***
Suara sirine ambulan & polisi terdengar riuh, samar-samar wajah orang berlalu-lalang sibuk mengevakuasi korban. Sebuah mobil meledak ditengah jalan. Pemadam kebakaran kewalahan memecah kemacetan kota Denpasar. Banyak turis menyaksikan kecelakaan itu.
"Lihat wanita itu perutnya hamilnya besar, sepertinya ketubannya pecah" turis A menunjuk arah Laura.
Perawat mengangkat tubuh Laura masuk kedalam Ambulans. Dipasanhkannya alat pernapasan & selang infus.
"Bertahanlah Nona, kami akan menyelamatkanmu & bayimu. Tetaplah dalam kondisi sadar" Suara perawat itu terdengar samar karena sirine berbunyi sangat keras.
Laura memasuki ruangan operasi, disekeliling terlihat dokter sibuk akan membedah bagian perutnya. Laura yang dalam kondisi setengah sadar hanya bisa pasrah.
"Bagaimana ini, kondisinya semakin menurun." Ucap Dokter.
"Suaminya sedang perjalanan menuju Rumah Sakit." Seorang perawat mengabarkan.
"Kalau menunggu suaminya bisa tidak tertolong keduanya. Nyonya... nyonya apakah kau mendengar kami?" Dokter berusaha menyadarkan Laura.
"I... iya dok, aku bisa dengar." Jawab Laura tertatih.
"Kami harus mengambil tindakan operasi tapi harus ada persetujuan, antara bayi atau nyawa anda yang harus kami selamatkan." Dokter bertanya pada Laura.
"Tolong selamatkan bayiku, suamiku sangat ingin bayi ini." Laura memegang erat tangan Dokter.
"Brakkk..... Suaminya datang."Seorang perawat dari luar memberitahu .
"Biarkan suaminya masuk & berdiskusi dengan istrinya. " Perintah Dokter.
Ryan masuk dengan lunglai melihat istrinya berada diatas meja operasi.
"Sayang apa yang terjadi, bukannya aku memintamu untuk menunggu sampai aku kembali kenapa ini terjadi?" Ryan mengusap kepala istrinya.
"Tolong selamatkan bayi kita, aku sudah tidak sanggup lagi." Laura menahan sakit disekujur tubuhnya.
"Tidak, aku tidak bisa memilih diantara kalian. lebih baik aku saja yang mati daripada kalian berdua tiada salah satunya." Jawab Ryan tegas.
"Tuan jika kau tidak ingin keduanya pergi pilih salah satunya. Kondisinya sudah sangat kritis." Ucap perawat.
"Sayang, tolong besarkan bayi kita dengan baik. Aku mencintaimu sekarang maupun dikehidupan yang akan datang." Laura meregangkan tangannya yang digenggam erat oleh Ryan.
"Tuan tadi istri anda sudah menyetujui untuk menyelamatkan bayi anda. Maaf anda harus keluar ruangan karena kami akan mengambil bayi dalam kandungan istri anda." Dokter mengambil alih atas tubuh Laura.
Ryan tak kuasa menahan air matanya melihat istrinya sendiri diruang operasi. Keluarga sudah berdatangan menunggu diluar kamar operasi. Ryan hanya menangisi kedua orang yang ia cintai bertaruh nyawa.
" Kita doakan agar Laura selamat & bayinya sehat." Ibu Ryan memeluk putranya yang sedang rapuh.
"Bu... dokter sudah memberitahukan kalau Laura lebih memilih bayinya untuk hidup daripada dirinya. Huhuhu." Ryan semakin frustasi.
"Apa? Jadi Laura, tidak mungkin putriku mati. Kau berbohong Ryan. Dasar menantu tidak berguna kau hanya mencelakai Laura & calon cucuku." Ayah Laura kesal.
