NovelToon NovelToon

Putri Yang Hilang

Part 1 Juna di PHK

Author POV

Pagi ini Hardiansyah datang ke kantor perusahaan Wisesa grup dengan tak bersemangat, Jono supir yang sangat setia hatinya mulai merasa tak nyaman, apalagi ia tak sengaja mendengar keluhan bos nya saat berangkat ke kantor.

" Tante Vera sama Manyu akan ke rumah nanti siang," sambil narik nafas panjang, dan raut wajahnya terlihat tak bersemangat.

" Jon, tolong nanti sekitar jam 10, Juna supaya ke kantor ku, terus kamu cepat cepat pulang ya." Jono bingung, dia tak bisa protes pada bos yang selama ini telah mempercayai nya, sehingga iapun hanya bisa mengangguk serta menurut perintah bosnya, yang ia ikuti selama bertahun tahun. Saat di kantor ia menuju ruang Juna dan mengatakan yang diperintahkan oleh Pak Hardiansyah, dan ia terus pulang, minta naik car online, tadi kunci mobil telah diminta oleh Pak Hardiansyah.

Sementara itu di ruang Pak Hardiansyah, sekitar jam 10 menatap lesu Juna yang telah duduk didepannya.

" Pa, apa salahku?" protes Juna pada Papa mertua yang tiba tiba memanggilnya ke ruang untuk menemuinya, dan Pak Hardiansyah menyodorkan amplop, Juna membuka amplop selembar kertas didalamnya diambil terus dibuka lalu dibaca, isinya dirinya di PHK, mulai jam ini harus meninggalkan pabrik, ia sangat terkejut dengan pemberhentian sepihak dari mertuanya, Juna bangkit mau protes pada sikap Papanya Alissa.

" Paa!" ucap Juna, hampir saja telapak tangannya di hantamkan ke meja di depan mertua, tetapi di tarik lagi, setelah melihat mata Papanya sayu, juga kosong.

" Paa!" Juna mengulangi panggilannya, Papa hanya menatap satu arah, akhirnya Juna memberanikan diri dengan melambaikan tangan di depan wajah mertuanya.

" Juna, cepat pulang, kami hanya ingin melindungi kalian!" usir Papa.

" Papa!" ucap Juna.

" Cepat pulang, bawa istri dan anakmu pergi jauh!" usir Pak Hardiansyah, ia telah bangkit dengan mendorong tubuh Juna, membuat Juna menabrak kursi tamu yang ada di ruang kantor Papanya, dan dia keluar kantor dengan bingung, wajahnya menunduk lesu untuk menuju ruang parkir mobil, Juna dengan membawa barang barang milik dirinya keluar dengan menyetir mobil penuh tanda tanya besar.

" Tak apalah aku di PHK, insyaAllah simpananku selama kerja di pabrik Papa mertua bisa untuk hidup dengan keluarga kecilku," guman Juna, cuman ia tak habis pikir, tiba tiba Papanya mem PHK nya.

" Ku lihat Papa sangat gelisah, kawatir padaku juga ke Alissa sama Aruna," gumannya lagi, sampailah ia di pintu gerbang.

" Koq sepi, tak ada satpam di pos?"Juna mulai gelisah, tentu ada yang membahayakan pada keluarga disini, ia hanya meletakkan mobil di depan teras, hatinya sudah mulai tak nyaman, Juna yang sangat peka dengan kegelisahan Papanya di kantor, berusaha celingukan kesetiap sudut rumah bahkan CCTV yang ada di setiap ruang jadi perhatian juga.

" Deee!" karena kawatir ia memanggil dari ruang tengah, rumah menjadi sepi, ART juga sudah tak ada, hanya Jono sama Isah istrinya yang menghampirinya.

" Den!" Juna hanya menatap mereka berdua terus masuk kamar menghampiri istri yang ia cintai, dan tiba tiba Mama membuka pintu kamar, saat Juna memeluk erat tubuh Alissa yang juga bingung, setelah Juna menceritakan dirinya tak kerja lagi di pabrik Papa.

" Cepat pergiii kalian, jangan datang lagi ke rumah ini!" usir Mama histeris.

" Maaa!" ucap Alissa.

" Cepaaatt, kemasi barang barang muuu!" pinta Mama, matanya merah, dan mereka hanya bisa menuruti perintah Mama, sedang Aruna telah di bawa Isah sama Jono lewat pintu samping.

" Ada apa ini Maa?" jerit Alissa.

" Jangan banyak tanya, cepat kalian nyusul Aruna, jangan bawa mobil lewat pintu dibalik lukisan!" usir Mama.

" Ayo Ma, ikut pergi!" Alissa menarik tangan Mama, sambil terisak.

" Tidaaak, aku mau menunggu Papa, kalian cepatt pergiii!" desak Mama, Alissa dan Juna tak bisa berbuat apapun, tetapi hatinya sangat gelisah, Juna dan Alissa tidak menyusul Isah sama Jono, keduanya bersembunyi di balik lukisan besar, di salah satu ruang yang di belakangnya berupa pintu baja, yang sulit di dobrak kalau sudah terkunci, dan di dalamnya lorong menuju rumah Alissa, di komplek rumah padat penduduk.

