"Abang pergi dulu ya dek. Kamu lanjutkan ke kuliahmu. Selesai Abang pendidikan, kita tunangan. Setelah itu kita nikah" janji Bang Rendra pada Nesya yang mengantarnya berangkat pendidikan tentara. Bang Rendra lolos test menjadi seorang perwira.
"Iya Bang. Nesya akan setia dan sabar menunggu Abang disini. Semoga Abang selalu sehat dan dalam lindungan Allah." Tetesan air mata Nesya tak dapat ia cegah lagi.
Bang Rendra menghapus air mata Nesya dan mengecup keningnya.
"Abang janji hanya akan pulang untuk menjemputmu ke pelaminan. Biar sekarang Abang kerja keras dulu untuk menghalalkanmu"
***
Empat tahun berlalu.
"Malam makrab mau bawa siapa Ting? Tanya Bang Rendra pada litting nya.
"Anne lah, siapa lagi?" Jawab Bang Wira.
"Mira????"
"Sudah putus." Jawab Bang Wira malas.
"Playboy cap kampret. Kemarin Mira, Sekarang Anne, besok siapa lagi?? Diah??"
"Mainan boleh banyak bro.. tapi kalau istri, mamanya anak-anak, cukup satu saja. Satu untuk selamanya" jawab Bang Wira.
"Mantaaapp bro..!!!!!!!"
***
Nesya begitu cantik dalam balutan gaun tertutup, ia berjalan pelan menghampiri Bang Rendra. Keduanya pun saling bertatapan sejenak. Sesaat kemudian Nesya berlari kecil dan memeluk Bang Rendra, di urainya rindu dalam hati. Bang Rendra pun membalas pelukan hangat penuh cinta dari Nesya.
"Apa kabarmu sayang?" Tanya Bang Rendra.
"Nesya baik Bang. Nesya rindu Abang.
"Iya Abang juga rindu kamu"
~
"Kenapa bisa lepas ini kancingnya An?" Tegur Bang Wira melihat kancing di belakang punggung Anne yang terlepas.
"Disini banyak laki An. Masa kamu mau mengumbar punggungmu disini??"
"Ya nggak apa-apa donk Bang, Abang khan tau kalau Anne mulus. Harusnya Abang bangga punya pacar putih, seksi dan cantik" jawab Anne.
"Abang pacaran sama manusia bukan sama kucing Persia yang suka pamer punggung"
Seketika Anne cemberut memonyongkan bibirnya dengan kesal mendengar ledekan Bang Wira.
Tak menunggu waktu lama, Bang Wira mengambil satu jepit lidi di belakang gulungan rambut Anne.
"Jangan Abaaang. Nanti Anne nggak cantiikk" pekik Anne marah.
"Di sini semuanya b******m Anne, kalau kamu masih mau jadi pacar Abang. Pakai pakaianmu dengan sopan..!!!!" Ucap tegas Bang Wira.
"Tapi Abang mau juga khan sama Anne"
"Abang bukan pria munafik Anne, kalau kamu tawari Abang nggak akan pernah nolak. Tergantung manusianya kuat atau tidak menahan diri. Meskipun hati juga perang. Sudah jangan banyak bicara. Di dalam sudah ramai..!!" Kata Bang Wira.
...
Bang Rendra dan Bang Wira sama-sama sibuk dengan pasangannya. Disana keduanya menjadi sorotan karena kelembutan Bang Rendra pada Nesya dan keributan yang selalu terjadi pada Bang Wira dan Anne yang membuat Anne marah dan pergi.
//
"B*****t.. ada ya perempuan seperti itu.. stress gue. Mending gue dapat janda, daripada gadis rasa janda. Setaaaann..!!" Umpat Bang Wira geram.
"Astaga Tuhan.. gigi gue kram mikirnya..!!!!!!
"Sabar pot. Jangan ngomong aneh-aneh lah lu ini. Kalau ada setan lewat apa nggak payah lu dapat janda??? Mantan orang itu" Tegur Bang Maulana.
