Ayam jantan berkokok begitu nyaring membangunkan aku yang sedang tertidur lelap, bukan hanya karena suara ayam itu yang membuat ku terbangun, aku memang terbiasa bangun jam 2.30 dini hari untuk melaksanakan solat tahajjud.
Aku mengucek kedua bola mataku yang terasa masih lengket, Ku tepikan selimut yang mulai tipis, Rasa dingin yang menusuk sumsum tulang tak aku hiraukan, rumahku memang terletak di sebuah kaki pegunungan jadi cuacanya memang sangat dingin, di tambah lagi kamar mandi yang memang berada di luar rumah, kamar mandi yang terbuat dari bilahan bambu dan kayu di atas sebuah kolam ikan milik salah satu warga. Beruntung aku memiliki tetangga yang begitu baik.
Ku gulung lengan bajuku yang panjang sampai di atas sikut. ku bersihkan wajahku sebelum melakukan wudhu.
Deritan lantai rumahku yang terbuat dari papan kayu mengiringi langkahku malam itu, aku mendengar suara Bapak dan adikku Zidan yang mendengkur saling bersahutan.
Aku tertawa geli mendengar mereka. aku melanjutkan langkahku menuju kamar, ku ambil mukenah yang mulai lusuh yang ku gantung di pake di belakang pintu kamarku, bukan aku tak memiliki mukena lain lagi sampai harus memakai mukena yang sudah usang ini, aku memiliki satu lagi mukena, tapi itu hanya aku gunakan saat tarawih di bulan Ramadhan atau saat solat idul Fitri atau idul adha saja.
Allahuakbar....
.
.
.
.
Assalamualaikumwarohamtullahi wabarokatuh. ke kanan dan ke kiri. Aku mengangkat kedua tangan ku untuk berdoa dan meminta agar aku, Bapak dan Zidan selalu di berikan kesehatan. Ya. kesehatan adalah hal yang utama yang harus aku dapatkan karena jika sakit kami bingung dari mana harus mendapatkan biayanya, bahkan untuk makan dan sekolah Zidan saja sudah sangat pas sekali. untuk menyiasati nya, aku harus pergi ke kebun tetangga mengambil beberapa daun singkong atau pepaya untukku jadikan lauk.
Aku menutup mushaf Al-Qur'an saat ku dengar adzan berkumandang, waktu subuh telah tiba.
Bapak terbangun, di susul suara langkah Zidan yang ikut bangun untuk melaksanakan solat subuh.
Rutinitas ku setelah solat subuh adalah dapur, aku menyalakan tungku tanah liat yang Bapak buat, untuk memasak nasi dan segala-galanya.
Ah! mana ada uang untuk kami membeli kompor gas, meski kompornya bisa terbeli lalu bagaimana dengan gas isi ulangnya? Ya sudahlah lebih baik memakai tungku saja hanya bermodalkan tenaga untuk mencari kayu bakar di hutan.
Aku memasak nasi untuk kami makan pagi ini sebelum kami melakukan aktifitas masing-masing. Alhamdulillah pagi ini bisa makan dengan tempe, ada tetangga yang memberi kami satu papan kecil tempe, meski sudah agak sedikit busuk tapi lumayan, ini patut di syukuri bukan?
Aku mengirisnya dadu kecil, ku tusukan pada tusukan bambu, ku baluri dengan air garam dan sedikit penyedap lalu ku bakar layaknya sate. Tidak ada minyak untuk menggoreng. hiks.
Zidan datang menghampiri dengan seragam sekolah nya. Bapak sudah siap dengan cangkul dan topinya. Bapak adalah seorang buruh tani, hari ini Bapak mendapatkan pekerjaan untuk mencangkul sawah tetangga, Bapak mendapatkan upah 30.000, bekerja dari pagi hingga adzan Dzuhur berkumandang. Lumayan untuk membeli berasa dan biaya sekolah Zidan, meski sekolah nya gratis, tapi alat tulis harus beli sendiri. Jangan tanya emak, karena emak telah tiada, tiga tahun yang lalu.
Kami makan dengan lahap meski dengan lauk yang sangat sederhana, hanya ku tambahkan sambal yang isinya hanya cabe dan garam, cabe yang ku petik sendiri dari samping rumah. Ini sarapan yang sangat enak karena penuh rasa syukur dalam hati kami.
Zidan dan Bapak pergi ke tempat tujuan mereka masing-masing. Kini tugasku selanjutnya adalah merapikan semua isi rumah. Rumahku memang tidak bagus,hanya rumah panggung berlantaikan papan kayu, dindingnya juga terbuat dari geribik bambu. Meski begitu aku selalu menjaga kebersihan dan kerapihan rumah, alat masak kami mang tungku tapi kalian bisa pastikan tak ada abu atau arang di dapurku, semuanya ku bersihkan setiap selesai masak, lagi pula aku memasak hanya satu kali di pagi hari di makan untuk sampai sore nanti dengan lauk yang sama.
Pekerjaan rumah beres, waktunya aku mbersihkan diri. Selesai mandi aku mengambil air wudhu, karena aku harus melaksanakan solat Dhuha, aku mengaji dan berdzikir hingga tiba waktu dzuhur.
Aku sempat melihat saat mencuci baju, sapu lidi buatan Bapak masih tersisa seperti nya, aku berniat anak berkeliling ke desa sebelah dan menjualnya, semoga laku semua agar aku bisa membelikan Zidan pensil mengganti pensil dia yang lama yang tinggal seruas jari tangan. Hiks
Bapak bekerja sampai dzuhur, untuk mengisi waktunya sehabis dzuhur bapak membuat sapu lidi, lumayan untuk menambah penghasilan itupun kalau sapunya laku terjual.
Ada enam lagi sapu lidi yang masih tersisa, aku mengikat semua sapu itu menjadi satu, ku gantungkan di sebilah bambu yang panjangnya mungkin 150cm. Bambu itu ku simpan di atas pundak kananku. Dengan Bismillah ku langkahkan kakiku untuk berjualan, semoga ada rupiah yang bisa ku bawa hari ini. Aamiin
"sapu lidi... sapu lidi..."
