Cetar ...
Suara petir menggelegar menambah degupan kencang di jantung Fahreza. Pria yang sudah dua tahun menikahi wanita cantik bernama Cleopatra.
Ayah Cleopatra yang bernama Sanjaya menyukai beberapa bacaan Tentang Cleopatra, seorang ratu Mesir yang kecantikannya tak tertandingi di zaman itu. Ketika istri Sanjaya yang bernama Mia melahirkan seorang putri cantik, ia langsung menamainya dengan nama ratu Mesir itu. Cleopatra biasa dipanggil Rara. Kemudian, Rara tumbuh menjadi gadis yang cantik dan berakhlak baik, membuat setiap kaum adam terpesona.
Fahreza memarkirkan mobilnya di area yang cukup jauh dari lobby rumah sakit. Guyuran hujan yang deras tidak menahannya untuk keluar dari mobil itu. Ia menerobos hujan dan terus berlari menuju lobby. Ia harus menemui sang istri dan melihat keadaannya di sana.
Tepat setengah jam sebelum Reza sampai di rumah sakit ini, seorang karyawan wanita rumah sakit itu menelepon bahwa istrinya mengalami kecelakaan.
Tap ... Tap ... Tap
Deru langkah kaki seorang pria tengah berjalan cepat di sebuah lorong rumah sakit. Hatinya tak karuan. Sesekali, ia pun mengusap dahi yang berkeringat bercampur air hujan yang menetes dari kepalanya. Sungguh, ia sangat mencintai sang istri. Ia sudah mencintai istrinya sejak kecil.
Fahreza dan Rara adalah tetangga. Letak rumah mereka persis bersebelahan, tanpa dihalangi satu rumah pun. Hubungan orang tua keduanya juga terjalin baik. Fahreza memiliki adik yang bernama Zayn. Ia dan adiknya hanya berselisih dua tahun, sehingga keduanya selalu disekolahkan pada tempat yang sama. Mereka hanya berbeda satu tingkat.
Sebenarnya yang menjadi teman bermain Rara sedari kecil adalah Zayn.
Walau usia Rara berbeda tiga tahun lebih muda dari Zayn, tapi Rara memasuki sekolah dasar dengan umur yang sangat muda, sehingga ia hanya berbeda satu tingkat dibawah Zayn dan Reza satu tingkat di atas Zayn.
Rara, Zayn, dan Reza selalu berada di sekolah yang sama sejak SD hingga perguruan tinggi.
Rara seperti memiliki kakak lelaki kembar, karena Zayn dan Reza selalu ada untuknya dan melindunginya. Namun setelah lulus kuliah, Zayn memilih melanjutkan hobbynya ke luar negeri, tepat di saat Rara dan Fahreza akan melangsungkan pernikahan.
Zayn memiliki hobby fotography sejak kecil, bahkan ia pernah menjuarai beberpa event dibidang itu, tetapi sang ayah tidak mendukung hobby anak bungsunya itu untuk menjadi sebuah profesi. Alhasil Zayn tetap kuliah dengan jurusan yang sama seperti Reza dan Rara yaitu manajemen bisnis. Hingga ketika lulus kuliah, kedua orang tuanya Zayn baru menyetujui keinginannya.
“Suster, saya suami Cleopatra,” ucap Fahreza, yang biasa dipanggil Reza.
“Oh, iya, Pak. Kami menunggu kedatangan bapak. Istri bapak masih berada di ruang IGD,” jawab suster yang berjenis kelamin perempuan.
“Antarkan saya kesana!”
Suster itu pun mengangguk dan langsung mengantar Reza ke tempat istrinya.
Reza terlihat kalut, ia merutuki kesalahannya yang terlalu mementingkan pekerjaan dibandingkan sang istri. Sebenarnya sudah dari jauh-jauh hari, Rara meminta dirinya untuk menemani ke salah seorang teman kerja Rara yang baru saja melahirkan. Namun, Reza yang sibuk akhir-akhir ini, hingga di hari weekend pun, akhirnya membuat Rara nekat membawa mobil sendiri.
Memang ini bukan pertama kali Rara menyetir mobil. Rara sudah biasa menyetir mobil sendiri sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Tetapi, ia pernah mengalami kecelakaan hingga koma pada waktu itu, tepatnya satu minggu sebelum pernikahannya dan Reza di gelar.
