Rumah bergaya klasik Victorian itu kini terlihat menakutkan, garis Polisi terpasang di sekeliling Bangunan kokoh yang kini seakan tak berdaya itu. Pepohonan yang tumbuh di sekitarnya bergerak terkena tiupan angin yang semakin menambah suasana mencekam, seakan menceritakan apa yang pernah terjadi pada Penghuni di dalamnya.
***
04 April 2019
"Nia dan Mel berangkat dulu ya Mah, Tante Wid .... " ucap Vania padaku dan sahabatku Widya.
"Ia sayang, hati-hati ya, di konsernya. Jangan sampe pisah .... " ujarku pada Putriku saat Ia mencium punggung telapak tanganku dan Widya secara bergantian, begitupun dengan Melody Putri Widya yang melakukan hal yang sama.
"Yes Bos, LAKSANAKAN! Kita bakal baik-baik saja, kan ada Kak Ridwan yang bakal jagain. Sebenernya sih Kak Ridwan itu Modus mau jagain, itu mah maunya Dia aja. Kan Dia juga ngefans banget sama Red Velvet. Bener kan Mel?" celoteh Putriku yang juga di Amini oleh Melodi dengan anggukan.
"Iya Mi, Kak Ridwan itu luarnya aja suka musik klasik. Dalamnya K-Pop ... hehe .... " kelakar Melody yang tertawa dan membuat Aku dan Widya yang mendengarnya juga ikut menertawakan lelucon yang dibuat kedua Putri Kami tentang Guru Les Piano Melody itu.
-------------------------
05 April 2019
"Maaf, apa benar ini kediamannya Ibu Anya?" tanya salah satu petugas Polisi yang datang ke rumahku pagi ini.
"Iya benar, dengan Saya sendiri."
"Melody ada di dalam?"
"Dia masih tidur, ada keperluan apa Bapak mencari Melody?"
"Pagi ini Kami menerima telepon dari Seseorang yang bernama Ridwan. Beliau mengaku sebagai Guru Les Privat Melody yang datang ke Rumah Pak Rendra untuk meminta izin cuti mengajar. Namun saat ia sampai di kediaman Pak Rendra dan Buk Widya, Mereka sudah tak bernyawa."
Penjelasan Petugas Polisi itu membuat seluruh Nyawaku seakan meninggalkan raga. Namun coba kutahan rasa gemuruh yang ada, karena kedua Polisi yang datang memberikan kabar duka ini masih berdiri di depanku.
"Maksud Bapak ... apa yang terjadi dengan Sahabat Saya Pak?"
"Sesuai dengan kondisi di TKP dan melihat kondisi Korban, sepertinya Ibu Widya dibunuh oleh Suaminya dan setelah itu Tersangka membunuh Dirinya sendiri. Namun untuk lebih pastinya, harus menunggu hasil visum dari Rumah Sakit dan jika Putrinya mengizinkan akan dilakukakn otopsi."
Masih dengan kondisi shock akibat penjelasan Polisi tadi, Aku hanya bisa menganggukan kepalaku dan berkata, "Baiklah Pak, biar nanti Saya yang akan memberitahukan pada Melody."
"Lebih cepat lebih baik Bu, karena Jenazah keduanya sekarang harus segera ditangani. Tentu dengan persetujuan Keluarga, dalam hal ini Melody sebagi Putri sekaligus Keluarga satu-satunya dari Orangtuanya."
"Ia Pak, Saya akan segera datang dengan Melody secepatnya ke Rumah Sakit untuk mengurus Jenazah."
"Kalau begitu, Kami permisi dulu dan tolong Ibu menghubungi nomor ini jika sudah berada di Rumah sakit." sambil menyerahkan selembar kartu nama padaku.
"Ia Pak, pasti akan Saya hubungi."
"Selamat Pagi."
"Pagi."
-----------------‐--
04 April 2019
"Kamu yakin dengan keputusanmu Wid?" tanyaku pada Widya yang kini mulai tampak duka diwajahnya, berbanding terbalik dengan kondisinya beberapa menit yang lalu saat masih ada Melody dan Vania di sini.