Aku berteriak cukup keras berharap orang yang ada di dalam rumah rumah mendengar dan keluar untuk membeli sapuku. Tapi setelah sampai ujung dari wilayah kampung ku tak ada satu orang pun yang mau membeli, mungkin karena sapu mereka masih ada dan dalam kondisi bagus.
Terik matahari yang menyengat terasa panas di pipiku, ku pastikan wajahku sudah memerah seperti tomat. Orang orang bilang aku memiliki kulit yang sangat putih dan bersih, mereka mengatakan aku adalah gadis tercantik yang ada di kampung ini, benarkah begitu? aku rasa mereka benar. he he he
Hanya saja meski banyak pemuda yang menyukaiku, tidak ada yang mau menikahiku, apa mungkin karena aku masih kecil? dengan umur 18 tahun apa aku masih di bilang anak kecil? tapi kenapa teman seumuran ku malah sudah memiliki anak? Temenku bilang sih karena aku berasal dari keluarga yang sangat miskin, tidak ada yang mau berbesan dengan Bapak. Oh gusti malangnya nasibku yang miskin ini.
"Neng, sini" Teriak seorang ibu dengan perawakan yang subur. Dengan sumringah aku menghampiri ibu ibu itu.
"Sapu nya berapaan? mau satu ya"
"15.000 Saja bu"
"aihh maha atuh Neng, nawar ya 10 ribu ajah"
"gak boleh atuh Bu, nanti saya gak bisa makan"
"berapa atuh sok Neng, jangan 15 ribu banget, turunin harganya"
"sok lah bu 13 ribu ajah nya, saya korting 2rb kan lumayan buat beli masanyo rasa sapi"
"ihh masih mahal atuh Neng, udah ya 12 ribu saja"
"iya atuh lah kalau begitu mah sok ambil sapunya, ibu pilih sendiri"
Hadeuhhhh, gak ada yang gak bisa melawan emak kalau sudah berargumen apa lagi tawar menawar. Lumayan lah daripada tidak membawa uang sama sekali pikirku.
"Neng sayang banget ya punya wajah cantik harus jualan sapu, padahal mah cocok kalau jadi model"
"Model naon ibu? Model iklan sendal jepit?"
"Atuh model iklan sendal jepit mah keliatan kakinya ajah"
"Ha ha ha si ibu mah bisa wae, udah ah bu saya mau keliling lagi ya mudah-mudahan sapunya abis semua"
"Aamiin Neng, sok atuh keliling lagi"
"iya bu hatur nuhun, assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam"
Senyum masih menghiasi wajahku, mungkin anugerah Allah memberikan aku wajah yang rupawan, tapi belum memberikan aku derajat hidup yang lebih baik. Ah, tapi Allah itu maha adil, kita hanya harus percaya pada segala keputusan nya.
****
"Siti, ini uang hasil Bapak kerja hari ini, simpen baik baik, gunakan untuk hal yang penting saja"
"iya pak"
"sok atuh kamu tidur, sudah malam takut gak bisa bangun buat tahajud kalau tidur terlalu malam. Zidan hayu kita juga tidur"
"Nya pak" Zidan mengikuti langkah bapak ke kamar.
Aku membereskan piring dan gelas, Alhamdulillah ada tetangga baik yang mengirim kami singkong goreng satu piring, kami bertiga menyantapnya di temani teh pait hangat.
Malam semakin dingin, angin keluar masuk dengan leluasa melewati sela sela rumahku yang terbuka cukup lebar.
Aku membersihkan kasur ku yang sudah mengeras, kapuk nya sudah lapuk, banyak tambalan dimana mana. Pun dengan bantal dan selimut, sepertinya bantal ini lebih pas di sebut kayu yang lapuk.
krekkkkkk
Baru saja aku ingin merebahkan badanku, aku di kaget kan oleh suara yang berasal dari ujung kakiku. Aku bangun dan melihat nya untuk memeriksa apa yang terjadi.
Hupf! Selimutku yang rapuh sobek, padahal hanya menyangkut di ibu jari kakiku saja. Saking apanya coba? Hiks.
Tak mengapa, mungkin semua ini terjadi supaya aku tidak tertidur begitu lelap hingga meninggalkan percakapanku dengan-Nya di sepertiga malam nanti.
Selalu lah berprasangka baik, hingga semuanya akan terjadi dengan baik, bukankah Allah itu adalah apa yang kita sangka kan? setahuku itulah yang di katakan guru ngajiku saat di madrasah dulu.
uhuk uhuk
uhuk uhuk
samar samar aku mendengar suara, aku bangun dan melihat ke sekeliling, mencari jilbabku, aku mengerjapkan mata agar mau terbuka dengan sempurna.
uhuk uhuk
Ah! itu Bapak, kenapa bapak batuk terus? mungkin dia sakit. Aku segera bergegas ke dapur untuk mengambil segelas air hangat.
"ini pak minum dulu"
"Hatur nuhun, tidur lagi ajah Ti, ini masih malam, nanti tahajud kamu terlewatkan"
"iya pak"
Aku melihat jam memang belum waktunya aku untuk bangun solat tahajjud. ini masih jam 11 malam. Aku kembali ke kamar, sebenarnya aku tidak ingin tidur,ingin menemani Bapak, tapi mataku ini tidak bisa di ajak kompromi rasanya memang sangat lelah setelah tadi berkeliling menjual sapu ke desa tetangga, meski sapu yang berhasil ku jual hanya dua saja, tapi Alhamdulillah lagian tadi juga Bapak memberikan uang hasil kerjanya padaku, besok aku bisa membelikan Bapak obat dari warung agar batuknya membaik.
Aku merebahkan kembali tubuhku, aku masih mendengar Bapak batuk, hingga perlahan suara itu semakin samar dan hilang. Hzzzzzz!!!!
