NovelToon NovelToon

Kesucian Cinta

1

Pagi ini di ruang meeting Erfan memberikan tatapan tajam pada seluruh staff. Sorot yang sulit diartikan. Mereka tidak tau kesalahan apa yang sudah dilakukan. Padahal meeting berjalan dengan lancar begitu juga dengan pencapaian perusahaan. Wijaya Grup masuk dalam nominasi Golden Property Award tahun ini.

Erfan Bumi Wijaya pria yang dikenal sangat hangat oleh para sahabat dan keluarganya, siapa yang sangka kalau ternyata merupakan sosok yang dingin dan tak bersahabat saat berurusan dengan dunia luar. Pimpinan Wijaya Grup yang baru menjabat dua tahun ini sangat sulit ditebak maunya apa.

Erfan kembali keruangan membenamkan kepala di meja, mengacak-acak rambutnya frustasi. Kenapa belum ada kabar dari Adnan. Sejak semalam Elvina, perempuan yang sangat dicintainya masuk rumah sakit. Selang berapa detik ponsel di atas meja berdering, telpon dari Adnan. Panjang umur, segera Erfan menggeser tombol hijau.

"Assalamualaikum Fan," suara Adnan dari ujung telepon terdengar bergetar. Pasti sekarang Elvina sedang tidak baik kondisinya. Pikiran Erfan sudah traveling kemana-mana sebelum menjawab salam.

"Wa'alaikumsalam, gimana Nana? Dia sudah lahiran?" Nana, panggilan yang disematkan oleh orang-orang terdekatnya.

"Na—na kritis Fan, alhamdulillah anaknya sudah lahir. Tapi Nana masih belum sadarkan diri." Tergagap Adnan menyampaikannya. Tidak hanya pihak keluarga yang khawatir saat ini. Tapi juga Erfan, wanita itu sudah seperti bagian dari hidupnya walau ia tak bisa memiliki.

"Astaghfirullah," Erfan melirik arloji dipergelangan tangan lima belas menit lagi pukul sepuluh. Ia harus menunda meeting siang ini. "Aku segera ke sana Nan."

"Kamu tenang Fan, hati-hati bawa mobil." Adnan tau, walau Erfan bukan siapa-siapa Elvina, tapi pria itu sangat peduli dengan adik iparnya.

"Oke, aku pakai supir." Terangnya untuk menenangkan Adnan, sedang panik seperti ini Erfan juga tak bisa fokus menyetir.

"Kami tunggu. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam." Erfan mengakhiri panggilannya, meminta supir untuk menyiapkan mobil. Ia memasuki lift khusus petinggi menuju basemen.

Elvina adalah orang yang sudah menjadi prioritas Erfan beberapa tahun ini. Wanita itu sekarang menjadi istri sahabatnya, Ken. Lucu memang kisah cinta mereka, satu wanita yang digilai tiga pria tampan. Ia tidak segan memberikan seluruh waktunya untuk Elvina, seperti sekarang rela menunda meeting demi ke rumah sakit.

Pesona Erfan jangan diragukan lagi, dengan stelan jas hitam yang melapisi kemeja merah maronnya, ia terlihat sangat gagah. Hanya Elvina yang tidak terpesona padanya.

Kaki Erfan melangkah dengan setengah berlari menyusuri koridor rumah sakit, tak menghiraukan tatapan orang-orang yang terpesona dengan penampilannya. Harus diingat ia juga tidak suka tebar pesona kecuali pada Elvina.

Bruukk

"Astaghfirullah." Desis Erfan, ia sudah menabrak seorang dokter yang berjalan di depannya tanpa sengaja karena terburu-buru. "Maaf dok, saya buru-buru," ucapnya dengan tulus. Kali ini Erfan bersikap lebih sopan karena memang ia yang salah, jalan tidak pakai mata. Ya iyalah jalan gak pakai mata, tapi pakai kaki, gimana sih.

"It's Okay. Lain kali hati-hati Pak. Jalannya pakai mata ya!" Erfan membulatkan bola matanya kesal, 'kan sudah dibilang kalau jalan menggunakan kaki bukan mata. Ia sudah minta maaf dengan sopan, menurunkan harga diri malah mendapatkan jawaban yang sangat tidak menyenangkan.

"Oke, sekali lagi maaf Bu Dokter jutek." Tekannya kesal, kemudian melenggang pergi. Puas rasanya sudah membuat dokter itu menghentakkan kaki karena kesal padanya. Erfan tersenyum tipis pada diri sendiri setelahnya.