Akibat kecelakaan itu, Rara koma selama satu tahun, sehingga pernikahan itu pun tertunda. Setelah kejadian itu, Fahreza tidak mengizinkan Rara menyetir mobil sendiri, walau Rara sering meyakinkan sang suami bahwa dirinya masih mahir menyetir dan akan baik-baik saja.
Pasalnya hingga kini, memori Rara yang sedikit hilang akibat kecelakaan sebelumnya itu belum kembali. Hal itu pula yang membuat Rara tidak pernah trauma akan kecelakaan, karena memori yang hilang itu justru kejadian terakhir sebelum kecelakaan itu terjadi hingga saat ia koma. Rara terbangun dari koma saat itu, seolah ia hanya terbangun dari tidur saja.
“Rara,” panggil Reza lirih dan langsung berlari ke arah sang istri yang terbaring lemah di sana.
Bibir Rara terkatup, matanya pun masih tertutup. Ia masih tak sadarkan diri. Hidungnya sudah terpasang selang dan dahinya pun diberi perban.
“Dok, bagaimana keadaan istri saya?” tanya Reza yang sudah tak kuat melihat keadaan sang istri.
Pria berjas putih itu masih terdiam.
“Dok, katakan? Bagaimana keadaan istri saya?” Reza bertanya kembali, kali ini dengan suara sedikit meninggi.
Sungguh, ia tidak ingin kehilangan Rara. Rara adalah cinta pertamanya. Sejak ia mengenal wanita cantik, itu adalah Cleopatra dan sejak ia mengenal cinta itu juga Cleopatra.
Rara adalah hidupnya. Dengan keberadaan wanita itu yang selalu ada di sampingnya saja, sudah memberi oksigen dalam dadanya. Ia ingin hanya Rara yang selalu menemani hari-harinya, walau Reza pun belum bisa menjadi suami yang baik untuk Rara.
“Istri anda saat ini baik-baik saja. Dia akan sadar tiga puluh menit kemudian.” Dokter itu terdiam sejenak dan berkata lagi, “tetapi ada hal yang harus kita bicarakan, Pak,”
“Mari ikut saya!.” Dokter itu mengajak Reza ke ruangannya.
Reza pun mengangguk dan mengikuti langkah kaki pria berjas putih itu. Ia pun lupa untuk mengabarkan hal ini pada orang tuanya dan orang tua Rara.
Sesampainya di ruangan dokter, Fahreza di mminta sang dokter untuk duduk dan tenang. Namun, Reza tidak tenang, ia tahu bahwa yang akan disampiakan dokter itu adalah hal yang buruk.
“Istri anda hamil,” ucap dokter itu saat kedua sudah duduk berhadapan.
Cetar
Suara petir dari luar ruangan itu seperti menyambar Reza dan mengiringi keterkejutannya.
“Apa? Hamil?” Pria itu sama sekali tidak mengetahui bahwa sang istri sedang hamil, karena Rara tidak pernah menunjukkan gelagat mengalami kehamilan.
Dokter itu mengangguk “Tapi mohon maaf, Pak. Kami terpaksa mengambil bayi itu, karena kecelakaan yang menimpa Ibu Cleo, tepat membentur bagian perutnya.”
Reza kembali terkejut. “Jadi istri saya keguguran?”
Dokter itu mengangguk lagi. “Maaf kami tidak bisa menyelamatkan bayi Bapak, karena benturan keras itu tepat mengenai perut Ibu Cleo dan rahimnya.”
Seketika tubuh Reza lemas. Kelopak matanya mulai menggenang. Ia mengingat bagaimana dirinya yang tidak bisa maksimal memberi nafkah batin pada sang istri. Sebuah kemukjizatan, jika Rara hamil. Namun, kebahagiaan itu bahkan belum sempat ia raih sudah hilang terlebih dahulu.
“Dan, bukan hanya itu. masih ada masalah lain,” sambung sang dokter.
“Apa itu, Dok?’ Reza menatap serius wajah sang dokter.
“Hingga tadi, kami sudah melakukan upaya sebaik mungkin. Namun, istri bapak masih pendarahan hebat. Jika pendarahan itu terus menerus terjadi, maka kami akan melakukan histerektomi.”
“Pengangkatan rahim?”
“Ya, benar,” jawab dokter itu. “Karena jika tidak, justru saya khawatir dengan keselamatan Ibu Cleo.”