Ayam jantan milik tetangga kembali berkokok, aku melaksanakan rutinitas ibadahku seperti biasa, hingga selesai solat subuh.
Aku buru buru ke samping rumah, kebetulan ada tanaman bayam liar tumbuh disana. Hari ini aku akan membuat sayur bening untuk Bapak yang sedang batuk.
Kupetik bayam liar itu, lalu ku cuci bersih di pancuran. Aku petik menjadi bagian bagian kecil, aku masukkan bayam itu ke dalam air yang mendidih, hanya ku tambahkan tomat dan penyedap masanyo rasa ayam, tanpa bawang merah dan putih, ku berikan air agak banyakan biar bisa di makan untuk nanti siang sekalian.
"Teh, udah beli pensil nya belum? pensil Zidan udah susah di pake, udah terlalu pendek" ucap Zidan saat kami makan.
"Belum, Zidan beli sendiri nya di warung ceu Mimin, nanti teteh kasih uangna"
"Nya atuh teh"
Zidan nampak sumringah sambil melahap nasi yang hanya penuh dengan air sayur tanp ada sayurannya.
Uang hasil jualan sapu dan hasil kerja Bapak akan aku pakai untuk beli beras dan bayar tagihan listrik. Tagihan listrik rumahku memang tidak mahal hanya menghabiskan 28.000 tiap bulannya. Wajar sih karena di rumahku hanya ada bohlam beberapa biji saja. Sisa nya aku beli lauk untuk sore nanti dan beli obat batuk untuk bapak.
"Punten...."
"Mangga... Eh neng geulis mau beli apa?"
"ini ceu, mau beli berasa satu kilo sma obat batuk"
"saha nu sakit Neng?Neng sakit batuk?"
"Bukan ceu, Bapak yang sakit batuk z semalam teh sampe gak bisa tidur"
"Oh, ya sudah euceu ambilkan dulu berasna nya "
"Nya ceu"
Aku melihat ceu Mimin menimbang beras, dia memasukkan nya pada kantong plastik berwarna hitam. Kemudian mengambil obat batuk shacetan. Dia juga mengambil beberapa sayuran yang tidak aku pesan.
"Ini Neng ada sayuran yang kemarin gak laku, udah sedikit layu tapi masih layak konsumsi kok"
"aduh ceu hatur nuhun, merepotkan jadinya"
"ah te nanaon Neng, gak repot kok"
"Berapa ceu beras sama obat nya?"
"17 ribu neng"
Aku menyodorkan uang 20 ribu satu lembar.
"Ini neng kembali nya 3 ribu nya"
"iya ceu makasih ya"
"sami sami neng"
Meski hidup dalam kemiskinan, tapi Allah kirim aku tetangga yang baik baik, ini juga merupakan keberkahan dan rezeki yang Allah kirim untukku.
Aku pulang dengan perasaan senang bahagia, membawa sayur mayur pemberian Ceu Mimin, dia memiliki warung sembako dan keperluan rumah tangga lainnya, dia juga menjual laik pauk dan sayuran lainnya.
"Alhamdulillah, sore ini Bapak dan Zidan bisa makan sayur tidak cuma airnya saja"
Aku bicara pada diriku sendiri, sepanjang jalan ku terus tersenyum bahagia, dengan berasa sayuran dan obat untuk bapak.
Rasanya tidak sabar aku ingin memasak untuk makan malam nanti, aku akan masak sayur sop, karena ada wortel, kol dan daun bawang. Aku hanya tinggal memilahnya saja dan membuang sedikit sayuran yang sudah mulai membusuk ujungnya.
Sementara kangkungnya bisa aku masak untuk besok pagi, Aku hanya harus merendam ujung tangkainya di ember berisi air maka kangkung itu tidak akan layu sampai besok pagi.
Malam ini terdengar petir begitu memekakkan telinga, Terus dan terus berulang. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya, sepertinya hujan akan turun malam ini.
"Hmm, sepertinya aku harus menyediakan beberapa ember dan baskom"
Ya, saat hujan turun di sertai angin kencang, atap rumahku banyak yang bocor, hampir semua ember dan baskom yang aku miliki kugunakan untuk menadah air yang menetes, ehmm tepatnya bukan menetes tapi mengucur. hi hi hi hi
Dan benar saja, malam ini hujan turun begitu lebat, gemuruh petir di langit membuatku semakin merasa takut, semoga saja rumah ini tidak roboh. Tak apa bocor pun, yang penting kami masih bisa bermalam di rumah.
Bcor di kamar Bapak, di ruang tamu yang sekaligus ruang makan dan ruang keluarga, serta di kamarku. ember dan baskom yang kami punya semuanya terpakai, kasurku basah karena sepertinya genting kamarku pecah hingga air turun dengan derasnya.
Aku menghela nafas panjang, kali ini aku harus tidur dengan tempat yang sempit, tempat yang kering dengan lebar hanya pas untuk badanku saja.
Meski keadaan nya menyedihkan seperti ini, aku tidak terlalu ambil hati, ini sudah menjadi hal yang bisa bagiku, kenapa harus di tangisi? Allah memberikan cobaan pada mereka yang hebat dan kuat, itu artinya aku adalah orang yang hebat dan kuat.
Malam ini ayam jantan tidak berkokok, dia telah berada di dalam perut si empunya. Entah di jadikan apa si ayam itu?
Meski begitu aku tidak terlambat untuk melaksanakan solat tahajjud. Hingga subuh tiba, hujan tak kunjung berhenti. Aku dan Zidan duduk di depan tungku menunggu nasi matang sambil menghangatkan diri.
Hari ini aku menggoreng kerupuk bawang, 250gr seharga 4 ribu rupiah sudah dapat dua toples kerupuk, kami akan makan dengan itu.
Zidan menyodorkan telapak tangannya ke arah api, dirasa cukup panas dia menempelkan kedua tangannya ke wajahnya. Ku tatap wajah kecil adikku dengan rasa bersalah dan sedih.
"Zidan..."
"kamu sedih gak kita hidup seperti ini?"
