"Bagaimana saksi?"
"Sah."
"Sah."
Suara-suara itu terdengar di telingaku, ritual terus berlanjut. Tapi, aku masih linglung dengan perasaan galauku.
Pria di sampingku kemudian menyematkan cincin di jariku dan membuatku tersadar bahwa aku telah sah menjadi istrinya. Apapun perasaan keraguan yang kurasakan saat ini, harus segera kuhapus. Karena, siap tidak siap aku harus mulai menjalani kehidupan baruku -menjadi seorang istri dari pria yang nyaris sempurna.
Sebenarnya aku bahagia, sangat bahagia. Tak kusangka jodohku begitu sempurna. Semuanya berawal dari tawaran Tante Ros, tetangga sebelah rumah kontrakanku.
Ia ingin mengenalkanku pada sepupunya yang masih melajang, meski usianya sudah matang. Tante Ros lalu mengatur pertemuan kami dan aku sempat tak yakin sepupunya mau dijodohkan denganku.
Saat itu aku hanya berpakaian biasa, tampil seadanya karena pada kenyataannya aku memang wanita biasa-biasa saja. Aku tak punya apapun untuk kutampilkan dan kubanggakan. Aku terduduk di teras rumah Tante Ros yang begitu luas, menunggu detik-detik kemunculan pria yang membelalakkan mataku.
Sebuah mobil mewah merapat, turun seorang pria maskulin yang begitu rapi dan wangi dari dalamnya. Badannya tinggi kekar, wajahnya rupawan. Dia pria tertampan yang pernah kulihat secara langsung dalam hidupku. Hatiku bergetar seketika. Itulah kesan pertama saat aku melihatnya.
Jarum jam serasa terhenti, tapi dia berjalan mendekatiku, menyapaku saat aku masih terbengong dengan pikiran yang berkecamuk. 'Ya Tuhan, mengapa pria sesempurna ini bisa belum mendapatkan pasangan sampai sedewasa ini?' batinku. Rasanya aneh saat menyadari pria di hadapanku ini nyaris sempurna, tapi hingga sekarang belum memiliki jodoh.
Sikapnya begitu sopan, dia orang yang berpendidikan. Di usianya yang ke-32 tahun saat ini dia sudah bergelar doktor dan memegang jabatan cukup tinggi di universitas. Aku merasa sangat kecil, tak sebanding, dan tak pantas dijodohkan dengannya.
Aku lebih banyak terdiam dalam percakapan kami, hanya menjawab seadanya.
"Orang tua kamu sudah lama meninggal?" Suaranya yang berkarakter membuatku semakin menduga ia begitu sempurna.
"Bapak sudah meninggal sejak aku SD. Ibu meninggal sekitar 3 tahun lalu, " jawabku apa adanya.
"Jadi kamu tinggal dengan siapa? Lalu, yang membiayai hidup kamu selama ini...." Kalimatnya terpotong begitu saja.
"Aku tinggal sendirian, aku bekerja di rumah makan," ucapku begitu pelan. Ada perasaan sedikit malu terselip dalam suaraku.
Aku tak yakin dia bisa menerima keadaanku yang hanya bekerja serabutan sebagai pelayan restoran. Sedangkan, dia seorang profesional yang memiliki karir tinggi.
"Kamu sudah biasa bekerja urusan rumah tangga berarti ya?" ucapnya kemudian. "Kamu bisa masak, mencuci, bersih-bersih?"
"Rania jagonya urusan rumah tangga," jawab Tante Ros yang tiba-tiba muncul ikut mencampuri pembicaraan kami.
"Kamu gak bakal kecewa, Darwin. Tante kenal betul sama Rania sejak kecil. Rania ini anak yang mandiri, rajin, baik. Kamu pasti bahagia kalo jadi suaminya." Tante Ros begitu semangat mempromosikan aku. Sedangkan aku, aku semakin tak percaya diri.
"Baguslah kalo begitu," ucapnya kemudian. "Aku suka."
Aku tercengang.
"Aku suka wanita rumahan yang bisa mengurus rumah tangga." Ia memperjelas ucapannya.
"Darwin ini pemilih Rania. Dia gak suka wanita yang sukanya hanya senang-senang, tidak bisa mengurus rumah tangga, tidak bisa mengurus anak." Tante Ros semakin memperjelas maksud Darwin, lelaki yang akan dijodohkan denganku.