Kini ia sudah berada di depan ruang ICU mendekati Ken, sahabatnya yang menatap nanar ke tempat Elvina terbaring. Erfan merangkul bahu Ken. "Nana kuat Ken, Nana kuat, dia akan segera bagun."

"Ya, El pasti bangun Fan. Dia perempuan terkuat yang pernah kukenal." Ken tersenyum tipis, menyembunyikan kekhawatirannya.

"Kayaknya bagi gue juga deh." Erfan mencairkan suasana, agar Ken tidak terlalu larut dalam kesedihan. Si empunya hanya mencebik malas. Mulai deh Erfan mana mau kalah sama Ken, sayangnya kalah dalam mendapatkan Elvina. "Si kecil sehat?"

"Alhamdulillah baby sehat."

"Alhamdulillah, jagoan Papa berarti sudah datang," goda Erfan.

"Anak gue Fan, ngapain sih pakai nyebutin Papa segala bikin geli." Mereka duduk di kursi tunggu, bukan Erfan kalau tidak membuat Ken kesal.

"Gue juga nyumbang tenaga jagain Nana dari dulu lho Ken, lo lupa? Emang sih jagain jodoh orang itu gak enak, bikin sakit. Bikin jiwa nikung menggebu-gebu juga." Ken membulatkan matanya geram, Erfan terkikik tujuannya hanya untuk menghibur Ken.

"Emang gak enak banget ya Fan. Kasihan nasib lo ya." Ken tersenyum penuh kemenangan.

"Gak papa kali, lagian gue juga masih bisa memanjakan Nana sepuas hati." Balas Erfan dengan seringaian yang tak kalah manis.

"Sstt, dikira orang nanti Nana selingkuh." Adnan ikut duduk di samping kiri Ken. Mama Kila—ibu kandung Elvina, Abi Nazar dan Ummi Ulfa, orang tua Ken mengamati tingkah tiga jagoan itu ikut tersenyum. Walau sejak dulu sering adu mulut mereka tetap akur.

"Yang nanggapin aja terlalu baper Nan." Sambung Erfan, ia menyalami Mama Kila, Abi dan Ummi. Seorang dokter dan perawat masuk ke ruang ICU. Suasana jadi menegang, mereka berdiri di depan pintu berharap semua baik-baik saja.

Dokter wanita muda dengan balutan pashmina tosca, snelli dan rok abu-abu keluar dari ruang ICU. "Suami Bu Elvina?" Panggilnya, Ken, Erfan dan Adnan mendekat. Dokter cantik itu menunjukkan wajah heran dengan mata menyelidik. Erfan yang mendapat tatapan tajam, melotot balik pada sang dokter.

"Saya suaminya Dok, bagaimana keadaan istri saya?" Jawan Ken, menghapus kebingungan sang dokter.

"Bisa ikut saya ke dalam Pak!" Ken mengangguk kemudian masuk ke ruang ICU setelah menggunakan pakaian steril.

"Alhamdulillah, istri anda sudah melewati masa kritisnya Pak." Ucap dokter cantik yang bernama Fakhira Shakira, rekan dokternya biasa memanggil dengan panggilan Hira.

"Alhamdulillah, terimakasih Dok."

"Anda hanya punya waktu sebentar, karena pasien harus istirahat." Tambah dr. Hira, Ken mengangguk. Sedang dokter dan satu orang suster masih mengawasi di sana.

"Sayang sudah bangun." Sapa Ken sambil tersenyum, menarik kursi untuk duduk di samping Elvina. "Cepat sehat biar bisa pulang ya." Diusapnya lembut kepala Elvina, lalu mencium keningnya.

"Abang kenapa?" Elvina mengusap lembut pipi Ken sambil tersenyum. Walau matanya sembab dan nampak lelah, Elvina masih terlihat cantik.

"Khawatir sama kamu El, dari tadi gak bangun-bangun. Abang nungguin, kangen." Ditahannya tangan mungil Elvina lalu mengecupnya berkali-kali.

"Aku baik-baik aja Bang, anak kita sehat?"

"Sehat Sayang, kamu sudah ditunggu Erfan dan Kak Adnan. Jadi cepat keluar dari sini ya."

Elvina mengangguk, "ngapain ngabarin Erfan, nanti Abang cemburu lho." Godanya, Ken menggeleng dengan senyuman manis. "Katanya Papa Erfan sudah nunggu si kecil."