"gak atuh teh, biasa ajah"
" gak pengen gitu kaya orang lain? sepatu na bagus, tas na bagus uang jajan besar"
"he he he mau" ucapnya polos sambil menyeringai.
Aku tidak pernah sedih dengan keadaanku seperti ini, hanya saja aku kadang merasa begitu sedih melihat adik semata wayang ku tidak bisa seperti anak lain yang seumuran denganya.
"Teh besok malam ada pengajian akbar di balai desa, katanya sih Kiai nya yang suka ada di TV"
"Iya, teteh juga kan jadi panitia nya yang ngasih air minum ke tamu undangannya"
Begitulah, setiap ada acara besar aku selalu di tugaskan untuk mengantar sajian pada tamu undangan kehormatan atau tamu VIP. Mereka bilang karena aku cantik, ya si cantik yang miskin. Astaghfirullah.
"ya sudah bangunkan Bapak, kita makan bareng, gak apa-apa ya hari ini kita makan sama kerupuk aja"
Makan kerupuk tok bukan hal yang aneh bagi kami. Hanya saja Sekarang bapak sedang sakit, rasanya tak pantas hanya makan dengan kerupuk saja. Ya Allah bisakah engkau mengubah hidup hamba, tidak perlu mewah hanya saja hamba ingin Bapak dan adik hamba bisa makan enak dan tinggal di tempat yang layak. aamiin. doaku dalam hati.
****
Antusiasme masyarakat bukan hanya dari desaku saja, penduduk dari desa yang lain pun turut hadir, bagaimana tidak penceramah nya ustadz yang selalu muncul ti TV. Ah aku tidak terlalu tahu siapa, karena aku tidak punya TV di rumah.
Hari ini fokus saja menjadi panitia dan aku bisa mendapatkan sejumlah uang panitia dan nasi kotak, tak lupa juga dengan Snack box nya. Bapak dan Zidan akan makan enak malam ini.
Orang orang begitu bejibun mendatangi acara siraman rohani kali ini, suasana begitu ramai dan riuh. Ustadz nya masih ada di rumah kepala Desa, acara nya akan di mulai setelah isa nanti, tapi begitu selesai magrib orang orang sudah berkumpul berebut ingin duduk paling depan. Aku penasaran bagaimana ustadz ini sampai warga antusias banget apa lagi kaum emak emak.
Adzan isa berkumandang, sepertinya tamu undangan belum ada yang datang, aku memilih untuk pergi ke mesjid yang kebetulan masih satu lokasi. Aku bergegas mengambil air wudhu dan masuk ke dalam mesjid. Masih kosong? apa mungkin orang orang menunda solat isa hanya karena ingin duduk paling depan?
Tiba tiba aku melihat serombongan para laki-laki masuk, aku tidak memperhatikan satu per satu dari mereka, mataku hanya fokus pada orang yang berpenampilan mencolok dan beda dari yang lain, dia nampak sedang berbicara dengan pak kepala Desa.
Laki laki itu nampak sangat tampan menurutku, dia melilitkan kain sorban nya di kepala, dengan jubah putihnya yang di lapisi dengan jas hitam, dia juga memakai kacamata, hidungnya mancung dan bibirnya padat merah merona, tidak memiliki kumis hanya ada jenggot yang tipis. Ah mungkin saja itu ustadz yang membuat emak emak begitu heboh.
Beberapa orang di antara mereka menetap ke arahku, aku melihat sekeliling dan baru sadar bahwa hanya ada aku satu satunya wanita di dalam mesjid.
Aku memutuskan untuk ikut berjamaah bersama mereka, pada waktu yang bersamaan ada seorang wanita sepuh masuk dan berdiri di samping ku, dia tersenyum sekilas, sebelum akhirnya kami melaksanakan solat berjamaah dengan khusyuk.
Kami melakukan dzikir sebentar. Aku melepas mukena dan melipat nya kembali, ku taruh di laci mesjid.
"hei nak, tunggu sebentar" ucap wanita sepuh itu.
"iya Bu ada apa?" tanyaku buru buru
"apa kamu asli orang sini?"
"iya Bu saya asli penduduk sini, ada apa?" tanyaku ramah
"siapa namamu?"
"Siti Nurul Khotimah Bu, maaf Bu saya buru buru saya haru menyajikan minuman pada tamu VIP"
"oh iya nak, silahkan"
Aku segera bergegas agar tidak terlambat, aku takut pak kepala Desa marah.
Brukkkk
"Maaf pak, saya tidak sengaja, maaf"
Aku hanya meminta maaf dengan menundukkan kepala dan langsung berlari, aku pikir itu hanya masalah kecil yang tidak harus jadi permasalahan yang besar.
Ah! untungnya aku tidak terlambat, teman teman panitia yang bertugas menyajikan makanan dan minuman masih duduk santai.
"Hayu, itu kepala Desa sudah menyuruh kita ke depan"
Aku mengambil nampan yang membawa piring buah-buahan. Kami berjalan saat tamu sudah duduk di kursi paling depan. Seperti nya mereka adalah rombongan ustadz dari kota, karena wajahnya begitu asing, tidak pernah ku lihat sebelumnya. Sementara di barisan kedua tamu undangan dari aparat sekitar. Meski tidak kenal tapi wajah mereka tidak asing lagi.
"silahkan diminum" ucap temanku pada seorang wanita yang seperti nya pernah aku lihat.
"Siti..." sapa nya lembut seraya tersenyum. Aku hanya membalas senyumannya dan menganggukan kepala.
Aku dan temanku pergi ke belakang, aku dan panitia yang lain berkumpul disana.
"Siti, tadi siapa?"
"gak tau Siti juga, tadi lagi solat di mesjid ketemu"
"Oh, yang mana sih?" tanya temanku yang lain penasaran.
