Desa Pasir Maung …
Disebuah gubuk pinggiran hutan, terlihat seorang kakek tua yang sedang mengajari ilmu silat kepada muridnya. Kira-kira umur kakek itu sudah sekitar 85 tahun, tapi kondisinya masih terlihat sehat sempurna. Bahkan, tubuhnya tampak masih kuat untuk bertarung melawan beberapa pendekar tingkat tinggi.
"Gerakanmu salah Cakra. Fokuslah kalau berlatih, jangan sering melamun. Bayangkan bahwa musuh ada didepanmu," kakek tua itu mengomeli muridnya karena melakukan kesalahan dalam latihannya.
"Baik Eyang Resi, maafkan aku. Aku akan mencoba lebih fokus lagi sekarang." jawab pemuda itu.
Dia langsung kembali melanjutkan latihan silatnya, gerakannya mirip seperti seekor harimau yang ganas. Lincah, cepat, tajam, dan tentunya mematikan.
Ternyata, kakek tua itu bernama Eyang Resi Patok Pati. Eyang Resi Patok Pati adalah salah satu pendekar legendaris di daerah kekuasaan Kerajaan Kawasenan. Sosoknya sangat dihormati oleh kalangan aliran putih, dan sangat ditakuti sekaligus dibenci oleh kalangan aliran hitam.
Sedangkan pemuda yang dia latih saat ini bernama Cakra Buana, dia adalah murid sekaligus pewaris seluruh ilmu Eyang Resi Patok Pati.
Diketahui, Eyang Resi Patok Pati saat muda merupakan salah satu pendekar tanpa tanding. Dia hampir bisa menyatukan seluruh kerajaan yang bertetangga dengan Kerajaan Kawasenan, khususnya yang berada di tatar pasundan.
Berkat menguasai Jurus Kitab Maung Mega Mendung (Harimau Awan Mendung) Dan Kitab Dewa Bermain Pedang, dirinya berhasil menjadi yang terkuat dari yang paling kuat. Eyang Resi Patok Pati gagal menyatukan kerajaan yang bertetangga dengan Kerajaan Kawasenan karena dia diracuni oleh seorang wanita bernama Nyai Ratu Purba Asih, sehingga setengah tenaga dalamnya hilang.
Oleh sebab itu Eyang Resi Patok Pati memilih Cakra Buana menjadi murid sekaligus pewaris dua kitab tanpa tanding untuk meneruskan niatnya yang tertunda.
"Cakra, beristirahatlah sebentar. Kemari dulu …" kata Eyang Resi memanggil Cakra Buana, muridnya.
"Baik Eyang." Jawab Cakra Buana.
"Apa kamu sudah berhasil menguasai semua jurus yang diajarkan dari Kitab Maung Mega Mendung dan Kitab Dewa Bermain Pedang?" tanya Eyang Resi.
"Aku baru berhasil menguasai setengahnya saja Eyang, mungkin dalam waktu satu tahun lagi aku bisa menguasai seluruhnya," kata Cakra.
"Baiklah. Jika kau sudah bisa menguasai semuanya, Eyang akan memberikan Ajian Pecah Raga dan Ajian Gelap Ngampar. Tapi ingat, jika kau sudah menguasai dua ajian ini gunakanlah jika dalam keadaan benar-benar terdesak. Apalagi Ajian Gelap Ngampar, jangan gegabah dengan ajian itu. Sebab, seratus orang sekalipun bisa tewas hanya dengan suaramu." ucap Eyang Resi menjelaskan.
"Maaf Eyang, apa itu Ajian Pecah Raga dan Ajian Gelap Ngampar?, Aku belum mendengar sebelumnya," Cakra Buana kebingungan dengan gurunya tersebut.
Karena menurut Cakra Buana, Eyang Resi Patok Pati selama ini tidak pernah menjelaskan tentang nama ataupun ajian apapun kepadanya. Selama ini Cakra Buana hanya disuruh untuk berlatih dari Kitab Maung Mega Mendung dan Kitab Dewa Bermain Pedang.
