Alina Fauziah itulah namanya. Dia tinggal di sebuah desa kecil bersama ayahnya.
Ibunya meninggal karena sakit keras, dan sekarang Alina juga harus mengurus ayahnya yang sedang sakit.
Alina bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah warung makan, yang tidak jauh dari rumahnya.
"Pak Alina pulang."ucap Alina sambil menghampiri ayahnya yang sedang terbaring lemas di kamarnya.
"Alina maafin bapak, karena bapak tidak bisa membahagiakan kamu. Bapak hanya menjadi beban buat kamu."lirih Bayu bapak Alina.
"Bapak jangan bicara seperti itu, Alina sayang sama bapak. Cuma bapak yang Alina punya sekarang, Alina akan kerja keras mencari uang supaya bisa mengobati bapak sampai bapak sembuh."
"Bapak hanya ingin kamu selalu bahagia nak!"
"Pasti pak, Alina pasti akan selalu bahagia, kalau begitu Alina ambil dulu nasi buat bapak makan ya,!"izin Alina seraya keluar dari kamar bapaknya dan mulai menangis di dapur.
"Bapak harus makan yang banyak, supaya bapak cepat sembuh."imbuh Alina yang kini tengah menyuapi ayahnya.
"Terima kasih nak, kamu memang anak yang baik."
"Uhukk .. uhukk..!"
"Bapa minum dulu!"seru Alina yang membantu ayahnya untuk minum.
"Alina sepertinya waktu bapak sudah tidak lama lagi."lirih Bayu yang kini menatap langit-langit rumahnya.
"Bapak jangan bicara seperti itu, Alina yakin bapak akan sembuh."balas Alina sambil menggigit bibir bawahnya menahan dada yang kini terasa sesak.
"Alina jika bapak sudah tiada, kamu harus pergi ke Jakarta. Temui teman bapak disana ya nak!"pesan Bayu dengan suara yang berat.
"Tidak bapak jangan bicara seperti itu, Alina gak mau kehilangan bapak. Alina sayang sama bapak."ucap Alina yang mulai menangis.
"Ini alamat teman bapak disana."Bayu mengambil secarik kertas dengan sebuah amplop putih dari dalam lemari kecil yang berada di samping tempat tidurnya.
"Ambil ini nak!"pinta Bayu seraya tangannya menyodorkan secarik kertas beserta amplop putih itu pada Alina. Tangan Alina tampak ragu untuk mengambilnya, tapi keinginan ayahnya tidak bisa Alina tolak.
Tangan Alina mengambil secarik kertas dan amplop itu dari tangan sang ayah yang mulai melemah.
"Bapak yakin teman bapak akan mau mengurus kamu. Uhuk..uhuk.."suara Bayu berat.
"Enggak.. Alina gak mau pak .. hiks ..hiks ..Alina mohon pak, bapak jangan bicara seperti itu." tangis Alina pecah.
"Berjanjilah kamu akan pergi ke Jakarta nak!"pinta Bayu yang semakin melemah.
"Bapak.. Alina mohon jangan bicara seperti ini pak. Alina nggak suka."suara Alina yang serak dengan tangan menggenggam tangan sang ayah.
"Bapak mohon Alina, ber - jan - ji - lah." kata - kata terakhir dari ayah Alina, dengan menghembuskan nafas terakhirnya.
"Bapak...!"teriak Alina sambil menangis tersedu - sedu.
"Jangan tinggalin Alina pak, hiks... hiks..Alina gak punya siapa - siapa lagi. Alina mohon bapak bangun pak!" ucap Alina sambil mengguncang - guncang tubuh ayahnya.
"Bapaaakkkk ...!"teriakan dan tangisan Alina menggema di rumah yang tidak terlalu besar itu.
Setelah pemakaman ayahnya selesai. Alina hanya bisa menangis dan menangis. Meratapi nasibnya yang begitu malang.
Satu - satunya orang yang selama ini Alina perjuangkan untuk kesembuhannya, sekarang juga telah pergi dari kehidupannya.
Kenapa Tuhan, kau mengambil orang-orang yang aku sayangi dan cintai. Kau sungguh tidak adil padaku. Sekarang aku harus kemana?Apa aku harus ke Jakarta sesuai dengan keinginan terakhir ayahku? batin Alina dengan air mata yang berderai.
Pada akhirnya Alina memutuskan untuk pergi ke Jakarta, demi untuk memenuhi keinginan sang ayah yang terakhir.
Tibalah Alina di Jakarta, dia mencari alamat yang tertera pada secarik kertas yang di berikan mendiang ayahnya.
