NovelToon NovelToon

Suami Pilihan Papa

SPP - 1

Asya Putri Dirgantara. Ia adalah anak bungsu dari Dirgantara, seorang pebisnis. Asya mempunyai dua Kakak laki-laki. Kakak pertamanya Syam Dirgantara dan Kakak keduanya Galen Dirgantara. Kedua Kakak Asya adalah anak-anak yang pandai, mereka selalu menjadi kebanggaan Dirga.

Dirga begitu menyanjung dan menyayangi kedua jagoannya. Bagi Dirga, laki-laki adalah pemimpin, dan akan selalu seperti itu. Karena itulah, rasa sayangnya pada Asya tak sebesar kasih sayangnya pada Syam dan Galen.

"Pa, Asya jadi lulusan terbaik loh. Asya mau lanjut kuliah di Jogja boleh gak Pa? Asya pingin banget kuliah di UGM Pa" pinta Asya pada Dirga. Keluarga Asya sedang melakukan makan malam hari itu. Dan Asya mengucapkan keinginannya ditengah makan malam mereka. "Terserah kamu" jawab Dirga ketus.

Terlihat jelas jika Dirga membedakan kasih sayangnya, tak sedikit yang tahu tentang perlakuan buruk Dirga pada putri bungsunya. Dirga kerap kali kasar bahkan saat mereka sedang berada didepan umum. Tetapi Asyya masih memiliki Mama Airin yang sangat menyayangi dirinya. Juga Syam dan Galen yang tentunya juga sangat menyayangi Asya.

Sayangnya, impian Asya untuk kuliah di UGM tak bisa terwujud. Sebab Airin tak ingin jauh dari putrinya. Gadis itupun melanjutkan pendidikan disalah satu universitas di Surabaya.

Dirga masih tidak peduli, bahkan tidak tahu apa saja yang dikerjakan oleh putrinya. Asya memilih mengambil jurusan bisnis seperti kedua Kakaknya. Ia ingin membuktikan pada Dirga, jika seorang wanita juga bisa menjadi pemimpin. Dua tahun sudah berlalu, Asya kini berusia dua puluh tahun. Ia begitu menikmati kegiatan kuliahnya. Hingga hari dimana ia harus menerima kenyataan pahit mengenai masa depannya.

Dirga mengajak seluruh keluarganya untuk makan malam disebuah restoran mewah. "Pa, kita makan sama orang lain? Kok ini jamuannya banyak banget" Tanya Asya keheranan. Dirga lagi-lagi tak menggubris pertanyaan putrinya. Beliau menyuruh semua untuk duduk dan menunggu. Tak ada yang berani melawan perintah Dirga.

Cukup lama mereka menunggu, sebuah keluarga datang mendekati mereka. Mereka adalah keluarga Adhitama. Adhitama memiliki dua orang putra. Putra pertamanya, Farel Adhitama, sudah menikah dan memiliki seorang putri kecil yang berusia empat tahun. Sedangkan putra keduanya, Elvin Adhitama, ia tak memiliki seorang kekasih. Elvin sudah menjomblo setidaknya tiga tahun terakhir. Dan kini Elvin sudah berusia 28 tahun, waktu yang pas untuk ia menikah.

"Ini putriku Asya, langsung saja kita rencanakan pernikahan mereka" ujar Dirga sembari mengelus rambut panjang Asya.

Semua keluarga Dirga terkejut bukan main, sebab tak adaa pembicaraan apapun diantara mereka. "Pa, Asya ingin sekolah bukan menikah" ujar Asya dibumbui air mata.

"Percuma kamu sekolah tinggi, seorang pemimpin itu haruslah laki-laki. Jadi lebih baik kamu menikah agar tidak menjadi beban untuk Papa dan Mama" ucap Dirga begitu kejam.

Asya hanya bisa diam, sembari merasakan tetesan air mata yang jatuh dipipinya. Perintah Dirga adalah mutlak, dan harus dilaksanakan.

"Dia masih terlalu muda, saya yakin dia tidak memiliki kemampuan untuk menjadi seorang istri yang bertanggungjawab" celetuk El sinis.

Dirga menyangkal semua yang El katakan, ia memuji betapa Asya memiliki kualitas terbaik sebagai seorang istri. Asya pandai memasak, bersih-bersih, semua pekerjaan rumah bisa Asya lakukan tanpa terkecuali. Asya senang mendengar pujian dari Dirga, walau pujian itu pada kenyataannya tak pernah Asya inginkan.