Kedua orang itu saling berpelukan bersender di pintu, sayup sayup terdengar suara orang masuk.

Sementara di ruang tengah Hardiansyah beserta istri, sudah tak berdaya menghadapi ibu tiri dan adik tirinya yang di kawal oleh 5 orang dengan wajah seeraam.

" Mas, kalau kamu masih pengin hidup serahkan perusahaan Papa padaku, dan tanda tangani surat penyerahan ini, kalau tak mau nyawa kamu dan semua anak maupun cucu jadi taruhan!" ancam Abimanyu.

" Cepaat tandatangani!" gertak Vera, Mamanya Abimanyu, dan Kiara istri Hardiansyah mendesak suaminya untuk menandatangani, ia tak memasalahkan hidup tak lagi bergelimpang dengan harta, yang penting masih bersama dengan suaminya, akhirnya dengan tangan gemetar Hardiansyah menandatangani penyerahan perusahaan pada adik tirinya.

" Manyu, dua orang ini dibunuh atau diusir saja!" tandas Vera.

" Sudah Ma, surat ini syah perusahaan jadi milik kita, kalau di bunuh bisa bermasalah, biar diusir saja supaya jadi jeemmbeel!" ucap Manyu.

" Pergi kalian dari sini, kami masih berperikemanusiaan!" usir Vera, tangan Vera dan Abimanyu mendorong Kiara dan Hardiansyah sampai Kiara hampir jatuh, tetapi berhasil di tangkap oleh suaminya, keduanya pergi setelah semua aset aset diserahkan ke Abimanyu dengan membawa tas yang berisi baju dengan beberapa lembar uang tunai, tetapi mereka tentu punya simpanan di bank sehingga bisa untuk hidup, dan untung tasnya tidak di geledah. Keduanya pergi hanya berjalan kaki, sedang Alissa dan Juna yang mendengar dari balik pintu hatinya mulai tenang, karena kedua orang tuanya tak di bunuh, mereka terus berjalan lewat lorong masuk ke perumahan, dan keduanya mencari Isah sama Jono, tapi tak ada di rumah kecil yang terhubung ke rumah besar peninggalan kakek buyutnya.

" De, kita tinggalkan rumah ini juga, suatu hari mereka tahu kalau ada pintu keluar menuju rumah ini," ajak Juna, Alissa nurut, Juna prihatin melihat Alissa, yang baru melahirkan apalagi ASI nya sedang penuh, sehingga tubuhnya tak karuan rasanya, kebetulan malam sudah sangat larut, Juna mencoba menghubungi Papa, juga Mama demikian ke nomer Isah sama Jono, tak ada yang aktif, sementara nomer Juna dan Alissa untuk menghindari di lacak oleh Manyu beserta Vera telah di ganti.

Alissa dan Juna kebingungan tak bisa bertemu dengan Aruna yang dibawa Isah sama Jono.

" Mas, kita ke stasiun saja, siapa tahu bibi pulang ke kampung."

" Istirahat dulu di perumahan kita, dicari besok," rumah yang Juna miliki keluarga tak ada yang tahu juga, ia melihat Alissa kurang sehat, akibat ASI yang tak disuusuui oleh Aruna, terlihat besar dan keras.

" Sakit rasanya Mas, tadi bawa alat untuk nyedot kok," ucap Alissa.

" Tahan dulu De, aku pesen taxi dulu!" ucap Juna, dan taxi tak lama datang setelah Juna menghubungi, mereka di antar ke lokasi perumahan, taxinya sengaja tidak langsung masuk ke jalan depan rumah.

Sementara Jono sebelumnya telah mendengar kalau Manyu akan meminta perusahaan, kabar yang di dengar keluarga mau dibunuh, oleh karenanya keduanya ingin menyelamatkan Aruna, sehingga ia bawa ke Jogja kebetulan keduanya punya rumah disitu, sedang Manyu maupun Vera tak hafal pada keduanya, karena keduanya tak pernah ketemu, dan baik Hardiansyah maupun Juna tidak tahu kalau mereka punya rumah di situ.

Aruna tak rewel di kereta, kebetulan membawa suusuu baby, dan bibi memang sejak Aruna lahir ia yang merawat, sehingga tak mengalami kesulitan.

" Mas, akte Aruna belum jadi ya?" ucap Isah,

" Juna kemaren bilang mau buat besok," jawab Jono,

" Berarti belum sempat bikin?" ucap Isah.

" Iya belum, kan niatnya besok mau ke capil bersamaku!" ucap Jono.