Sampai akhirnya Alina menemukan alamat yang di carinya. Dia tiba di sebuah rumah besar bernuansa putih.
"Apa benar ini alamat rumahnya?"gumam Alina sambil mencocokan alamat rumah itu dengan kertas yang kini berada di tangannya.
"Permisii pak, apa benar ini rumahnya pak Seno?" tanya Alina pada satpam yang sedang menjaga rumah besar itu.
"Iya benar, adek siapa?"tanya satpam yang berada di halaman rumah besar itu.
"Saya anak dari temannya pak Seno."jawab Alina dari luar gerbang rumah mewah itu.
Apa mungkin tuan Seno punya teman yang anaknya model kaya begini? batin satpam itu seraya matanya mengamati Alina dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Bisa saya masuk pak?"tanya Alina.
"Maaf dek tapi tuan Seno sedang tidak ada di rumah, beliau sedang pergi ke kantor."tutur pak satpam.
"Kira-kira pulangnya masih lama nggak ya pak?"kembali Alina bertanya.
"Biasanya pulangnya jam tujuh malam dek."jawab pak satpam.
"Umm..Kalau begitu boleh saya menunggu disini pak?"izin Alina.
"Iya silahkan."jawab satpam dengan menganggukan kepalanya.
Alina menunggu di luar gerbang rumah pak Seno, karena mungkin perjalanan yang Alina tempuh begitu jauh sehingga membuat Alina kelelahan dan sampai tertidur di depan gerbang rumah pak Seno dengan posisi duduk sambil memeluk tasnya.
Tidd... tidd.. mobil pak Seno memasuki pekarangan rumah, Alina yang merasa kaget langsung terbangun dari tidurnya dan langsung berdiri.
Alina mencoba masuk ke gerbang yang telah terbuka, dia berjalan dan terlihat satpam sedang berbicara dengan seorang laki - laki paruh baya yang seumuran dengan ayahnya.
Satpam menunjuk ke arah Alina di barengi dengan mata laki-laki itu yang menatap Alina dari kejauhan.
Kemudian satpam berlari menuju Alina."Adek bisa masuk, di tungguin sama tuan."imbuh pak satpam yang berlari tergopoh-gopoh.
Alina mengangguk."Terima kasih pak!"ucap Alina sambil berjalan masuk memasuki rumah mewah itu.
Alina melihat isi rumah yang ia pijak saat ini. Betapa terpukau nya Alina melihat seisi rumah yang begitu mewah dan begitu indah.
Mungkin bagi Alina rumah itu seperti istana di negeri dongeng. Sosok laki-laki yang Alina lihat tadi di luar mulai menghampiri Alina.
"Apa ada yang bisa saya bantu?"suara bariton laki-laki yang kini berada di hadapannya.
"Ma-maaf tuan saya ingin bertemu dengan Pak Seno."ucap Alina gugup.
"Saya adalah pak Seno."jawab pria paruh baya itu yang menatap intens wajah Alina.
"Ma-maaf tuan, saya kesini hanya memenuhi keinginan dari Almarhum ayah saya untuk menemui bapak."ungkap Alina sambil menunduk.
"Ayah kamu?"tanya Seno dengan menautkan kedua alisnya.
"I-iya tuan. Ini ada surat dari ayah saya untuk tuan."ucap Alina seraya tangannya mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Alina memberikan sepucuk surat yang di berikan ayahnya pada Alina bersamaan dengan alamat rumah pak Seno,sebelum ayahnya meninggal dunia.
Isi dari surat tersebut adalah. ( Seno sahabatku. bagaimana kabarmu?ku harap kau baik-baik saja. Seno aku memiliki seorang putri dia sangat cantik dia mirip persis sama ibunya.
Kau ingat dulu kau pernah ingin menjodohkan anak kita, jika kau punya anak laki-laki dan aku punya anak perempuan.
Dan tuhan telah mengabulkan keinginan mu, aku memiliki seorang putri. Ku harap kau juga memiliki seorang putra.
Seno istriku telah meninggalkan aku, untuk selamanya. Dan sekarang aku juga mengidap penyakit paru-paru yang sudah kronis yang sulit untuk di sembuhkan. Mungkin umurku sudah tidak lama lagi dan mungkin ketika kau membaca surat ini aku sudah tidak ada di dunia ini lagi.
Seno aku mengirim putriku ke rumahmu, tolong jaga putriku karena dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Kalau bukan kepadamu, kepada siapa lagi aku harus meminta tolong. Kau sahabat satu-satunya yang aku miliki, dan aku percaya hanya kau yang bisa menjaga putriku.Dari sahabat masa kecilmu Bayu.)