"Itu tuh yang pake gamis hitam, yang cantik pisan"
"itu teh udah nini tapi cantik nya"
"iya atuh pan orang kota mah apa lagi orang kaya suka perawatan ke salon"
"pantesan itu udah tua juga tetep wae geulis nya"
"enya atuh"
Aku hanya tersenyum mendengar mereka bergosip dia dia tengah acara pengajian.Wow?
Kami mendengar kan ceramah ustadz itu dengan khidmat, kadang kami semua di buat tertawa terbahak-bahak karena lontaran lelucon pak ustadz.
Ah, ustadz itu kenapa begitu tampan. Masha Allah ciptaan Mu. Gumamku dalam hati.
Aku merasa tidak nyaman, entahlah tapi aku merasa seseorang sedang memperhatikan aku, tidak tau darimana arahnya. Aku celingukan mencari ke setiap sudut, mencari mata yang sedang menatapku. Tapi tak kutemukan siapapun dimana pun, orang orang sedang fokus pada ceramah sang ustadz. Ah itu hanya perasaan ku saja mungkin. Malu banget kali ya kalau orang lain tau tentang sikapku ini, apa gak di bilang terlalu kepedean nanti nya?
Aku mencoba menepis perasaan itu, dan fokus kembali pada isi ceramah sang ustadz. tapi lagi-lagi aku sangat merasa tidak nyaman, aku yakin kali ini ada seseorang sedang menatap ku,,, mataku tertuju pada sebuah mobil mewah berwarna putih, aku merasa ada seseorang di dalamnya yang sedang memperhatikanku. Supir! ha ha ha mungkin saja memang ada supir yang sedang menunggu majikannya. Aku merasa geli pada diriku sendiri.
Tiga jam sudah si ustadz memberikan tausiyah nya. Berakhir sudah acara yang di tutup dengan doa bersama.
Ustadz itu dan rombongan nya berjalan menuju rumah Pak kepala Desa. Barulah pada audiens membubarkan diri mereka dengan teratur.
Tinggal lah kami para panitia yang bertugas membersihkan semua tektek bengek dan perintilan perintilan yang ada, termasuk sampah yang berserakan. Sudah tidak aneh lagi jika setiap ada acara, apapun itu bentuk acara nya selalu banyak pedagang dengan pembeli yang tidak sadar untuk membuang sampah pada tempatnya.
Aku mengambil sapu dan mulai membersihkan sampah sampah itu, di susul Diah temanku.
"Ti, ustadz nya ganteng pisan nya, ih aku mah jadinya inget terus"
"pantesan ajah ya, ibu ibu pada heboh dan semangat pisan, sampe cepet cepetan duduk paling depan"
"iya ya,,, ternyata lebih ganteng aslinya daripada di TV"
" gak tau atuh da Siti mah gak punya TV di rumah"
"nih ya Ti, ustadz itu sering banget ada di acara TV, sering ngisi acara di kultum kalau bulan puasa menjelang berbuka"
Ah! mana mungkin aku tau ada acara seperti itu? TV ajah gak punya, lagi pula saat menjelang berbuka aku paling sedang memasak di dapur.
"Ti... Siti..." Pak kepala Desa memanggil sambil berlari kecil. Aku dan Diah mengehentikan tangan kami yang sedang menyapu.
"Ada apa pak Kades?"
"Ikut heula sama saya, sok simpen dulu sapu nya"
"mau kemana kita pak?"
"Udah ikut saya ajah dulu"
Pak Kades berjalan di depan ku dengan terburu-buru. Langkahnya berhenti di depan sebuah mobil mewah berwarna putih, mobil yang sempat aku curigai. ha ha ha
Pintu mobil itu terbuka setelah ada bunyi Tiit, apa suara pintu mobil seperti itu? benakku bertanya. Dari dalam mobil keluar seorang wanita sepuh yang tadi bertemu denganku di mesjid.
"Siti, ini namanya ibu Amira. Beliau ini nenek dari pas ustadz Zaelani yang tadi ceramah di Desa kita" jelas pak Kades.
"Oh... " aku hanya tersenyum lembut pada Ibu Amira, jemari tanganku ku tautkan satu sama lain. Aku merasa gugup.
"Siti..." Ibu Amira meraih tanganku, tanganya dingin dan sangat lembut, baunya juga begitu harum.
"Iya Bu"
"Kenalkan, ini Zaelani cucu saya"
ustadz yang barusan ceramah turun dari mobil. Dia menempelkan kedua telapak tangannya, dan menunduk seraya tersenyum. Aku pun melakukan bal yang sama, tidak mungkin kami berjabatan tangan, karena kami bukan muhrim.
" Zein, ini Siti, cantik bukan?"
"Pilihan eyang tidak pernah salah"
Aku sedikit merasakan panas di wajahku mendengar pembicaraan mereka. Apa maksud dari ucapan mereka berdua ya Allah.
"Siti, ini ada sedikit bingkisan untukmu ambilah"
"Tapi Bu..."
"Jangan panggil saya ibu, panggil saya eyang saja seperti zein"
"oh?" Aku merasa bingung dengan kebaikan Ibu Amira.
Aku mengambil bingkisan besar dari ibu Amira, karena dia begitu memaksanya.
"Terimakasih Eyang, hati hati di jalan"
"Iya, saya permisi dulu pak Kades"
"Iya Bu mangga, hati hati di jalan" ucap pak Kades.
"saya permisi dulu Siti, Assalamualaikum" ucap Zein.
"Waalaikumsalam" jawabku dan pak Kades berbarengan.
Empat mobil rombongan ustadz Zein pun pergi meninggalkan Desa kami.
"Pak Kades ini isinya apa? berat pisan"
"Atuh mana saya tau Neng Siti, coba nanti kamu buka di rumah, nanti kalau ketemu saya lagi kamu baru kasih tau saya itu isinya apa ya"
"Pak kades juga mau tau ya isinya apa?"
"iya atuh, ya sudah bantu yang lain biar cepet selesai, ini udah malam"
"iya pak"
Aku pergi meninggalkan pak Kades, aku menyimpan bingkisan pemberian Bu Amira di atas meja, secara otomatis teman teman ku riuh bertanya, aku menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi tadi. Beberapa di antara mereka ada yang merasa iri padaku. Aku tidak mengerti kenapa mereka bisa iri? apa karena bingkisan itu?