"Baiklah, Eyang akan menjelaskannya padamu. Ajian Pecah Raga adalah sebuah ajian yang bisa membuat dirimu menjadi tujuh. Mulai dari kekuatan, penguasaan ilmu, dan lain sebagainya akan sama persis seperti dirimu yang asli. Sedangkan Ajian Gelap Ngampar adalah ajian yang sangat mengerikan. Orang yang menguasai ajian ini dapat dihitung jari. Tidak semua orang bisa mendapatkannya, sebab jika orang yang menguasai memiliki hati yang kotor maka ajian ini akan membunuh orang itu sendiri. Sesuai dengan namanya, Gelap berarti Petir dan Ngampar berarti menyambar. Jadi dengan kata lain, Ajian Gelap Ngampar adalah sebuah petir yang menyambar. Ingat selalu wejangan Eyang ini Cakra." kata Eyang Resi menjelaskan tentang dua Ajian kepada Cakra Buana.
"Baik Eyang Resi, aku akan selalu mengingat wejangan dari Eyang. Terimakasih Eyang Resi sudah mempercayaiku untuk menjadi penerus Eyang." balas Cakra Buana seraya memberi hormat kepada gurunya tersebut.
Eyang Resi hanya mengangguk tersenyum kepada Cakra Buana. Keduanya melanjutkan cerita ringan, sesekali Eyang Resi juga memberikan ilmu-ilmu lain yang mudah dipelajari oleh Cakra Buana.
###
Cakra Buana adalah pemuda yang berumur sekitar 17 tahun saat ini, dia sudah di asuh oleh Eyang Resi Patok Pati sejak masih bayi. Orang tuanya sendiri yang menyerahkan Cakra Buana kepada Eyang Resi dan meminta supaya dijadikan muridnya.
Kebetulan, Eyang Resi Patok Pati masih ada sedikit hubungan darah dengan Cakra Buana. Kedua orang tua Cakra Buana juga sama-sama pendekar yang membela kebenaran nama ayahnya adalah Bambang Sukma Saketi dan ibunya bernama Dewi Sekar Arum, mereka tewas saat perang besar ketika membela Kerajaan Kawasenan.
Sejak saat itu, Cakra Buana kecil harus rela kehilangan kedua orang tuanya dan mulai di didik untuk belajar ilmu silat dan ilmu kanuragan oleh Eyang Resi Patok Pati hingga saat ini.
###
Tak terasa, satu tahun sudah berlalu. Cakra Buana sekarang sudah menjadi pemuda yang gagah sekaligus tampan. Matanya yang indah ditambah rambut panjangnya yang hitam, menjadikan dirinya seperti sosok seorang pangeran.
"Cakra, kemarilah," kata Eyang Resi memanggil Cakra Buana yang sedang berlatih ilmu pedang menggunakan pedang kayu.
"Baik Eyang." Cakra Buana segera menghampiri gurunya tersebut dan menunda latihannya.
"Kau sekarang sudah menguasai seluruh ajaran dari Kitab Maung Mega Mendung dan Kitab Dewa Bermain Pedang?" tanya Eyang Resi Patok Pati.
"Sudah Eyang, beberapa minggu lalu aku sudah berhasil menguasai semuanya." jawab Cakra Buana dengan sopan.
"Bagus, kau memang berbakat. Anak dari pasangan pendekar harus jadi seorang pendekar pula," ucap Eyang Resi sembari menyunggingkan senyum .
"Sekarang, mari ikut Eyang." kata Eyang Resi Patok Pati.
Dia berniat mengajak Cakra Buana menuju ke suatu tempat, Cakra Buana sendiri tidak tahu tempat apa yang akan dituju. Tapi dia tetap mengikuti gurunya itu meskipun ada rasa penasaran di benaknya.
###
Sebelumnya author jelaskan ya, novel ini tercipta karena imajinasi dan pengetahuan author sendiri. Semua yang ada didalamnya berasal dari nusantara, terutama tatar Pasundan. Mulai dari daerah, ilmu silat, dan lain sebagainya.
Konon, ilmu kanuragan yang digunakan dalam novel Cakra Buana adalah ilmu yang memang pernah dimiliki oleh jawara pada zaman dahulu. Jika ada penjelasan ataupun lainnya terkait sebuah ilmu, mohon jangan berpandangan negatif. Semua itu author pakai supaya untuk mempermudah para pembaca memahami alurnya.
Jika ada kesamaan dalam penyebut kepada guru atau lainnya bukan berarti meniru ya, tapi memang karena pada zaman dahulu sebutannya begitu. Bahkan zaman sekarang masih berlaku walau sedikit.
Jika kalian suka dengan novel ini jangan lupa untuk like dan vote ya😁karena like kalian sangat berharga bagi kami para penulis.
Salam manis buat semuanya☕
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya guru dan murid itu tiba di sebuah telaga yang cukup besar. Telaga itu terlihat sangat dalam, airnya tenang, tapi seperti menyimpan seribu rahasia didalamnya.