Seketika mata Seno mulai berkaca-kaca.
"Kau tau ayah mu adalah sahabat masa kecilku, kami tumbuh besar bersama-sama.Sampai pada akhirnya kedua orang tua ku pindah ke Jakarta, dan saat itulah kami tidak bertemu lagi sampai saat ini."lirih Seno.
"Dan sekarang ada kabar dari sahabatku tapi malah kabar yang menyedihkan seperti ini."Seno menyentuh bahu Alina.
"Kau akan tinggal disini, anggaplah rumah ini adalah rumahmu."jelas Seno.
"Terima kasih tuan."jawab Alina dengan wajah yang masih menunduk.
"Jangan memanggilku tuan, panggil saja saya ayah."pinta Seno dengan menghapus air asin yang berada di sudut matanya.
"Ba- baik tuan, ummm.. ayah."ralat Alina dengan menganggukan kepalanya.
"Siapa nama kamu?"tanya Seno.
"Nama saya Alina."jawab Alina masih dengan wajah yang menunduk.
"Bi inah!"panggil Seno.
"Iya tuan."sahut seorang perempuan yang berlari dari arah dapur.
"Tolong antarkan Alina ke kamar tamu."perintah Seno yang di jawab anggukan oleh BI Inah selaku pembantu di rumah itu.
"Ayo nona saya antar nona ke kamar."ajak bi Inah seraya tangannya membawakan tas milik Alina.
Seno melihat Alina yang berjalan menjauh.
Kau tenang saja Bayu,aku pasti akan mewujudkan keinginan terakhirmu.batin Seno yang menatap punggung Alina yang menghilang di balik pintu.
"Ini nona kamarnya."ucap bi Inah dengan tangan membukakan pintu kamar yang akan di tempati Alina.
Alina mengangguk dengan seutas senyum di bibirnya. Alina memasuki kamar itu, manik matanya menatap setiap sudut kamar yang akan dia tempati.
"Kalau begitu saya permisi, jika nona membutuhkan sesuatu bisa panggil saya."pamit BI Inah yang di jawab anggukan oleh Alina.
"Kamar ini bahkan jauh lebih besar dari rumah ku di kampung."gumam Alina sambil berjalan sedikit dan mulai duduk di tepi ranjang king size itu.
"Sebaiknya aku istirahat."kembali Alina bergumam sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur.
"Bi habis nganterin siapa ke kamar tamu?" tanya Lisa istri dari Seno.
"Itu nyonya tamunya tuan."jawab bi Inah.
"Tamu? tamu siapa?"kembali Lisa bertanya.
"Saya juga kurang tau nyonya."
"Tamunya cewek atau cowok?"lagi-lagi Lisa bertanya karena penasaran.
"Tamunya cewek nyonya, masih muda lagi."tutur BI Inah.
Lisa terlihat sedang berpikir. "Kalau begitu saya permisi ke dapur dulu ya nyonya!"pamit BI Inah yang di jawab anggukan oleh Lisa.
"Cewek muda siapa?Aku harus tanyakan sama papah sebenarnya siapa tamu papah itu."gumam Lisa yang mulai berjalan untuk pergi menemui suaminya itu.
"Pah..!"panggil Lisa sambil menghampiri Seno di ruang kerjanya.
"Iya ada apa mah?"jawab Seno dengan mata yang fokus pada laptop di hadapannya.
"Kata bi Inah ada tamu papah kesini, siapa dia pah?"tanya Lisa yang sudah penasaran sedari tadi.
"Oh itu, dia anaknya temen papah, dan dia juga akan jadi menantu kita."tutur Seno dengan tangan yang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya.
"Maksud papah?"tanya Lisa tidak mengerti.
"Iya papah akan menikah kan Abian dengan Alina, kalau bisa secepatnya."jelas Seno yang kini mulai menatap wajah istrinya itu.
"Papah serius?"tanya Lisa memastikan.
"Emang wajah papah terlihat lagi bercanda? enggak kan."Seno mencoba meyakinkan.
"Tapi pah Abian kan belum mengenal gadis itu, apa bisa mereka menikah secara tiba-tiba seperti ini? jangankan Abian Mama saja tidak mengenal gadis itu."protes Lisa.
"Papah yakin Alina adalah gadis yang tepat untuk Abian, dan mamah harus mendukung rencana papah ini."kembali Seno mencoba menjelaskan.
"Kalau mamah sih ikut papah aja, tapi kalau masalah Abian mamah gak tau.Apa dia akan setuju dengan semua ini atau tidak karena setau Mama Abian punya kekasih."pendapat Lisa.