Dirga kembali membahas rencana pernikahan putrinya, tempat dan tanggal yang bagu, secepat mungkin ia ingin menikahkan Asya.

"Aa..Asya mau ke toilet dulu" kata Asya lalu pergi meninggalkan meja makan. Gadis itu sudah tak kuasa menahan tangisnya, ia keluarkan semua rasa sakit dalam hatinya. "Apa Asya sebenarnya bukan anak Papa? Kenapa Papa begitu membenci Asya? Rasanya sakit sekali" lirih Asya dalam tangisnya.

Ttookk Ttookkk...

Terdengar suara pintu diketuk, diikuti oleh suara Airin yang memanggil nama putrinya. Asya menyeka air matanya, membuka pintu dengan senyuman diwajahnya. Airin membawa Asya dalam dekapannya, ia memeluk putrinya dengan sangat erat. Nyaman, Asya menyukai aroma tubuh Airin, aroma seorang Ibu.

"Airin, aku akan merawat Asya seperti putriku sendiri" celetuk Laura yang datang menyusul kedua wanita ini. "Mbak, dia bukan hanya seorang putri, tapi dia juga nyawaku. Tolong jaga dia ya mbak" pinta Airin pada Laura.

Laura mengangguk, ia mengelus rambut Asya dengan penuh kasih sayang. Wajah manis Asya, mengingatkan Laura pada dirinya yang dulu. Karena ia menikah juga karena perjodohan, tetapi pernikahannya begitu indah, cinta datang seiring dengan kebersamaan mereka.

"Ayo sayang, pasti Papa sudah menunggu kamu" ajak Airin pada putrinya. Asya mengangguk mengikuti Airin dan Laura yang sudah berjalan terlebih dahulu. Gadis itu memaksakan senyumnya, hanya demi melihat Papanya bahagia.

Dirga begitu antusias dengan pernikahan putrinya, bahkan mereka sudah menentukan sebulan lagi adalah acara pernikahan El dan Asya. Semuanya tampak gembira, menutupi topeng kesedihan mereka. Demi perintah Dirga yang tak dapat diubah apapun alasannya.

"Mas Syam dan Mas Galen jangan bertengkar lagi ya kalau Asya udah nikah nanti. Asya pasti kangen kalian" ujar Asya. Syam, Galen dan Asya berada dalam satu mobil. Mereka berada dalam perjalanan pulang kerumah. Syam dan Galen hanya diam, menahan air mata yang ingin mereka keluarkan. Tidak untuk jatuh didepan Asya, mereka tak ingin adiknya ikut menjadi lemah.

Asya terus saja berbicara, berusaha melupakan kesedihannya. Dengan nada ceria dan raut wajah bahagia, Asya mencoba menghibur hatinya yang terluka.

Syam menghentikan mobilnya, ia tak bisa menahannya lagi. Isakan tangis terdengar jelas dari arah Syam, diikuti oleh Galen yang juga menangis. "Loh, Mas kenapa?" Tanya Asya panik. Syam dan Galen tak menjawab, mereka masih terisak, perih.

Asya menepuk-nepuk punggung kedua kakaknya, mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja. "Aku senang kok Mas, asal Papa bahagia. Aku juga, hehehe" hibur Asya berusaha mencairkan suasana.

Syam dan Galen memeluk adiknya bersamaan. Mereka merasa malu pada Asya yang masih bisa tersenyum setelah semua hal yang terjadi padanya. Masa depan Asya masih panjang, Dirga begitu kejam melarang Asya untuk bersekolah dan malah menikahkan dirinya. Padahal selama ini, Asya tak pernah berkata tidak pada setiap keputusan dan pilihan yang dibuat Dirga untuk dirinya. Tetapi pria tua itu tak bisa melihat betapa Asya sangat menyayangi dirinya. Pemikiran kuno Dirga adalah masalahnya.

"Asya, Mas berharap yang terbaik untuk kamu. Mas akan selalu ada disaat kamu butuh, jadi jangan sampai kamu gak ngehubungin mas ya. Mas masih akan setia jadi tempat curhat kamu" ucap Syam. "Sama, Mas juga" sahut Galen.