"Tapi, aku merasa kurang pantas, Tante." Aku beranikan diri untuk menyampaikan kegalauan yang bergemuruh di hatiku sejak tadi.
"Loh, mengapa?" Tante Ros mengernyitkan dahinya.
"Mas...." Aku terbata-bata menyampaikan isi hatiku. "Aku tidak tamat SMA, pendidikanku hanya sampai kelas 2 SMA."
"Tidak butuh ijazah dan gelar tinggi," ucap Darwin tiba-tiba. "Aku mencari istri, bukan membuka lowongan pekerjaan."
"Tidak masalah Rania, yang penting bisa mengurus anak dan rumah tangga," tambah Tante Ros.
Aku mengangguk pelan. Namun, hatiku masih terus saja ragu. Aku bumi yang selalu diinjak orang-orang. Aku kotor, tak semua orang mau menyentuhku dengan tangannya, bahkan dengan kakinya. Aku terlalu rendah.
Dia langit yang selalu dipandang penuh kekaguman banyak orang. Dalam tiap angan manusia ada keinginan untuk menggapai langit, namun terlalu sulit.
Aku tak yakin aku pantas untuknya. Hal itu masih saja terus bergulat dalam benakku. Bahkan, hari ini setelah ia mengucapkan akad nikah dengan lantang di hadapan banyak orang, aku masih saja merasa tak cukup pantas untuknya.
'Apakah ia terlalu sempurna untukku?' batinku. 'Ataukah aku yang tak cukup kuat untuk mengimbanginya?'
Usia kami berbeda jauh. Bulan depan usiaku baru akan genap sembilan belas tahun. Mungkin aku hanya gadis kecil ingusan di matanya.
'Mengapa aku terus berpikir kacau seperti ini?' Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sendiri.
'Aku sudah menjadi istrinya. Aku harus berusaha menjadi istri yang baik untuknya,' batinku.
"Mengapa geleng-geleng kepala?" tanya mas Darwin tiba-tiba.
"Deg! Deg! Deg! Deg!" Jantungku berlompatan sangat kencang.
Ia mendekatiku sambil memegang secangkir kopi hangat di tangannya.
Aku spontan bergeser dari posisi dudukku semula, agak menjauhinya. Aku belum terbiasa sedekat ini dengan lelaki manapun dalam hidupku. Sekarang kami berdua berada dalam satu kamar yang tertutup rapat, hanya berdua dan aku tak pernah segugup ini sebelumnya.
Aku duduk di kursi meja rias sejak tadi, tak berani menyentuhkan tubuhku pada tempat tidur yang sudah dihias indah bertabur bunga. Meskipun, sebenarnya tubuhku sudah sangat lelah setelah menjalani acara pernikahan seharian tadi.
"Mengapa belum istirahat?" tanyanya.
"Hah?" Aku terbengong.
"Kalo kamu mau rebahan, ya sudah langsung guling saja di kasur!" ucapnya. "Istirahatlah! Kamu pasti sudah lelah kan, acaranya dari pagi."
Aku terdiam. Bingung.
"Anggap saja tempat tidur kamu sendiri! Mulai sekarang kamarku ini ya jadi kamar kamu juga," tambahnya.
Aku hanya tersenyum kecil.
"Istirahat saja duluan! Aku masih harus menyelesaikan tugas dari universitas terlebih dahulu. Deadlinenya besok. Jadi, aku harus kejar malam ini," ucapnya lalu berjalan ke arah meja kerjanya di dekat jendela.
Ia menarik kursi, meletakkan cangkir kopinya di meja, lalu membuka laptop. Kemudian, ia larut dengan pekerjaannya.
Aku pun berusaha menghilangkan perasaan tidak nyamanku dengan membaca pesan-pesan yang masuk di ponselku. Begitu banyak ucapan selamat untuk pernikahan ini, hampir semua teman mendoakan agar pernikahanku langgeng dan samawa.
Tapi, sebuah pesan dari Nelly -teman akrabku bekerja di rumah makan- begitu menyita perhatianku. 'Luar biasa beruntung kamu Rania. Aku lihat suami kamu... baru satu kali saja pas akad nikah tadi, langsung klepek-klepek. Wuihhhh gantengnya, mempesona kebangetan. Berwibawa buangett, rontok hatiku. Kok bisa ya pangeran nyantol ke kamu. Andaikan aku jadi kamu, pasti suennneeeeeeeenggg buanget buanget rasanya.'
