak menjawab karena bingung. Juga pikiranku masih melayang entah kemana.
Seorang yang tengah berdiri di depanku meraih kedua tanganku dan menggenggamnya lembut. Entah kenapa aku tidak menolak genggaman tangan asing itu.
"Aku Zaki. Aku karyawan magang disini. Maaf aku ngagetin kamu tadi. Tapi untuk yang kamu lihat barusan aku juga melihatnya." Tutur seorang yang mengaku bernama Zaki itu.
Aku melotot melebarkan mataku penuh. Manatap menyelidik pada Zaki 'jadi benar itu makhluk astral?'
Sepeti bisa membaca pikiranku. Zaki menganggukkan kepalanya. "Iya benar. Jangan lepasin tangan kamu dan lihat ke pipa yang ada diatas baris ketiga dari tempat kamu berdiri."
Entah kenapa lagi-lagi aku tidak menolak. Aku meremas tangan Zaki yang masih setia menggenggam tanganku. Lalu aku perlahan menuruti perkataannya.
Aku menengadah dan perlahan menghitung pipa untuk menemukan jawaban atas apa yang dikatakan Zaki.
Lagi-lagi aku memundurkan diriku seolah dengan mundur aku akan terbebas dari situasi ini. Namun Zaki menahan langkahku.
"Nggak usah takut. Mereka ada disini jauh lebih lama sebelum kita datang. Wajar jika mereka sekedar ingin berkenalan sama orang baru." Terselip nada humor didalamnya, namun aku malah menjadi semakin takut.
Bagaimana aku tidak takut? Apa tadi dia bilang aku harus berkenalan dengan makhluk astral yang bahkan aku belum pernah melihatnya seumur hidupku, sebelum hari ini tentunya.
Jika kalian jadi aku, apa kalian tidak akan takut melihat sosok-sosok putih itu bergelayutan di pipa diatas tempat kita bekerja. Ada juga yang duduk di pipa dan mengayunkan kakinya sambil tertawa-tawa. Dan yang paling menyeramkan adalah, ketika aku melihat mereka yang berpakaian putih itu, aku merasa jauh dari rekan-rekan kerjaku. Seolah rekan-rekan kerjaku dibuat tuli jika aku berteriak meminta tolong. Atau seakan dibuat buta agar tidak melihat diriku yang ketakutan akibat makhluk astral itu.
Aku jadi kepikiran 'Tempat apa ini sebelum dijadikan pabrik otomotif ini? Atau jangan-jangan kuburan mati atau semacamnya seperti di film-film horor yang pernah aku tonton?'
"Aku harus kembali bekerja. Kamu nggak perlu takut. Kalau kamu takut mereka akan semakin mengganggumu. Tapi kamu juga harus hati-hati. Kita akan ketemu lagi."
Tanpa menunggu aku berkata-kata atau membalas kalimatnya, Zaki sudah pergi.
Tunggu! Aku bahkan tidak memberitahu dia siapa namaku. Ya sudah, lagipula dia tidak bertanya, kan?
Ah benar juga. Seragam kita sama. Hitam putih.
*****
Nahlo...mulai muncul kan makhluk yang bikin takut.
Kalian tebak, yang dimaksud sosok putih itu apa ya kira-kira? Kayaknya udah banyak yang tau sih, haha..
Yuk ceritain pengalaman kalian mengenai sosok putih itu kalo kalian pernah menemui. Tulis di kolom komentar ya teman-teman. Jangan lupa klik suka. Terimakasih sebelumnya.
See yaa..
Sepulang bekerja kami kembali berjalan ramai-ramai sambil berceloteh tentang pengamalan hari pertama ini. Ada yang langsung dapat teman, ada yang bercerita bahwa pekerjaannya menyenangkan, ada yang bercerita bahwa memiliki rekan yang tidak ramah, sampai ada yang mengatakan 'kerjaku sama orang ganteng. Seneeeeng banget. Bikin semangat kerja.'