"Ih main ngaku-ngaku deh." Elvina ikut tersenyum, pasangan suami istri itu terlibat perbincangan hangat sampai beberapa menit, dr. Hira mendekat ke sisi brangkar untuk mengingatkan waktu besuknya sudah selesai.

"Waktunya sudah habis ya Pak, saatnya Bu Elvina istirahat. Setelah kondisinya lebih baik akan di pindahkan ke ruang rawat." Jelas sang dokter dengan tersenyum.

"Makasih Dok." Ken mengecup kening Elvina. "Abang tunggu di luar ya Sayang." Elvina mengangguk antusias, Ken meninggalkan ruang ICU dengan hati yang lega.

2

Erfan berdecak kesal saat dokter jutek keluar dari ruang ICU mengabaikannya. Padahal dokter itu melewati yang lain dengan tersenyum, hanya ia yang mendapatkan pelototan mata.

"Ih kok dokter judes amat." Geram Erfan, Mama Kila dan Ummi menoleh pria yang sedang kesal itu dengan tatapan heran.

"Kenapa Fan? Tadikan dokternya senyum manis banget." Bela Mama Kila yang tidak terima dokter seanggun Hira dibilang jutek.

"Mana ada Ma, masa aku dipelototin cuma gara-gara ketabrak gak sengaja." Erfan menggerutu yang mengundang tawa.

"Oh, jadi marah karena gak dapat senyuman si dokter cantik kayak kita-kita," goda Ummi dengan geleng-geleng kepala.

"Enggak, cuma senyuman gitu doang banyak kali Ummi. Aku bisa dapat gratis." Erfan membela diri agar tak tersudutkan, tapi kenapa juga ia jadi kesal gara-gara dokter yang gak dikenalnya itu ya... Aneh, Erfan biasanya cuek bebek. Kecuali urusan Elvina yang tak pernah bisa diabaikannya.

"Ya kali kalau senyum bayar, semua orang berbondong-bondong mau senyum aja biar cepat kaya, gak perlu kerja lagi," Ken mencebik.

"Kayaknya sudah ada yang berpaling dari menantu Abi nih." Abi menepuk-nepuk pundak Erfan. "Itu tanda kalau hatimu sudah terbuka, Nak." Tambah Abi Nazar, disetujui yang lain.

"Abiiii, Erfan tau salah karena belum bisa move on. Tapi mana bisa juga secepat itu suka sama orang." Tak mungkin ia jatuh cinta pada pandangan pertama, ini hanya rasa kesal karena perkataan sang dokter yang gak sopan.

"Kalau gak suka ngapain dipikirin." Ah Adnan ikut-ikutan, Erfan sendirian gak bisa membela diri. Cara satu-satunya adalah—kabur. Oh tidak, ia lupa meminta seketarisnya untuk mengcancel meeting siang ini. Beruntung sekali Erfan, ada alasan yang membantunya saat ini.

Tuhkan selalu kebetulan, ponselnya berdering disaat yang tepat, panggilan dari seketarisnya. Erfan minta waktu untuk di tunda tiga puluh menit. Meeting tak jadi batal, ini lebih baik gumamnya untuk kabur dengan cara yang elegan. Kabur aja pakai cara elegan ya? Ah Erfan bisa aja.

"Aku harus balik ke kantor sekarang, tadi buru-buru ke sini lupa kalau ada meeting." Ujarnya pada Ken dan keluarga. Syukurlah tidak ada yang curiga kalau Erfan hanya ingin melarikan diri sekarang, dari pembahasan dokter muda nan cantik itu. Cantik? Jadi Erfan mengakuinya cantik.

Perjalanan yang ditempuh dalam dua puluh menit bisa digunakan Erfan untuk memejamkan mata. Mengetahui Elvina baik-baik saja itu sudah membuatnya lega. Walau belum bisa bertemu dengan perempuan itu.

Erfan memasuki kantor dengan sangat berkharisma. Pria itu menjadi orang yang dingin dan datar saat berada di wilayah kantor. Ia melangkah memasuki lift, ruangannya ada di lantai sembilan belas. Gedung bertingkat itu milik sang papi, Wijaya. Sekeras apapun menghindar dari keinginan papi tetap saja ia yang kalah. Sampai harus menerima permintaan papi mengurus perusahaan.

Masih ada lima menit sebelum meeting, Erfan menghempaskan tubuh di sofa. Akhir-akhir ini pikirannya sangat lelah, selain masalah perasaan yang terpendam kadang bisa meledak-ledak. Kerjaan yang tak ada habisnya membuat ia jenuh.