'Iya, alhamdulillah, Nelly.' Aku mengetik balasan pesan untuk Nelly.
Kemudian, sebuah pesan balasan muncul di ponselku. Aku membacanya. 'Kamu harus pintar-pintar menjaga suamimu Rania. Tidak banyak wanita di luar sana seberuntung kamu. Sedikit saja kamu lepas suamimu, ratusan wanita akan menyambarnya. Termasuk aku... Hehe, bercanda....'
Aku tersenyum membaca pesan Nelly lalu membalasnya. 'Iya, Nelly terima kasih nasehatnya. Semoga kamu juga segera mendapatkan jodoh yang terbaik.'
Aku menutup ponselku. Lalu, diam-diam memandangi dia di ujung sana melalui pantulan cermin di hadapanku. 'Dia adalah jodohku,' batinku. 'Aku harus menjaganya sebaik mungkin.'
"Mas Darwin mau pergi kemana?" tanyaku. "Aku boleh ikut?"
"Kamu di sini saja, jangan kemana-mana!" ucap mas Darwin. Lalu, ia pergi begitu saja menuju sebuah perahu di pinggir danau.
Aku hanya terpaku melihat dari kejauhan. Mas Darwin melangkahkan kakinya ke dalam perahu dan mulai menjalankan perahunya tanpa sekalipun lagi menoleh padaku. Ia meninggalkanku begitu saja.
Tiba-tiba, aku terbangun dari mimpiku. 'Astaga!' Karena terlalu lelah, ternyata aku tertidur pulas begitu saja di atas tempat tidur.
Aku mengusap mataku kemudian melihat sisi kasur di sebelahku. Tidak ada mas Darwin di sana. "Apa dia belum tidur?" pikirku. Tapi, lampu kamar sudah dimatikan.
Aku lalu menghidupkan lampu kamar dan kulihat mas Darwin tidur di kursi kerjanya. Tubuhnya ditutupi selimut. Laptopnya sudah dimatikan dan ditutup. Dia sudah tidak mengerjakan tugasnya lagi. 'Itu berarti dia bukan tidak sengaja ketiduran, tapi memang sengaja tidur di sana,' pikirku.
'Mengapa dia tidak tidur di kasur, di sebelahku?' pikirku lagi. Tapi, ia sudah tidur terlalu pulas. Aku tak tega membangunkannya.
'Kasihan sekali. Sepertinya dia sangat lelah. Di hari pernikahan saja dia masih harus menyelesaikan tugas kantor. Mengapa dia tidak mengambil cuti?' pikirku.
Aku melirik kalender di atas meja kerjanya. Salah satu tanggal dilingkari spidol merah bertuliskan 'Ujian Semester'.
'Oh, mungkin karena jadwal ujian hanya tinggal satu minggu lagi dari sekarang, makanya dia tidak mengambil cuti,' pikirku lagi.
'Apa karena hidupnya seperti ini, dia jadi terus melajang selama ini?' batinku. 'Dia sibuk dan gila kerja,' pikirku.
Aku berusaha menghubung-hubungkan kondisinya saat ini dengan alasan mengapa dia terus melajang. Sejujurnya aku sangat penasaran, penasaran sekali mengapa dia tak menikah hingga akhirnya usianya sedewasa ini. Tapi, aku tak sempat menanyakannya pada mas Darwin. Tante Ros hanya bilang mas Darwin tipikal orang pemilih. Jadi, dia susah mendapatkan pasangan yang cocok dengannya.
'Tapi, mengapa saat bertemu denganku... dia langsung setuju menikahiku tanpa banyak pilih-pilih?' Hatiku terus bertanya-tanya. 'Apa yang membuat dia begitu yakin dan mantap untuk menikahiku? Padahal, kami baru bertemu, belum mengenal satu sama lain. Di hari pertama bertemu dia langsung memutuskan untuk menikahiku. Hal ini agak sedikit aneh bagiku.' Pikiranku terus berkecamuk hingga aku tertidur kembali.
Pukul empat pagi. Aku keluar dari kamarku menuju kamar mandi. Aku sudah terbiasa bangun sepagi ini setiap hari. Jadi, spontan saja alarm tubuhku membuatku ingin buang air kecil.
