NovelToon NovelToon

All About You

Dimitri Alexei Nikolai

🌹

🌹

Tangan Dimitri merayap mencari ponsel miliknya yang terus berdering sejak pagi tadi. Namun dia tak berniat untuk membuka matanya sama sekali. Efek alkohol sisa pesta semalam jelas masih tertinggal, dan itu masih membuatnya tak bisa bangun. Sepertinya dia terlalu banyak minum semalam.

"Mmm... " suara gumaman perempuan terdengar dekat ditelinganya, dan itu mau tak mau membuatnya segera membuka mata.

Ponsel berhenti berdering namun dia malah terbangun. Kemudian menyingkap selimutnya saat merasakan sesuatu yang hangat melingari perutnya. Dan benda lembut menempel di punggungnya.

Tangan kurus dengan jari-jari lentik itu memeluknya dengan erat, sementara wajah di belakangnya tersuruk nyaman di punggungnya.

Pemuda itu mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran, dan ingatan yang sempat mengabur semalaman saat dirinya mabuk dan jatuh di pelukan seorang perempuan seksi yang dia temui di sebuah klub di tengah kota.

Dimitri menoleh kebelakang dan dia mendapati wajah pucat itu terlelap begitu dalam. Riasannya memudar, dan dengan rambut pirang berantakan, namun dia masih terlihat menggoda.

"Hey!" katanya, bermaksud membangunkan perempuan itu.

"Hey, bangunlah Nona, sudah pagi." katanya lagi, dan dia menepuk tangan yang memeluk tubuhnya itu.

Perempuan itu mengerjap lalu membuka mata, dan tampaklah wajah tampan Dimitri yang tengah menoleh kepadanya.

"Ah, ... apa kita kesiangan?" katanya, yang sedikit bangkit. Dengan senyum manis di bibir sensual yang lipstiknya telah memudar.

"Sepertinya begitu." pemuda itu melirik jam dinding yang berdetak seperti biasanya.

"Mati aku!" dia kemudian bangkit dan menghambur kedalam kamar mandi.

***

"Kau mau pergi?" gadis itu bertanya saat Dimitri telah selesai dengan pakaiannya.

"Ya, aku harus menjemput orang tuaku di bandara. Dan aku sudah terlambat." pemuda itu tergesa.

"Baiklah, apa kau akan kembali nanti?"

"Ng... tidak tahu, karena aku akan sangat sibuk dengan orang tuaku." Dimitri terlihat berpikir, kemudian bersiap untuk pergi.

"Baiklah jagoan, kembalilah kapan-kapan, aku ada disini atau di klub seperti biasa." gadis itu kembali merebahkan tubuh telanjangnya di tempat tidur.

Dimitri hampir saja keluar dari tempat tersebut ketika dia baru saja mengingat sesuatu.

"Siapa namamu tadi? aku lupa." dia memutar tubuh.

"Panggil saja Irina." jawab gadis yang kembali memejamkan matanya itu.

"Baik Irina. Nanti aku akan menemuimu lagi." ucap Dimitri, yang kemudian benar-benar keluar dari tempat itu.

"Baik sayang, aku akan menunggu." Irina setengah menggumam.

🌹

🌹

"Mama, Papi!" Dimitri berlari tergesa menghampiri kedua orang tuanya yang telah tiba di kediaman Nikolai, kemudian menghambur untuk memeluk mereka berdua secara bergantian.

"Sayangku! wow, kamu merubah warna rambutmu lagi?" Sofia memeluknya begitu erat, lalu mengusak rambut putranya yang kini tak sehitam biasanya.

"Kau sehat Nak?" Satria menepuk pundak putranya beberapa kali.

"Sehat. Kalian sendiri bagaimana?" jawab Dimitri dengan wajah semringah.

"Sehat." jawab Satria.

"Maaf aku tidak menjemput. Aku....

"Sibuk ya? acara kelulusan sepertinya membuatmu lupa banyak hal." sahut Sofia.

"Eee... begitulah."

"Kak Dygta tidak Ikut?" dia melihat sekeliling, hanya ditemukan beberapa koper yang mulai dipindahkan oleh para pegawai di mansion tersebut.

"Oh, dia juga sangat sibuk. Dan tidak bisa pergi tanpa Arfan, anak-anaknya akan sangat merepotkan tanpa ayah mereka." Sofia menjawab.