"Janda itu suci goblookk.. dia bukan sembarangan. Tapi menurutku hanya salah jodoh saja" jawab Bang Wira.
Sudahlah.. gue mau mabuk dulu..!!"
"Heeehh jangan Wir..!!" Cegah Bang Maulana sembari mengikuti langkah Bang Wira ke tempat boot minuman di acara pesta kecil itu.
"Laaaahhhh.." Bang Maulana jadi diam saja melihat Bang Wira hanya menghabiskan empat gelas soda gembira.
...
"Hhkkk.." tak hentinya Bang Wira muntah kekenyangan minuman bersoda tersebut.
"Kemaruk sih lu. Makanya apa-apa tuh jangan serakah. Perempuan masih banyak. Nggak hanya Anne, Mira, Diah, Sari doank." Tegur Bang Rendra.
Rasa kesal masih menyelimuti hati Bang Wira.
"Dasar perempuan..!!!!!" Umpatnya lagi.
"Suatu saat nanti, biar kata hanya satu jam saja aku bertemu dengan makhluk namanya wanita, bagaimana pun keadaannya.. aku ikhlas, rela bertekuk lutut di kakinya biar dia mau jadi ibu dari anak-anak ku nanti"
Ucapan Bang Wira itu terasa terngiang jelas di telinga kedua sahabatnya.. Bang Rendra dan Bang Maulana.
"Wes pot, sabar.. jangan di masukin hati. Masa gara-gara perempuan lu jadi begini" kata Bang Rendra.
***
Tiga tahun berlalu.
"Abang, coba lihat ini..!!" Kata Nesya menunjukan testpack positif pada Bang Rendra saat suaminya baru saja pulang kerja.
"Alhamdulillah Ya Allah.. rejeki kita cepat dek..!!" Bang Rendra berjongkok dan menciumi perut Nesya.
"Anak ayah.. anak kesayangan ayah. Sehat terus ya nak, jangan nakal di perut mama" bisiknya bahagia sampai menitikan air mata.
"Iya ayah" Nesya pun begitu bahagia hingga kabar ini segera mereka siarkan langsung pada keluarga Bang Rendra maupun keluarga Nesya untuk menyambut kedatangan keluarga kecil di antara mereka.
***
"Hhkkk.." sudah seminggu ini Adinda mual hebat. Tubuhnya terasa lemas. Bayangannya selalu teringat akan seorang perwira tampan, bertubuh tegap yang memberikan sebuah janji manis untuknya, janji untuk menikahi dirinya anak seorang buruh tani miskin yang telah renta.
"Abang dimana? Kenapa tidak datang juga?" Ucapnya gamang mengingat kejadian dua bulan yang lalu saat para tentara muda membangun desanya. Hatinya gelisah, apalagi jika mengingat ibunya yang punya sakit asam urat dan diabetes yang sudah cukup parah. Hanya karena iming-iming uang untuk pengobatan itu. Ia pun rela 'menjual diri'.
Adinda mencoba menghubungi pak tentara tersebut, tapi ponselnya yang sudah era jaman batu malah mati tanpa mengerti kegundahan hatinya.
"Aku harus bagaimana? Aku takut sekali Tuhan. Tapi uang sejumlah lima belas juta rupiah itu sudah kuterima kontan" gumamnya lirih.
"Ndhuk.." tiba-tiba sapa seorang ibu mengagetkan Adinda.
"Iya Bu, ibu mau kemana?" Tanya Dinda.
"Obat ibu sudah habis ndhuk. Apa kamu masih ada simpanan uang? Maaf ibu merepotkanmu nak" kata ibu merasa amat sangat bersalah.
"Insya Allah masih Bu. Ibu jangan bilang begitu. Dinda anak ibu.. pastilah Dinda akan memberikan apapun yang ibu butuhkan. Kalau begitu Dinda pergi ke apotek dulu ya Bu" pamit Dinda.
-_-_-_-_-
Cukup lama Dinda merenung di dalam kamar. Di apotek tadi ia sempat membeli dua buah testpack dengan merk yang berbeda.