"Maka dari itu, Mama harus bantuin papah supaya Abian setuju untuk menikah dengan Alina."pinta Seno.
"Maaf tuan, nyonya. Tuan muda sudah pulang dari Amerika, dan sekarang tuan muda sedang berjalan masuk ke dalam rumah."ucap BI Inah yang datang secara tiba-tiba.
"Abian kita sudah pulang pah."ucap Lisa antusias.
"Iya ma pucuk di cinta ulam pun tiba."jawab Seno dengan sebuah senyuman di bibirnya.
"Abiaaaan sayang!"teriak Lisa yang kini sedang menuruni sebuah tangga, dan mulai menghambur memeluk anak semata wayangnya itu setelah berada di hadapan Abian.
Lisa memeluk Abian dengan sangat erat sambil mengelus lembut punggung sang putra.
"Kamu kok pulang gak ngabarin Mama?Mama kan bisa nyuruh supir buat jemput kamu di Bandara."desis Lisa sambil melerai pelukannya dengan sang putra.
"Aku kan ingin buat kejutan untuk mama dan papa, lagian aku udah gede nggak perlu lah pake di jemput-jemput segala kaya anak SD aja."jawab Abian yang membuat Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Abian gimana kabar kamu nak?" tanya Seno sambil memeluk Abian sekilas.
"Seperti yang papa lihat aku baik, dan masih ganteng pastinya."ujar Abian dengan kekehan kecil.
"Bagus kalau begitu, berarti kegantengan papa menurun sama kamu."balas Seno sambil terkekeh juga.
"Anak sama papa sama saja."sahut Lisa dengan menggelengkan kepalanya. "sekarang kamu sebaiknya istirahat sayang, kamu pasti cape."sambung Lisa sambil mengelus pundak sang putra.
Abian hanya tersenyum dengan menganggukan kepalanya.
🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
Abian Ravindra Malik Narendra, adalah anak satu-satunya dari Senopati Malik Narendra, dan Lisa Utami.
Sekaligus pewaris satu-satunya dari perusahaan Jeguk Group yang terkenal dengan kesuksesannya.
Maka tak ayal banyak perempuan yang ingin menjadi istri dari seorang Abian. Namun sampai saat ini masih belum ada perempuan yang bisa meluluhkan hatinya. Abian memang di kenal dengan pria seribu wanita karena kerjaannya yang suka mengganti-ganti kekasih saat dia sudah bosan.
Tapi dia tidak pernah membawa setiap hubungannya ke jenjang yang lebih serius, dia lebih suka hanya untuk sekedar bermain-main, dan bersenang-senang dengan setiap kekasih-kekasihnya itu.
Jangan di sebut Abian jika tidak memiliki kekasih lebih dari satu.
"Abian boleh papah masuk?"Seno mengetuk pintu kamar sang putra yang terbuka sedikit.
"Masuk aja pah,"jawab Abian yang kini sedang fokus memainkan ponsel di tangannya.
"Abian selama ini papah tidak pernah meminta apapun dari kamu, tapi hari ini papah ingin meminta sesuatu dari kamu."ucap Seno yang kini sudah duduk di tepi ranjang.
"Meminta sesuatu? sesuatu apa?"tanya Abian dengan mata yang tetap fokus pada layar ponsel di tangannya.
"Papah ingin kamu menikah!"tutur Seno, yang membuat tangan Abian berhenti memainkan ponsel di tangannya.
"Menikah? maksud papa?"tanya Abian yang kini menatap wajah sang ayah.
"Kamu kan sudah dewasa, umur kamu sudah cukup untuk menikah."kembali Seno mencoba menyampaikan keinginannya.
Abian seperti sedang menahan ketawanya. "Papa bercandanya nggak asik."sahut Abian yang kini kembali sibuk dengan ponselnya.
"Kali ini papa serius Abian, papa ingin kamu menikah dengan gadis yang akan membuat kamu bahagia."kembali Seno berucap dengan serius yang membuat Abian mulai serius juga menanggapi ucapan sang ayah.
"Papa lagi godain aku kan?"Abian masih tidak percaya dengan apa yang di ucapkan ayahnya.
Abian mencoba melihat wajah sang ayah yang mungkin sedang ngerjain dirinya, tapi yang Abian lihat justru wajah keseriusan yang di tunjukkan sang ayah.
"Pah come on, papa tahu kan kalau aku belum siap untuk menikah."protes Abian.
"Mau sampai kapan Abian kamu bermain-main dengan wanita di luaran sana?"tanya Seno.
"Ya.. sampai nanti aku menemukan gadis yang cocok dengan aku."Abian mencoba membela diri.