"Yeah, ... seperti Daryl dan Darren waktu kecil kan? hang saja ini dua kali lipat repotnya." pemuda itu tertawa lalu melirik tiga orang pria yang baru saja tiba. Kakek dan kedua adik kembarnya yang baru saja menyelesaikan olahraga pagi mereka di sekitar mansion.

"Begitulah." Sofia pun tertawa.

Dan ketiga pria berbeda generasi itu bergantian menyapa dan memeluk pasangan yang baru saja tiba ini.

"Berhari-hari tidak pulang, dan kau juga melupakan tugasmu menjemput orang tuamu. Dasar anak nakal!" Nikolai Mulai menggerutu, melihat cucunya yang memang tidak tinggal bersamanya.

"Aku sibuk Ded." Dimitri beralasan.

"Sibuk kepalamu! Bahkan asrama tempatmu tinggal sudah sepi, semua mahasiswa sudah pulang ke tempat orang tua mereka, kecuali mahasiswa dari luar distrik dan luar negri."

"Ded memata-matai aku lagi ya?"

"Tentu saja anak nakal! hanya kau yang selalu bertindak seenaknya, dan membahayakan dirimu sendiri."

"Aku bukan anak kecil lagi Ded,"

"Dua adikmu juga bukan anak kecil, tapi mereka menuruti apa yang aku bilang."

"Itu beda."

"Sudah Ded, katanya rindu kak Dim, tapi kalau ketemu kenapa Ded selalu memarahinya?" Daryl menyela percakapan.

"Iya, Ded aneh. Kalau tidak ada selalu di rindukan, tapi kalau datang pasti marah-marah." Darren menimpali.

"Itu karena kakak kalian nakal."

"Hanya karena aku tidak tinggal disini Ded menyebutku nakal?" Dimitri menggerutu.

"Diamlah, ayo kita sarapan. Aku sudah lapar. Jalan pagi-pagi dengan kalian sangat melelahkan. " pria itu berujar, dan mereka semua tertawa.

🌹

🌹

"Nanti setelah selesai kelulusan kamu pulang kan?" Sofia memulai percakapan, sesaat setelah mereka selesai bercengkerama dan putra pertamanya itu keluar menjauh.

"Nanti Ma." jawab Dimitri, yang segera meneguk minuman yang dia bawa dari dalam rumah.

"Kapan?" Sofia bertanya lagi.

"Nanti, ... kalau aku mau." pemuda itu tertawa.

"Papimu membutuhkanmu sayang, tidak kah kamu ingin pulang dan membantu dia dirumah?" bujuk Sofia.

"Kan ada Om Arfan Ma?"

"Masa pengunduran dirinya hampir tiba sayang, kami sudah janji begitu kamu lulus kuliah dia bisa berhenti, dan dia hampir tidak bisa menunggu lagi." perempuan itu menjelaskan.

"Dim?" panggil Sofia saat tak terdengar lagi suara putranya.

"Ya Ma?"

"Pulanglah, kami membutuhkanmu." bujuknya lagi.

Namun Dimitri masih belum memberi jawaban.

"Dim?"

"Ya Mama?"

"Mama mohon, pulanglah. Bantu papimu."

"Hanya kamu yang bisa papi andalkan." Satria muncul dan mendekat kepada istri dan putra pertamanya.

Dimitri menoleh, dan dia tampak terkejut.

"Sebelum kedua adikmu lulus, hanya kamu yang papi harapkan. Tapi jika mereka sudah menyelesaikan sekolah, dan bisa bekerja, maka kalian bertigalah yang akan mengambil alih perusahaan dan mengurus bisnis keluarga." lanjut Satria.

"Kalau aku nggak pulang?" Dimitri srolah bertanya.

"Maka papi akan kembali bekerja, setelah Arfan mundur tentunya."

"Papi bisa? kan dokter bilang sudah tidak boleh bekerja terlalu keras.?"

"Terpaksa, kalau kamu tidak mau, dan Arfan pun tidak bisa... apalagi adik-adikmu pun belum bisa papi andalkan, jalan satu-satunya ya papi kembali bekerja."

Pemuda itu menghela napasnya dalam-dalam. Jika tidak pulang, maka dirinya akan mengecewakan kedua orang tuanya, tapi jika pulag, maka hilang sudah kebebasannya yang biasa dia nikmati beberapa tahun ini.