"Aku yakin, kali ini Rendra akan berubah Anya! Iya ... Dia ... Dia tak akan menyakitiku lagi .... " jawaban Widya seperti untuk meyakinkan Dirinya sendiri.
"Tapi ini sudah kesekian kalinya Wid, Aku tak suka dengan perlakuannya padamu. Kamu sudah lupa bagaimana Ia menyakitimu, bahkan meninggalkan luka lebam di sekujur tubuhmu yang harus Kau tutupi selama berbulan-bulan?" emosiku sudah mulai meluap teringat akan perbuatan Rendra.
"Tapi kali ini sepertinya Dia sungguh-sungguh, lagipula Aku melakukan ini untuk Melody. Aku tak ingin Dia merasakan apa yang kualami sebagai Anak broken home. Rasanya menyakitkan, bahkan untuk membayangkannya saja Aku tak sanggup." kali ini Widya sudah tak bisa menahan cairan bening yang keluar semakin deras dari kedua matanya.
"Tiga bulan Widya, Kau sudah menjalani hidupmu dan Melody selama ini tanpa kehadiran Rendra. Yah meskipun kalian berdua merahasiakan perpisahan sementara ini dari Melody, yang hanya tahu bahwa Ayahnya sedang melakukan perjalanan bisnis. Tapi tetap saja, Aku yakin Melody Anak yang kuat. Dia akan baik-baik saja, dan selama tiga bulan ini Dia tak pernah merasa sendiri. Meskipun Rendra memperlakukanmu dengan buruk, tapi tidak pada Putrinya. Kudengar bahkan tak pernah Ia melewatkan untuk menghubungi Putrinya selama masa pertengkaran Kalian."
"Tapi kali ini berbeda Anya, percayalah! Aku tak akan menangis lagi, dan Aku janji ini kesempatan terakhirku untuknya. Jika setelah ini Ia masih mengulangi kesalahan yang sama, Aku akan minta pisah darinya. Aku janji .... "
"Kamu yakin?" kembali Aku bertanya Padanya.
"Tentu. Seratus persen! Aku seyakin itu atas kesungguhannya. Rendra sudah berjanji Padaku Ia tak akan posesif lagi, Rendra akan mempercayaiku. Ia akan mendengarkan penjelasanku daripada amarahnya yang menggebu. Dia sudah memohon padaku dengan putus asa Anya, seorang Rendra bahkan berlutut padaku. Lagipula sekarang Aku mulai memahami kenapa Ia bisa begitu Posesif, itu karena cintanya yang besar untukku. Iya, Rendra hanya terlalu mencintaiku .... "
Pada akhirnya Aku hanya bisa memeluk tubuhnya, yang semakin terguncang karena menangis dalam pelukanku. Sebagai Sahabatnya, hanya ini yang bisa kulakukan atas keputusan besar yang Ia ambil. Aku hanya bisa menangis dan menguatkan hatinya, meski hatiku sendiri ragu dengan akhirnya nanti. Tapi seberapa kuatnya Aku ingin Widya mengurungkan niatnya, Sahabatku ini selalu menolak atas nama Putri dan Cintanya.
----‐---‐-------------------
SATU BULAN KEMUDIAN
Kehilangan. Satu kata yang mewakili perasaanku sekarang, melihat wajah sendu Melody setiap hari mengingatkanku akan Widya.
Meski masih dalam keadaan berkabung, namun Ia harus dihadapkan pada serentetan penyelidikan dan harus bertemu dengan Psikiater untuk memastikan kejiwaannya tetap stabil. Mengingat usianya yang masih Remaja, dan kehidupannya yang dalam semalam harus berubah drastis, tentu ini adalah langkah yang tepat untuk dilakukan.
Walau hati ini terasa sakit, namun Aku sebisa mungkin harus tegar di depannya. Begitupun Vania putriku, yang selalu ada disampingnya.