" Demi keselamatan Aruna, dibuat kita!" ucap Isah, ia kawatir kalau orang orang suruhan Manyu mencari dan membunuh, karena mereka berpikir Juna serta Alisa nasibnya sama kaya Papa, Mamanya, sebab saat disuruh pergi oleh Mamanya, ditunggu sampai dua jam di rumah yang terhubung tak juga menyusul, akhirnya Jono dan Isah keluar membawa Aruna, tentu dengan wajah sedih keduanya keluar dari rumah itu, Isah sempat menangis membayangkan pembunuhan keluarga Hardiansyah, apalagi Isah waktu masih gadis dialah yang merawat Alissa sejak umur 11 tahun, kini Isah usianya sekitar 35 tahun, dia ikut Papanya Alissa sejak umur 17 tahun, terus di jodohkan dengan Jono supir pak Hardi.

" Iya nanti dulu, kita harus tahu dulu tentang nasib mereka berempat," Jono menanggapi ide Isah agar akte Aruna nama orangtuanya mereka,

" Mas, tentu tindakan mereka tak akan kebuka di media, bisa saja langsung di kubur di dalam rumah!" tandas Isah.

" Demi keselamatan Aruna lho mas," tandas Isah lagi.

" Besok, kalau kita sudah menetap di kampung itu," ucap Jono. Mereka sampai di stasiun di kota yang dituju, mereka langsung menuju ke rumah yang dibeli satu bulan yang lalu, sedang Aruna telah tertidur nyenyak.

Sementara Hardiansyah dan Kiara yang diusir Vera sama Manyu, berjalan menyusuri jalan di dekat rumahnya, sedih harus berpisah dengan cucu dan anak serta menantunya yang sudah kaya anak sendiri, Juna orang kepercayaan Hardiansyah di perusahaannya, dari mulai kerja sampai akhirnya dijodohkan oleh Hardiansyah dengan putrinya.

" Jun, putriku belum punya pacar seumurannya" ucap Pak Hardi.

" Bener Pak, putri secantik itu?" ucap Juna.

" Iya, kadang aku kawatir kalau malam malam diajak teman cewek keluar,"ucap pak Hardi,

" Boleh aku yang ngawal Pak? kalau Alissa malam malam keluar," pinta Juna.

" Bener Jun, kamu mau jadi bodiguard nya Alissa?" tanya pak Hardi.

" Iya mau Pak dengan senang hati."

Maka sejak itu Juna selalu jadi pengawal sekali gus sopir Alissa.

" Jun, aku kan cuma punya anak satu satunya, sementara umurku semakin tua."

" Bapak lagi curhat ya, agar Alissa cepet nikah," Juna masih muda kadang pemikirannya dewasa, iapun mengerti kegalauan bos nya.

" Kamu memang selalu tahu dengan yang ada di otakku," ucap Pak Hardi,

" Terus calonnya siapa Pak?"

" Coba Jun, carikan suami untuknya lewat biro jodoh," ucap Pak Hardi, Juna bingung dalam hati dia juga mau koq dengan Alissa, apalagi setelah dekat dengan Alissa ia benernya jatuh cinta padanya, cuma ia masih belum berani, abis Alissa anak bos nya sementara ia hanya orang suruhan, apalagi orang tuanya ekonominya tak sebanding dengannya, ibaratnya ia kalah dulu sebelum berperang.

" Atau kamu mau jadi suaminya?" wajah Pak Hardi merah kaya wortel, sedang Juna menunduk malu.

" Beeenaarr Paak?"Juna sampai tergagap dengan permintaan bos nya.

" Iya bener serius koq, aku ikhlas kalau Alissa diperistri kamu!"

" Paaakkk, aaakuuu...." belum selesai Juna ngomong terus di potong sama Pak Hardi,

" Sudah sana bilang sama Bapakmu supaya melamar!"

" Taapii Alissa apa mau Pak?"

" Alissa nurut sama kami," tandas Pak Hardiansyah.

Hardiansyah meneteskan air mata sambil berjalan menggandeng istrinya mengingat pembicaraan dengan Juna saat mereka belum menikah.

Sementara keduanya ditengah malam hanya berjalan berdua, sambil mencari Alissa, Juna juga Aruna beserta Isah dan Jono.

Part 2 Mereka Berpisah

Kedua orang yang berstatus suami istri yang telah berusia senja, jalan terseok seok pada tengah malam, di jalanan Ibu kota yang tak pernah sepi, lampu lampu jalan sebagai penerang kota tak membuat kedua orang itu berbinar hati nya, gelisah itu yang ada di dadaa keduanya, yang mereka pikirkan anak serta cucunya yang masih satu minggu usianya, kedua orang itu masih diam, lalu untuk menenangkan hatinya yang tidak karuan mereka duduk di halte.

" De, duduk sebentar untuk menata hati, " Kiara menurut, lalu duduk di bangku besi panjang.

" Mas, mereka sudah pergi lama tentu sudah jauh," dia merasa nyaman dengan suami dan tak merasa sedih kini suami jatuh miskiin, apalagi Kiara juga punya tabungan sehingga tak bingung untuk hidup sehari hari.

" De, kita ke Cilacap saja ya, Vera cs tak tahu kita punya rumah disana."

" Naik kereta Mas?"