Saat melihat jam dindingnya. Sudah pukul sepuluh malam terlihat disana. Ia pun mengintip di kamar ibunya. Dengan memberanikan diri, ia membawa testpack yang di belinya tadi ke kamar mandi. Tangannya cukup gemetar.
:
Satu menit, dua menit, tiga menit.. hasil itu keluar meninggalkan dua garis merah.
"Astagfirullah hal adzim.. aku harus bagaimana? Abang ada dimana?" Dinda hampir pingsan. Ia bersandar lemas di dinding kamar mandi.
Teringat kembali janji manis yang pernah terucap dari bibir pria gagah itu. Pria terbaik yang pernah ia kenal selama hidupnya.
"Dinda akan cari Abang. Abang pasti senang kalau tau Dinda hamil anak Bang Rendra"
.
.
.
.
"Sudah bulatkah keinginan mu untuk kerja di kota nak? Di kota itu berat. Kamu perempuan. Kamu mau tinggal dimana? Sama siapa?" Tanya ibu.
"Insya Allah Dinda akan bekerja dengan giat disana dan akan mendapatkan kabar baik untuk ibu." Kata Dinda saat berpamitan dengan ibunya.
"Ibu baik-baik disini ya sama bude Minah. Nanti kalau ada waktu senggang, Dinda akan hubungi ibu. Ini tenang saja. Dinda aman"
***
Berbekal alamat kantor yang di berikan Bang Rendra. Dinda berangkat menuju kota. Selama dalam perjalanan ia terus saja gelisah dan tidak sabar ingin segera mengabarkan tentang kehamilan ini pada Bang Rendra. Ia mengusap ringan perutnya, ada gurat bahagia di wajahnya.
...
Tiga jam perjalanan, Dinda sudah sampai di kota, ia mengarahkan pandangannya tak tau arah tujuan. Tiba-tiba perutnya keroncongan, mungkin karena dirinya sedang berbadan dua, rasa laparnya kian terasa hingga rasanya tak sanggup untuk menahannya.
Karena tengah hari sudah semakin terik, ia menyeberang jalan setelah turun dari bus. Langkahnya pelan menahan terik matahari yang menyorot langsung ke wajahnya.
buuugghh..
"Maaf..!!" Kata seorang pria disana.
"Iya.. nggak apa-apa" jawab Dinda.
Sesaat kemudian Dinda melihat pria tersebut tersenyum aneh, Dinda pun kemudian melihat tasnya yang ternyata sudah terbuka. Uangnya hilang. Uang satu-satunya yang ia bawa dari kampung untuk bekal hidup di kota selama mencari Bang Rendra.
"Jangan di ambil..!! Itu uang saya..!!" Teriak Dinda ingin mengejarnya tapi langkahnya terhenti karena perutnya tiba-tiba nyeri.
Dari jauh sebuah motor melaju, ada kaki berbalut sepatu PDL menghantam wajah copet itu hingga terjungkal. Pria berbaju loreng itu segera turun dari motor dan mengangkat tinggi kerah baju copet tersebut.
"Kamu ini, kalau mau uang itu kerja..!! Bukan nyopet seperti ini. Malu sama rambutmu yang gondrong..!!" Tegur pria berbaju loreng sembari menampari pipi Pencopet.
Setelah mendapat sedikit pelajaran dari pria berbaju loreng, pencopet tersebut di ringkus pihak yang berwajib.
~
"Ini dompetnya. Lain kali hati-hati. Di kota seperti ini rawan copet" kata pria berbaju loreng itu.
"Iya pak. Terima kasih banyak. Oiya Pak. Pak tentara kenal sama Bang Rendra??" Tanya Dinda.
"Rendra?? Dari kesatuan mana? Pangkatnya apa?" Tanya pria tersebut yang ternyata adalah Bang Wira.
"Hmm.. apa ya pangkatnya?" Dinda masih berfikir sejenak tapi karena perutnya sudah terlalu lapar, ia kehilangan keseimbangan sampai nyaris ambruk menubruk Bang Wira.