Dalam hati terselip rasa lega karena ia terlahir dari Widya yang sabar dan Rendra yang tangguh karena basicnya yang memang mantan Atlet Taekwondo yang sukses jadi Pengusaha, tak pernah takut pada Siapapun. Melody jelas gabungan dari keduanya.
Hingga kasus ini ditutup dengan tanpa Tersangka tambahan --- hanya Rendra yang jadi tersangka utama atas pembunuhan Istrinya dan Ia dinyatakan bunuh diri karena semua bukti di TKP menyatakan demikian --- Melody tak pernah menangis histeris, hanya air mata yang kadang menetes dari mata beningnya tanpa suara.
***
Rasanya baru kemarin sore Aku berbincang dengan Widya, tentang bagaimana Ia akan menerima kembali Suami yang telah menyakitinya. Tentang semua mimpinya untuk Melodi, yang sebentar lagi akan lulus SMA dan berencana untuk meneruskan studynya di Amerika Serikat jurusan Musik Klasik Eropa. Serta cerita Tentang liburan ke Eropa yang dijanjikan Rendra untuk akhir tahun nanti.
Semua cerita itu kini tinggal kenangan, Aku merasa bersalah atas kematiannya, seandainya waktu itu Aku melarangnya untuk menerima Rendra kembali, seandainya Aku menahannya saja dirumahku saat Rendra datang menjemputnya untuk kembali kerumah Mereka.
Mungkin saat ini Widya masih ada di sampingku, bukan di balik gundukan tanah yang kini ada di depanku. Tapi apa yang bisa kuperbuat, semua telah terjadi. Aku tak bisa melawan takdir, hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya.
------‐---------------------
September 2019
"Terimakasih untuk semuanya Tante Anya, maafkan Mel yang udah ngerepotin Tante. Mel janji akan membalas semua kebaikan Tante dan Vania selama ini .... "
"Jangan sungkan, Sayang. Tante udah anggap Mel seperti Putri Tante sendiri. Yang penting buat Tante, Mel sehat terus dan jangan lupa untuk ngabarin Tante. Mel juga akan selalu di terima di Rumah ini .... " sembari menggenggam tangannya, untuk meyakinkan Melody bahwa semua yang Aku katakan itu benar. Dan sepertinya Ia mengerti. Perih hati ini melihat wajahnya kini, namun coba kututupi dengan senyuman.
"Iya Mel, Aku juga bakal kangen banget sama Kamu. Jangan lupa untuk kasi kabar terus yaa .... " kini Putriku Vania yang kembali merasakan sedih akan berpisah dengan Sahabat dekatnya.
"Pasti! Mel bakal selalu ngabarin tante dan Nia. Mel janji ...." segera Melody memelukku dan Vania. Sontak Aku, Vania dan Melody menangis. Semua sesak itu seakan keluar dari dada ini, meski tak bisa menyembukan. Setidaknya bisa membuat lega. Itulah yang terjadi sekarang, Kami larut dalam haru.
Untuk pertama kalinya Aku harus melihat Melody pergi jauh, sepeninggal Orangtuanya Ia lebih memilih tinggal di Rumahku. Ingin rasanya kutahan Melody melanjutkan studynya ke Amerika, tapi keputusannya sudah bulat untuk mewujudkan impian Widya yang dulu juga sempat diungkapkannya padaku.
Meski dengan berat hati, Aku harus merelakannya pergi. Melody juga sempat mengajak Vania ikut dengannya, namun Vania menolak. Bukan karena tak suka, tapi karena Nia tak ingin jauh dariku.
"Terimakasih ya Rid, sudah mau mengantar Melody ... tolong jaga Melody di sana ...."
"Pasti Buk, saya akan pastikan Melody baik-baik saja" ucap Ridwan sembari menjabat tanganku dan Vania bergantian untuk pamit.
Ridwan yang dulu sempat memberikan Les Privat piano untuk Melody, memang selama ini turut mendampingi Melody. Hingga Iapun mengambil keputusan untuk melanjutkan study S2 musiknya, di Kampus yang sama dengan Melody. Aku tahu pasti tujuannya adalah untuk menjaga Melody. Terbersit rasa aman dihatiku karena Ridwan pergi bersama Melody.