Tidak banyak yang mengetahui tentang keberadaan telaga ini, karena memang tempatnya yang jauh dari pemukiman warga. Telaga ini ditemukan pertama kali oleh Eyang Resi Patok Pati saat dirinya akan menjalani tirakat sebuah ilmu, jika dilihat secara teliti telaga ini memiliki tujuh warna. Dengan alasan itulah Eyang Resi Patok Pati memberikan nama Telaga Tujuh Warna.
Saat ini Eyang Resi Patok Pati dan Cakra Buana sudah berada ditepi Telaga Tujuh Warna. Entah apa yang akan dilakukan oleh Eyang Resi, yang jelas Cakra Buana pun belum mengerti.
Eyang Resi Patok Pati terdiam cukup lama, dia seperti sedang mengamati keadaan sekitar. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Eyang Resi angkat bicara.
"Cakra, berendamlah ditengah-tengah Telaga Tujuh Warna ini selama empat puluh hari empat puluh malam. Jika kau berhasil menjalani tirakat ini, maka Eyang akan mewariskan ajian Gelap Ngampar dan ajian Pecah Raga. Ini merupakan syarat penting untuk menguasai kedua ajian itu. Tujuan dari tirakat ini tak lain untuk membersihkan jiwa dan ragamu dari sifat angkara murka," kata Eyang Resi.
Menurut Eyang Resi Patok Pati, syarat berendam di Telaga Tujuh Warna ini merupakan suatu kewajiban bagi siapapun yang ingin menguasai ajian tingkat tinggi seperti halnya ajian Gelap Ngampar dan ajian Pecah Raga.
Sebab, ketika seseorang berada dalam keheningan dan ketenangan maka orang tersebut bisa memasuki alam bawah sadar dan bertemu dengan dirinya yang halus. Jika sudah bertemu dengan diri halusnya, maka dengan otomatis cakra ajna dam cakra mahkota seseorang akan terbuka dengan sendirinya.
Setelah mendapatkan perintah dari gurunya, Cakra Buana segera melakukan persiapan untuk menjalani tirakat yang dimaksud. Pemuda itu melepaskan pakaian yang dikenakannya, dia hanya diperbolehkan memakai celana pendek tanpa busana ataupun aksesoris lainnya.
"Restui muridmu ini Eyang. Aku akan berusaha sekuat tenaga supaya berhasil menjalani tirakat ini." kata Cakra Buana seraya meminta restu kepada gurunya, Eyang Cakra Buana.
"Restu Eyang selalu mengiringi dirimu Cakra." ucap Eyang Resi Patok Pati.
Setelah mendapatkan restu dari gurunya, Cakra Buana segera pergi ke tengah-tengah Telaga Tujuh Warna. Perlahan-lahan pemuda itu semakin menjauh dan menjauh lagi, hingga akhirnya dia telah tiba tepat ditengah-tengah telaga tersebut.
Seluruh tubuhnya kini telah terendam, yang tersisa hanyalah kepalanya saja. Cakra Buana segara melakukan tirakat, tangannya ditaruh didepan dada seperti orang sedang menyembah, matanya perlahan mulai terpejam.
Melihat muridnya sudah mulai menjalani tirakat, Eyang Resi Patok Pati segera kembali ke gubuk tempatnya tinggal. Dia memilih mengawasi Cakra dari jarak jauh. Yang akan mengawasi bukan dirinya yang asli, tapi melainkan hanya sukmanya saja dengan menggunakan ajian Ngaraga Sukma (Meraga Sukma). Konon ajian Ngaraga Sukma bisa membuat orang yang memilikinya bebas pergi kemanapun yang dia mau. Karena yang pergi bukan raganya, tapi merupakan sukmanya saja.
"Semoga kau berhasil Cakra. Eyang yakin, hanya dirimu yang bisa mewarisi semua ilmu yang eyang miliki. Dan hanya dirimu pula yang pantas menjadi penerus Eyang." gumam Eyang Resi Patok Pati sebelum pergi.
Selang berapa saat, Eyang Resi segera kembali ke gubuk tempatnya tinggal. Karena dia menggunakan ilmu Saipi Angin, hanya beberapa saat saja Eyang Resi sudah tiba di gubuk tuanya.