"Eehh.. ya ampun.." Bang Wira menahan tubuh Dinda.
"Kalau nggak salah semua gambarnya seperti bapak.." jawabnya lirih.
"Oke.. okee.. kita duduk dulu disana..!!"ajak Bang Wira.
//
Adinda menoleh kesana kemari melihat suasana di restoran cepat saji. Bang Wira pura-pura tidak tahu wajah panik gadis di hadapannya dan menghitung uangnya diam-diam di bawah meja karena Dinda tidak menyadari tepat di sebelah mereka duduk adalah cermin.
"Kita belum berkenalan" tegur Bang Wira.
"Saya tau nama bapak P. R. Wiranegara" jawab Adinda.
"Iya benar, Saya Wira. Tapi saya belum tau namamu"
"Nama saya Adinda. Adinda Mayang Tara" jawab Adinda melemah.
"Baiklah Dinda. Siapa nama lengkap orang yang kamu cari dan apa tujuannya" tanya Bang Wira.
"Namanya. Narendra Sadewa"
Perasaan Bang Wira semakin tidak enak setelah melihat raut wajah Dinda yang seakan menyimpan ribuan kisah.
"Saya ingin memberi tau padanya bahwa saya hamil" kata Dinda kemudian.
"Astagfirullah hal adzim.. Lailaha Illallah.. Kamu serius??" Tanya Bang Wira, Ia sampai mengepalkan tangan menahan emosinya.
"Serius. Apa bapak mengenalnya?"
Dari raut wajah Dinda. Entah kenapa hatinya begitu percaya pada wanita itu, gadis 'kampung' yang begitu lugu ini.
"Makanlah dulu. Nanti saya bantu cari."
"Ehmm itu pak.. Anuuu.." Dinda tak bisa menyembunyikan rasa tidak enak dan bingung karena harga satu porsi makanan itu terlalu mahal untuknya.
"Saya yang mengajakmu kesini, saya yang akan bayar.. tidak usah pikirkan harga makanan ini, makanlah dengan tenang. Kasihan anakmu sudah lapar..!!" Kata Bang Wira.
B******n kamu Ren. Bisa-bisanya kamu buat masalah besar seperti ini. Nesya hamil, Dinda pun hamil. Dimana perasaan mu. Apa kamu nggak mikir.
Entah kenapa hatinya tertusuk begitu sakit melihat Dinda makan sangat lahap, nyeri dan tak tau bagaimana cara menjabarkan pedihya. Beberapa jam yang lalu ia baru saja memutuskan hubungannya dari Clara. Tapi kini hatinya kembali terluka melihat sosok wanita muda di hadapannya. Tak tau bagaimana reaksinya nanti saat tau Rendra ternyata telah beristri.
Bang Wira menemani Dinda makan karena ini juga di jam makan siang. Tak hentinya matanya mengawasi raut wajah Dinda yang belum mengerti apapun tentang hal ini. Sebelah tangan Bang Wira mengetik sesuatu untuk menghubungi Bang Rendra.
...
"Ada apa pot, tumben ajak ngobrol di luar?" Tanya Bang Rendra saat mengajaknya ngobrol di rumah kontrakan Bang wira yang lumayan sepi.
"Kamu kenal Dinda?"
"Apaa??" Bang Rendra sedikit terkejut dan itu sudah menguatkan bukti bahwa Bang Rendra memang mengenal Dinda.
"Dinda.. keluarlah..!!"
Betapa terkejutnya Bang Rendra saat benar ada Dinda disana. Gadis itu menunduk tak berani menatap wajah Bang Rendra.
"Dinda?? Ada apa sampai kamu kesini? Kamu cari Abang??" Tanya Bang Rendra tidak percaya.
"Iya Bang, Dinda hamil.. makanya Dinda cari Abang. Mungkin Abang akan senang mendengarnya" kata Dinda yang mulai ragu mengatakannya karena ekspresi wajah Bang Rendra tidak seperti ekspektasi nya.
Entah sadar atau tidak, Bang Rendra mengguncang kedua bahu Dinda dengan kencang.