--------‐--------------
Satu hari di University of Wisconsin-Milwaukee, Amerika Serikat
"Terimakasih Kak, karena sudah melindungi Melody selama ini." ucap Gadis berambut hitam tebal, yang tak lain adalah Melody. Sambil menatap Pria yang ada di sampingnya.
"Kakak akan selalu ada buat kamu Mel. Gimana perasaan Mel sekarang?" jawab Pria yang tak lain adalah Ridwan yang juga membalas tatapan Melody, Gadis yang sangat Ia cintai.
"Sedikit --- Lega .... " jawab Melody sambil menghembuskan nafas dan menatap ke arah beberapa Mahasiswa yang tengah bercengkrama. Seolah menghilangkan gundah dalam hatinya.
"Terhadap ,,. emm ... Papi Mel?" tanya Ridwan sedikit ragu pada Melody yang langsung menatap Ridwan dan menjawab, "Mengingat Papi untuk setiap luka di sekujur tubuh Mami hingga meninggal, maksud Kakak?"
"Tapi Papi Kamu sangat menyayangi Kamu Mel .... "
"Untuk apa semua Kasih Sayang itu jika Orang yang Mel sayang ternyata selama ini menderita Kak? Sudah lama Mami mendapatkan luka dari Papi, namun Mami berhasil menyembunyikannya dari semua orang --- termasuk Melody." kini tak bisa Ia tahan air mata yang sedari tadi ingin keluar dari mata beningnya.
"Mami Kamu emang kuat Mel, tak pernah terlihat penderitaannya selama ini." kini Ridwan dengan lembut menyandarkan kepala Melody di pundaknya. Gadis yang tampak semakin sedih itu hanya menurut saja. Hati dan tubuhnya terlalu lelah, Dia memang butuh sandaran dalam hidupnya untuk sekarang dan nanti.
Pelan tapi pasti Gadis itu mengungkapkan isi hatinya, "Banyak yang Mel sesali Kak! Mami yang harus meregang Nyawa di tangan Papi, yang gelap mata hanya karena membaca pesan Mel untuk Kak Ridwan di ponsel Mama. Menyesal kenapa Mel harus datang terlambat, malam itu ... lebih tepatnya saat tengah malam, untuk mengambil Laptop yang tertinggal."
Sempat terputus karena isaknya, hingga akhirnya Ia pun melanjutkan, "Mungkin ... mungkin ... sampai detik ini Mel akan sangat menyesal karena gak tahu apa-apa tentang Mami. Meskipun sudah terlambat. Semua itu sungguh membuat Mel menyesal, tapi Membalaskan Dendam pada Papi bukan salah satu diantaranya." sambil menerawang jauh, Gadis itu kembali pada malam Naas yang tak akan pernah Ia lupakan seumur hidupnya.
*
Maksud hati ingin mengambil chars laptop yang tertinggal di rumahnya pada tengah malam, dengan ditemani oleh Ridwan yang ia mintai tolong karena tak enak hati membangunkan Vania dan Anya yang telah tertidur. Namun saat sampai di rumah, yang Melody temukan adalah tubuh Maminya yang telah terbujur kaku di lantai. Sedangkan Papinya sudah tertidur di kursi yang berada di ruangan yang sama, dengan sebilah pisau yang masih ada di tangannya.
Tanpa berfikir panjang lagi, segera Melody menggunakan pisau dan tangan Papinya untuk menusuk jantung Pria yang tak sadar itu. Tak ada perlawanan, Papinya bahkan tak sempat membuka matanya yang tertutup karena memang sudah di bawah pengaruh alkohol yang sebelumnya ia minum.
Dengan perasaan yang panik, takut dan gelisah Melody segera menelpon Ridwan yang menunggu di Mobil untuk mengatakan apa yang terjadi.
Ridwan lah yang telah membersihkan kekacauan yang terjadi, dengan menghilangkan bukti bahwa Melody telah menyentuh tangan Papinya.