Saat aku ke kamar mandi betapa terkejutnya aku. Ada sedikit bercak darah, aku menstruasi. Aku tercengang.
'Mas Darwin pasti akan kecewa,' pikirku. Semalam berlalu begitu saja tanpa ia sempat melakukan apapun padaku. Hari ini hingga satu minggu ke depan aku takkan bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang istri. 'Semoga dia bisa memakluminya,' ucapku dalam hati.
Lalu, aku bergegas kembali ke kamar untuk segera menggunakan pembalut.
"Mau tidur lagi?" Suara seseorang membuatku terhenti sejenak untuk membuka pintu kamar.
Aku menoleh ke belakang. "Ibu," ucapku. "Ibu sudah bangun."
Ibu mas Darwin menatapku dengan wajah masam. "Menantu zaman sekarang maunya molor sampai siang," ocehnya. "Menantu zaman dulu, mertua belum bangun... menantu sudah masak di dapur."
'Astaghfirullah.' Aku terdiam. 'Mengapa Ibu berkata seperti ini padaku?' ucapku dalam hati.
Lalu, ia berlalu begitu saja dari hadapanku. Tapi, pandangan matanya benar-benar tak mengenakkan hatiku.
'Aku harus bangun lebih pagi besok, sebelum Ibu bangun,' pikirku. Lalu, aku bergegas melanjutkan langkahku.
Pukul enam pagi, aku sudah menghidangkan teh dan sarapan di meja makan. Mas Darwin dan ibunya menarik kursi lalu duduk mengitari meja makan sambil mengobrol.
Aku menuangkan teh di gelas untuk ibu dan mas Darwin .
"Kamu itu Rania pagi-pagi seperti ini harusnya sudah mandi. Dandan yang cantik, wangi," ucap Ibu. "Ibu dari muda dulu pagi-pagi sekali sudah mandi. Jadi, sebelum berangkat kerja, suami senang lihat istrinya segar. Tidak kusut, bau iler, bau asap."
Mas Darwin hanya tersenyum-senyum saja mendengar ocehan ibunya. Sementara itu, aku merasa sedikit tertusuk di dalam hati. Namun, aku coba untuk tetap tersenyum.
Ibu lalu menyeruput tehnya. Lalu, "Hmmhh, alangkah manisnya." Ia berkata dengan nada tidak senang.
Padahal, aku membuatkan teh dengan rasa manis yang sedang, tidak terlalu manis. Tapi, ibu tidak menyukainya.
"Begini nih kalo dapat menantu gak punya basic pendidikan tinggi," ucapnya kemudian. "Gak ngerti kalo orang tua itu rentan terkena diabetes, gak boleh minum yang manis-manis. Minim informasi, pengetahuannya gak sampe ke sana."
"Bu...." Mas Darwin berusaha menyudahi ocehan ibunya. Tapi, ibu tetap melanjutkan ucapannya. "Lain kali kalo buat teh, manis jambu saja!"
"Manis jambu?" Tanpa kusadari bibirku spontan bertanya.
"Manis jambu juga gak ngerti," ucap ibunya dengan nada meremehkanku.
"Kamu pernah makan jambu air kan? Apa rasanya?"
Aku hanya terdiam.
"Manis kan, tapi manisnya tidak banyak, rasa manisnya tipis. Ngerti?" Nada ucapan ibunya begitu keras.
Aku nyaris menitikkan air mataku dan kulihat mas Darwin hanya terdiam menatap kosong. Tak kusangka ibu mertuaku secerewet dan sekasar ini. 'Apa karena ini juga mas Darwin susah mendapatkan pasangan?' pikirku.
"Masak nasi terlalu lembek," lanjut ibunya kemudian sambil memasukkan secentong nasi ke dalam piringnya.
"Maaf, Bu. Aku terbiasa masak nasi begitu kalo di rumah. Aku gak tahu kalo ibu tidak suka. Lain kali...." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, ibu segera berkata, "Kebiasaan kamu sehari-hari di rumah jangan dibawa ke sini! Beras di rumah ini beras kualitas bagus, lembut. Jadi, masaknya gak perlu banyak air. Jangan samakan dengan beras kamu di rumah! Beras murah, keras."