Kini airmata Fahreza tak terbendung. Tubuhnya lunglai serasa tak bertulang. Ia mengusap wajahnya kasar seraya mengusap airmata yang jatuh di pipi. Ia tak tahu harus bagaimana? Di satu sisi ia sangat menginginkan seorang anak dari Rara, wanita yang sangat ia cintai. Tetapi di sisi lain, keselamatannya adalah yang utama.
Seketika, pikirannya kabur. Ia terdiam dan menyandarkan diri di punggung kursi itu dengan lemah.
“Pak, bagaimana?” tanya dokter itu.
Namun, Reza masih terdiam. Pikirannya kosong. Justru otaknya tengah memutar beberapa adegan yang membuat Rara menangis dalam diam, karena kekurangannya.
“Pak, bagaimana?” tanya dokter itu lagi. “Kami harus mengambil tindakan cepat.”
Reza pun tersentak dan mengangguk. “Lakukan yang terbaik, Dok. Saya ingin istri saya tetap hidup.”
Dokter itu langsung memerintahkan timnya untuk melakukan tindakan pada Rara saat ini juga. Fahreza akhirnya menandatangani semua berkas-berkas sebelum tindakan itu dilakukan.
Ya, dia harus menerima kekurangan Rara. Seperti Rara yang menerima kekurangannya. Selama dua tahun menikah, mereka tidak sering melakukan hubungan intim. Reza memiliki masalah pada hal itu. Miliknya tidak mudah terbangun dan Rara harus berusaha dahulu untuk itu, jika ingin melakukan penyatuan.
Tepat tiga bulan lalu, Reza meminum obat perangsang untuk memuaskan sang istri dan itu berhasil. Ia menjadi beringas, lalu menggempur istrinya habis-habisan hingga terjadilah pembuahan di rahim Rara kini. Namun sayang, janin itu tak bertahan lama.
Reza menyesali mengapa tidak melakukan hal itu sejak dulu, agar cepat memiliki anak, tetapi keduanya tabu untuk menanyakan tentang seputar s*x pada orang lain. Berkonsultasi pada dokter saja mereka malu, karena keduanya memang sama-sama pemalu.
Sejak dulu, Reza terkenal pendiam dan minim teman. Berbanding terbalik dengan Zayn yang supel dan banyak teman. Zayn juga dikenal playboy.
#Flashback On#
“Siapa wanita paling cantik?" tanya Mirna, ibu Reza dan Zayn, ketika Zayn berusia delapan tahun dan Fahreza sembilan tahun lebih enam bulan.
“Mama,”
“Rara.”
Jawab kedua anak lelaki itu berbeda. Zayn menyebut sang ibu sedangkan Reza malah menyebut nama anak perempuan yang tinggal di sebelah rumahnya, membuat Mirna dan suaminya tertawa.
Mirna menikah dengan pria berketurunan Turki. Dalam hal kekayaan, memang keluarga Reza dan Zayn lebih kaya dari keluarga Rara. Hanya bedanya, Rara adalah anak tunggal, sehingga sebisa mungkin orang tua Rara menyekolahkan putri semata wayangnya di sekolah yang cukup elite seperti Reza dan Zayn.
“Memang Rara cantik ya? Lebih cantik Rara dibanding Mama nih?” tanya Mirna meledek Reza.
Reza mengangguk. “Ya, pokoknya perempuan paling cantik itu Rara dan kalau Reza besar nanti Reza ingin menikahi Rara.”
Celetuk anak berusia sembilan tahun setengah itu membuat kedua orang tuanya tertawa. Zayn pun hanya ikut tertawa karena ia belum mengerti apa yang sang kakak ucapkan, walau ia juga mengakui bahwa Rara memang perempuan paling cantik di antara teman perempuannya yang lain.
“Anak kecil udah tau-tauan nikah.” Ayah Reza dan Zayn yang bernama Kemal pun melingkarkan satu tangannya pada leher si anak sulung itu.
“Reza sudah besar, Pa. Nih tinggi Reza sudah mau sama dengan Papa?” sanggah Reza sembari berdiri menyamai tinggi sang ayah.
“Berarti Zayn juga sudah besar dong. Tinggi kita tidak jauh berbeda, Kak.” Zayn pun ikut berdiri dan menyamakan tinggi badannya pada sang kakak.
“Ya, anak Papa sudah besar tapi belum dewasa. Kalian harus sekolah dulu yang benar. Lalu, kuliah terus kerja dan membantu bisnis Papa. Setelah itu baru kalian nikah.”
“Huh, lama sekali, Pa?” protes Zayn.
“Memang seperti itu, Sayang.” Mirna merangkul putra bungsunya.