Asya tertawa kecil melihat kedua kakaknya seperti anak kecil. Kedua pria yang sangat Asya hormati dan sayangi. Pria yang selalu menjadi panutan Asya.

SPP - 2

Seminggu setelah pertemuan hari itu.

Asya sedang berada di kampus, berbincang bersama temannya, Gita dan Jihan. Gita dan Jihan adalah sahabat karib Asya, mereka sudah berteman sejak kecil. Karena Mama mereka juga memiliki pertemanan yang sama seperti anak-anak mereka.

Mereka bertiga selalu pergi kemanapun bersama-sama. Seperti tak pernah terpisahkan, walau salah satu diantara mereka memiliki kekasih, waktu untuk persahabatan mereka tak pernah berkurang. Terkadang teman-temannya memanggil mereka anak kembar karena terus bersama kemanapun mereka pergi.

Asya sudah menceritakan semua yang terjadi kepada sahabatnya itu. Mereka juga merasakan kepedihan yang Asya alami. Walau begitu, kedua teman Asya, berusaha sebaik mungkin untuk menghiburnya.

"Udahlah Sya, gak usah pusing terima aja. Lagian nikah enak loh" ujar Gita sembari memakan makanannya. Asya terdiam, ia tidak yakin dengan pendapat Gita. Bagaimana bisa itu enak, ini bukan makanan. Lagipula, jika harus mengorbankan impian, bukankah itu hal yang buruk.

"Benar kata Gita. Nikah itu enak loh, bisa enak-enak sepuasnya. Hahaha" goda Jihan seraya melakukan tos dengan Gita. Keduanya begitu kompak menggoda Asya. Asya sangat malas jika kedua sahabatnya menggoda dia seperti ini. Karena kedua sahabatnya tak akan pernah membiarkan Asya, sebelum dirinya benar-benar kesal.

Gita mengedarkan pandangannya, matanya menangkap satu sosok tampan yang sedang berdiri bersama seorang wanita. "Gila, si Eci, cowok mana lagi tuh? Tapi yang ini ganteng pake banget, anjir deg-degan jantung gue" heboh Gita. Jihan dengan sigap menoleh ke arah pandang Gita, ia juga berteriak histeris menatap cowok tampan itu.

"Sya, Sya Oppa Oppa" teriak Jihan seraya menepuk-nepuk lengan Asya. "Mana Oppa? mana? mana?" Ujar Asya yang ikut heboh.

Eci dan pemuda tampan itu berjalan mendekati mereka bertiga. Eci terlihat begitu ceria dengan lambaian tangannya. Gita dan Jihan mulai menelisik, mencari tahu pemuda tampan disamping Eci. "Jangan tanya gue, tanya Asya nih. Dia nyari Asya" jawab Eci dengan santai.

Pemuda itu berterimakasih pada Eci, lalu Eci pun pergi meninggalkan sang pemuda yang sedang memandangi Asya. "Hp kamu mati ya? Aku telepon gak bisa" ujar pemuda itu datar.

Asya terkejut, ia langsung merogoh sakunya, menggeledah tas mencari ponsel miliknya. Gadis itu hanya bisa cengengesan, karena ponselnya mati kehabisan baterai. "Bisa kita pergi? Aku merasa tidak nyaman berada disini" ujar pemuda itu lagi.

"Kemana Mas?" Tanya Asya bingung. Pemuda itu tak menjawab, ia langsung saja menarik tangan Asya. Sayangnya, Gita dan Jihan menghentikan pemuda itu.

"Maaf ya Mas, kita tahu anda tampan dan menggoda. Tapi Asya bukan cewek sembarang, jadi lepasin dia. Atau gue bakal teriak nih, gue teriak nih ya" ancam Gita berusaha melepaskan genggaman tangan pemuda tersebut. Jihan juga membantu aksi Gita.

"Heh kalian, lepasin tangannya, dia Mas El, calon suamiku" ujar Asya. Gita dan Jihan segera melepaskan tangan mereka dan berjalan kebelakang Asya. Kini mereka berdua menyalahkan Asya karena tindakan bodoh mereka. Asya hanya bisa menahan tawa, melihat wajah panik kedua sahabatnya.

"Boleh saya ajak dia pergi sekarang?" Tanya El dengan ramah. Gita dan Jihan mengangguk cepat, mereka membantu Asya berkemas dan mendorong gadis itu agar segera pergi manjauh.