'Astaghfirullah.' Aku merasa terhina sekali dengan perkataan ibu mertuaku.
"Pepatah zaman dulu bunyinya 'Dimana tanah dipijak, di situ langit dijunjung'. Kamu paham tidak maksudnya?"
Aku mengangguk pelan. Aku tak mengerti mengapa ibu begitu kasar kepadaku dan mas Darwin hanya diam saja, seolah membiarkan.
"Rania, kamu harus sabar," ucap mas Darwin saat ibu sudah meninggalkan meja makan. "Ibu memang begitu. Dia keras dan cerewet. Tapi, sebenarnya dia sangat baik. Kamu harus sabar, nanti kamu akan terbiasa."
'Terbiasa,' pikirku. Mas Darwin menganggap perlakuan ibunya padaku seperti tadi itu adalah hal biasa. Mas Darwin seolah memberi izin pada ibunya untuk terus memperlakukanku tidak menyenangkan seperti tadi. Dia tidak membelaku, tidak juga memberikan perlindungan kepadaku.
'Apakah aku harus memaklumi sikap ibu? Apakah aku bisa beradaptasi dengan keadaan ini?' batinku.
'Aku harus keluar dari rumah ini. Kami harus tinggal di rumah yang berbeda.' Tiba-tiba pemikiran itu muncul begitu saja di otakku.
'Aku tidak akan bisa membiarkan ibu mertuaku menginjak-injak harga diriku setiap hari. Aku harus keluar dari rumah ini.'
Hari ini adalah hari Minggu, tapi mas Darwin sejak tadi masih saja sibuk berkutat di depan laptopnya. Sementara itu, aku sejak tadi menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengannya.
"Mas, seterusnya nanti kita tinggal menetap dimana?" Aku memberanikan diriku untuk bertanya.
Mas Darwin mengernyitkan dahi tanpa menatapku.
"Maksudku... Mas kan setiap hari bekerja di Indralaya. Sekarang kan kita tinggal di Kayuagung. Jarak dari sini ke Indralaya kan tidak dekat, belum lagi sering macet setiap hari. Apa tidak sebaiknya kita tinggal di Indralaya saja, Mas?" Aku berusaha menjelaskan dengan sebaik mungkin agar tidak menyinggung perasaannya.
"Kamu tersinggung dengan sikap ibu tadi pagi ya." Mas Darwin langsung berkata seperti itu padaku seolah bisa membaca isi pikiranku.
"Kamu harus betah tinggal di sini bersama ibu," ucapnya lagi.
"Bukan begitu, Mas."
Mas Darwin menatapku seolah menunggu lanjutan perkataan dari bibirku.
"Aku takut tidak bisa menjadi menantu yang baik untuk ibu," ucapku kemudian.
"Kamu hanya belum terbiasa." Mas Darwin berkata dengan begitu tegas. "Kamu belum memahami ibu. Kita baru menikah kemarin. Kamu masih shock menghadapi sikap ibu. Nanti lama-lama kamu akan betah tinggal di sini. Anggap saja ini rumahmu sendiri."
"Ucapan ibu tidak perlu terlalu kamu masukkan dalam hati. Ibu memang begitu. Sikapnya keras."
"Tapi, alangkah baiknya kalo kita tinggal di Indralaya saja, Mas. Lebih dekat dengan tempatmu bekerja. Kayuagung dan Indralaya kan beda kota." Aku masih berusaha membujuk mas Darwin.
"Kamu tetap tinggal di sini, Rania. Aku akan tetap tinggal di rumah dinasku di Indralaya seperti sebelum menikah," ucap mas Darwin segera.
Mataku membola. Aku tercengang mendengar ucapan mas Darwin.
"Kamu akan tinggal di sini menemani ibu. Sabtu dan Minggu aku akan pulang ke sini, tidur di rumah ini. Tapi, di hari aktif kerja -Senin sampai dengan Jumat- aku akan menginap di Indralaya karena jarak dari sini kan jauh."
Aku terhenyak mendengar penjelasan mas Darwin. "Kita berdua tidak tinggal serumah," ucapku.
"Ya, tinggal satu rumah. Sabtu dan Minggu kan aku di sini. Hanya hari aktif kerja saja aku menginap di Indralaya," ucapnya.
"Mengapa aku tidak tinggal bersama kamu, Mas?" tanyaku.