“Pria sejati itu di lihat dari bertanggung jawab, Sayang. Karena nantinya dia yang akan menjadi pemimpin di dalam keluarga,” sambung Kemal.
“Oleh karena itu sekarang kalian mulai tanggung jawab pada diri kalian sendiri, sehingga ketika besar nanti kalian bisa bertanggung jawab pada orang lain.”
“Tuh, dengerin apa yang papa bilang,” kata Mirna.
Keluarga harmonis itu pun saling berangkulan. Mira merangkul putra bungsunya. Sedangkan Kemal merangkul putra sulungnya. Sebenarnya di dalam rumah itu memang Mirna lah yang paling cantik. Tetapi jika keluar dari rumah itu, maka Rara lah perempuan paling cantik di mata Reza dan Zayn.
****
Saat itu Rara duduk di kelas empat sekolah dasar, sedangkan Zayn kelas lima, dan Fahreza kelas enam. Lepas pulang sekolah, sore harinya mereka selalu bermain sepeda bersama.
“Kak Reza, rem aku blong,” ucap Rara ketika berada di jalan turunan tajam dan tidak mengayuh sepadanya agar tak melaju cepat.
“Kok bisa begitu, Ra?” tanya Reza dengan suara panik berada di samping sepeda Rara.
Tanpa banyak kata, justru Zayn yang semula ada di belakang Rara, langsung mengayuh kencang sepedanya dan berada jauh lebih dulu diantara mereka. Zayn menunggu dibawah untuk menahan sepeda Rara yang melaju agak kencang karena curamnya jalan yang menurun.
“Zayn, awas! Nanti kamu kena aku. Awas!” kata Rara.
“Tidak, Ra. Aku akan menangkapmu,” teriak Zayn yang sudah siap berada di bawah.
“Iya, Ra. Zayn akan menangkapmu. Tenanglah, jangan panik!” sambung Reza.
“Aaa ...” teriak Rara sembari memejamkan matanya. Ia sudah pasrah dengan apapun yang terjadi.
Sepeda, Rara semakin dekat dengan Zayn dan dengan cepat Zayn menangkap setir kemudi sepeda itu, lalu menahannya, hingga laju sepeda Rara pun terhenti.
Reza meinggalkan sepedanya asal dan berlari menghampiri Rara. “Kamu tidak apa-apa, Ra.” Ucapnya sembari memeluk tubuh Rara yang gemetar. “Kamu baik-baik saja,” ucap Reza lagi.
Rara menerima pelukan itu. “Iya, Kak. Terima kasih.”
“Sini, sepedamu kenapa sih? Turun!” pinta Zayn ketus.
Rara pun turun dari sepedanya dan masih ditenangi oleh Reza. Sedangkan, Zayn memeriksa sepeda Rara, lalu memperbaiki rem yang semula tidak berfungsi baik itu.
“Hey, kenapa masih duduk di situ? Ayo pulang!” ajak Zayn pada Rara yang masih duduk di kursi kelasnya.
Rara menggeleng dengan mlipat kedua tangannya di atas meja. Saat itu, mereka baru beranjak remaja, tepatnya di sekolah menengah pertama. Zayn kelas sembilan, sementara Rara di kelas delapan dan Reza sudah tidak lagi satu sekolah dengan mereka karena ia sudah berada di sekolah menengah atas.
“Kenapa, huh?” tanya Zayn yang duduk persis di depan Rara setelah memutar kursi di depan wanita untuk dan duduk berhadapan.
“Semua sudah pulang, Ra. Kamu ngapain di kelas sendirian,” ucap Zayn sembari mengerlingkan ke sudut ruang kelas yang sudah kosong.
“Aku ngga bisa pulang.”
“Kenapa?” tanya Zayn lagi.
“Tidak apa-apa.” Rara kembali menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin memberitahu masalahnya pada Zayn.
Setiap kali Rara mendapatkan masalah atau kesulitan, Zayn lah yang selalu terdepan menyelesaikan masalah itu, karena Reza selalu meminta bantuan pada Zayn, jika Rara bermasalah. Pergaulan sang adik yang luas dan cerdas, memudahkan Zayn mengatasi setiap masalah baik pada teman-temannya yang lain, apalagi kepada Rara. Walau Reza terlihat tampak dewasa, sebenarnya Zayn pun demikian. Hanya saja, sikapnya yang selengeyan membuat kedewasaannya tertutupi.