"Semua sudah siap di meeting room Pak." Suara dari Ressa sang seketaris membuyarkan lamunan Erfan.

"Ya, thanks." Ucap Erfan singkat kemudian bangkit dari duduk lalu masuk ke meeting room.

Satu setengah jam ia habiskan dalam ruangan itu. Sudah cukup untuk membuat semua yang ada dalam ruangan ketar-ketir. Erfan kembali keruangan, menghempaskan tubuh di kursi kemudian berputar-putar seperti oranv yang tak punya kerjaan.

Tok tok tok

"Ya masuk." Teriak Erfan saat ada yang mengetuk pintu. Posisi kursinya masih membelakangi meja, ia ingin istirahat sebentar. Jadi tidak melihat siapa yang datang.

"Kakak kita makan siang yuk?" Mendengar suaranya Erfan sudah tau itu siapa.

"Males, kamu makan aja sendiri." Erfan memutar kursi, menatap dingin perempuan yang berdiri di depan meja. Entah kenapa, kebencian itu masih ada. Ia sangat benci dengan Fany—adiknya, karena tindakan bodoh gadis itu.

"Ya sudah makan di sini aja, aku pesan go food dulu." Ujar Fany sembari tersenyum, tak tersinggung sedikitpun dengan ucapan kakaknya.

"Gak usah Fany, kamu denger gak sih. Lebih baik sekarang pulang. Bikin kepalaku tambah mumet aja."

"Kakak! Aku cape lho nyusulin ke sini," Rengek Fany manja, tidak terima diusir kakaknya sendiri.

"Emang aku minta kamu ke sini, hah? Kamu keluar atau aku yang keluar?" Bentak Erfan geram, kemarahannya sudah sampai ubun-ubun. Kalau dulu ia sangat senang melihat tingkah adiknya yang manja. Sekarang? Tidak lagi, tingkah itu sangat menjijikan bagi Erfan.

"Kenapa sih Kakak gak kayak dulu lagi." Fany menghentak-hentakkan kakinya ke lantai, sampai menimbulkan bunyi berisik.

"Tentu kamu masih ingat dengan kesalahan yang kamu buat Fany, jangan berlagak bego." Erfan beranjak meninggalkan ruangan, membanting pintu dengan keras sampai menimbulkan dentuman. Fany dibuat terperanjat dengan tingkah sang kakak. Dulu lelaki itu sangat menyayanginya, selalu memperlakukan Fany dengan lembut.

"Semua ini gara-gara Nana." Geram Fany, meninggalkan ruangan Erfan. Dua tahun sudah masalah itu berlalu, tapi kakaknya belum mau memaafkan.

Hari beranjak sore, Erfan bosan berada di kantor. Ia berjalan menuju cafe di seberang gedung kantor miliknya. Di daerah ini memang area kampus, gak heran kalau banyak mahasiswa yang memilih untuk nongkrong. Sembari minum segelas kopi sampai sore dengan wifi gratis. Lebih hematkan, dasar otak mahasiswa.

Ia menikmati segelas coffe latte sambil memperhatikan para mahasiswa yang keluar masuk cafe. Sekarang jam empat sore, makanya suasana cafe rame. Erfan menghubungi Ilmi untuk menemaninya nongkrong. Teman yang setia bersama dengannya selama di London. Sekarang pria itu juga sudah menetap kembali di Indonesia, nasib mereka tak jauh berbeda.

Sepuluh menit kemudian pria yang ditunggunya itu datang dengan tampang yang tidak kalah menawan dari Erfan. Seorang Ilmi Lateef Pranadifta yang dapat membuat para wanita tergila-gila karena ketampanannya. Pria dengan kaos oblong hitam dilapisi jaket berwarna navy itu terlihat sangat ramah. Senyumannya selalu mengembang, bagaimana para gadis tidak histeris melihatnya.

"Kenapa bro?" Ujar Ilmi, menarik kursi kemudian duduk di depan temannya yang sedang galau. "Kelamaan jomblo lo, udah sana cara pendamping. Kapan bisa move on kalau gini terus."

"Bacot lo enak Mi, mentang-mentang udah punya buntut."

"Nikah emang enak Fan, bisa menikmati sesuka hati. Gak kayak lo masih betah menikmati rasa suka sama istri sahabat sendiri."

"Bacot lo, gue gak minta lo datang buat ceramah ya Mi, kalau mau ceramah ke mesjid sana." Erfan berdecak, meneguk habis coffe lattenya.