"Nanti siapa yang menemani ibu? Ibu sudah tua, lemah. Harus ada orang yang menjaganya. Kasihan kalo ibu sendirian," jawab mas Darwin.
"Tapi, kata Mas tadi... sebelum menikah kan Mas tinggal di Indralaya. Itu artinya ibu sudah biasa tinggal sendiri kan," ucapku.
"Tidak, Rania. Dulu Yuk Selvi, suami, dan anak-anaknya tinggal di sini. Sekarang karena sudah punya rumah sendiri mereka pindah. Ibu jadi sendirian. Makanya, ibu memintaku segera menikah agar dia tidak kesepian."
Aku mengingat Yuk Selvi adalah kakak perempuan mas Darwin. Dia tinggal tidak terlalu jauh dari rumah yang kami tempati saat ini.
"Yuk Selvi tinggal di dekat sini, Mas. Dia bisa menemani ibu," ucapku.
"Dia kan sudah berumah tangga. Dia punya kehidupan sendiri. Tidak bisa menemani ibu seharian. Sekali-kali saja dia ke sini." Mas Darwin terus berusaha membuatku mengerti.
"Aku ini anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini, Rania."
Aku menatap mas Darwin dengan tatapan kesedihan.
"Ibu maunya tinggal denganku, bukan dengan Yuk Selvi ataupun dengan Yuk Nia."
Aku hanya terdiam.
"Sudah kewajibanku sebagai anak laki-laki untuk mengurus dan berbakti pada ibu di masa tuanya," tambah mas Darwin.
"Jadi, kamu harus membiasakan diri. Lama-lama kamu akan akrab dengan ibu."
Aku menitikkan air mata. Perkataan demi perkataan mas Darwin membuat harapanku tentang kebahagiaan setelah pernikahan layu dalam sekejap.
"Kamu harus belajar dekat dengan ibu," ucap mas Darwin menyemangatiku.
Dia lalu menutup laptopnya dan membereskan kertas-kertas di mejanya. "Sudah hampir jam 3," ucapnya.
"Aku harus siap-siap pulang," lanjutnya.
"Pulang?" Aku tak mengerti dengan ucapannya.
"Ya, aku harus segera pulang ke Indralaya sebelum jalan macet. Sore dan malam biasanya jalan macet. Jadi, aku harus pulang sebelum sore," jelasnya.
"Ini kan masih hari Minggu, Mas. Mengapa tidak besok pagi saja kamu berangkat dari sini?" tanyaku.
"Senin pagi-pagi sekali aku harus sudah berada di kampus. Lagipula, banyak yang harus aku siapkan. Tidak akan terkejar kalo aku berangkat besok pagi dari sini," jawabnya sambil mengeluarkan tas dari dalam lemari dan mengisinya dengan sejumlah pakaian.
'Pernikahan apa ini?' pikirku. 'Mas Darwin akan meninggalkanku begitu saja di sini. Artinya, dalam setiap minggu aku hanya akan bertemu dengan mas Darwin kurang dari 48 jam.'
"Sampai kapan akan seperti ini, Mas?" tanyaku.
"Yaa, kita jalani saja dulu. Nanti kita pikirkan lagi pilihan yang terbaik," ucapnya dengan ringan.
Ternyata apa yang aku mimpikan semalam kini menjadi kenyataan. Mas Darwin pergi meninggalkanku begitu saja. Aku terperangkap di sini, pelosok Kayuagung yang jaraknya satu jam perjalanan ke pusat Kota Kayuagung. Aku sebatang kara, tak ada yang kukenal selain keluarga suamiku di sini.
Sering aku berpikir, 'Pernikahan apa yang aku jalani?' Situasi membuatku tidak layak disebut istri, aku lebih pantas disebut pelayan ibu.
Hari-hari kujalani dengan cacian ibu karena di matanya semua yang kulakukan salah, tidak sempurna. Aku tidak tahu bisa bertahan hingga kapan. Satu-satunya yang kuharapkan saat ini adalah pertemuan dengan mas Darwin. Aku menunggunya berhari-hari, hingga akhirnya hari Sabtu tiba.
"Suami mau pulang, kamu tidak beres-beres kamar. Bagaimana suami mau betah?" Ibu mencibirku siang ini.
Aku menghela nafas panjang. Kupandangi kamar kami, semuanya tampak bersih, rapi.