🌹

🌹

🌹

Bersambung ...

hai haii... masih ingat dengan keluarga Nikolai dong? novel selanjutnya akan bercerita tentang Dimitri, si anak manja nan tengil kesayangan Mama Fia dan Papi Satria.

Mau tahu gimana keseruannya? ayo kita berpetualang lagi di dunia halu emak, yang akan bercerita tentang keluarga, cinta, dan hubungan antar sesama. Yang awalnya biasa, namun akan berubah menjadi luar biasa ketika kita melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Meet Dimitri Alexei Nikolai 😉

Pesta Kelulusan

🌹

🌹

Dimitri telah siap dengan jas hitam dan penampilan rapinya. Tidak lupa rambutnya yang dia tata sedemikian rupa hingga membuat wajah rupawannya semakin mempesona. Perpaduan antara darah Jawa-Rusia dan Sunda, hal yang diwariskan dari kedua orang tuanya.

Tubuh tinggi bak model profesional, dengan hidung mancung dan alis tebal juga wajah tegas milik Satria, berpadu dengan mata coklat dan bulu mata lentik, juga bibir merah milik Sofia. Pahatan Tuhan yang sungguh sempurna, membuat siapa saja yang memandangnya terpesona.

"Oh, ... anakku sayang." Sofia merangkul pundaknya, kemudian mengecup kening pemuda itu dengan segenap hati.

"Gantengnya anakku. Mama jadi bertanya-tanya bagaimana kamu menjalani sekolah dan kuliahmu hingga hari ini?"

"Mama ngomong apa sih?" Dimitri menaham senyum. Ini yang paling dia rindukan dari sang ibu, segala ucapan dan sikapnya yang selalu manis pada semua anak-anaknya.

"Bagaimana para gadis masih bisa bernapas setelah menatap wajahmu yang seperti malaikat ini." ucap Sofia, dan dia kembali mencium wajah putra pertamanya itu.

"Mama lebay." Daryl muncul dari kamarnya, diikuti Darren sang adik seperti biasa. Mereka masih tak terpisahkan seperti waktu masih kecil.

"Malaikat apanya? banyak gadis-gadis patah hati gara-gara ditolak cintanya." Darren menimpali.

"Oh ya?" Sofia menoleh.

"Kalian hanya iri." cibir Dimitri.

"Iri apanya?"

"Mama tidak memperlakukan kalian seperti aku." Dimitri dengan bangganya.

"Ish, ... aku nggak iri. Masa laki-laki dewasa pasrah saja di cium ibu-ibu?" Darren menyela. Membuat tawa Darryl pecah seketika.

"Jaga ucapanmu, yang menciumi ini mama kita tahu!" Dimitri maju satu langkah Kemudian menepuk kepala adiknya yang satu itu.

"Aw!! sakit kak!" Darren memegangi kepalanya. "Mama! kak Dim selalu begitu!" dia mengadu kepada ibunya.

"Kalian ini, kalau bertemu pasti selalu ribut. Kasihan kan Ded setiap hari pasti pusing mendengar kalian seperti ini?"

"Tidak dengan aku, Ded hanya pusing mendengar keributan mereka berdua Ma." sergah Dimitri.

"Mama lupa ya? kakak kan kabur dari sini gara-gara dimarahi Ded karena selalu pulang malam." ucap Darryl.

"Oh iya, lupa. Sesekali harus Mama jewer ya, biar tidak nakal lagi." Sofia menarik ujung telinga Dimitri.

"Aw aw Aw, ... ampun. Aku nggak senakal itu, aku kan sangat sibuk makanya tinggal dengan teman satu grup ku. Dan sudah aku bilang kan kalau mereka mefitnah aku karean iri!" pemuda itu memegangi telinganya yang terasa panas.

"Kenapa harus iri? cuma ciuman." Darryl memutar bola matanya.

"Oh, ... kalian mau juga Mama cium? sini giliran siapa sekarang?" Sofia mengulurkan tangannya kearah kedua anak kembarnya.

"Ah, ... nggak usah. Aku ngga butuh. Lagian nanti baju aku kusut, dan aku harus ganti lagi." tolak Darryl.

"Kamu?" Sofia kepada putranya yang satu lagi.

"Nggak juga Ma. Makasih." Darren mundur dua langkah ke belakang.

"Ish, ... kalian ini!"

"Sudah diwakili kan sama anak kesayangan Mama?" si kembar kemudian tertawa.