Mampir ke warung makan yang tadi pagi kami kunjungi, kami mengantri panjang. Ternyata warung ini sangat ramai. Beberapa kali lipat lebih ramai dari tadi pagi. Ternyata warung favorit.
Begitu giliran kami, kami yang sudah mendapat bungkusan nasi menunggu yang lainnya diluar warung agar tidak mempersempit ruang warung makan itu.
Ahh... Aku baru merasakan perasaan bagaimana lelahnya bekerja. Ini saja aku masih dalam masa training dan belum diberikan tugas berat, apalagi kalau aku sudah benar-benar karyawan perusahaan itu nantinya? Lelah... Kakiku terasa hampir patah karena berdiri selama delapan jam, selama jam kerjaku.
Dan sekarang sedikit banyak aku paham lelahnya orangtuaku selama bekerja untuk menghidupi kami sekeluarga. Ah aku jadi ingat Mama dirumah yang jauh dariku. Juga rindu Papa yang bekerja di luar kota. Aku akan menelpon nanti setelah aku mandi dan makan. Badanku sudah lengket karena berkeringat ssharian. Dan cacing diperutku sudah berteriak meminta asupan nutrisi.
*****
Mengobrol dengan Mama lewat sambungan telepon ternyata malah membuatku menjadi rindu. Semakin rindu. Memang aku sudah biasa melakukan apapun sendiri, tidak manja, memang dilatih untuk mandiri. Tapi berada di tempat yang berbeda dengan keluarga tetap saja rasanya berbeda. Rasanya ada yang kosong. Namun inilah pilihanku. Aku harus tetap disini meraih mimpiku.
Tunggu! Mimpiku bukan untuk menjadi pekerja. Namun dengan bekerja aku bisa mulai meraih mimpiku. Nanti di lain waktu akan aku ceritakan apa cita-citaku. Setidaknya butuh mengumpulkan modal, bukan? Modal finansial juga modal mental.
"Ay, main gitar lagi gih, biar nggak sepi sepi banget ini kost-kostan. Kayak rumah tak berpenghuni sih ini." Kata Fara yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Dia baru hendak makan. Setelah pulang tadi memang aku dulu yang mandi. sementara dia memang masih berlama-lama bermain handphone.
"Kan kamu masih mau makan, Fa."
"Emang. Terus kenapa?"
"Nanti yang nyanyi siapa?"
"Ya kamu lah, Ay. Biasanya kalau bisa main gitar suaranya juga udah pasti bagus. Ya kan?
"Nanti dulu deh, aku masih mau_"
Tok tok tok.
Suaraku terpotong oleh suara ketukan pintu.
"Apa?" Tanya Fara yang bingung kenapa aku tak menyelesaikan kalimatku.
"Ada yang ngetuk pintu, kan?"
"Hah? Masa? Aku nggak dengar tuh." Balas Fara dengan mulut penuh makanan.
"Ih, ada, Fa. Kamu sih nggak dengar. Aku buka pintu dulu. Paling juga teman-teman mau main." Aku bangun dari dudukku dan berjalan mendekati pintu. Aku memegang gagang pintu, menarik perlahan dan pintu terbuka.
Aku celingukan karena tidak ada orang disana.
"Siapa? Siapa yang ngetuk pintu barusan?" Aku sedikit berteriak. Namun tetap tak ada jawaban.
"Siapa sih? Jangan bercanda dong." Kataku lagi.
"Siapa, Ay?" Tanya Fara yang sudah berdiri didekat ku.
"Nggak tau. Nggak ada siapa-siapa." Jawabku. Aku berjalan masuk lebih dulu. Tak lama kemudian Fara ikut masuk dan kembali menutup pintu.
"Masa sih nggak ada siapa-siapa tadi?" Tanya Fara penasaran.
"Tapi aku juga nggak dengar ada yang ngetuk pintu loh, Ay." Sambung Fara.
"Aku dengar, Fa. Ah paling orang iseng." Jawabku acuh.
Setelah aku selesai berucap, pintu kembali diketuk.