Kedua gadis itu berdiri saling bertatapan, lalu tertawa kegirangan. "Heh gue pegang tangannya, wangii deh, cowok ganteng emang gitu ya" celetuk Jihan heboh. "Iya, tangannya aja wangi, apa lagi yang lain. Emh gemes gue" timpal Gita tak kalah heboh. Mereka berdua begitu asik membicarakan calon suami Asya tanpa peduli orang-orang disekeliling yang menatap mereka dengan aneh.

Asya berjalan dibelakang El, ia tak ingin bertanya, takut mengusik kesibukan pria didepannya. El terus saja menerima telepon dan berbincang serius. Asya menjadi ragu bahkan hanya sekadar untuk bertanya.

"Bocil, mau kemana? Kamu udah gak ada kelas lagi?" Tanya seorang pemuda yang menghampiri Asya saat dirinya hendak masuk kedalam mobil El. "Nando, iya aku udah gak ada kelas. Ini mau pergi, ada apa?" Ujar Asya dengan ramah.

Nando adalah teman Asya sejak SMA. Mereka sangat dekat, Nando juga sangat baik pada Asya. Sebab pemuda itu telah menyimpan rasa pada Asya sejak duduk dikelas tiga SMA. Walau Asya tak pernah menyadari itu, ia menganggap kebaikan Nando karena mereka adalah teman lama. Tetapi, Jihan dan Gita tahu semuanya.

"Gak apa-apa, hati-hati ya" ucap Nando seraya menepuk pucuk kepala Asya. Ia pun pergi berlalu bersama teman-temannya.

Asya membuka pintu mobil dan masuk kedalam. Ia masih melihat El yang sibuk menelepon. Gadis itu menunggu sembari bersenandung kecil menatap kerumunan orang dihadapannya.

"Ini" kata El sembari memberikan power bank pada Asya. Gadis itu menerimanya, kemudian mulai mengisi daya baterai ponselnya.

El mulai melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Tempat yang tidak pernah Asya datangi sebelumnya. Tak ada pembicaraan diantara mereka, El yang fokus menyetir, sedangkan Asya memainkan jarinya sambil menatap jalanan.

"Ehm, laki-laki tadi itu pacar kamu?" Celetuk El memulai pembicaraan. "Bukan, cuma teman" jawab Asya singkat.

El melirik Asya singkat, ia sedikit ragu dengan jawaban Asya. Sebab, El melihat ada rasa cinta yang begitu besar dalam mata Nando untuk Asya.

"Kita mau kemana sih Mas?" Kini giliran Asya bertanya. El tidak menjawab pasti kemana tempat tujuan mereka, ia hanya memberitahu Asya akan pergi ke suatu tempat.

Asya kembali merasa bosan karena perjalanan yang cukup jauh, dan kemacetan yang amat menyebalkan. Hari masih siang, di jam seperti ini pastilah jalanan macet karena banyak orang yang akan pergi makan siang. Gadis itu terus menatap jendela disampingnya, memperhatikan seorang anak kecil yang mengamen dibawah panasnya terik matahari.

"Kasihan ya, padahal dia masih kecil" gumam Asya sedih. Gadis itu lalu merogoh sakunya mencari uang untuk diberikan ke si pengamen kecil. Karena tak menemukan uang disakunya, gadis itu mengambil dompet didalam tasnya. Dompet yang hanya berisikan lembaran merah.

"Tunggu, kasih ini aja" ujar El seraya memberi Asya lembaran uang lima ribu. "Itu kebanyakan" imbuh El lagi.

Gadis itu menatap pemuda dihadapannya dengan banyak pertanyaan. Bagaimana bisa itu terlalu banyak, sedangkan El adalah seorang yang memiliki begitu banyak uang. Asya menolak uang itu, ia tetap mengambil selembar berwarna merah dari dalam dompetnya.

Asya menurunkan kaca mobilnya, menatap anak kecil itu dengan ramah. "Adik, ditabung ya" ucapnya sembari memberikan uangnya. Asya melarang anak itu untuk melihat, dan menyuruhnya untuk langsung dimasukkan ke dalam saku. "Terimakasih kakak cantik" puji si pengamen kecil lalu pergi menghampiri mobil lain.

"Kamu buang-buang uang" kritik El kejam. "Mas, itu bukan buang-buang uang. Kan uangnya bermanfaat bagi orang lain" jelas Asya dengan ramah.