"Anak kesayangan apanya? kalian bertiga sama saja buat Mama. Cinta Mama sama besarnya." perempuan itu menghambur kepelukan dua putranya, yang tentu saja tak bisa menolak hal tersebut.

"Malaikatku, cahaya hidupku, kesayanganku!" dia mengecup pipi kedua putranya secara bergantian. Membuat dua pemuda yang masing-masing mewarisi hal yang sama seperti Dimitri itu tersenyum bahagia.

"Masih berpelukan disini? Ded sudah menunggu di mobil, Hey!" suara khas milik ayah mereka itu menginterupsi.

"Sayang, lihatlah putra kita ini. Bukankah mereka sangat tampan?" Sofia memamerkan ketiga putranya.

"Tentu saja tampan, tidak lihat mereka dapat dari siapa?" pria yang masih terlihat gagah di usia paruh bayanya itu menggendikkan bahu.

"Ah, ... iya aku lupa." Sofia berlagak menepuk keningnya. Dia tahu suaminya sedang mencari perhatian. Dan dia kemudian segera menghampirinya.

"Bukankah aku tak kalah tampan dari mereka?" Satria berucap.

"Oh, tentu saja. Kamu yang paling tampan di dunia. Tidak ada yang lain lagi." perempuan itu mengamini bualan suaminya.

"Eh, ... tapi aku kan sudah tua." Satria meralat ucapannya.

"Mmm... memang." ucap Sofia.

Namun Satria mengerutkan dahinya.

"Pria tua yang tampan." lanjut Sofia dengan senyum manisnya. Dia kemudian merangkul pundak suaminya, lalu mengecup sudut bibir pria itu dengan manisnya, membuat pipi Satria merona seketika.

"Kamu selalu melupakanku kalau sudah bertemu anak-anak" Satria menggerutu.

"Tidak begitu."

"Tapi kamu selalu meninggalkan aku dan mendatangi anak-anak."

"Ish, Papa Bear ... aku kan jarang bertemu anak-anak."

"Sudah siang, nanti kita terlambat. Ayo pergi?" ajak Sofia, dan dia merangkul lengan suaminya, kemudian segera keluar dari rumah besar itu. Diikuti ketiga putra mereka yang tertawa sambil menggelengkan kepala.

🌹

🌹

Acara seremonial dimulai berurutan, dari mulai upacara penyambutan, pidato para petinggi kampus, dan pembicaraan-pembicaraan lainnya yanh dilakukan oleh beberapa orang. Alumni yang telah sukses begitu mereka lulus dari universitas tersebut, dan tidak lupa mahasiswa lulusan terbaik yang juga menjadi pembicara hari itu.

Suara tepuk tangan tentu saja membahana di area kampus begitu sang lulusan terbaik naik ke podium untuk berpidato. Siapa lagi kalau bukan Dimitri Alexei Nikolai, yang telah mempersiapkan pidato terbaiknya hari itu.

"Oh, ... anakku sayang." Sofia bergumam, air mata terus mengalir dari kedua netranya, dia merasa bangga dan bahagia dengan prestasi sang putra.

Begitu juga Satria, yang tak pernah menghilangkan senyuman dari bibirnya.

"Bukankah dia luar biasa?" ucap Sofia.

"Tentu saja dia luar biasa. Dia anakku." Satria menyahut.

"Iya, ... dia hebat sekali kan?" perempuan itu menyeka sudut matanya yang basah.

"Dan terakhir, terimakasih kepada para orang tua yang selalu mendukung kami. Mempercayai kami sehingga bisa melakukan banya hal. Semoga jerih payah kalian tidak sia-siah ayah, ibu... " Dimitri berbicara dalam bahasa Rusia, dan dia menunjuk kedua orang tuanya yang duduk paling depan.

Tepuk tangan kembali bergemuruh di halaman universitas Lomonosov, Moscow pada siang di musim semi itu. Semua orang berdiri memberikan penghormatan dengan tatapan sebagian besar dari mereka mengarah kepada Satria dan Sofia.

"Sayang, putramu bicara apa?" perempuan itu menatap sekeliling. Dia masih belum terlalu memahami apa yang dikatakan putra mereka.

"Dia bangga telah menjadi bagian dari kampus ini, dan berterimakasih kepada orang tua." Satria berbicara di dekat telinganya.