"Tuan Haris ini bukan saat yang tepat saling menyalahkan. Kami juga merasa sedih atas kecelakaan menimpa Laura. Kami juga mencintai Laura seperti Putri kami sendiri." Ibu Ryan membela putranya.
"Sudahlah jangan berdebat, saat ini aku ingin istri & anakku selamat." *Ryan berdiri menuju pintu operasi yang masih tertutup rapat.
"(Kalian harus selamat, aku tidak bisa hidup bila salah satu diantara kalian pergi*).
Dokter keluar dan menemukan Ryan berdiri tepat dihadapannya.
"Selamat Tuan, Putri anda terlahir sehat & cantik seperti ibunya". Dokter mengusap pundak Ryan.
"Syukurlah, akhirnya aku menjadi seorang ayah. " Ryan mengusap wajahnya.
"Akhirnya Laura menjadi ibu". Ayah Laura bersyukur.
"Bolehkah aku melihat keduanya?" Ryan antusias.
" Silahkan tuan menuju ruang perawatan bayi, tapi istri anda akan kami bersihkan karena dia meninggal 1jam yang lalu." Dokter pergi meninggalkan Ryan bersama iringan jenazah Laura yang sudah tertutup kain.
Ryan membuka penutup kain untuk memastikan betul-betul raga istrinya.
"Tidak.... tidak mungkin, Laura kau tidak boleh pergi. Bahkan hidup & matimu bersamaku. Walaupun menjadi arwah sekalipun kau tidak akan tenang tanpa ijinku." Ryan menangis sejadi-jadinya.
Beberapa satpam mencoba mengamankan kondisi Ryan. Karena kejadian ini begitu tiba-tiba membuat semuanya yang berada disitu merasa terpukul.
😍 Terimakasih sudah bersedia membaca Novel Keduaku. Semoga kalian terhibur, ingat klik like & Vote ya.😘
Seorang perawat datang memberitahukan kalau ada perwakilan dari pihak yang menabarak ingin berbicara. Ryan bersama ibunya menemui irene yang berada dikantor kepala rumah sakit yang sudah menunggu.
"Silahkan masuk Pak Ryan, perkenalkan Nona Irene adalah perwakilan dari pihak keluarga ingin menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya." Kepala Rumah Sakit mengawali pembicaraan.
"Maaf atas kelalaian Tuan Muda kami yang menyebabkan kecelakaan, sebagai rasa bersalah kami semua biaya rumah sakit & perawatan bayi anda selama 5 tahun kami tanggung. Dan kompensasi sebesar 10 milyar karena nyawa istri anda tidak terselamatkan. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mohon jangan salah paham atau tersinggung." Irene membungkuk penuh penyesalan.
"Hanya kalian orang kaya lalu seenaknya saja menilai nyawa kami dengan uang yang kalian miliki? Bagaimana aku membesarkan Putri tanpa kasih sayang ibu. Katakan kepada Tuan Muda kalian untuk menukar nyawanya dengan istriku! Ryan berdiri amarahnya memuncak.
"Tenang sabar dulu Pak Ryan, saat ini keadaan Tuan Muda juga sudah diujung tanduk. Beliau masih diruang isolasi karena gagar otak, mengalami luka cukup serius. Kondisinya juga sangat kritis bahkan kami sebagai pihak rumah sakit akan membuat rujukan ke Singapura." Kepala Rumah Sakit mencoba menjelaskan.
"Maaf Pak Ryan kesalahan bukan sepenuhnya pada Tuan Muda kami. Dari rekaman CCTV istri anda berjalan di trotoar saat lampu hijau. Dan saat itu suasana jalan lengan, kondisi Tuan Muda kami dalam keadaan mengantuk berat. Juga rem mobilnya ternyata blong. Pihak polisi sudah mengirimkan salinan & beberapa foto bukti." Irene menyerahkan berkas yang berada ditangannya.