"Ya Tuhan. Kok bisa Din? Abang hanya melakukannya sama kamu satu kali. Mungkin itu anak orang lain" bentak Bang Rendra.
"Ren, jangan kasar. Istighfar kamu...!!" Bang Wira menepis tangan Bang Rendra dengan kasar.
"Astaga..!! Abang sudah punya istri Din, dan Abang sangat mencintai istri Abang itu" bentak Bang Rendra sekuatnya.
Dinda mematung dan terhenyak, mulutnya seakan terkunci, hanya lelehan air mata yang mengungkapkan segala rasa.
"Kamu paham khan malam sehari sebelum Abang kembali pulang penugasan itu Abang mabuk berat karena ada pesta. Abang sudah minta maaf dan membayarmu lima belas juta. Bukankah saat itu kamu pun sedang membutuhkan uang" ucap Bang Rendra seakan tidak punya perasaan.
"Lalu setiap hari kebersamaan kita itu apa Bang? Abang juga bilang sedang menunggu datangnya buah hati" kata Dinda terisak sesak.
"Abang menantikan buah hati dari istri Abang, bukan dari rahim mu Dinda..!!" Tangan Bang Rendra sudah melayang tapi Bang Wira dengan sigap memeluk Dinda dan menepis tangan Bang Rendra.
"Cukup Rendra.. jangan keterlaluan kamu..!! Kamu pun salah Rendra. Kamu lihat Dinda sepolos ini, kenapa kamu memberinya harapan palsu????" Bang Wira ikut terpancing emosi dan membentak Bang Rendra.
"Astagfirullah.. aku harus bagaimana??" Bang Rendra frustasi sampai meremas rambutnya.
"Gugurkan Dinda. Abang nggak mau Nesya sampai tau masalah ini. Abang sangat mencintainya Dinda. Nesya punya gejala sakit jantung. Dia pun sedang hamil sekarang"
Tak terbayangkan oleh Dinda hatinya akan sehancur ini di tangan seorang pria yang ia sangka juga mencintainya. Enam bulan mengenal Bang Rendra di tempat tugas, tak di sangka tak ada rasa dari pria tersebut. Perasaan Dinda begitu terpukul, tanpa ia sadari.. ia memeluk erat tubuh bang Wira.
"B*****t, bayi ini nggak salah pot. Mulai sekarang jangan pernah kamu mendekati anak ini ataupun ibunya. Karena mulai detik ini.. bayi ini adalah anak ku. Anak Lettu Wiranegara. Dan yang ada di hadapanmu ini.. Nyonya Wiranegara.. Ingat itu Rendra. Sampai kau berani mendekati keduanya, Aku sendiri yang akan membunuhmu..!!"
.
.
.
.
Adinda masih menangis. Bang Wira sampai kebingungan bagaimana caranya menenangkan bumil di hadapannya ini.
"Apa yang kamu tangisi? Semua sudah terjadi. Lebih baik kamu pikirkan kandunganmu" kata Bang Wira.
"Dinda benar-benar bodoh Bang. Hanya demi uang, Dinda bisa sampai menjual diri" Dinda sampai menangis histeris.
"Uangnya kamu pakai apa Dinda?" Tanya Bang Wira dengan lembut, Dinda sudah sehancur ini, ia tidak ingin bumil itu semakin down dengan keadaan dirinya.
"Dinda pakai pengobatan ibu. Ibu sakit asam urat dan diabetes yang sudah cukup parah Bang" jawab Dinda.
"Ibumu tau kamu hamil?"
"Nggak Bang, ibu nggak tau. Dinda bisa di bunuh kalau sampai ibu tau Dinda hamil."
Bang Wira mengusap wajahnya, ia pun tak kalah pusing memikirkan semua ini.
"Malam ini, kamu tinggal disini dulu. Abang akan pikirkan cara untuk menyelesaikan nya." Ucap Bang Wira
"Dinda cari kontrakan saja Bang"
"Ini sudah malam. Besok saja. Yang seperti ini lima ratus ribu. Maklum Abang ini sendirian. Nggak butuh kamar yang besar" jawab Bang Wira yang tau betul nominal di dompet Dinda hanya satu juta rupiah.