"Kalau mereka mau uang, ya harus kerja. Mau uang banyak kok gak mau usaha. Itu namanya omong kosong" balas El. Pemuda itu segera melakukan mobilnya setelah jalanan sedikit lengang.

SPP - 3

Mobil El masuk ke sebuah perumahan dan berhenti disalah satu rumah. El mengajak Asya untuk masuk kedalam, mengenalkan Asya pada Mbak Ipah dan Pak Agus. Mereka adalah asisten rumah tangga serta supir dirumah El. El tidak tinggal bersama keluarganya, karena jarak rumah keluarganya dan kantor El terbilang cukup jauh. Sebab itulah El memutuskan untuk tinggal seorang diri.

"Saya Asya Mbak, Pak, salam kenal" ujar Asya begitu sopan.

El menyuruh Asya duduk dimeja makan. Mbak Ipah sudah menyiapkan makan siang untuk mereka. "Mas El, aku kan tadi habis makan" bisik Asya. "Yaudah gak usah dimakan" jawab El ketus.

Asya tentu merasa tak enak jika tidak memakan makanan yang telah disiapkan oleh Mbak Ipah. Ia akhirnya mengambil sedikit makanan untuk menghargai kerja keras Mbak Ipah. Asya melahap perlahan makanannya, memuji betapa enaknya masakan Mbak Ipah.

"Mas, kita jauh-jauh kesini cuma buat makan siang? Kan bisa makan di kampus, di restoran yan dekat kan juga banyak Mas" ujar Asya membuka percakapan.

"Disuruh Bunda, habis ini kita pergi lihat baju pengantin" jawab El singkat.

Asya menatap aneh pemuda disampingnya ini, apakah berbicara semahal itu? Tak ada basa-basi dan langsung ke intinya. Pemuda yang tidak bersahabat. Pastilah hidupnya membosankan karena begitu pelit untuk berbicara. Padahal Asya sangat suka berbincang ria.

Setelah makan, El mengajak Asya untuk pergi ke salah satu butik yang direkomendasikan oleh Bunda El.

Dduuttt...

Mata El melotot pada Asya yang cengengesan memegangi perutnya. El segera keluar dari mobil dan membiarkan pintu mobil terbuka. Gadis itu juga keluar, seraya merintih kesakitan. "Mas, sakit perut nih" ujar Asya dengan wajah memelas.

El tak menjawab, ia menggerakkan tangannya menyuruh Asya untuk pergi ke kamar mandi. Gadis itu berlari secepat kilat menuju kamar mandi. Asya menuntaskan segala urusannya di kamar mandi.

"Aaah legaa" ujar Asya setelah keluar dari kamar mandi. Gadis itu kembali berpamitan pada Mbak Ipah dan Pak Agus. Berjalan keluar rumah menghampiri El yang sedang menelepon.

Asya langsung saja masuk ke dalam mobil El. Aroma wangi yang begitu menyengat membuatnya terbatuk-batuk.

"Kamu habis makan bangkai ya? Bau banget" kalimat pertama yang El katakan setelah memasuki mobil.

"Ya ampun, Mas El kejam" sahut Asya seraya memegangi dadanya. Kata-kata El sangat kejam. Padahal Asya makan apa yang El makan, bukankah itu berarti El juga makan bangkai.

El fokus melajukan mobilnya, sedangkan Asya sibuk tertawa karena menonton variety show Korea. Tawa gadis itu sesekali mengagetkan El yang terlalu fokus menyetir. Hingga membuat pemuda itu sesekali berdehem. Tetapi sayangnya Asya tak mendengarnya karena sibuk tertawa.

"Turun" perintah El ketika mereka sampai di depan butik. Terlihat Mama Asya dan Bunda El sudah menunggu kedatangan anak-anak mereka.

"Mamaaaaa, Bundaaaa" teriak Asya memeluk keduanya erat. Para wanita itu begitu senang dan melupakan El yang juga berada disana.

Mama dan Bunda bergantian memilihkan baju untuk Asya. Sedangkan gadis itu hanya duduk sambil tersenyum riang. Mungkin pernikahan ini memang perjodohan, semua harus seperti kata Papa Asya. Tetapi Asya juga berpikir, mungkin dengan seperti ini dirinya bisa meraih impiannya. Asya yakin jika El tidak akan sekejam Papanya. Dan setelah seorang gadis menikah, bukankah semua hal harus memiliki ijin suaminya? Tidak lagi bergantung pada pilihan Papa.