Menyembunyikan fakta keberadaan mereka di Rumah itu pada malam kejadian. Serta di tolaknya visum pada tubuh korban, yang menyebabkan Polisi tak bisa menemukan Fakta sebenarnya.
Hanya Melody dan Ridwan yang tahu apa yang terjadi, namun fakta itu telah terkubur jauh dalam pikiran mereka. Karena Melody tahu Ridwan akan selalu melindunginya sampai kapanpun.
SELESAI
-----------------------------
Terimakasih telah membaca novel ini, jika suka mohon dukungannya dengan like, rate dan vote yaa… biar Author lebih semangat nulisnya🤗
Serta tolong sampaikan kritik dan sarannya juga jika ada kesalahan dalam penulisan. Ditunggu dalam kolom Komentarnya yaa… happy reading😊
Setelah melalui perjuangan panjang dan berat, akhirnya kini Aku bisa memilikimu di sisiku. Tak ada lagi penolakan halus dari mulut manismu yang terasa pahit di telingaku.
Masih segar dalam ingatan bagaimana tersiksanya Aku yang hanya bisa
memandangmu … -- dari dekat -- Ya, Aku selalu ada di sampingmu, namun yang tampak di mata indahmu hanya Adi Sahabatku.
Ada sedikit sesal dalam dada, saat Ku tahu bahwa ternyata Kau dan Dia memiliki rasa yang sama. Karena Aku yang mengenalmu lebih dulu…lebih lama ... -- sepuluh tahun -- dari Adi yang Ku kenalkan Padamu baru lima bulan yang lalu.
Lupakah Kau siapa yang selalu ada di depanmu, saat Kau diperlakukan buruk oleh Keluarga yang telah mengangkatmu menjadi Anak? Kau di bawah ke Rumah oleh Keluarga yang hanya menganggapmu sebagai Asisten Rumah Tangga di Rumah ini yang telah Ku tempati sejak Aku lahir? bagaimana mungkin Kau bisa dengan mudah melupakannya.
***
Kehadiranmu di Rumah mungkin telah membuatku dibenci oleh keluargaku, namun aku tetap bahagia. Bahagia bisa bersamamu, bisa melihat senyumanmu, hingga tanpa sadar semua rasa yang kumiliki untukmu berubah menjadi harap.
Entah sejak kapan rasa yang ada semakin besar dan bertumbuh setiap saat, Aku ingin memilikimu. Namun saat Kuungkapkan semua asa yang ada, hanya penolakan yang ku dapat.
“Maafkan aku Angga, Aku hanya menganggapmu sebagai seorang Kakak selama ini. Tak akan mungkin rasa itu berubah jadi perasaan yang lain!" ucapmu kala itu, dengan matamu yang mulai basah dengan air mata. Kau mengucapkan kalimat yang menghancurkan hatiku.
“Tapi aku bukan Kakakmu Cinta, Kita tak Sedarah. Walau bagaimanapun Aku tetaplah orang lain!” dengan putus asa Kucoba meyakinkanmu kala itu.
“Bagiku tak akan bisa berubah. Terlepas apakah Kita berdua sedarah atau tidak, Kau tetap Kakak terbaik untukku. Kau yang selalu melindungiku, bahkan dari Keluargamu sendiri. Aku tak ingin kehilangan sosok itu, Kakakku .... " dengan semakin terisak Kau menggenggam tanganku yang terasa semakin dingin.
Meski berat, pada akhirnya Aku hanya bisa berucap, “Baiklah, jika memang itu keputusanmu. Tapi Aku masih tetap berharap Padamu, tolong pandanglah Aku sebagai seorang Pria. Aku akan pastikan untuk selalu Melindungimu dari Apa pun dan dari Siapa pun yang mencoba untuk Menyakitimu!” dengan semakin putus asa Aku mencoba untuk meyakinkanmu yang saat itu tak bergeming dalam isak tangismu. Kau semakin menangis dalam pelukanku ... sebagai seorang Adik.