Malam semakin larut, dan akhirnya pekerjaan kami selesai, kami para wanita di perbolehkan pulang lebih dulu, sementara panitia lain nya beserta beberapa masyarakat masih membereskan yang lainnya.
Aku membuka pintu rumah yang tidak terkunci, lagi pula apa benda berharga dalam gubug reot ini hingga harus mengunci pintu. Bapak dan Zidan sepertinya sudah tertidur lelap, itu bisa ku dengar dari dengkuran mereka berdua. he he he
Kok bisa ya mereka tidur dengan suara berisik seperti itu? aku saja yang berbeda kamar kadang merasa terganggu. oopss!
Rasanya aku tidak sabar ingin membuka bingkisan yang tertutup rapi. Ku buka perlahan.
Aku merasa bahagia saat ku lihat isi di dalamnya ada beberapa jenis kue yang sepertinya sangat lezat, Ada juga buah-buahan dan ada sebuah amplop. Aku menyobek amplop itu, dan betapa terkejutnya diriku melihat isi amplop itu. 1 juta! ada uang 1 juta di dalam amplop itu. Aku bahagia sangat bahagia. Tapi kemudian aku terdiam, untuk apa Bu Amira memberiku semua ini? Ah, ini pasti sumbangan Bu Amira karena tau aku gadis yang begitu miskin.
"Alhamdulillah" ucapku sujud syukur.
Saat pagi tiba, Bapak dan Zidan begitu bahagia dengan bingkisan pemberian Bu Amira. Aku memberitahu Bapak tentang uang 1 juta itu, tapi Bapak menyerahkan semuanya untuk aku atur.
Aku pikir bisa untuk membenahi atap yang bocor.
"Teh Siti, punten.... Teh..."
Aku yang belum menyelesaikan dzikirku stelah solat Ashar terpaksa berhenti, kubuka mukena dan ku ganti dengan kerudung jeblosan yang warnanya sudah mulai memudar. Aku membuka pintu, ku lihat ada dua anak kecil teman sepermainan Zidan di depan pintu
"Aya naon manggil manggil?"
"Teh di suruh pak Kades ke rumahnya?"
"Kenapa oak Kades nyuruh Teteh kesana?"
"Gak tau atuh Teh, kita mah cuma di suruh ajah"
"Ya sudah atuh hayu kita kesana"
Aku menutup pintu, dan pergi mengikuti langkah anak anak itu, di jalan aku sedikit gugup, aku takut ada masalah sampai di panggil sama pak Kades.
Oh! aku baru ingat, pak Kades pasti mau menanyakan isi bingkisan kemarin. Ya ya... spertinya begitu" aku pun merasa sedikit tenang.
"Ya ampun! harusnya aku membawa satu bungkus biskuitnya buat lak Kades" Langkahku terhenti berniat kembali ke rumah untuk mengambil satu bungkus biskuit, Tapi aku kembali melanjutkan langkahku menuju rumah Pak Kades, nanti saja kalau Pak Kades memintanya baru aku akan pulang dan kembali mengambil biskuit itu.
"Pak Kades.... punten" ucap kedua anak itu berbarengan.
" Iya mangga" Pak Kades keluar.
"Eh Siti, sini ayo masuk" Tanganya mengayun mengisyaratkan aku untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Ini upah buat kalian" Pak Kades memberikan upah masing-masing anak mendapatkan uang 2 ribu rupiah. Mereka tertawa girang dan pergi berlari menjauh.
"Ayo Siti duduk"
Aku dan Pak Kades duduk di kursi berbarengan, Ku lihat Pak Kades menghela nafas dengan senyuman di wajahnya. Aku pikir Pak Kades pasti gak sabar mau tau isi bingkisan kemarin.
"Ada apa Bapak manggil saya? apa tentang bingkisan kemarin ya Pak?"
"Bingkisan?" Pak Kades menaikan satu alis nya.
"Itu Pak, bingkisan dari Bu Amira, isinya ada biskuit dan kue Pak, ada juga buah-buahan, sama amplop pak, isi nya uang 1juta" jelasku nyerocos.
"Ha ha ha... Siti Siti, kamu itu sangat polos hal semacam itu saja kamu ceritakan pada saya"
"Kan Bapak bilang kalau saya sudah membukanya, saya harus ngasih tau Bapak isinya kalau saya bertemu Bapak nah sekarang kita teh pan udah ketemu Pak"
"Astaghfirullah Siti, Ha ha ha. Pantes Bu Amira menyukai kamu, kamu itu selain cantik dan polos ternyata kamu itu jujur"
"kalau saya tidak jujur, Allah teh bisa marah sama saya Pak"
"Ya ya ya itu benar, tapi saya memanggil kamu kesini bukan soal kue Siti"
"tentang apa atuh Pak? saya takut Pak"
"Takut Kenapa?"
"Saya takut membuat masalah, terus Bapak manggil saya kesini buat marah"
"Ha ha ha... Siti Siti, mana mungkin saya marah samu kamu, orang di Desa kita tau kamu itu anak yang baik, kamu mah aya aya wae Siti"
"He he he"
"Begini Siti, Bu Amira menelpon saya tadi pagi, dia ingin saya membawa kamu ke rumahnya di ibu kota, sekalian sama Bapak dan adik kamu ya"
"euleuhh Pak, kenapa? Apa Bu Amira mau jadikan saya pembantu ya Pak? Wah itu mah gak akan di izinkan sama Bapak Pak"
"Saya juga tidak tau Siti, tapi Bu Amira sudah mengirimkan mobilnya kesini, mungkin nanti malam baru sampe, Nah Siti besok kita berangkat ya, biar nanti saya yang ngomong sama Bapak kamu"
"Oh iya pak, kalau begitu, jauh ya Pak dari Desa kita ke ibu kota?"