"El, lihat, Asya cantik gak?" Tanya Bunda. El menatap Asya yang sedang mengenakan gaun pengantin. Ia hanya mengangguk singkat dan kembali berkutik dengan ponselnya.

"Cantik Rin, ayo kita lihat yang lain. Kita belanja untuk kita" ajak Bunda El heboh. "Iya Mbak ayo, aku juga mau belanja" sahut Mama Asya tak kalah bersemangat. Mereka meninggalkan Asya yang masih menggunakan gaun pengantin tersebut.

Asya kembali bersedih, memikirkan dirinya akan pergi jauh dari Mama dan keluarganya. Asya mencoba menguatkan hatinya, ia memejamkan mata seraya mengepalkan tangannya, yakin bisa melewati semua rintangan ini.

El tak sengaja menatap Asya, "Nih cewek, kayaknya gila makanya dijodohin sama saya" gumam El setelah melihat gelagat Asya yang tak jelas.

"Mas El, bantuin aku, ini gaunnya berat, gak bisa jalan tuh tuh" rengek Asya seperti anak kecil. El tentu saja menolak, menyuruh gadis itu untuk meminta bantuan pada Bunda, Mama atau penjaga butik. Namun, semua orang yang El sebutkan sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

Melihat tak akan ada yang membantunya, Asya memutuskan untuk berusaha seorang diri, ia perlahan berjalan sembari mengangkat sedikit gaunnya. Ini sangat ribet, ia tak pernah berpikir jika menikah akan sesulit ini. Padahal ini hanyalah sebuah gaun, tapi rasanya sudah sangat melelahkan.

"Cari gaun yang simpel aja, ribet kalau gini" pinta El seraya membantu Asya dengan gaunnya.

"Gak mauuu, maunya ini, biar kayak di drama Mas, kayak Tuan Putri" jelas Asya dengan tawa manisnya.

Pemuda itu menghembuskan napasnya kasar. Tak habis pikir dengan pemikiran gadis dihadapannya ini. Padahal jelas ia merasa kesulitan dan tak nyaman, tapi tetap saja mengikuti egonya. Mana ada Tuan Putri yang tersiksa dengan gaun dihari pernikahannya nanti, khayalan bodoh seorang gadis remaja.

Asya telah sampai diruang ganti, ia dibantu oleh salah seorang perang pegawai untuk berganti pakaian disana. Walau ribet, tapi ia sangat menyukai gaun ini, gaun impiannya. Asya sangat senang berbincang dengan pegawai butik, mengenai gaun pernikahannya. Gaun yang selalu ada dalam khayalan Asya.

Gadis itu keluar ruangan, dan mendapati El masih berdiri disana menunggunya.

"Kamu pulang bareng Bunda dan Mama ya, aku ada rapat" ucap El lalu pergi sebelum mendengar jawaban Asya. Asya hanya bisa melihat kepergian El tanpa berkata apapun.

Melihat Mama dan Bunda yang masih sibuk memilih pakaian, Asya memutuskan untuk menunggu sembari duduk di sofa. Seperti sebelumnya ia kembali bermain dengan ponselnya, menonton drama Korea tentunya.

Waktu tak terasa begitu cepat berlalu. Asya terlelap di sofa karena menunggu Bunda dan Mama yang tak kunjung selesai berbelanja.

"Loh, El mana? Asya kok tidur disini sendiri" Tanya Bunda El sambil celingak-celinguk. Mama Asya membangunkan putrinya, sedang Bunda menelepon El dan meminta penjelasan.

"Kamu itu dimana? Asya dibiarin ketiduran di sofa, kalau ada yang macem-macem gimana?" Ucap Bunda kesal. El tentu tidak tahu jika Asya ketiduran, tetapi dia membela diri, karena itu juga kesalahan Bunda yang berbelanja terlalu lama. Ini sudah dua jam sejak El pergi, dan Bunda baru menghubungi dirinya.

"Gak usah alasan kamu. Awas aja kalau ke ulang gini lagi, Bunda gak akan maafin kamu" ancam Bunda lalu mematikan teleponnya.

Setelah Asya tersadar, mereka bertiga segera pulang selepas membayar semua belanjaan mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!