Cakra Buana saat ini sudah mematikan semua inderawinya. Kini pemuda tersebut benar-benar tidak bisa merasakan apapun selain dari perasaan hampa. Bahkan, suara nafasnya pun tidak bisa terdengar sama sekali.
Dia mulai memasuki alam bawah sadarnya, semakin dalam dan semakin dalam. Cahaya emas perlahan muncul, lalu berubah menjadi cahaya putih, lalu berubah kembali menjadi hitam.
Hingga akhirnya, pemuda itu menemukan dirinya terbalik. Cakra Buana masih terdiam seribu kata, dia masih sedikit bingung apa yang harus dia lakukan.
Perlahan, dirinya yang terbalik itu mulai hancur menjadi butiran cahaya putih lalu menghilang. Cakra kembali tidak bisa melihat apa-apa, gelap … hanya warna hitam kelam yang dapat ia lihat.
Waktu terus berlalu dengan cepat, satu hari, dua hari, tiga hari, hingga tak terasa Cakra Buana sudah melakukan tirakatnya selama tiga puluh sembilan hari tiga puluh sembilan malam. Hanya tinggal satu hari satu malam lagi, dia bisa lulus menjalani tirakat tersebut.
Menjalang di hari terakhir, Cakra Buana merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Tiba-tiba dua bayangan berwarna hitam dan putih muncul didepannya.
Kedua bayangan tersebut membawa Cakra Buana ke suatu tempat, tapi entah dimana letak tempat itu. Karena Cakra Buana pun tidak mengetahui secara pasti, yang jelas dia dibawa ke suatu tempat yang benar-benar asing.
"Siapa namamu anak muda?" tanya bayangan putih.
"Namaku Cakra Buana," jawab Cakra.
"Untuk apa kau melakukan ini?" tanya bayangan hitam.
"Untuk membersihkan jiwa dan raga dari sifat angkara murka," jawab Cakra Buana.
"Hahaha … membersihkan jiwa dan raga dari sifat angkara murka katamu? Apakah yakin kau bisa melakukannya … hahaha?" tanya bayangan hitam lagi, kali ini diiringi dengan suara tawa yang cukup mengerikan.
"Aku yakin pasti bisa, walaupun aku tidak bisa menghilangkan sifat angkara murka tapi setidaknya aku bisa menundukkan keangakara murkaan yang ada dalam diriku," jawab Cakra Buana tenang.
"Lalu? Apakah kau tahu siapa dirimu dan siapa itu Cakra Buana? Apakah kau tahu?. Aku sisi burukmu, dan dia sisi baikmu. Sedangkan dirimu, siapa?" tanyana lagi.
Cakra Buana mulai kebingungan dengan pertanyaan bayangan hitam itu. Dia sama sekali belum menemukan jawaban walau secuil, pikirannya seperti tidak berfungsi, hatinya seolah membeku dan jantungnya terasa berhenti berdetak.
'Aku siapa? Kenapa aku baru sadar mengenai hal ini. Benar juga, bahkan aku tidak mengetahui siapa diriku.' batin Cakra Buana.
Pemuda itu sekarang mulai ragu dengan semuanya. Iyaa, keraguan … keraguan yang bisa meruntuhkan segalanya. Cakra Buana masih termenung, perasaan campur aduk mulai merasuki jiwanya.
"Bagaimana, apakah kau sudah tahu siapa dirimu? Jika kau tidak tahu dirimu sendiri, untuk apa kau melakukan semua ini, untuk apa kau hidup? Sia-sia saja apa yang kau lakukan selama ini anak muda," kata bayangan hitam.
Bayangan hitam itu terus memojokkan Cakra Buana, senyuman penuh makna tak henti dia tampilkan. Bayangan hitam nampak puas karena melihat Cakra Buana kebingungan seperti itu.
"Berfikirlah dengan tenang anak muda, buatlah hati dan pikiranmu sejalan. Jika kau berhasil, maka secara perlahan kau bisa menjawab pertanyaan ini. Renungkanlah, supaya kau bisa tahu siapa dirimu," kata bayangan putih.
Bayangan putih tersebut merupakan bentuk dari sisi baik Cakra Buana, sedangkan bayangan hitam merupakan bentuk dari sisi jahat Cakra Buana.
Cakra Buana mulai mengikuti apa yang dikatakan oleh bayangan putih, dia perlahan mulai memejamkan matanya. Berusaha memasuki ruang hati lalu pergi memasuki ke ruang pikiran.