Seketika Dinda langsung menunduk. Mungkin menyadari jika keuangannya tidak mencukupi.
"Abang mau keluar sebentar. Kamu harus tetap disini. Kalau kamu tidak ingin memikirkan dirimu sendiri.. minimal pikirkan anakmu."
...
"Aku titip uang untuk Dinda" kata Bang Rendra yang malam itu kembali menemui Bang Wira.
"Kamu pikir aku nggak punya uang untuk menghidupi Dinda?? Aku sudah peringatkan untuk tidak ikut campur lagi dalam masalah ini. Bukankah kamu sudah menolaknya" jawab Bang Wira.
"Demi Allah aku khilaf mengatakan nya Wir. Aku takut sekali Nesya tau masalah ini. Kehamilannya masih muda, masih rawan" Bang Rendra mencoba bernegosiasi dengan Bang Wira.
"Lalu kandungan Dinda apa?? Kandungannya juga masih sangat muda Ren. Otak kau konslet ya? Sudah lah.. aku mau pulang. Dinda sendirian" kata Bang Wira sembari menenteng nasi Padang yang baru saja ia beli.
"Sebenarnya ada masalah apa Bang? Daritadi Abang aneh. Siapa Dinda?" Tanpa di sangka Nesya mengikuti Bang Rendra.
Bang Wira melirik tajam ke arah mata Bang Rendra. Melihat itu semua Bang Rendra sejenak menengadah. Tak mungkin dirinya akan terus menjadi seorang pengecut. Lebih baik sang istri tau dari mulut nya sendiri daripada harus mendengar dari mulut orang lain.
"Kita bisa ke tempatmu Wir?" Tanya Bang Rendra.
"Ayo..!!"
//
Nesya masih memperhatikan wajah Dinda begitu pula sebaliknya. Disana Bang Rendra duduk disamping Nesya sedangkan Bang Wira duduk tepat di samping Dinda. Hatinya tidak tenang.
"Dek.. sebelumnya Abang minta maaf. Bukan niat Abang untuk menyakiti hatimu."
"Ini Dinda? Perempuan yang Abang sebut-sebut namanya tadi?" Tanya Nesya.
"Iya dek. Ini Dinda. Dindaa.. sedang hamil anak Abang" jawab Bang Rendra dengan jantan.
Bagai tersambar petir dan tertimpa batu besar. Baru saja menikah tapi dirinya sudah mendapat ujian seberat ini.
"Maksud Abang, Abang selingkuh di belakang Nesya??" Mata Nesya sudah menggenang.
Bibir Bang Rendra masih berat tercekat.
"Jawab Abaaang..!!!!!!!!!!" Bentak Nesya.
Dinda tersandar kaget mendengar suara bentakan Nesya.
"Heii kamu perempuan tak tau malu. Perempuan perebut suami orang. Bangga kamu sudah tidur dengan suami saya???? Apa yang kamu mau?? Uang???????" Bentak Nesya.
"Dek.. sudah sayang..!!" Bang Rendra mencoba menenangkan Nesya.
"Apa?? Abang bela dia????? Perempuan gatal ini?????" Tunjuk Nesya di wajah Dinda.
Seketika Dinda merosot memegangi kaki Nesya bahkan sampai menunduk mencium kaki Nesya tanpa Bang Wira bisa mencegahnya. Tapi ia tetap mengawasi Dinda. Dinda menangis pilu menyesali semua yang terjadi.
"Dinda salah. Dinda salah mbak. Biarpun Dinda tak pantas mengucap kata maaf, tapi Dinda akan terus memohon maaf"
Nesya begitu marah dan histeris. Ia menarik kerudung Dinda dan membuangnya.
"Ampun mbak..!!!" Isak tangis Dinda, sungguh menyayat hati Bang Wira, Rendra pun kebingungan disana.