"Ah, ... anakku." Sofia kembali menatap putranya yang turun setelah pidatonya selesai.

"Anakku juga." bisik Satria.

"Iya iya... anak kita."

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Acara hampir saja usai ketika beberapa orang temannya datang menghampiri dan saling memberi ucapan selamat.

"Siap untuk pesta kita yang terakhir, Bro?" ucap salah satu diantara mereka.

"Yeah, ... sebelum kebebasanmu direnggut sebentar lagi. Dan kita akan terjebak di tempat kerja atau perusahaan keluargamu yang membosankan." sahut satu teman lainnya.

Lalu mereka tertawa.

"Ada seseorang yang menanyakanmu Dim." yang lainnya berbicara lagi.

"Siapa?"

"Irina."

"Irina?"

"Iya. DJ yang membawamu pulang waktu pesta kita tempo hari."

Dimitri mengingat dengan keras.

"Nanti malam dia yang mengisi acara terakhir kita, dan berharap kau datang untuknya."

"Mmm

"Sayang, apa yang mereka bicarakan? siapa Irina?" Sofia sedikit mahami percakapan para pemuda ini.

"Tidak perlu tahu, dan kamu sebaiknya tidak usah tahu." Satria menjawab.

"Kenapa?"

"Urusan anak muda."

"Apa serius?"

"Tidak juga. Ini soal kesenangan."

"Kesenangan?"

"Yeah, ...

"Pesta?"

"Begitulah."

"Ish, ...aku curiga ada sesuatu di pesta mereka."

"Apa? itu biasa di kalangan anak muda."

"Biasa apanya? anakku pasti akan melakukan sesuatu setelah ini."

"Sesuatu apa?"

"Entahlan, pembicaraan mereka mencurigakan. Apalagi membahas pesta dan gadis-gadis."

"Hmmm... begitulah."

"Benar kan? kamu tahu sesuatu? pasti tahu kan? kamu selalu mengawasi mereka."

"Sedikit."

"Apa mereka akan melakukan sesuatu yang buruk?"

"Tidak tahu."

"Ish, seharusnya kamu tahu!"

"Dimitri sudah dewasa."

"Tidak bagiku. Dia masih anakku."

"Ya, tapi dia sudah dewasa."

Sofia terdiam.

"Acaranya sudah selesai sayang, ayo kita pulang?"

"Sebentar, aku mau ajak Dimitri pulang juga."

"Tidak usah, dia masih punya acara."

"Tidak boleh, dia harus pulang." perempuan itu menghampiri putranya.

"Dim." dia menepuk bahu pemuda itu.

"Ya?"

"Ayo pulang?"

"Aku nanti, ada satu acara lagi."

Sofia menggelengkan kepala.

"Kami mau pulang ke Indonesia. Sekalian saja kita pulang sama-sama."

"Tapi Ma?"

"Pulang Dim. Kamu sudah selesai disini." katanya dengan suara lembut, namun terdengar menekan.

🌹

🌹

🌹

Bersambung...

cus de, pulang! ibu ratu memberi perintah 😂😂😂

like, komen, hadiah, votenya dong gaess

Rania Khaira Yudistira

🌹

🌹

Ratusan orang telah berkumpul di sepanjang jalan yang telah di blokade, menunggu pembalap andalan mereka untuk unjuk gigi pada hampir tengah malam itu. Puluhan sepeda motor dengan berbagai jenis dan merk tampak berjejer rapi di dekat trotoar. Beberapa mobil sport pun turut ambil bagian dalam acara malam itu. Sebanyak sembilan orang pengedara motor bahkan telah siap dengan tunggangannya, dan mereka tampil dengan gaya terbaiknya.

"Kalian siap?" seorang starter berteriak di depan garis start.

Suara mesin motor meraung-raung memekakan telinga, ditengah sorak sorai para muda mudi yang menonton pertandingan tersebut.

"Tunggu! satu lagi!" teriak seseorang dibelakang sana ketika CBR R250 berwarna merah melesat melewati kerumunan kemudian berhenti tepat di jajaran paling belakang.

"Dia lagi? tahu aja ada acara kayak gini?" seorang pembalap pria bergumam.

"Ya kali, dia mau ikutan lagi? nggak inget apa minggu kemarin kalah telak?" gumam yang lainnya.

Raungan mesin kembali terdengar, dan asap knalpot terlihat membumbung di udara.