Setelah itu, Cakra Buana berusaha membuat antara hati dan pikirannya sejalan dan tidak bersebrangan lagi. Tapi ternyata, hal tersebut bukanlah perkara mudah. Cakra Buana masih belum bisa menyatukan hati dan pikiran, hatinya berkata A, tapi pikirannya berkata B. Selalu begitu dan begitu.
Cakra Buana tak mau menyerah, dia terus berusaha sebisa mungkin. Hingga akhirnya pemuda itu bisa menyatukan hati dan pikirannya secara perlahan.
Cakra Buana tersenyum, dia mulai menemukan jawaban yang bisa masuk diakal. Semakin lama senyuman itu semakin lebar, hingga akhirnya Cakra Buana angkat bicara setelah sedari tadi termenung.
"Aku adalah manusia. Aku adalah tunggal. Aku nyata dalam dunia. Aku bukan ilusi dalam nirwana. Aku ini adalah manusia yang telah diberi takdir sesuai porsiku. Aku menyadari jika di dalam tubuhku tak hanya aku, ada banyak yang telah disiapkan oleh Sang Hyang Widhi dalam tubuhku, aku berupa jiwa, roh dan segala sesuatu yang gaib lainnya," jawab Cakra Buana dengan mantap.
Mendengar jawaban dari Cakra Buana, bayangan yang berwarna hitam nampak kesal. Sebab itu adalah suatu pertanyaan yang paling sulit dijawab untuk sebagian orang, terlebih orang yang awam.
"Tidak kusangka, dalam usia yang masih muda kau bisa menjawab pertanyaan seperti ini," kata bayangan hitam, tak lama bayangan itu lenyap dari pandangan.
"Apakah jawabanku ini benar?" tanya Cakra Buana kepada bayangan berwarna putih.
"Benar anak muda. Jawbanmu tepat, tapi jawabanmu hanya merupakan salahsatu dari yang tepat, sebab diluar sana masih banyak orang-orang yang bisa menjawab dengan kata yang berbeda dari apa yang baru saja kau ucapkan."
Menurut bayangan yang berwarna putih, jawaban setiap orang terkait tentang 'siapa aku' tidaklah selalu sama. Setiap orang pasti memiliki bahasa dan kata tersendiri, namun salah atau benarnya jawaban tersebut bisa diketahui saat orang itu menyampaikannya.
"Sekarang kau sudah berhasil meluluhkan sifat angkara murka dalam dirimu dan jiwamu kini sudah bersih. Segeralah kembali, gurumu sudah menanti. 'Jadilah manusia yang berjiwa manusia, jangan menjadi manusia yang berjiwa iblis ataupun binatang'." kata bayangan putih yang tak lain adalah sisi baik Cakra Buana sembari memberi wejangan.
Setelah berkata demikian, bayangan putih tersebut lenyap dari pandangan. Entah kemana perginya, karena Cakra Buana sendiri pun tidak tahu pasti.
Tak lama, Cakra Buana kembali ke alam sadarnya, matanya mulai terbuka ketika hari sudah larut malam. Tanpa basa-basi lagi, Cakra Buana langsung keluar dari dalam air dengan cepat. Dia dengan segera menuju tepi telaga.
"Eyang Resi," kata Cakra Buana sembari memberi hormat kepada gurunya, Eyang Resi Patok Pati.
Menurut perhitungan Eyang Resi, hari terkahir muridnya menjalankan tirakat jatuh pada malam ini yang bertepatan dengan bulan purnama. Oleh sebab itu, Eyang Resi Patok Pati segera pergi ke Telaga Tujuh Warna untuk menyambut Cakra Buana.
"Kau sudah kembali Cakra, Eyang sangat senang kau bisa menyelesaikan tirakat ini." kata Eyang Resi Patok Pati menyambut kedatangan Cakra Buana.
"Ini semua berkat restu dari Eyang Resi," jawab Cakra Buana dengan sopan.
"Bagus Cakra, sekarang jiwamu sudah bersih dari sifat angkara murka. Mari kita segera kembali ke gubuk, Eyang akan mengajarkan ajian Gelap Ngampar dan ajian Pecah Raga seperti yang pernah eyang janjikan dulu." ucap Eyang Resi Patok Pati.
Menurut Eyang Resi, sekarang memang sudah saatnya untuk mewariskan ajian Gelap Ngampar dan ajian Pecah Raga kepada Cakra Buana. Terlebih saat ini Cakra Buana sudah berhasil menjalani tirakat di Telaga Tujuh Warna dan berhasil meluluhkan sifat angkara murka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!