"Mi, Mi, emang gue mami lo." Erfan terkekeh, temannya yang satu ini paling benci dipanggil Mi, tapi Erfan suka menggodanya. "Lalu? Ngapain lo manggil gue ke sini, emang gue wanita panggilan yang bisa lo panggil sesuka hati." Sarkas Ilmi geram.

"Entahlah, lagi pengen nge-refresh nih otak, ditemenin kek bukan diceramahin. Kalau mau dengar ceramah gue bisa datang kekajian sendiri."

"Ngapain direfresh? Install ulang aja memori otak lo yang hang itu." Ini teman halalkan buat ditendang.

3

"Hah, salah orang kayaknya gue minta lo datang ke sini. Mumet ndasku." Erfan memijat pelipisnya, entah apa yang dipikirkan otaknya sampai jadi semrawut seperti ini. Sudah pasti karena kerjaan, kerjaan yang tidak dijalaninya dengan sepenuh hati.

"Ngomong sama lo, gak ada bedanya sama ngomong tembok. Mending gue pesan dulu."

"Gue juga, udah abis nih." Erfan mengetuk-ngetukkan gelas kosongnya ke meja. Ilmi mengangguk, lalu berdiri memundurkan kursinya, tak sengaja menyenggol seorang gadis yang membawa segelas cokelat. Tumpahan cokelat itu mengenai kemeja Erfan.

"Maaf Mbak, saya kurang hati-hati." Ucap Ilmi penuh rasa bersalah pada perempuan yang disenggolnya.

"Shitt, lo gak bisa hati-hati ya Mi, sampai nabrak orang dan gue kena imbasnya." Erfan mengambil tisu untuk membesihkan noda cokelat di kemejanya. "Gila, untung bukan kopi panas."

"Sorry Fan, ntar pulang lo bisa langsung mandikan?" Goda Ilmi sambil terkekeh. "Tunggu di sini ya Mbak, saya ganti minumannya." Belum sempat menjawab, Ilmi sudah pergi. Gadis itu tidak enak jika harus pergi begitu saja, dengan terpaksa ia menunggu. "Maaf ya Mas, bajunya jadi kotor." Ucapnya tulus pada pria yang sibuk membersihkan kemeja.

"It's ok—" kalimatnya terpotong saat menatap orang yang masih berdiri dihadapannya. "Lo lagi? Ya Allah, sial kenapa gue hari ini. Gak ada habis-habisnya kena apes." Gerutu Erfan dengan mata melotot pada Hira.

"Gue 'kan udah minta maaf." Cicit Hira yang juga tidak kalah kagetnya melihat pria yang menabraknya di koridor rumah sakit pagi tadi.

"Sama kayak pagi tadikan, gue udah minta maaf baik-baik malah lo ketusin." Erfan masih dendam dengan tuh perempuan yang tidak tau sopan santun.

"Yaa maaf, sekarang satu-satukan, jadi kita impas." Ucap Hira santai dengan senyum mengejek.

"Gak bisa, gue gak merugikan lo pagi tadi, sedang lo bikin baju gue kotor." Bentak Erfan, kali ini ia tidak akan tinggal diam. Sedikit membuat perempuan itu sakit hati gak masalahkan?

"Bukan salah gue, temen lo yang nyenggol." Wajah cantik Hira masih terlihat tenang, tidak ada ketakutan sedikitpun saat Erfan membentaknya.

"Udah salah malah ngotot, dasar lo!!" Erfan mengerang, matanya melotot.

"Apa?" Bukan mengalah, Hira malah balas memelototi Erfan dengan garang.

"Dasar cewek gak tau sopan santun!" Erfan tidak habis pikir bisa bertemu dengan perempuan yang berwujud seperti itu.

Ilmi kembali ke meja dengan membawa tiga gelas minuman, dua kopi untuknya dan Erfan, satu lagi cokelat untuk gadis yang ditabraknya. Ia memelankan langkah kaki saat mendengar percekcokan Erfan dengan gadis itu.

"Fan, sejak kapan lo bisa marah-marah dengan orang yang baru dikenal." Tegur Ilmi, kemudian duduk di samping Erfan setelah mempersilahkan gadis itu untuk duduk juga.

"Dia aja tuh dasar cewek rese, gak tau sopan santun. Kok ada sih dokter dengan kelakuan seperti itu." Erfan menjawab dengan penuh kemarahan, Ilmi jadi pusing.

"Lihatkan Mas, teman Mas ini sesuka hati menghina orang," Balas Hira tak kalah garang.