"Lu, dari pada ikut balapan mending open B.O deh neng. Lumayan duitnya." salah seorang dari mereka berteriak, kemudian tertawa.

Rania membuka helmnya sedikit, lalu mengacungkan jari tengahnya kepada pria tersebut.

"Tar lu kalah mewek lagi, ngadu sama bokap lu." ucap yang lainnya.

"Minggir deh, dari pada lu kena pepet, sayang. Mending nunggu gue di garis finish aja, nanti kita indehoy di Banana Inn." ucap pria itu lagi.

"Bilang aja Lu takut kalah bang, tapi sayangnya gue nggak takut. Mendingan Lu hati-hati deh, jangan banyak omong." gadis itu balik berteriak.

"Anj*ing." gumam si pria dengan geram.

"Mau gue, apa Lu yang nunggu di garis finish?" teriak Rania lagi, yang kemudian kembali memakai helm fullfacenya, dan mengencangkannya dengan benar.

"Oke, siap!" sang starter memberi aba-aba, kemudian seorang gadis dengan pakaian minim berjalan ke garis start dan berdiri di tengah-tengah. Mengayunkan sehelai kain berwarna merah di udara.

"Ready? Go!" kain tersebut dijatuhkan dan secara serentak para pengendara motor tersebut memacu kendaraan mereka dengan kencang. Tak terkecuali Rania yang menunggangi CBR merah itu dengan garang.

Beberapa tikungan dilewati tanpa hambatan, dan dia mampu mengendalikannya dengan sangat baik. Hasil latihan satu minggu terakhir denga sang ayah di lapangan dekat rumah mereka.

Kecepatan 100 kilometer per jam membuatnya mampu menyusul sembilan pembalap di depannya dengan mudah, dan dia hampir tak terkalahkan.

Rania melewati para pembalap pria itu satu persatu, dan dia melakukannya dengan mudah. Hingga hampir tiba di garis finish, dan dia melewati seorang pembalap yang selalu berseteru dengannya.

Pria itu melirik dari balik helmnya, kemudian dia menambah kecepatan. Namun Rania tak mau menyerah, diapun melakukan hal yang sama. Hingga akhirnya keduanya mencapai garis finish hampir bersamaan.

Sorakan kembali terdengar saat dua pengendara tangguh itu tiba di garis finish dan berhenti. Para penonton langsung berkerumun menyerbu mereka berdua.

"Oke, oke... pemenangnya sudah di tentukan!" si pembawa acara berteriak, dengan ponsel menyala di tangannya. Hasil jepretan pada saat kedua motor itu menyelesaikan balapannya hampir bersamaan.

"Nggak ada editan, nggak ada manipulasi. Kalian lihat sendiri karena acara ini juga tayang life di medsos."

"Dan kita udah dapat pemenangnya. Siapa guyss?"

"RANIA!!" sahut para penonton diikuti gemuruh tepuk tangan yang membahana.

"Lu dengar sendiri?" gadis itu membuka helmnya dan tersenyum ke arah rivalnya, kemudian berpaling saat seorang panitia menyerahkan lembaran uang dengan jumlah yang cukup banyak kepadanya.

Dia menerimanya dengan riang kemudian segera mengantonginya.

"Bubar! ada polisi!" seseorang berlari menembus kerumunan. Diikuti suara sirene dan mobil patroli juga beberapa motor polisi yang datang secara bersamaan.

Puluhan orang yang tengah berkerumun Itupun buyar seketika. Berusaha melarikan diri dengan kendaraan mereka masing-masing, dan kabur secepatnya untuk menghilangkan jejak.

Rania kembali mengenakan helmnya, lalu menghidupkan motor begitu menyadari keadaan. Dan dia hampir saja pergi sebelum akhirnya seseorang mendorongnya hingga tanpa bisa ditahan lagi, kendaraan beroda dua tersebut bersama dirinya jatuh terguling ketanah.

*

*

Mereka tiba dirumah pada hampir subuh, setelah berhasil bernegosiasi dengan polisi untuk melepaskan Rania. Dengan sedikit perjanjian dan beberapa rupiah uang tebusan tentunya, juga penandatanganan surat pernyataan bahwa gadis itu tidak akan mengulangi perbuatannya mengikuti balapan liar di sebuah jalanan di kota Bandung.

Rania duduk di sofa setelah melepaskan jaket kulitnya tanpa bersuara. Dia tahu akan kembai mendapatkan hukuman dari orang tuanya, setelah dua kejadian yag sama pula dialaminya.