“Ayolah, Ra. Sampai kapan aku nunggu kamu di sini.” Hanya dengan Cleopatra, Zayn berkata aku-kamu, tapi tidak dengan temannya yang lain, bahkan dengan pacarnya sendiri.
“Kamu bukannya anter Audrey,” celetuk Rara.
“Dia punya kaki, Ra. Dia bisa pulang sendiri.”
“Tapi, dia pacarmu, Zayn. Kalian baru jadian kan?”
Zayn tertawa. “Dia sendiri yang mau, aku tidak.”
“Jahat.” Rara memukul pelan dada Zayn.
“Ayo pulang! Nanti tante Mia marah padaku karena telat mengantarmu, belum lagi Kak Reza,” gerutu Zayn, karena semua orang-orang itu sangat protektif terhadap Rara.
Cleopatra bagai porselen yang selalu dijaga dengan baik oleh kedua orang tuanya, belum lagi terhadap Reza.
Reza juga meminta sang adik untuk menjaga jodohnya. Rara seperti seorang permaisuri yang selalu berjalan dengan kedua penjaga.
Zayn berdiri dan menarik lengan Rara. Walau di kelas ini sudah kosong, tapi tidak di luar kelas. Di luar sana masih banyak siswa yang berkerumun baik dipelataran maupun di lapangan.
“Zayn, aku malu kalau keluar.” Rara tetap mempertahankan posisinya, walau tangan itu sudah tertarik sedikit oleh Zayn.
“Aku tembus, Zayn.” Rara menunduk malu. Sementara Zayn terus menatap wajah malu itu.
“Aku sedang datang bulan dan itu sangat banyak hingga tembus ke rok belakangku,” kata Rara lagi sembari berdiri dan kembali menengok kebelakang untuk memasikan seberapa banyak bercak darah yang tercetak di rok belakangnya.
“Mana, coba aku lihat!” Zayn memutar tubuh Rara.
“Jangan! Malu.” Rara tetap berdiri dan tak ingin berbalik seperti keinginan Zayn.
“Aku ingin lihat seberapa banyak noda itu.”
“Ngga, itu jorok, Zayn. Aku malu,” sahut Rara.
“Ck.” Zayn berdecak kesal. “Kalau aku tidak melihat apa masalahnya, bagaimana aku bisa menolongmu?”
“Tidak ada yang bisa menolongku.”
“Lalu, kamu akan semalaman berada di sini? menemani para hantu yanga da di sekolah ini? kau tahu sekolah kita terkenal angker.”
“Zayn,” teriak Rara yang terkenal penakut.
Zayn tertawa. Sungguh Rara terlihat semakin cantik, apalagi ketika dia merajuk dan tersipu malu.
“Ayolah berjalan di depan! Aku akan melindungimu di belakang.” Zayn menyelempangkan tas milik Rara di tubbuh gadis itu, lalu menyuruhnya untuk berjalan terlebih dahulu.
“Noda itu akan terlihat olehmu.”
“Tidak masalah. Ayo jalan!” Zayn mendorong Rara untuk berjalan.
Rara menoleh ke belakang. “Zayn, aku malu padamu.”
“Sudah jalan. Aku akan melindungimu di sini.” Zayn menyuruh Rara untuk tetap di depannya dan tidak lagi menoleh ke arahnya.
Akhirnya, Rara sampai di parkiran sekolah, tepatnya di depan motor besar milik Zayn. Zayn dan Reza dibelikan motor besar oleh sang ayah. Sebenarnya Kemal hanya membelikan motor untuk Reza yang berhasil masuk ke sekolah menengah atas ternama.
Namun, Zayn merajuk sehingga Kemal membelikan dua sepeda motor dengan catatan Zayn tidak boleh menggunakan motor itu ke jalan raya karena belum memiliki sim. Alhasil ketika berangkat atau pulang sekolah, Zayn memasuki jalan kampung agar tidak melalui jalan raya menuju sekolahnya hingga ia mendapatkan SIM seperti Reza.
“Zayn,” panggil Rara, ketika mereka berada di atas motor.
“Hmm ...” jawab Zayn.
“Terima kasih ya.”
“Untuk apa?” tanya Zayn.
“Untuk tadi.”
“It’s oke. Ra,” jawab Zayn santai.
Rara tersenyum tatkala mengingat Zayn melindunginya di belakang dan berusaha menutupi noda itu dari teman-temannya yang lain saat melintas. Zayn memegang kedua bahu Rara dari belakang sambil berjalan dan sedikit mendorong tubuh Rara untuk berjalan sedikit cepat, karena jika tidak mereka akan dihentikan oleh beberapa teman dekat mereka di sana.