***
Seiring berlalunya waktu, ikatan antara Kita semakin kuat. Tak ada perubahan yang berarti dalam setiap tutur kata dan sikap manjamu atas pernyataanku sebelumnya. Seakan Kau coba meyakinkanku, dan Kuanggap sebagai penegasan bahwa memang Aku harus menyerah dengan Perasaanku.
Semua baik-baik saja … Bagimu, tapi tidak Untukku! Aku semakin tersiksa, karena nyatanya di mataku Kau tetaplah orang yang Kucintai, bukan cinta sebagai Kakak dan juga bukan hanya cinta sebatas kata, seperti namamu.
Aku yang tumbuh dengan cinta yang besar untukmu, tak pernah membiarkan Kau bertemu dengan Orang-orang terdekatku yang mungkin bisa merenggutmu dariku.
Hingga tanpa sadar Aku lupa pada Adi Sahabat kecilku, yang sudah lama tak berjumpa karena pendidikannya di Luar Negeri. Dengan bodohnya Aku mengenalkanmu padanya, yang tentu saja membuat Ia langsung terpikat pada wajah sendu milikmu yang selama ini mampu meneduhkan hatiku yang sering emosi dan kadang hilang kendali atas perlakuan Keluargaku pada Dirimu.
Wajah sendu Milikmu yang selalu bersemu merah saat bertemu Adi, caramu menatapnya yang seakan tak menyadari kehadiranku diantara Kalian. Begitupun Adi yang selalu tersenyum hangat Padamu, memperhatikan setiap gerakmu dengan tatapan teduhnya. Semua itu menyadarkanku, bahwa Aku telah kehilanganmu. Tepat di depan mataku sendiri.
Hatiku hancur berkeping-keping saat Kau dan Dia meminta Izinku untuk hidup bersama selamanya. Aku hanya bisa menangis dalam hati, namun bahagia melihat senyum manismu kala itu. Senyum yang hanya bisa Kurindukan dalam setiap malam-malam kerinduan, yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi sepiku.
***
Tapi cerita pilu itu kini telah usai Cinta, sekarang Kau adalah milikku. Kita lupakan masa lalu yang pahit itu, nyatanya Aku yang mendapatkanmu seutuhnya. Tak ada lagi yang bisa memisahkan Kita, termasuk Adi.
Bicaralah Cinta, katakan tentang perasaanmu kini! Aku ingin mendengar suaramu yang Syahdu di telingaku saat Kau memohon untuk Melepaskan Adi kekasih hatimu yang kini telah terbaring kaku di gudang bawah tanah yang sudah tak terpakai lagi. Entah sampai kapan Dia akan di sana. Aku tak perduli dan tak mau tahu.
Ayo bicara cinta! jangan hanya diam saja. Bicaralah seperti saat Kau memohon padaku untuk memaafkanmu, mengiba untuk diberi kesempatan kedua dengan putus asa.
Seandainya saja Kau mau membuka hatimu sedikit saja untukku, mungkin ceritanya akan berbeda.
Seandainya saja Kau berpaling dari Adi dan datang dalam pelukanku, mungkin sekarang Pria yang baik hati itu sedang tersenyum ceria di tempat yang hangat. Bukan terbaring di Gudang yang dingin dan tak berpenghuni.
Tapi semua sudah terjadi, jangan salahkan Aku yang telah melakukan semua ini. Berulang kali Aku mencoba membuat hatimu tergerak untuk menerima cintaku, namun berulang kali pula Kau menolakku dan malah meminta untuk Ku lepaskan.
Kini Aku memang melepaskanmu Cinta! Kulepaskan semua Ego dan Perasaanmu bersama Nyawamu dari Raga yang kini terbujur Kaku di sampingku. Bicaralah Cinta ,,, BICARA!!! JANGAN DIAM SAJA ....
SELESAI
-‐------------------------
Terimakasih telah membaca novel ini, jika suka mohon dukungannya dengan like, rate dan vote yaa… biar Author lebih semangat nulisnya🤗
Serta tolong sampaikan kritik dan sarannya juga jika ada kesalahan dalam penulisan. Ditunggu dalam kolom Komentarnya yaa… happy reading😊
"Pesen nasi goreng Seafood satu ya Mbak, terus nasi ayam kremes satu, es teh manisnya dua."