"mungkin sekitar 6 jam Siti"
"Saya belum pernah pergi jauh Pak, kira kira saya mabok perjalanan tidak ya"
"Ha ha ha. nanti saya bawa kantong keresek satu pak buat kamu"
"Alhamdulillah, hatur nuhun Pak Kades, kalau begitu saya pamit ya Pak"
"Iya Siti, nanti habis magrib minta Bapak kamu kesini ya"
"Iya Pak, Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Aku keluar dari rumah Pak Kades, ku pakai sendal jepit ku yang sudah mulai tipis di bagian ujung tumitnya. Aku berjalan dengan perasaan bahagia karena aku di panggil bukan karena suatu masalah, tapi aku juga ragu dan cemas tentang keberangkatan ku besok ke ibu kota. Tanpa sadar aku mengucek ngucek ujung jilbabku, Ya seperti itulah kalau hatiku gelisah dengan reflek tanganku akan mengucek apapun yang terdekat dengan tanganku dan mengigit ujung bibir bagian bawahku.
****
"Pak, nanti dari mesjid Bapak langsung ke rumah Pak Kades ya, tadi Bapak di suruh kesana habis magrib"
"Ada apa?"
"Siti juga kurang tau Pak"
"Ya sudah nanti Bapak kesana"
Bapak yang siap dengan baju Koko nya, peci Hitam yang kini sudah mulai memerah dan sarung yang masih lumayan bagus, pemberian tetangga bukan kemarin, katanya mereka dapat THR di Ramadhan lalu dan tidak kepake makanya di berikan buat Bapak.
****
Pagi pun tiba. Aku, Bapak dan Zidan dan Keluarga Pak Kades pergi menuju ibu kota, baru kali ini aku menaiki mobil mewah, dalamnya begitu luas, dan tidak bau bensin seperti jika aku naik angkot. Aku semakin kaget dan takjub saat kakiku bisa selonjoran di dalam, kursinya sangat ajaib menurutku. Dan yang membuat aku semakin kaget lagi adalah kursinya bisa memijat Ya Allah. hi hi hi
Bapak terlihat begitu bahagia, beliau duduk dengan nyaman saat kursi ajaib itu memijat tubuhnya.
Sementara itu Zidan asik memandangi pemandangan yang kami lewati, dia begitu senang, senyuman begitu lebar hingga memperlihatkan semua Gigi nya yang sebagian ompong.
4 Jam berlalu, kami kini sudah sampai di ibu kota, gedung gedung tinggi menjulang, banyak mobil berlalu lalang.
"Teh itu, mobilnya panjang pisan nya" Zidan menunjuk salah satu mobil tinggi dan panjang berwarna hitam mengkilap.
"Itu namanya Bis Zidan" ucap Pak Kades.
"Oh, Bis nya Pak, panjang ya bisa satu desa masuk itu" ucap Zidan polos.
Nampak senyuman bahagia di wajah bapak, Bapak sepertinya bahagia melihat Zidan.
Mobil yang kami naiki memasuki gerbang sebuah rumah yang besar, mungkin rumah ini lebih luas dari lapangan sepak bola di kampung kami. Mobil kami berhenti di depan pintu masuk, di atasnya ada atap yang tinggi dengan lampu yang begtu besar, ada empat tiang yang menyangga atap itu. Tepat di sebelah kanan ada kolam ikan yang besar, di tengahnya terdapat patung seorang wanita yang sedang menggendong sebuah kendi, kendi itu menumpahkan air yang tak henti henti. Aku berpikir darimana air itu berasal? kendi sekecil itu bisa menumpahkan air begitu banyak. Aku mengernyitkan dahi dan terus berpikir.
"Siti ayo masuk" suara Pak Kades membuatku berhenti berpikir tentang kendi itu.
Aku menaiki beberapa anak tangga, mungkin ada sekitar 8 tangga yang aku naiki. Pintu itu begitu besar seperti gebyog orang nikahan, persis seperti pernikahan yang suka da di kampung, pintu kayu yang penuh dengan ukiran khas jawa. Di samping pintu ada guci keramik besar, saat aku berdiri di sampingnya guci itu lebih tinggi dari tubuhku. Mataku terus berkeliaran menikmati keindahan bagian depan rumah Bu Amira.
Ada dua orang dengan seragam yang sama menyambut kedatangan kami, mereka menyambut kami dengan ramah. Mereka berdua mengantar kami ke ruang tamu, disana ada beberapa orang telah menunggu, aku hanya mengenal Ustadz Zaelani dan Bu Amira, empat orang lainnya aku tidak tau.
Ada seorang wanita yang tidak memakai jilbab, dia memakai kemeja motif dan rok hitam di atas lutut, rambutnya keriting berwarna pirang, dia memakai sepatu yang biasa guru guru di sekolah Zidan pakai, hanya saja ini lebih bagus. Wanita itu sangat cantik, pipinya putih bersih matanya sipit.
Ada seorang laki-laki duduk di sebelahnya, memakai jas hitam, dan berkacamata. Kau pikir itu suami Ibu yang duduk di sebelah nya
Di sebelah Ustadz Zaelani duduk seorang laki-laki, sepertinya umurnya ada di bawah Ustadz Zaelani, laki laki-laki itu terlihat sinis apa mungkin karena matanya juga sipit? Hidungnya mancung, bibirnya tipis. Aku mengira itu anak Ibu yang rambut keriting karena mata merek sama sama sipit. Ada satu orang lagi di samping Bu Amira, wanita cantik dengan baju muslim yang begitu besar, jilbab menutupi lutut.
"Siti..."
Bu Amira melangkah menghampiri ku, memeluk dan mencium kedua pipiku.
"Bu apa kabar? sehat?"
"Kan kemarin udah bilang, panggil nya Eyang jangan Ibu"
"Eh iya Eyang..."
Eyang menyalami Bapak, dan memeluk Zidan serta mengalami keluarga Pak Kades. Kami di suruh duduk.