"Lemari pakaian berdebu, lap pakai kain! Pakai cairan pembersih kayu supaya kinclong, suami pulang jadi senang." Ibu masih saja mengoceh dari luar kamar.
Aku pun lalu mengambil lap dan cairan pembersih. Aku mengelap permukaan lemari jati di kamar kami. Setelah itu, aku pun mengelap meja kerja mas Darwin. Aku membuka laci mejanya, merapikan isi di dalamnya dan aku menemukan kotak cincin.
Aku iseng membukanya. Kulihat sebuah cincin yang sama dengan cincin di jariku berada di sana, di dalam kotak itu.
'Astaga, ternyata mas Darwin tidak memakai cincin pernikahan kami,' ucapku dalam hati. 'Mengapa?'
'Mengapa cincin ini masih tersimpan rapi di kotaknya?'
"Aku lupa memakainya." Suara mas Darwin mengagetkanku. Ternyata ia sudah pulang.
"Kamu pasti berpikir mengapa cincin itu tidak aku pakai," ucapnya.
Aku segera meletakkan cincin itu kembali di kotaknya. "Iya," ucapku.
"Nanti aku pakai," ucapnya singkat. Lalu, ia merebahkan badannya di atas kasur.
Ini pertama kalinya aku melihat dia menggulingkan badannya di kasur. Sepertinya dia lelah sekali. Kulirik jam saat ini sudah hampir jam 2 siang. Lalu, aku pun bertanya, "Mau makan siang, Mas?"
"Sudah tadi. Aku sudah makan." Jawabannya membuatku sedikit kecewa karena aku sudah masak banyak untuk mas Darwin. Tapi, ya sudahlah... sekarang memang sudah lewat jam makan siang.
"Mau minum yang panas atau dingin? Nanti aku buatkan." Aku sangat berusaha untuk menyenangkan hatinya.
"Nanti saja. Aku mau tidur dulu." Ia lalu memejamkan matanya begitu saja. Padahal, aku berharap sangat banyak pada pertemuan kami ini. Banyak yang ingin aku bicarakan padanya. Tapi, ia tampak begitu lelah. Aku pun membiarkannya terlelap hingga Ashar.
Adzan Ashar berkumandang. Mas Darwin segera mengambil wudhu lalu bersiap sholat. Dia kemudian bertanya padaku, "Kamu tidak sholat?"
"Oh, aku sedang haid, Mas. Ini hari terakhir," jawabku dengan malu. Wajahku rasanya memerah saat mengatakan itu kepada laki-laki, aku belum terbiasa dengan suamiku sendiri.
Seusai mas Darwin sholat, aku mendekatinya dan memberanikan diri untuk mengatakan, "Mas, maaf... aku belum bisa... melayani... hmm... sebagai istri. Tapi, besok haidku sudah bersih, aku baru bisa...." Aku begitu terbata-bata mengatakannya.
Tapi, dengan entengnya mas Darwin segera berkata, "Tidak masalah."
Aku tercengang dan dalam hati berkata, 'Uuuuhhhh... Betapa bodohnya aku. Memalukan.'
Mas Darwin sepertinya tak begitu mengharapkan akan terjadi sesuatu antara kami berdua. Sedangkan, aku berpikir takut mengecewakannya. Aku sudah berpikir terlalu jauh. Aku benar-benar malu. Aku tak sanggup untuk menatapnya lagi.
Aku pikir mas Darwin seperti pria pada umumnya, menginginkan bulan madu dan pelayanan dari seorang istri. Pria yang baru saja menikah biasanya sangat menggebu-gebu ingin menyentuh istrinya, tapi tidak dengan mas Darwin. Hingga detik ini saja dia tak pernah menyentuh tanganku, kecuali saat bersalaman.
Aku malu sekali, malu sekali. Karena, sudah berpikir terlalu jauh. Hingga malam tiba aku masih merasa sangat malu dengan kebodohanku. Sementara itu, dia dengan santainya menghabiskan malam ini dengan asyik menonton bola. 'Apa dia tidak tertarik denganku?' pikirku.
Tapi, pada akhirnya aku berpikir, 'Mungkin dia terlalu sibuk dan terlalu lelah di kantor. Mungkin dia ingin menikmati hari liburnya dengan beristirahat.'
-----
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!