Tok tok tok.
Aku geregetan dan langsung membuka pintu dengan cepat.
"Ay, ajarin aku main gitar dong." Kata Sasi yang langsung berkata setelah pintu terbuka.
"Kamu ngapain sih pake ngerjain segala." Kataku kesal.
"Kenapa tadi abis ngetuk pintu pake ngumpet dulu?" Kataku lagi.
"Hah?" Sasi terlihat bingung. Apa mungkin yang tadi itu bukan Sasi? Atau dia sedang ekting?
"Aku baru kesini loh, Ay. Aku nggak ngerjain kamu." Dari tatapannya terbaca bahwa dia sungguh-sungguh. Tidak ada kebohongan.
Lalu siapa tadi yang mengetuk pintu? Ah paling teman yang lain.
Tak ingin membuat takut Sasi dan Fara yang tengah menatapku menyelidik, aku langsung mempersilahkan Sasi masuk.
"Yaudah yuk masuk dulu. Fara masih makan."
Pet. Gelap. Baru aku ingin melangkah masuk tiba-tiba listrik padam.
Sasi sempat berteriak karena kaget.
Seketika penghuni kos-kosan ini keluar semua, mencari penerangan.
Aku meminjam ponsel milik Sasi dan mencari keberadaan ponselku sendiri didalam kamar. Aku tidak membawanya tadi.
"Duh kenapa mati lampu segala sih? Mana gelap banget gini persis di tengah hutan. Cari warung yang dekat dimana coba?" Gerutu salah seorang. Aku tak bisa melihat jelas siapa yang berbicara karena gelap.
"Aku tau disebelah kost-kostan sebelah ada warung. Ayo beli lilin." Salah seorang lain menimpali.
Seperti sudah biasa berorganisasi, beberapa orang berangkat ke warung dan sebagian lainnya tetap tinggal dan hanya menitip untuk membelikan lilin.
Tiba-tiba perasaanku manjadi tidak enak. Tiba-tiba aku merinding seperti ada yang meniup tengkukku.
Aku memilih duduk di teras saja bersama Sasi dan Fara. Sasi dan Fara masih menggerutu kenapa lampu tiba-tiba mati.
Aku tidak terlalu fokus pada pembicara mereka selanjutnya. Karena fokusku saat ini pada sesosok tak menapak tanah yang baru saja lewat tanpa permisi. Tanpa sadar aku memajukan diriku untuk memperhatikannya dan sadar bahwa dia menghilang setelah masuk ke lorong dekat kamar ujung.
Kost-kostan disini setiap kamar ada sekat diteras masing-masing. Jadi tidak langsung bisa melihat sosoknya jika aku tidak memunculkan kepalaku ke luar tembok pembatas.
Dia tak menapak? Dan menghilang?
Keringat dingin keluar tanpa aku sadari. Pohon-pohon bergoyang tertiup angin. Angin semakin dan semakin kencang.
Semua pohon bergerak bergoyang mengikuti arah angin. Namun ada satu pohon yang tetap diam tak bergerak bahkan daunnya pun tidak bergerak sedikitpun.
Itu pohon mengkudu. Pohon yang paling tinggi dari pohon yang lainnya.
Coba pikirkan. Bukankah semakin tinggi pohon itu maka akan semakin diterpa angin? Namun dia tidak. Dia tetap tenang. Mengapa bisa seperti ini? Itu juga yang masih aku pertanyakan.
Jantungku berdebar tak menentu. Ada apa denganku? Mengapa dalam satu hari ini aku sudah melihat penampakan dua kali. Apalagi ini sedang mati lampu. Suasana di sekitarku terasa begitu mencekam padahal jelas-jelas Sasi dan Fara masih berbincang dan bergurau tak jauh dari aku berdiri. Kenapa?
"Ay. Ayri!" Sentak mas Andi yang entah sejak kapan berada di depanku, menggoyangkan bahuku. Dia bilang aku tak menyahut walau dipanggil berkali-kali. Baru tersadar setelah mas Andi mengguncangkan bahuku pelan.