" Iya, cuman ini masih malam kita tidur di rumah dekat stasiun saja," rumah yang akan dituju oleh keduanya tak diketahui oleh Vera cs, rumah kecil yang hanya dipakai untuk menginap berdua kalau ingin pergi naik kereta, bahkan Alissa, Juna apalagi Paman sama Bibi tak ada yang tahu.

Memang baik Hardiansyah, Juna demikian Jono punya rumah kecil, cuman mobil bisa masuk ke jalan depan rumahnya, dan di masing masing rumah ada mobil, karena mereka kalau datang seringnya pakai taxi bahkan tetangga tak tahu kalau Hardiansyah seorang pengusaha besar, demikian Juna, tetangga tahunya sama ekonominya dengan mereka, karena keseharian kalau disitu sederhana, sebab baik Hardiansyah juga Juna ingin seperti tetangga hidupnya.

Pagi langit Jakarta gelap tertutup kabut, keduanya hampir dini hari baru rebahan di kasur, sehingga tak bisa pagi itu menuju ke rumah yang ada di sebuah kampung di Cilacap, Kiara pagi ini bangun melakukan kegiatan kaya orang orang di perumahan ini, bersih bersih rumah juga menyediakan sarapan untuk berdua.

" Mas, aku goreng bandeng," di kulkas sebelum Alissa melahirkan baru diisi penuh, sehingga tak binggung untuk makan.

" Bikin teh lemon De!" pinta suami.

" Iya ini aku sudah buatkan."

" Mandi dulu Mas, baru sarapan!"

" Nanti saja pingin santai menikmati minum teh," Kiara ikut duduk di sebelah suami sambil lihat orang perumahan keluar bekerja juga ada yang mengantar anak ke sekolah.

" Mas, nomer kita di off,"

" Iya, terutama nomer yang satu, kalau nomer yang hanya khusus untuk berempat juga di off tadi malam," ucap Hardiansyah.

" Sekarang di buka Mas, ini punyaku juga."

" Ada sms dari Juna, dia belum ketemu Jono," kedua orang itu menjadi resah, takut kalau Jono sama Isah yang bawa Aruna di tangkap oleh anak buah Manyu terus dieksekusi.

" De, orang orang di rumah besar tahunya keluarga kita mau di bunuh!"

" Katanya cuman Alissa sama Juna yang belum dengar rencana Manyu, makanya kemaren kedua orang pada bingung," cerita Kiara.

" Iya, aku saja baru tahu kemaren kan, " jawab Hardiansyah.

" Di bales smsnya De, untuk sementara kita jangan telponan dulu dan jangan memberitahu keberadaan kita, yang penting kita bisa berhubungan pakai ponsel!" ucap Hardiansyah lagi, Kiara menuruti perintah suami.

Demikian yang terjadi pada Juna, semalaman menjagai Alissa yang tak bisa tidur, ia selain menangisi Aruna juga ASI nya terasa sangat sakit karena tidak disusuuu oleh babynya.

" De, aku menghubungi orang tua Isah, katanya enggak pulang, juga pada Jono," ucap Juna, berdua di pagi itu sebelum berangkat ke kampung Isah juga Jono telah telpon dulu sama orangtuanya.

" Mas, semoga Jono sama Isah tidak ditangkap orang orang Manyu," ucap Alissa, ia gemetaran sambil menahan ASI penuh, juga resah di hatinya mengingat tentang Aruna, bagaimanapun juga mereka terpukul hatinya harus kehilangan kontak dengan Isah sama Jono yang membawa Aruna, apalagi keduanya lagi bahagia bahagianya dengan hadirnya baby pertama.

" De, kamu tiduran saja, biar aku yang masak," ucap Juna, di dalam kulkas masih ada bahan bahan terutama telor, juga di frizer banyak bahan lauk beku.

" Aku buatin juz jambu biji De," ucap Juna lagi, Alissa tiduran karena tubuhnya tidak nyaman oleh ASI yang penuh, walau otaknya tak bisa tenang memikirkan Aruna.

Sementara Jono dan Isah yang sangat sayang dengan Aruna merasa tenang bersembunyi di Jogja, rumah tak sengaja mereka beli, karena Hardiansyah satu bulan yang lalu memberi hadiah uang sangat banyak padanya, kedua orang itu tulus juga ikhlas selama puluhan tahun, terutama pada Jono, sedang Jono memilih di Jogja karena transportasinya mudah baik lewat udara maupun darat, kebetulan Jono baru saja ke Jogja sehingga rumah sudah bersih, dia sangat kaget di beritahu Isah agar cepat pulang ke Jakarta saat itu.

"Ada berita Vera dengan anaknya mau meminta semua aset aset milik kakek Hardiansyah, ART, juga Satpam sudah pada minta pesangon terus pada kabur, karena gosip keluarga Hardiansyah mau di bunuh," pesan dari Isah.

" De, kamu tetap berada disitu, kita lebih baik mati bersama majikan, jangan beritahu pada Juna sama Alissa, " pesan Jono.