"Baik Buk. Harap tunggu sebentar ya, akan segera kami siapkan."
Demikianlah sedikit percakapanku dengan Pelayan di Restoran terkenal dekat Kompleks Rumahku ini. Meski sudah buka selama enam bulan, namun ini pertama kalinya Aku bisa datang makan malam di sini hanya berdua dengan suamiku, Mas Amir.
*
Bukan karena tak ingin, tapi sulit menemukan waktu yang tepat untuk bisa berdua. Setelah melahirkan Putra ketigaku, Aku lebih fokus untuk mengurus Dava sendiri, tanpa bantuan babysitter. Mas Amir yang juga sibuk dengan pekerjaannya, jarang mendapatkan waktu luang untuk sekedar makan malam berdua seperti dulu.
Jika makan bersama dengan kedua Putriku Davina dan Diana Kami sudah sering, namun mungkin Aku yang terlalu melankolis dan ingin bernostalgia dengan Suamiku seperti saat masih berstatus sebagai Kekasih.
Ditambah lagi, emosiku yang sering naik turun belakangan ini mungkin disebabkan oleh babyblouse setelah melahirkan. Membuat Mas Amir yang sepertinya mengerti akan keadaanku, sejak siang tadi mengambil inisiatif dengan sedikit memaksa untuk makan disini.
Beruntung malam ini Ibu Mertua menginap di Rumah, kangen Cucu katanya.
*
Walau dengan cuaca yang kurang bersahabat, tapi Suami tetap bersikeras untuk makan di Luar, "Lebih romantis katanya .... " akhirnya dengan berlindung di bawah payung Kami berjalan berdua di bawah rinai hujan yang turun dengan tenang, seolah merestui perjalanan Kami. Malu, tapi Aku bahagia. Suamiku hanya tersenyum sambil memeluk bahuku mesra.
Setelah perjalanan romantis di bawah hujan itu, kini saat semua pesanan Kami sudah ada di depan mata. Sosok Suami yang hangat dan romantis itu, menguap di bawa tetesan hujan.
Kulirik kiri kanan, banyak Pasangan entah Suami Istri seperti Kami atau sebatas sepasang Kekasih. Yang pasti Mereka terlihat Romantis, saling memperhatikan. Berbeda dengan yang di depanku, Mas Amir makan dengan lahapnya, tanpa memperhatikanku. Nafsu makanku hilang, Aku hanya menatapnya makan.
"Mama gak makan?" Akhirnya ia bertanya padaku, setelah satu porsi nasi Ayam kremesnya habis, dan kini sedang menunggu soto ayam yang baru saja dipesannya.
"Dah kenyang Pa!" jawabku singkat. Tanpa menatap matanya.
"Kenyang? Kok bisa Ma? Kan tadi Mama belum makan di Rumah?" dengan lembut Ia bertanya padaku dan mencoba untuk mengangkat wajahku yang tertunduk, dengan memegang daguku yang terpaksa Kuturuti.
"Nanti Mama bungkus aja Pa ... makannya di rumah aja .... " kembali kujawab singkat pertanyaannya. Kini sambil menatap wajahnya yang sudah mulai berubah.
"Jangan gitu dong Ma, ngapain kita kesini kalo akhirnya makannya di Rumah juga? Makan ya Ma, nanti Mama sakit lo. Kalo Mama gak makan, ya udah ... Papa gak akan ngajak Mama makan di Luar lagi!" Mas Amir mengucapkan kalimatnya dengan suara pelan, namun tegas dan dengan tatapan tajam.
Aku tahu jika pandangannya seperti sekarang ini, berarti ia tidak sedang main-main dengan ucapannya. Aku yang tadinyan kesal dengan ketidak -peka-annya, akhirnya harus mengalah. Dan menyantap makananku pelan, dengan sedikit rasa kesal di hati.