"Tidak pantas kamu memakai penutup itu di kepalamu. Dasar wanita murahan..!!!!!" Nesya melayangkan tangannya hendak menampar dan meluapkan emosinya pada Dinda tapi Bang Wira menarik Dinda menjauh dari Nesya.
"Ampuuun..!!!" Dinda sangat ketakutan disana.
"Wanita murahaaann..!!!!" Nesya mengambil vas bunga di atas meja dan menghantamkan pada arah kepala Dinda tapi Bang Wira menghadangnya hingga pelipisnya terhantam vas bunga.
"Uugghh.. Ya Tuhan" Bang Wira sekilas memegangi kepalanya yang terasa perih pening. Ia mengerjap merasakan kepalanya. Ada darah menetes dari pelipisnya.
Karena terlalu syok Nesya dan Dinda pingsan bersamaan.
"Astagfirullah.. Dindaaa..!!!
"Dek.. Nesya.. Bangun sayang..!!" Bang Rendra menepuk pipi Nesya.
"Lihat ini Rendraaa..!! Apa yang sudah kamu buat? Kedua perempuan ini korbannya. Pakai akal warasmu itu..!!!!" Bentak Bang Wira.
...
Nesya dan Dinda baru saja sadar. Nesya menangis dengan kehancurannya, sedangkan Dinda menangisi dirinya yang kini hidup segan mati tak mau.
"Abang minta maaf dek. Abang yang salah. Malam itu Abang mabuk, dalam pikiran Abang hanya ada kamu, rindu kamu.. hingga tidak menyadari sepenuhnya kalau itu bukan kamu" Bang Rendra mencoba menjelaskan pada Nesya.
"Tidak mungkin laki-laki dan perempuan bisa bersama kalau sebelumnya tidak ada pembicaraan" jawab Nesya.
"Abang salah. Abang yang lebih dulu membuka pertemanan. Tidak jujur mengaku kalau sudah menikah dan tanpa sadar.. semua membuat Dinda salah paham dengan sikap Abang padanya" dengan ksatria Bang Rendra mengakui kesalahannya.
"Sepuluh tahun kita bersama Bang. Abang menyalahkan gunakan kepercayaan Nesya. Nesya sungguh kecewa Bang" Nesya masih marah dan Bang Rendra sangat memahami perasaan istrinya itu.
"Dindaaa.. Diin..!!! Sadar dek..!!" Bang Wira kembali panik saat Dinda tidak sadar untuk kedua kalinya.
"Ya Allah gustiii.. Baru kali ini hatiku hancur sekali melihat perempuan sampai seperti ini" tanpa sadar Bang Wira memeluk Dinda kemudian membawa Dinda masuk ke dalam kamar.
~
"Bagaimana Dinda?" Tanya Nesya yang menyusul Bang Wira masuk ke dalam kamar.
"Ya seperti ini Nes." Jawab Bang Wira.
"Nes, saya tau hatimu sakit. Tapi kamu bisa melihat sendiri khan bagaimana Dinda tadi. Saya mewakili Dinda meminta maaf sama kamu. Meskipun tidak ada maaf dalam hatimu. Jika boleh saya memohon.. tolong kamu pikirkan saja bagaimana menata hatimu untuk Rendra. Biarkan Dinda menjadi urusan saya. Biar saya yang mendidik dia dan membesarkan bayi dalam kandungannya. Kamu lanjutkanlah hidupmu. Sejatinya tidak ada manusia yang tidak luput dari salah dan dosa" bujuk Bang Wira.
Nesya menitikan air mata tapi ia segera menghapusnya.
"Nesya akan berusaha belajar sabar dan ikhlas meskipun itu berat Bang."
"Maaf..!! Maaf mbak.. maafin Dinda" suara itu begitu lirih terdengar dari mulut Dinda tapi Bang Wira dan Nesya bisa mendengarnya. Mereka berdua saling bertatapan.
Bang Wira mengusap perut Dinda.
"Dinda.. bangun dek.. Abang akan selesaikan semuanya"
Nesya melihat kecemasan di wajah Bang Wira.
"Bang, benarkah Abang ikhlas?"
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!