" Mas, jangan melamun!" Isah sambil menggendong Aruna yang sudah wangi juga kenyang duduk di kursi panjang sebelah suami.

" Iya, aku ingat kemaren baru datang kesini, terus langsung keburu buru pulang Jakarta setelah baca sms mu."

" Aku jadi kepikiran mereka berempat, coba nonton berita di tv, siapa tahu ada berita," Isah ambil remote di meja depannya dan memilih salah satu chanel berita.

" Mereka tentu tak mau melakukan pembunuhan selama Pak Hardiansyah menyerahkan semua asetnya," tandas Jono.

" Semoga Mas, kalau di nalar tentu iya bener katamu," jawab Isah.

" Beli nasi gudeg saja ya?" ucap Jono terus bangkit menuju dasaran mbok Tujinah di pojokkan jalan depan rumahnya.

" Lengkap ya mas, ayam, telor juga kreceknya," tandas Isah.

" Aruna jangan ditinggal kalau tidak tidur!" ucap Jono.

" Iya," Isah sebenarnya mau buat minuman kopi kesukaan Jono, juga teh hangat buat dia karena Aruna tak tidur sehingga Isah hanya fokus pada baby Aruna.

Satu bulan Isah sama Jono merawat Aruna, sejauh ini di media tak ada kabar berita mengenai Hardiansyah, istri juga anak sama menantu, sedang kedua orang itu tetap bersembunyi, Jono mau ngojeg sepeda motor masih ragu ragu kalau ketemu orang orangnya Manyu, dan saat Jono dapat hadiah karena kesetiaan juga keikhlasan ikut Hardiansyah tak hanya untuk sekedar beli rumah saja.

" De, tanah sebelah bisa untuk buat kamar untuk kost ya?" ucap Jono.

" Apa punya uang untuk buat kamar?"

" Ini masih cukup banyak yang di kasih pak Hardi, bisa untuk biaya sekolah Aruna kelak."

Sementara Abimanyu dengan Vera mengambil alih perusahaan, semua pegawai hanya diam, kasak kusuk di belakang tentang keberadaan Hardiansyah dan Juna juga pada takut.

" Siapapun bos nya aku tetap ngikut saja," kata Anintya bagian keuangan.

" Iya benar, kita hanya karyawan yang penting kerja setiap bulan dapat upah layak," jawab Tari.

Dan kebijakkan pada perusahaan yang di ambil alih oleh Manyu meneruskan Hardiansyah, sehingga para karyawan tak merasa keberatan pimpinan diambil alih oleh adiknya.

Dan para karyawan mereka tahunya saudara kandung, sehingga tak ada yang bisik bisik dibelakangnya.

" Ma, kita tetap cari Juna, dia bisa berbahaya bagi kita, kalau Hardi tak perlu dirisaukan bentar lagi dia sama istrinya yang sudah tua juga mau menghadap yang diatas!" ucap Manyu,

" Juga kita tak melihat bayinya, itu dulu anak Juna cowok atau cewek!" ucap Vera,

" Aku tidak tahu juga!" ucap Manyu.

Vera dan Abimanyu hanyalah istri kedua dari ayah Hardiansyah, sebenarnya keduanya punya hak mengelola bersama, bahkan Hardiansyah selalu melibatkan Abimanyu untuk bekerja bersama di perusahaan nenek moyangnya, tetapi keserakahan Vera agar Manyu yang jadi penguasa tunggal dengan harus menyingkirkan Hardiansyah juga anak serta cucunya, dan Manyu yang selalu takut pada Mamanya menurutinya.

" Manyu, kamu lihat si Juna, dia hanyalah seorang menantu tetapi Hardiansyah lebih mempercayakannya dari pada kamu!" tandas Vera.

" Iya Ma, dia memiliki kemampuan untuk memajukan perusahaan," ucap Manyu.

" Kamu malah membela Juna," lantang Vera.

" Buuukaan begitu Ma, ok ok maaf, iya bener kata Mama, Juna kaya anak emasnya Hardi!" tandas Manyu, walau Manyu mengakui kalau Juna punya kemampuan dalam pengembangan bisnis.

Hampir setiap hari Vera selalu membisik bisiki kalimat itu berulang ulang akhirnya kerja sama Vera dengan Manyu juga para pendukungnya bisa mengusir Hardiansyah serta Juna agar hengkang dari Wisesa grup, kakeknya Hardi juga Manyu dulu yang berjuang dari nol.

Sementara itu Juna dan Alissa masih berada di Jakarta, Juna pernah mencoba meng on kan ponselnya, nomer nomer tak di kenal muncul, dengan nada ancaman pembunuhan pada keluaga istri, anak, mertua bahkan keluarga Juna apabila sampai berani muncul di publik.

" De, kita keluar Jakarta saja," ajak Juna, ia telah memberitahu istrinya tentang ancaman itu.

" De, kita sudahi saja pencarian Aruna, semoga sama Isah dan Jono mendapat pendidikan yang baik," lanjut Juna.