Ryan tidak percaya kalau istrinya memang melanggar lampu hijau saat melewati zedra cross. Dan benar mobil sudah mengklakson berkali-kali tapi istrinya tetap mengabaikannya. Laur tengah asik bermain ponsel yang ia pegang.
"Pak Ryan dalam kasus ini istri anda juga bersalah. Tapi karena kebaikan & kemurahan hati Tuan muda kami ingin agar masa depan Putri anda terjamin. Sebenarnya Tuan Muda kami ingin mengajukan tuntutan tapi beliau urung melakukannya." Irene berjalan mendekati Ryan.
"Nak, apa yang dikatakan Nona ini ada benarnya. Laura juga teledor bermain ponsel hingga mengabaikan keselamatan diri & bayinya. Bahkan menyebabkan keadaan Tuam Muda tersebut kritis. Kau jangan egois, mereka juga punya keluarga seperti kita. Mereka sudah ada itikat baik tapi kau masih saja menutup hati nuranimu." Ibu Ryan memeluk anaknya.
"Baiklah, aku akan mencoba mengerti. Sampaikan terimakasih kepada Tuan Muda kalian yang sudah memikirkan nasib kami." Ryan terduduk lemas.
"Ini ada buku tabungan untuk Putri anda, kwitasi pembayaran biaya rumah sakit & cek yang bisa anda cairkan. Bila ada keperluan lain silahkan hubungi saya. Sekali lagi kami turut berduka cita sedalam-dalamnya. Maaf saya harus segera mengurus hal lain. Selamat tinggal." Irene keluar pertamakali dari ruangan kepala Rumah Sakit.
***
Didepan lobi rumah sakit Irene menunggu Tuan & Nyonya Wijayakusuma yang terlihat panik dengan keadaan putranya.
"Bagaimana keadanan Javier-ku?" Nyonya Wijayakusuma menarik tangan Irene.
"Saat ini masih ditangani dokter, sebentar lagi helikopter tiba untuk menjemput Tuan Javier." Irene menegaskan.
"Apakah kau sudah mengurus semua?" Tuan Wijayakusuma mendekati Irene sambil mengusap pundak istrinya.
"Sudah Tuan Besar, silahkan ikuti saya menuju ruang isolasi Tuan Javier." Irene berjalan didepan.
***
Suasana rumah Laura dipenuhi pelayat yang silih datang berganti. Rangkaian bunga belasungkawa berdiri berjajar sebagai ungkapan duka mendalam.
"Kenapa rumahku sangat ramai, suamiku kenapa menangisi jasad yang tertutup kain? Laura masih belum menyadari kalau dia yang terbujur kaku.
"Laura putriku, kenapa kau meninggal seperti ini nak." Ayah Laura menangis sembari mencium kening Laura yang terhalang kain.
"Ayah, aku disini woy. Coba lihat aku kearah sini, apak kalian tidak mendengar suaraku. yuhuuuu..... " Laura mencoba menyentuh tubuh ayah maupun suaminya namun tak bisa.
Laura menyadari bahwa tubuhnya sudah berada di dimensi lain. Dia bisa melihat orang melayat tapi tidak bisa berkomunikasi layak manusia biasa. Laura sangat kebingungan seolah ini hanya mimpi berharap dia akan kembali tersadar.
Laura kebingungan karena dia tidak bisa berkomunikasi & menyentuh orang-orang. Laura lantas melayang diatas halaman rumahnya. Datanglah rombongan keluarga pihak pasien yang koma itu. Laura kemudian turun lagi posisinya tapu tak menyentuh tanah ujung kakinya.
"Kami sekeluarga turut belasungkawa sedalam-dalamnya." Hansen mewakili keluarganya.
"Terimakasih Tuan, saya pribadi juga minta maaf karena menyebabkan kondisi salah satu keluarga Tuan kritis." Ryan menjawab.
"Marilah kita bersama-sama mendoakan semoga istri anda tenang disana." Tuan Wijayakusuma mengelus pundak Ryan untuk menguatkan.