"Ya Allah ini kursi kok kaya kapas empuk banget, ini sendalku aku lepas ajah mungkin ya takut kotor kena karpet bulu" pikirku sambil melepas sendal.
"Di pake z nak sendalnya" ucap wanita berambut keriting tadi sambil tertawa lucu.
"Takut kotor Bu"
"Gak apa-apa Nak, itu bisa di cuci kok pakai saja"
Aku melirik ke arah laki-laki bermata sipit, dia tersenyum seperti mengejek padaku, dan. Dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Akhirnya aku memakai sendalku kembali.
Orang orang disini kenapa jorok sekali? memakai sendal ke dalam rumah. pikirku.
"Bagaimana perjalanan nya Pak Kades?"
"Alhamdulillah Bu lancar, kami menikmati perjalanan nya"
"Syukur kalau begitu, ayo mari... silahkan minum" ucap Bu Amira ramah.
Zidan yang sepertinya haus langsung mengambil minum, dia juga mengambil bebrapa cemilan yang tersaji di meja, Zidan makan dengan lahap sampai belepotan.
Aku hanya tersenyum melihat tingkah Zidan, aku bersyukur dia bisa makan makanan enak, seumur hidup baru Sekarang dia bisa Merakan nya. Alhamdulillah ya Allah terimakasih.
"Zidan ambil saja piringnya" ucap Ustadz Zaelani sambil mengambil piring dan meyodorkan nya ke Zidan. Anak itu tertawa bahagia.
" oh iya, Eyang perkenalkan dulu anggota keluarga Eyang ya. Ini Lee Han Byu menantu saya, dia berasal dari korea" ucap bu Amira menunju wanita cantik rambut keriting itu.
"Ini Anak saya namnya Hermanto, suaminya Lee Han Byu, Dan ini cucu kesayangan saya namanya Lee Hardi"
Oh, laki-laki itu yang sinis itu cucunya Bu Amira.
"Kalau ini kalian sudah tau ya, Zein. Dan ini Humaira istrinya Zein"
DEG!
Ustadz Zaelani punya istri? Ah rasanya aku kok sedih ya.
Kami ngobrol dengan begitu hangat, mereka orang kaya yang baik hati, tidak sombong dan angkuh, bahkan pada kami orang yang sangat miskin pun mereka begitu menghargai kami.
Kami semua menginap di rumah besar yang sepertinya lebih mirip istana ini. Selesai sholat Isa, kami semua di minta berkumpul di sebuah ruangan, ruangan yang sangat luas banyak hiasan yang indah sepertinya hiasan dari beling atau kaca, tapi ini lebih mengkilap.
Ada meja panjang terbuat dari kayu dengan beberapa kursi di sampingnya, di atas meja terhidang beberapa macam makanan yang sepertinya sangat lezat, Ah aku pastikan Zidan akan sangat bahagia. Benar saja aku melihat dia cengengesan tertawa sendiri melihat makanan yang ada di meja.
Ini adalah ruang makan. Beberapa pelayan masih sibuk menyiapkan segala sesuatunya, mereka menyiapkan piring dan alat makan lain nya, ada seorang pria memakai baju putih membawa sebuah mangkuk besar, aku rasa itu Sup. Dia memakai peci putih tapi tidak seperti peci Pak Haji, peci laki laki itu tinggi ke atas. Sungguh peci yang aneh!
Kami semua duduk, dan makan tanpa suara. Zidan yang tidak terbiasa memakai sendok dan garpu makan menggunakan tangan.
" Zidan makan lah dengan tanganmu, itu kan sunah Rasulullah, tak apa, jangan malu" ucap Ustadz Zaelani saat melihat Zidan yang seperti nya bingung.
Pelayan mengambilkan kami makanan, mereka mengambil nasi dan lauk pauknya ke atas piring kami. Aku serasa menjadi tuan Puteri pikirku sambil tersenyum sipu.
****
" Bagaimana Zidan makan malamnya? Zidan suka?" Tanya bu Amira.
Zidan hanya menganggukan kepalanya dengan senyuman nya yang merekah, aku tau sejak kami berangkat sampai detik ini wajah Zidan selalu di hiasi dengan senyuman nya yang lebar, dia begitu bahagia.
"Zidan betah disini?" Tanya Bu Lee.
"Hmm" lagi lagi Zidan hanya mengangguk dengan senyuman lebarnya itu, badan nya sempat meliuk perlahan karena malu malu.
"Kalau begitu Zidan mau tinggal disini?"
Zidan memberikan senyuman yang tertahan, dia sepertinya ragu, dan menatap ke arah Bapak dan aku bergantian.
Ha ha ha. Semua orang tertawa.
"Baiklah, saya akan bicara langsung saja ya Pak" ucap Bu Amira, memandang Bapak. Bapak pun mengangguk sopan.
"Mungkin Bapak dan Pak Kades sudah tau maksud saya mengundang anda semua ke rumah saya, Saya pertama melihat Putri Bapak langsung jatuh hati, entah kenapa saya begitu menyukai Siti, hingga sepulang dari ceramah Zein kemarin saya langsung berdiskusi dengan keluarga saya untuk meminta Siti menjadi bagian dari keluarga kami"
Apa maksud Bu Amira? apa beliau akan mengangkat aku menjadi anaknya?
"Saya harap Bapak bersedia memberikan Putri Bapak untuk kami, bagaimana Pak?"
"saya... itu Bu... ehm naon nya" Bapak gugup.
"Tidak apa-apa Pak bicaralah, tidak usah takut apa lagi malu"
"Saya malu Bu..."
"Kenapa Bapak harus malu?" Tanya Pak Hermanto.
"Saya ini kan orang miskin Pak, Bu, bagaimana saya bisa berbesan dengan kalian? saya tidak memiliki apa-apa"
"Ha ha ha. Pak Mamhmudin ini, saya tidak butuh apa-apa dari bapak, saya hanya ingin Siti jadi menantu saya " tambah Pak Hermanto.
"Menantu?" ucapku reflek, hingga membuat semua orang menatapku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!