"Ay, kamu kenapa? Ada yang sakti? Atau ada apa?" Tanya Sasi tercetak aura kecemasan. Fara pun ikut mendekat.
"Ay." Panggil mas Andi lagi karena aku masih sedikit belum sadar penuh. Entah kenapa pikiranku melayang entah kemana aku pun tak tau.
"Aku nggak papa kok, Sas." Jawabku memaksakan senyum.
"Mas Andi harusnya jaga disini. Kenapa lama banget baru kesini?"
"Maaf, Ay. Aku tadi lagi beli makan. Penjaga juga butuh makan, kan?" Mas Andi berusaha bergurau.
"Mas,_"
"Aku udah tahu." Potong mas Andi seraya menutup mulutku dengan jari telunjuknya. Kemudian mengisyaratkan untuk membicarakan ini nanti. Disini masih ada Fara dan Sasi.
"Tahu apa mas?" Tanya Fara mengernyitkan kening.
"Tahu kalau mati lampu. Makanya aku buru-buru balik tadi."
"Aih, kirain tahu apaan." Balas Fara terlihat agak kecewa.
"Yaudah aku ambil lilin dulu ya, Ay." Pamit Fara.
"Iya."
Sasi pun ikut meninggalkan aku dan mas Andi hanya berdua.
"Mas,"
"Ay, tolong jangan kasih tau siapapun ya." Mas Andi terlihat memohon.
"Aku tagu kamu takut. Aku yang jaga disini jadi aku juga tagu ada apa aja didalam sini. Disini ada aku, Ay. Kalau kamu takut kamu bisa cari aku. Tapi tolong jangan sampai bikin mereka ketakutan."
"Apa kalau aku cari mas Andi berarti aku akan aman? Apa mas Andi punya kekuatan untuk menjauhkan mereka dari aku?"
Mas Andi menggeleng.
"Kenapa mas Andi nggak bilang aja ke yang punya kost kalau tempat ini berhantu." Seketika mulutku dibekap kuat oleh tangan mas Andi.
"Tolong, Ay. Aku nggak mau nutup-nutupin maslaah ini. Tapi aku juga nggak mau kasih tau mereka. Yang aku mau, biar mereka tau dengan sendirinya nanti."
Aku menghela napas berat.
"Aku ngerti, mas." Kataku pada akhirnya. Walau masih banyak pertanyaan yang masih belum aku tanyakan pada mas Andi, namun aku membiarkan pembicaraan ini berakhir begitu saja sebelum Sasi dan Fara mendengar pembicaraan ini.
Aku menatap sekeliling untuk mengalihkan pandanganku dari mas Andi. Dan apa yang aku temukan? Seorang dengan rambut panjang berbaju putih tengah duduk diatas genting. Seperti sedang memperhatikan kami semua. Walau tak terlihat jelas aku bisa pastikan bahwa wajahnya tidak cantik lagi. Wajahnya kemungkinan hancur atau mungkin berlumuran darah. Lagi-lagi dia makhluk astral.
Menyadari aku yang terus menatap satu titik fokus, mas Andi ikut memandang arah pandangku. Ketika mas Andi menemukan apa yang aku lihat, sesosok itu berbalik menatap ku. Seperti tidak senang.
Aku lemas. Kakiku terasa tak punya kekuatan untuk menumpu berat badanku. Aku semakin berkeringat akibat ditatap makhluk astral yang bisa dibilang jelek itu. Aku merasakan mas Andi menopang badanku dari samping. Dan setelah itu semua gelap. Aku tak sadarkan diri.
*****
Diatas genting kost-kostan cuyy... Gimana perasaan kalian kalau mengalami kisah kayak Ayri? Yuk ceritakan kisah menyeramkan kami di kolom komentar. Jangan lupa klik suka dan kasih dukungan dengan memberi tip/vote ya teman-teman. Terimakasih sebelumnya. See yaaa...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!