Mereka bersama rombongan mengantar jasad Laura ke peristirahatan terakhirnya. Laura yang masih mengikuti rombongan itu sambil menyaksikan tubuhnya tertutup penuh oleh gundukan tanah. Hingga semuanya berangsur-angsur pergi, Laura memutuskan mengikuti rombongan keluarga Wijayakusuma. Ternyata mereka menuju rumah sakit dimana ia dirawat terakhir hingga menghembuskan nafas terakhirnya.
"Aku ingin melihat Putri dari wanita Malang itu, bisakah kau mengantarku kesana Irene." Tanya Nyonya Wijayakusuma menghentikan langkahnya.
"Baik Nyonya silahkan ikuti saya." Irene berjalan didepan sebagai penunjuk jalan.
Demikian Laura yang masih penasaran itupun mengikuti langkah rombongan keluarga Wijayakusuma. Sampai didepan cermin besar mereka berhenti. Seorang suster menggendong seorang bayi mungil sambi memperlihatkan betapa menggemaskan bayi tanpa ibu itu.
"Kasihan bayi sekecil itu tidak memiliki ibu, Hansen kelak kau menikahi Diandra jangan biarkan hal seperti ini terjadi. Kau paham kan? " Nyonya Wijayakusuma menoleh Hansen dengan harapan penuh.
"Bila ibunya tidak ceroboh bermain ponsel dijalan pasti Javier juga tidak se kritis sekarang ini." Imbih Hansen mengepal tangannya.
"Dasar pria bermulut tajam, ingin kutinju tapi tidak bisa." Laura berusaha meninju Hansen berulang kali.
"Irene apakah benar mobil Javier mengalami rem blong? " Tuan Wijayakusuma bertanya sambil melipat kedua tangannya.
"Benar tuan, sebelumnya keryawan bengkel sudah memanipulasi perbaikan. Dia akan kami urus kejalur hukum karena kelalaian bekerja." Irene tegas menjawab.
"Suamiku, ayo kita melihat Javier. Hansen jangan beritahu Diandra, aku takut dia akan merasa bersalah. " Nyonya Wijayakusuma menggandeng tangan suaminya meninggalkan tempat bayi.
"Irene, coba kau hubungi Diandra apa ada jadwal Javier dalam waktu dekat ini. Sepertinya dia akan pulih dalam waktu yang lama juga." Hansen mengikuti orang tuanya pergi.
"Baik tuan."
Laura yang mendengar perbincangan tersebut sadar bahwa tindakannya sudah banyak membuat masalah. Suami & Putri kecilnya bukan saja menjadi korban tetapi keluarga orang lain juga. Laura tahu bahwa menerima kompensasi banyak dari keluarga konglomerat tersebut.
***
"Javier yang malan, dia harus menderita seperti ini. Apakah sudah mendapat kabar rumah sakit rujukan di Singapura?" Nyonya Wijayakusuma bertanya pada suaminya.
"Sudah, sekarang kita harus bersiap pulang istirahat. Besok kita antar Javier ke Singapura langsung dari Bali." Tuan Wijayakusuma memeluk istrinya yang tak berhenti menangis.
"Ayah & ibu pergilan mengantar Javier, aku akan mengurus bisnis & pekerjaan Javier dulu. Bagaimanapun juga Javier adalah adikku. Tetap aku sangat sedih & terpukul, jika sudah beres aku segera menyusul."Hansen ikut memeluk ibunya yang menangis dipelukan ayahnya.
Suasana ruangan itu penuh haru, Laura yang sudah matilun bisa melihat kepedihan yang tersirat. Seorang pria terbalut perban disekujur tubuhnya & alat bantu bertahan hidup. Beberapa selang tertanam dalam tubuhnya. Keadaanya seolah tak ada harapan hidup. Laura keluar dari ruangan tersebut.