" Mas, aku tadi nyoba kirim uang ke rekening Isah, bisa masuk," ucap Alissa, dan keduanya percaya Isah sama Jono ada di suatu daerah di pulau Jawa.

" Mas, di nomer lamamu muncul pesan dari Jono atau Isah?"

" Enggak ada mereka, kita positif saja De, Isah dan Jono orang setia pada Papa," ucap Juna, dia berusaha menghibur istrinya yang sangat sedih hatinya karena harus terpisah dari Aruna. Kalau dengan kedua orang tua masih bisa berhubungan ponsel, dan sampai saat inipun Alissa sama Juna belum tahu tentang tempat tinggal Papa serta Mamanya, mereka masing masing sampai waktu yang tepat dan aman baru memberi tahu tempat tinggalnya, untuk sementara kalau pengin ketemu kencan di suatu tempat yang aman.

Juna dan Alissa kalau pengin keluar, selama satu bulan di Jakarta selalu pakai kostum yang tak di kenali orang.

" Mas, ke rumah Bandung atau Jogja?"

" Jangan disitu, orang orang Manyu banyak berada di dua kota itu!"

" Di Solo saja Mas!" pinta Alissa, di kota ini ada rumah kecil letaknya agak di dalam, ada kelebihan tanah bisa untuk bertanam atau beternak hanya untuk kegiatan sehari hari biar tak jenuh sehingga bisa terhibur agar tak berpikir terus tentang Aruna.

" De, kamu bisa hamil lagi besok kalau sudah tiga bulan dari melahirkan Aruna," ucap Juna, Alissa saat melahirkan Aruna tanpa operasi cesar, ia ingin merasakan sakitnya saat lahiran.

Juna menyetir mobil ke Solo hari itu dengan kecepatan standar.

Part 3 Siswa Pindahan

Bertahun tahun Juna bersembunyi beserta keluarga, Juna dan Alissa dalam persembunyian selalu cari Aruna hanya mampu lewat media, kalau mereka datang ke rumah di beberapa kota hanya di rumah tak berani ke mall atau ke pasar besar, kebutuhan sehari hari mereka beli di toko kecil atau di warung yang ada di lingkungan rumah nya, dan di jalankan sampai anak kedua dan ketiga tumbuh dewasa, sebenarnya bisa saja mereka tanya ke bu Sanif tentang Isah dan Jono, tetapi rasa takut pada ancaman Vera dengan mata mata di berbagai tempat itu yang membuat Juna tidak berani bertemu banyak orang.

Sementara itu pada liburan tahun ajaran baru Isah mengajak keluarga kecil berlibur ke kampung orang tua.

" Sah, gadismu cantik lho," kadang Isah serta Jono kalau ada yang nyanjung pada putri semata wayang jantungnya deeeg.

" Memang Isah sama Jono juga tak terlalu jelek amat kok," ucap Tari, teman SD Isah.

" Iya donk, buatnya penuh perjuangan,"ucap Isah.

" Kulitnya kaya kamu Sah putih bersih," sanjung Saniah.

" Besanan Sah, sama aku,"ucap Mely.

" Mba, Aruna anak pembantu," ucap Isah, ia menunduk karena merasa tak sepadan dengan Mely istri juragan paling kaya di kampung,

" Kalau anaknya pada mau, orang tua tak bisa apa apa bukan?" ucap Mely lagi.

" Cuman aaakkuu mindeer mba, membayangkan saat di pelaminan," ucap Isah nunduk lagi, memang Mely hanya ngeledek Isah saja, karena dalam hati tentu tak akan boleh anaknya yang bontot menikah dengan anak Isah.

" Menurunkan status donk," guman Mely di hati, bibirnya mencibir, bahkan ia di hati tertawa terbahak bahak bisa ngeledek Isah.

Aruna memang tumbuh sebagai gadis yang cantik, juga cerdas, dia sudah berumur 16 tahun sudah lulus SMP, malah bisa di terima sekolah di SMA terkenal di kota gudeg, dan ia hanya tahu orangtuanya ialah Isah sama Jono, bahkan keluarga di kampung Jono maupun Isah tahunya Aruna putri mereka.

Sementara selama ini, keluarga Hardiansyah sengaja tak menghubungi Isah maupun Jono, mereka belum berani berinteraksi dengan banyak orang, mereka menjadi orang orang yang tertutup, karena ingat dengan ancaman Vera, dan tetangga yang hampir orang orang sibuk, penduduk kebanyakan pedagang di pasar sehingga pagi pagi habis subuh sudah berada di pasar, pulangnya menjelang Ashar, sehingga tak mempedulikannya, apalagi Hardiansyah sudah tua, walau belum mencapai umur 60 tahun, dan lingkungan yang penting kalau ada iuran bayar, demikian Juna sama Alissa di Solo, yang sudah nambah anak, adik Aruna cewek hanya selisih satu tahun dan adiknya lagi cowok selisih tiga tahun dengan Arine, Juna dan Alissa selalu mengantar jemput dua putra putrinya, mereka berusaha melindungi dari Vera terutama, demikian Isah sama Jono keduanya selalu ngantar jemput Aruna sekolah.