****
Hari terus berlalu. Reza, Rara, dan Zayn semakin dewasa. Namun, hal itu tak membuat mereka terpisah. Mereka tetap dekat dan saling membutuhkan satu sama lain. Orang-orang mengira mereka adalah kakak beradik. Mereka pun sering menghabiskan liburan bersama dengan para orang tua ataupun hanya mereka bertiga saja. Hampir setiap malam minggu, mereka menonton bioskop. Reza tak pernah absen menemani hobby Rara yang suka menonton bioskop, tetapi tidak dengan Zayn. Pria selengeyan yang sering bergonta ganti pacar itu, beberapa kali absen karena harus menonton dengan kekasihnya.
Berbeda dengan Zayn yang playboy, justru Reza terlihat kalem dan tak pernah membawa wanita satu pun ke rumah, karena yang ada di hati pria pendiam itu hanya Rara, pesona Cleopatra tidak bisa digantikan oleh wanita manapun. Sejujurnya, Zayn pun merasakan itu, tetapi Zayn tak kuasa menolak para wanita yang meminta untuk menjadi kekasihnya, padahal Zayn tidak pernah menyukai wanita-wanita itu. Sehingga pacaran mereka tidak pernah berlangsung lama.
“Hai, Ra. Sudah lama di sini?” tanya Reza yang melihat kehadiran Rara di ruang baca.
“Belum juga,” jawa Rara tersenyum dan kembali beralih pada laptopnya.
Rara sering datang kerumah ini untuk meminta bantuan pada Zayn dalam menyelesaikan skripsinya, karena sejak awal memang Zayn yang membantunya dalam hal ini. Rara tidak mungkin meminta bantuan pada Reza karena Reza sudah bekerja dan sibuk. Sedangkan Zayn belum bekerja, ia masih menunggu wisuda dan ingatan tentang membuat skripsi pun masih melekat di kepala Zayn.
“Ra,” panggil Reza.
Kebetulan di ruangan ini hanya ada mereka berdua. Zayn meninggalkan Rara sebentar, karena dirinya belum membersihkan diri. Rara datang memang terlalu pagi, padahal hari itu adalah hari libur.
“Ya, Kak.” Rara menoleh ke arah Reza yang sedang menatapnya dekat.
“Jika aku mengatakan sesuatu apa kamu tidak marah?” tanya Reza.
Jantung Rara berdegup kencang. Entah mengapa ketika berdekatan dengan Reza, jantungnya tak karuan, apalagi jika ditatap sedekat ini. Berbeda ketika bersama Zayn. Ia justru tidak canggung dan benar-benar seperti sahabat.
Rara selalu menjaga image ketika berada di depan Reza. Ia tidak ingin terlihat buruk di hadapan pria pendiam itu, karena menurut Rara, Reza adalah pria impian. Reza memang tampan, pintar, bertanggung jawab, dan tidak pernah bermain-main dengan wanita. Semua karakter Reza, berbanding terbalik dengan Zayn. Walau sebenarnya Zayn pun bisa bertanggung jawab, setia, dan pintar. Namun kemampuan Zayn tertutupi oleh Reza.
“Ra, aku mencintaimu,” ucap Reza lantang dan itu berhasil membuat Rara menganga tak berkedip.
Ini seolah mimpi untuk Rara. Ia tak menyangka bahwa Reza memiliki perasaan seperti dirinya. Padahal sebelumnya, Rara hanya bisa memendang rasa ini, karena tak mungkin ia mengungkapkan perasaan ini terlebih dahulu. Rara adalah tipe wanita pemalu, tidak bisa meluapkan atau mengekspresikan keinginannya. Ia hanya bisa memendam dalam hati.
“Ra, aku minta maaf kalau aku lancang. Tapi jujur, aku menyukaimu sejak kecil dan aku sudah bilang pada Mama, ketika aku besar nanti, aku akan menikahimu,” ucap Reza lagi.
Rara tak mampu berkata-kata. Ia hanya tersenyum lebar mendengar perkataan manis yang keluar dari mulut Reza.
Di belakang pintu ruangan itu, Zayn ingin masuk. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar sang kakak mengutarakan cinta pada gadis yang juga ia sukai sejak kecil, walau Zayn tidak pernah terang-terangan menyatakan hal itu seperti Reza.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!