***
Menu soto ayam yang Suamiku pesan akhirnya datang juga, dan sekali lagi Ia asyik dengan makanannya dan Aku pun masih dengan acara makan nasi goreng yang belum usai. Kami berdua makan dalam diam.
Sudah seharusnya memang, makan tanpa bersuara. Tapi bukan ini suasana yang Ku mau ... tapi yah ... sudahlah ... Aku hanya bisa menghela nafasku dalam.
Usai makan, Akupun langsung keluar dengan banyak pikiran dalam benakku. Sesampainya di depan pintu keluar, kulihat ada beberapa payung dalam tempat penitipan payung pengunjung, dan payungku tak ada di sana. Iya ... payung hitamku. Mungkin sudah tertukar dengan salah satu Pengunjung.
Usai memilih akhirnya Ku ambil payung bermotif bunga, setelah kupastikan di dalam tak ada yang memilikinya. Maka keputusanku memilih payung ini sudah bulat. Iya ... pasti pemiliknya salah ambil tadi. Begitu pikirku.
sesampainya di luar Restoran, kubuka payung bermotif cantik ini ... dan --- seketika rambutku basah, terkena rinai hujan. Ternyata payungnya berlubang sangat besar di atas.
Saat Aku sibuk membersihkan rambutku dari air hujan, tiba-tiba ada yang memayungiku dari belakang. Kutengok wajahnya dan Aku hanya terpaku, Dia adalah Suamiku.
Benar juga, karena pikiranku sedang kacau tadi, Aku lupa bahwa Suamiku masih menunggu makanan yang akan Kami bawa untuk Mertua dan Anak-anakku di rumah. Oh, betapa malunya Diri ini dibuatnya.
"Tak semua yang terlihat indah itu sempurna Ma," ujarnya sambil tersenyum dan mengandengku pulang.
Wajahku rasanya panas seketika, Aku malu sekaligus sedih dan bahagia. Hanya karena keegoisanku Aku bahkan lupa sosoknya yang hangat dan selalu ada Untukku.
Aku lupa bahwa hanya untuk mengajakku makan di luar hari ini, Ia lembur di kantornya hingga melewatkan makan siangnya.
Aku bahkan lupa, tadi tanpa sengaja mendengar pembicaraannya dengan Mertua yang berterimakasih karena meluangkan waktu untuk menginap di Rumah walau hanya sehari, sekali lagi hanya untuk menyenangkanku.
Dan masih banyak kehangatan lainnya yang sempat Aku lupakan, hanya karena tak mengajakku bercerita hal-hal yang tidak penting. Cairan beningpun turun tak bisa Ku bendung, "Maafkan Mama Pa, dan ... TERIMAKASIH untuk semuanya." Bisikku padanya yang dijawabnya dengan senyuman dan anggukan.
Sambil mengacak rambutku pelan Dia bisikkan di telingaku, "Sama-sama Ma, Papa juga minta maaf karena jarang meluangkan waktu dengan Mama. Papa juga Jarang bilang Terimakasih pada Mama yang sudah bertahan dengan semua kesulitan Kita selama ini, jadi Mama yang hebat untuk Putra-Putri kita. Tak pernah mengeluh, meski Papa tahu betapa capeknya Mama dengan semua aktifitas mengurus rumah dan memperhatikan Anak-anak saat Papa tidak di rumah. Maafkan Papa dan TERIMAKASIH juga Mamanya Anak-anak, dan semoga selalu kuat seperti ini selamanya," sambil mengecup mesra pucuk kepalaku, dan Ku jawab ucapannya tadi dengan semakin memeluk erat pinggangnya sambil tersenyum dan mengaggukkan kepalaku berulang kali, di bawah payung yang kini makin terasa hangat.
SELESAI
---------‐---‐------------------
Terimakasih telah membaca novel ini, jika suka mohon dukungannya dengan like, rate dan vote yaa… biar Author lebih semangat nulisnya🤗
Serta tolong sampaikan kritik dan sarannya juga jika ada kesalahan dalam penulisan. Ditunggu dalam kolom Komentarnya yaa… happy reading😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!