"Eh kau bisa melihatku ya, dari tadi kau menatapku? " Laura menunjuk hidungnya.
"Iya, sangat jelas bahkan aku ingin merontokkan gigimu itu." Javier mengatakannya penuh amarah.
"Apakah kau hantu juga sepertiku?"
"Apak kau buta, pria yang terbaring didalam itu adalah aku. Kau tahu karena kebodohanmu bermain ponsel sudah merusak hidup berapa orang hah." Javier maju mendekati Laura.
"Sepertinya keluargamu juga kaya, karena sudah memberikan kompensasi sangat besar. Terimakasih." Laura mundur kebelakang.
"Cih.... Semasa hidup kau pasti banyak menyebabkan kesulitan ya. Sampai matipun kau masih menyusahkan saja." Javier maju mendekatkan wajahnya ke wajah Laura.
"(Ya ampun tampan sekali sih hantu ini, seperti artis Korea yang dramanya banyak aku tonton. Tapi siapa ya sepertinya aku lupa)". Laura menatap Javier kagum.
"Kau sedang mengagumi wajahku yang tampan inikah. Kau pasti tidak asing bila pernah melihat drama Korea." Javier dengan bangga menolehkan kepalanya.
"Apakah kau artis Jung?"
"Baguslah otakmu masih berfungsi saat sudah mati." Javier tersenyum sinis.
"Pria didalam sana juga tidak kalah tampan. Tapi mulutnya sangat tajam & angkuh. Pasti wanita bodoh & mengincar hartanya yang mau dengan pria seperti itu hahahaha."
"Jangan asal bicara atau kau tidak bisa reinkarnasi. Dia memiliki wanita yang luar biasa, gadis yang aku cintai akan menikah dengannya. Jadi kakak iparku, itulah kenapa aku datang ke Bali." Javier menembus masuk ruangan ia dirawat.
"Jadi itu sebabnya ya, setidaknya kau masih ada harapan hidup. Sedangkan aku sudah mati jasadku sudah terkubur. Kau harus berjuang untuk merebutnya kembali jika hidup. Karena aku lihat kakakmu sangat sadis."
"Kau salah lagi, kenyataannya kakakku memberikan segalanya. Aku yang sebenarnya serakah dalam hidup & masih ingin memiliki wanitanya." Javier melayang meninggalkan ruangangan melewati jendela.
Javier lalu berada di sebuah taman rumah sakit diikuti Laura.
"Aku ingin kembali ke tubuhku, melanjutkan hidupku. Walaupun seumur hidupku dipenuhi cemburu melihat wanita yang aku cintai bersanding dengan kakakku sendiri." Javier melayang mengelilingi taman bunga.
"Hai kenapa kau tak mencobanya?" Laura mengejar Javier.
"Aku sudah mencobanya, tapi seorang pria memakai baju serba hitam mengatakan sebelum memperoleh air mata wanita yang aku cintai maka tubuhku sulit menerima jiwaku." Javier memasang wajah frustasi.
"Tadi ibumu berpesan kalau Diandra tidak boleh tahu keadaanmu, takut kalau merasa bersalah. Begitu yang aku dengar." Laura mengulangi perkataan Nyonya Wijayakusuma.
"Benarkah? Padahal Lucifer berpesan waktuku hanya 40 hari kalo tidak bisa maka aku mati." Javier semakin frustasi.
"Baiklah aku akan mencoba masuk ke tubuhmu jika kau bersedia." Laura memberikan ide lada Javier. Karena berpisah dengan orang yang dicintai tanpa pesan terakhir sangat menyakitkan. Terlebih lagi Laura melihat Javier masih ada kesempatan hidup walaupun sangat tipis.
Tiba-tiba Hansen & Irene melintasi mereka ketika hendak menuju parkiran mobil. Javier & Laura sepakat mengikuti mereka berdua menyelinap dalam mobil. Sambil mendengarkan pembicaraan mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!