"Saya minta maaf ya Mbak, kalau ucapan teman saya ini sudah membuat gak nyaman."

"Ngapain sih lo minta maaf Mi." Sewot Erfan, meminum coffe latte yang baru Erfan pesankan.

"Tapi gimana lo bisa tau dia dokter?" Sela Ilmi, memandang dua orang yang berada di mejanya dengan bergantian.

"Dia dokternya Nana."

"Oh, Nana sakit apa?"

"Partus." Jawab Hira singkat, sekarang kalau bisa Ilmi ingin menghilang saja. Dua orang yang tidak tau memiliki masalah apa sudah membuat kepalanya pening.

"Oke, sekali lagi maaf ya Dok dengan tingkah teman saya."

"Harusnya dia yang minta maaf Mas, jadi orang kok gengsi banget." Cerca Hira, tuh Hira gak bisa dijudesin lama-lama. Ia bisa jadi tambah judes, walau awalnya bisa bersikap tenang.

"Hiraaa...!!" Teriakan seorang perempuan membuat Hira membalikkan badan mencari sumber suara sambil melambaikan tangannya.

"Lho, kenapa kamu bisa di sini Ra?" Ressa mendekati sahabatnya, matanya kemudian beralih pada sang bos. "Kenapa bajunya kotor Pak? Aku siapkan pakaian ganti ya."

"Ngapain disiapin sih Sa, manja banget deh." Sambar Hira dengan asal, Ressa menempelkan telunjuknya di bibir Hira. "Sstt, diam Hira."

"Gak perlu Sa, lo urus aja nih orang. Gue dah malas di sini." Ressa mengangguk atas perintah bosnya, tatapannya beralih pada Ilmi, seolah bertanya. Pria itu mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum.

"Gue duluan ya, sorry atas kelakuan Erfan." Sekali lagi pria itu minta maaf kemudian menyusul Erfan yang berjalan lebih dulu sambil membawa kopi yang belum sempat diminumnya.

"Ada masalah apa lo sama bos gue Ra?" Ressa duduk di samping Hira untuk meminta penjelasan. Tidak biasa Erfan marah dengan orang yang baru dikenal tanpa alasan.

"Jadi itu bos lo Sa, manusia paling nyebelin yang pernah gue temuin seantero jagat raya ini. Banyak sih pasien yang nyebelin. Tapi bos lo tuh lebih, lebih nyebelin." Perasaan Ressa baru duduk deh, kenapa jadi ia yang kena sasaran marahnya Hira.

"Jangan ngomong gitu, kalau jatuh cinta ntar susah. Pak bos orangnya manis kok, kalau sama orang luar aja tingkahnya begitu." Siapa taukan sahabatnya ini bisa membuat bos Erfan move on. Tapi kalau sama Ressa, Erfan gak galak-galak amat deh.

"Idih, amit-amit gue suka cowok kayak dia." Hira masih kesal dengan tingkah lelaki yang gak tau diri itu, mulutnya pedas kayak cabe rawit.

"Hmm, jadi mau ngomongin apa sampai jauh-jauh nyusul gue ke sini." Ressa mengalihkan pembicaraan, tau kalau sahabatnya satu ini tidak suka dengan pembahasan sekarang.

"Gak ada, jenuh aja tiap hari cuma liat orang sakit." Ucap Hira sambil tertawa renyah. "Kita lama udah gak nongkrong kayak ginikan?" Ressa mengangguk, Hira bisa berubah mood secepat itu. Apa karena pengaruh coklet yang Hira minum, Ressa tak tau.

"Lo ada masalah Ra?"

"Heh, lo kira hidup gue cuma dipenuhi masalah Sa. Emang kalau gue ketemu lo harus ya saat ada masalah aja." Ressa mengendikkan bahunya, Hira terkikik sambil menyedot cokelat dinginnya. "Oh ya, cowok yang sama bos lo tadi udah ada yang punya?"

"Udah punya anak." Jawab Ressa tak acuh, ia tau persis Hira hanya mengalihkan pembicaraan. "Gue tau lo lagi menyembunyikan kesedihan Ra. Gimana pun juga gue tau semua tentang lo, mau disembunyikan gimana juga mata lo gak bisa bohong."

"Hmm, hidup ini sudah berat Sa. Bisa gak kalau kita gak usah bahas pembahasan yang berat dulu." Goda Hira dengan tersenyum manis. Bagi Ressa senyuman Hira semanis apapun tidak dapat menyembunyikan segala kesedihan yang dimiliki gadis bermata cokelat itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!