Anggara duduk di depannya setelah menenggak habis minuman kaleng miliknya. Dengan tatapan yang dia tujukan kepada putri pertamanya. Dia terdiam mengunci mulutnya dengan otaknya berputar kerasa mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.

"Kamu nggak kapok?" akhirnya dia berbicara.

"Papa Kira Kamu beneran mau nginep dirumah kakek? tahunya malah belok ke balapan?" lanjutnya.

"Udah tiga kali loh kamu kayak gini?"

"Rania!" Anggara meninggikan suaranya.

"Eh, ... Jangan bentak-bentak. Anak-anak lagi tidur." Maharani menyahut, yang kemudian duduk disamping putri pertamanya.

"Kamu sih kak? pakai bohong segala?" katanya, sambil mengusap lengan Rania yang lecet setelah terbentur aspal saat menahan motornya yang terjatuh.

"Kamu tahu nggak kalau itu bahaya? kalau kamu kecelakaan gimana? mana kamu bohong lagi sama papa? beneran ya, kalau tadi papa tahu kamu bakal balapan nggak akan papa ijinin kamu bawa si merah. Dan setelah hari ini papa nggak akan ijinin lagi kamu bawa motor." ucap Anggara.

"Pa ...jangan gitu dong?" Rania Mulai bereaksi.

"Habis kamunya ngeyel. Udah dua kali kena razia nggak ada kapok-kapoknya! mana pakai taruhan uang lagi?"

"Kamu udah dewasa lho Ran, masa nggak bisa bedain mana bahaya mana nggak? papa latih kamu bawa motor bukan buat ugal-ugalan di jalan, apalagi buat pamer. Tapi biar kamu bisa mengendalikannya dengan baik. nggak sembrono, nggak ngeyel kayak emak-emak yang sukanya nyalain sen kiri tapi beloknya ke kanan." Angga bersungut-sungut.

Rania tetap terdiam.

"Udah papa bilang, kalau mau mending kamu Ikut balapan resmi aja deh. Yang jelas, yang aman di sirkuit."

"Ish, ... papa cuma ngomong aja bisanya? tapi realisasinya nggak ada." gadis itu menjawab.

"Ya sabar, semua ada prosesnya. Kamu kira untuk bisa balapan di sirkuit semacam itu gampang? kita harus melewati banyak tahapan seleksi, belum lagi nyari sponsor. Buka koneksi juga sama pihak penyelenggara, Karena kita nggak bisa melakukan itu semua sendirian." Angga menjelaskan.

"Dan selagi nunggu, kamu bagus nya latihan biar makin mahir."

"Ya kan ini juga aku lagi latihan Pah."

"Tapi nggak balapan di jalan raya juga, selain membahayakan diri sendiri juga membahayakan orang lain. Ngerti nggak sih?"

"Rania! ngerti nggak papa ngomong apa?"

"Ngerti papa."

"Ngerti-ngerti, tapi besok diulangi lagi?" pria itu bangkit.

"Seminggu ini kamu papa skors, nggak boleh bawa motor atau mobil." pria itu merebut kunci motor di tangan putrinya.

"Nggak mungkin pa! nggak bisa gitu dong?"

"Bisa aja kalau papa udah bilang begitu."

"Ya, ... papa kok gitu? katanya aku suruh latihan? kalau nggak bawa motor gimana bisa latihan?" Rania mengikuti langkah sang ayah.

"Latihannya ditunda dulu." ucap Angga yang hampir menaiki tangga menuju kamarnya.

"Atau... lebih baik kamu nerusin kuliah aja, kan bagus tuh kalau kamu balik lagi ke kampus." dia berbalik.

"Nggak mungkin, nggak mau. Ngapain kuliah?"

"Kok Ngapain? ya biar kamu pinter."

"Aku nggak butuh pinter. Aku butuh motor!" gadis itu merengek.

"Ah, ... daripada kamu nggak nurut gini?"

"Papa!"

"Udah, sebaiknya kamu tidur. Besok urus lagi kegiatan kuliah kamu ke kampus." ucap Angga dengan tegas.

"Yah, papa nggak asik!"

"Terserah."

🌹

🌹

🌹

Bersambung...

ih... Papah Angga galak juga sama anaknya? 🤭🤭

meet Rania Khaira Yudistira

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!