" Yah, di SMA nya aku mau naik motor sendiri ya," ucap Aruna.

" Run, ayah enggak tega di kota kamu naik motor, coba deh belajar nyetir mobil saja," ucap Jono.

" Lah Ayah!"

" Abis kamu anak satu satunya ayah bunda, Run," tandas Isah, Aruna masuk kamar, ia ingin kaya teman teman tidak setiap hari diantar jemput berdua sama ayah bundanya.

" Bunda juga kasihan sendiri di rumah kalau aku hanya diantar ayah, enggak apalah biar bunda tak melulu di rumah," Aruna yang tadinya agak kesal dengan ayah bundanya menjadi kasihan juga.

Satu tahun berlalu, Aruna naik klas 11 IPA 2, klas di rolling, dari klasnya saat klas 10, yang masuk klas 11 IPA 2 hanya 7 anak cewek dan cowok, dan di klas 11 IPA2 mau ada siswa pindahan dari Jakarta katanya cowok.

Di SMA ini rata rata anak berotak encer, tidak pandang ekonomi, yang penting cerdas, oleh karenanya tak pernah ada siswa terlambat, ataupun bolos tak ikut pelajaran hanya duduk duduk di kantin, tak ada sama sekali.

" Run, siswa baru dari Jakarta katanya tampan lho!" seloroh Sisi, dia teman satu klas 10 IPA 1."

" Kamu sudah lihat Si?" tanya Aruna,

" Belum juga, Melan tadi lihat di antar mobil sport,"ucap Sisi.

" Anak orang kaya berarti itu Si," ucap Arun.

" Run, bener tampan banget," Sisi dan teman yang lain berdiri saat siswa baru datang bersama dengan Radhit.

" Senyumnya, menawan, jadi gemes pengin nyubit pipi imutnya," seloroh Jeni,

" Namanya Affandra Varen," celetuk Wulan di atribut nama.

Yang menyambut siswa pindahan dari Jakarta di klas IPA 2 rata rata cewek.

" Duduk di depan Ndra," ucap Andra,

Aruna kaget, karena Fandra duduk di bangku sebelahnya, Arun memang hari pertama masuk agak ketelatan, sehingga dapat bangku di depan sendiri, dan ia di klas ini memang paling terlihat melek sendiri,

" Aruna, seger kamu jadinya duduk deket cowok tampan," seloroh Sesil, walau klas 10nya tak sekelas ia suka ngeledek teman dari mulai masuk ke kelas tadi ia sudah membuat teman pada ketawa.

Affandra tersenyum melihat sepintas wajah Aruna yang agak memerah.

" Sil, tuh murid baru jadi melihatku," Aruna ikut ngeledek,

" Thing thing thing"

" Listriknya mati hari pertama masuk ," celoteh para siswa,

" Wali kelas nanti sehabis upacara siswa baru masuk mau pembentukan pengurus klas," ucap Angga.

" Wali kelas kita bu Siska Rahayu ya," ucap Agha.

" Iya tuh, di daftar siswa yang nempel di kaca jendela," ucap Indri. Affandra walau anak Jakarta tetapi murid baru iapun lebih banyak menunduk dengan tersenyum dan sesekali melirik Aruna, batinnya berkata,

" Aruna kamu cantik banget sih, aku kok hatinya sudah beda ke kamu," walau mereka belum pada kenalan tentu sudah tahu donk namanya abis hem putihnya ada atribut nama bordir, si Ffandra baru beberapa menit di kelas duduk di kursi sebelah Aruna hatinya sudah terpikat padanya, lucu bukan, ini kecepetan naruh hatinya donk, abis bagaimana lagi karena Aruna memang paling melek sendiri di kelas malah kayanya di sekolah ini, cerdas lagi, terus nada bicaranya lembut.

" Aaahhh," Ffandra mendesah lirih membayangkan wajah cantik sebelahnya yang lagi ngomong dengan Sesil di atribut nama, di belakangnya juga kadang mencuri pandang sama murid baru, keduanya sempat matanya bertubrukkan terus tersenyum menunduk, bel sudah 10 menit berlalu, ini hari pertama tahun ajaran baru, jadi guru guru ikut sibuk pada ke lapangan di tengah gedung kelas kelas, untuk mengadakan upacara siswa baru klas 10, tentu klas 11 dan 12 semua anak pada di dalam ruangan tak ada yang berada di luar, enggak enak banyak guru di lapangan disamping itu mereka memberi contoh pada adik kelas yang baru beberapa jam masuk ke sekolah ini, mereka masih berseragam biru putih, terlihat banget anak anak pilihan yang di lapangan itu.

" Ffan, di sekolah asalmu di Jakarta kalau hari pertama masuk ajaran baru suasananya kaya gini," ucap Aruna, walau lirih tentu Ffandra dengar abis bangkunya agak mepet hanya sebatas keramik 30 cm batasnya dengan meja Aruna, berarti meja Ffandra tidak lurus dengan belakangnya, ini lagi bebas sehingga meja meja siswa pada kaya ular tak beraturan karena para siswa di klas Aruna lagi pada ngobrol dengan teman teman terutama sama teman seklas 10 apalagi habis liburan panjang tak pernah pada ketemuan.

" Iya sama," senyum Ffandra ngomongnya sempat menatap wajah ayu di depan matanya.

" Uuuh daadaaku!" Ffandra ngeluh abis daadaanya tak bisa di ajak diam, jantungnya kok kenceng sih denyut denyutnya ditanyai gadis cantik Aruna, dia berusaha menyapu wajah putihnya dengan menggusar gusar hidung mancungnya, untuk mengurangi denyut kenceng daadaanya, karena Aruna.

" Iiih maaf Ffan!" Aruna bangkit dari kursi pinggul sebelah kanan nyenggol tangan kiri Ffandra, karena tangan Ffandra lagi menjulur di meja, sedang Aruna biasa milih kursi yang mepet tembok biar jam nyantai bisa nyender punggungnya ke tembok dinding, Ffandra yang kesenggol tangannya, justru yang dirasa tak hanya tangan saja bahkan yang paling ngerasa banget di dalam daadaanya.

" Iiya Ruun, tak apa," sempat ia tergagap, batinnya penginnya nyenggol nyenggol lagi.

" Sering sering saja nyenggol Run, aku tak nolak kok!" hatinya berkata, lha si Runa kemana kok berdiri, berjalan ke arah pintu, eemm ia buang sisa sisa oyotan pensil, dia tadi sambil cerita dengan Sesil sambil mengoyot pensil.

" Pensil kamu sudah di oyot Ffan," Aruna ngajak bicara karena ia belum ada yang ngajak bicara, sehingga Aruna yang disebelahnya ngerasa kasihan, bisa bisa mulut si Ffandra kaku donk.

" Iya belom," jawab Ffandra lirih.

" Mana tempat pensilmu, sini aku mumpung pegang pengoyot," Aruna jadi yang super aktif nich pada Ffandra, toh Ffandra semakin seneng dengan sikap Aruna, tangannya mengambil tas ransel di bawah kursi terus membuka jepitan tas, dan mengambil kotak pensil lalu di kasihkan ke Aruna.

" Ini gimana membukanya Ffan?" Aruna merasa kesulitan bukanya, akhirnya Ffandra berdiri terus narik kursi mepet dengan Aruna, dan memberitahu cara bukanya, keduanya cuek duduk mepet, toh teman teman lain juga lagi asyik bercerita sehingga tak ada yang memperhatikan, paling Sesil yang ikut nimbrung berdiri di belakang kursi keduanya.

" Tempat pensil mahal Run," ucap Sesil,

" Iya, semuanya serba baru, disini belum ada kaya gini," ucap Aruna,

" Untukmu mau Run," pinta Ffandra,

" Bener Ffan, lha alat tulismu mau diletakkan dimana, ohya tukaran dengan punyaku ya, cuman ini warna cewek juga sudah bladus," ucap Runa, nyerocos juga si Aruna kalau ngomong.

" Iya, enggak papa, kamu juga warna cowok," Ffandra tersenyum menyerahkan tempat pensil beserta isinya.

" Semuanya nih sama isinya?" tanya Aruna, ia sempat menatap wajah tampan yang berjarak dekat ini.

" Ok, klo gitu tukaran saja Ffan, ini punyaku beserta isinya juga," ucap Runa lagi, Ffandra tentu tak menolak pada cewek cantik berwajah putih mulus alami ini.

" Kamu kok cantiik banget Run," ucapnya lirih, Ffandra menunduk.

" Apaa Ffand," sempat tangan Aruna mencubit keras ke tangan Ffandra,

" Iih sakit lho," protes Ffandra,

" Awaas kamu kalau bilang gitu lagi," ancam Aruna.

" Mau diapakan?" tanya Ffandra,

" Mau nyubit sampai birulah,"

" Kukira maauu...." dasar Ffandra anak metrololitan walau anak baru, tetep berani sama cewek ini yang dari awal ia yang ngajak bicara terus.

" Mauuu apa?" matanya sempat melotot ke wajah tampan di depannya, Sesil yang ngerasa di cuekin kedua tangannya pegang kepala keduanya terus disatukan,

" Sesil, apaan kamu nich!" protes Aruna yang sempat pipi sama pipi menempel dengan pipinya Ffandra, Sesil di tabok perutnya sama Aruna, ia bener bener kesel sama Sesil.

" Awas Sil tunggu balasanku!" ancam Aruna selanjutnya, si Ffandra seneng donk sama perlakuan Sesil, dalam hati,

" Kenapa tadi hanya pipi sama pipi, kalau tadi aku menoleh tentu hidung atau mulutku yang nempel ke pipinya, aku kurang cerdas kali ini, emmm pipinya halus banget cewek ini," Ffandra kerasa banget bekasnya di pipi, walau ini bukan pengalaman pertama baginya, cuman ini lain banget kok.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!