"Tidak perlu kamu mencari gadis itu, karena gadis itu sudah papa temukan."jelas Seno yang membuat mata Abian terbelalak.
"Sebaiknya kamu persiapkan saja diri kamu untuk menikah."tegas Seno dengan bangkit dari duduknya dan mulai berjalan keluar dari kamar putranya.
Menyisakan Abian yang masih tidak percaya dengan keputusan yang tiba-tiba di ambil sang ayah untuk menyuruhnya menikah.
"Ma..!"panggil Abian pelan pada Lisa yang kini sedang mengobrol dengan Seno di kamarnya.
Lisa menoleh ke arah Abian yang kini berada di ambang pintu kamarnya yang sedikit terbuka.
"Pah, Mama keluar dulu sebentar ya,!"izin Lisa.
"Hemm."jawab Seno singkat dengan mata yang fokus pada layar laptop di hadapannya.
Seno sudah tahu jika istrinya akan menemui putranya yang sedang menunggu di balik pintu kamarnya.
Abian menarik tangan sang Mama, dan berjalan menjauh dari kamar sang Mama.
"Abi ada apa sih sampai narik-narik Mama seperti ini?"tanya Lisa di sela berjalannya.
"Ma apa Mama sudah tahu tentang rencana papa?"tanya Abian pelan.
"Tentang ingin menikah kan kamu?"kembali Lisa bertanya dengan santai.
"Jadi Mama juga bagian dari rencana papa?"decak Abian.
"Mamah juga nggak tahu, tapi kamu tahu sendiri papah itu keras kepala. Apapun keputusan papa tidak ada yang bisa merubahnya, termasuk Mama. Jadi Mama mohon sama kamu turutin saja perintah papah ya,!"saran Lisa.
"Tapi ma aku..!"Abian mencoba menolak. "Mama percaya, dan yakin keputusan papa pasti adalah yang terbaik untuk kamu."Lisa mencoba memberi pengertian dengan menyentuh bahu sang putra, detik kemudian Lisa meninggalkan Abian.
Abian menyugar rambut frustasi. "Shi*!" umpat Abian kesal.
Matahari terbit, dengan memancarkan sinarnya yang begitu indah.
"Aduh aku kesiangan, malu kan kalau cuma makan dan tidur di rumah orang."gumam Alina seraya berjalan keluar dari kamarnya.
"Bi saya bantuin ya!"tawar Alina pada bi Inah yang sedang masak untuk sarapan pagi.
"Tidak usah nona, nona kan tamu disini biar bibi saja yang mengerjakannya."tolak BI Inah ramah.
"Tapi aku malu bi, kalau cuma numpang makan dan tidur doang jadi boleh aku bantuin bibi ya,!"Alina bersikeras.
"Ya sudah, kalau maunya nona seperti itu."jawab Bi Inah sambil tersenyum.
Setelah selesai memasak, Alina juga membantu bi Inah menata makanan di atas meja makan.
"Wah hari ini makanan nya terlihat berbeda." ucap Lisa sambil duduk di kursi meja makan yang baru dia tarik.
Tak berselang lama Seno dan juga Abian datang, dan mulai menduduki kursi mereka masing-masing.
"Dimana Alina?bi tolong panggilkan Alina!"perintah Seno yang di jawab anggukan oleh BI Inah.
"Itu nona Alina tuan!"seru BI Inah yang melihat Alina mulai berjalan ke arah meja makan.
Lisa, Abian dan Seno melihat ke arah Alina yang mulai mendekat.
"Alina ayo duduk nak, kita sarapan bersama."pinta Seno saat Alina sudah berada di hadapannya.
"Tidak usah pak, nanti saja saya sarapannya."tolak Alina lembut.
"Kenap nanti sekarang saja, ayo duduk!"kembali Seno meminta.
Alina tidak bisa menolak perintah dari Seno, akhirnya dia duduk untuk sarapan bersama keluarga Abian.
"Jadi ini yang namanya Alina, cantik sekali."puji Lisa saat Alina sudah duduk di samping Lisa.
"Terima kasih Tante."jawab Alina dengan seutas senyum di bibirnya.
Jangan bilang jika dia adalah gadis yang akan papah nikahkan sama gue. pikir Abian dalam hati dengan mata yang menatap tajam ke arah Alina.
Abian menatap jam yang melingkar di tangannya. "Pah aku pergi ke kantor duluan ya,!"pamit Abian terburu-buru.
"Habiskan dulu sarapan kamu."pinta Seno.
"Tapi aku udah telat, aku pergi!"pamitnya sambil beranjak dari duduknya dan mulai berjalan keluar dari rumah.
"Anak itu."decak Seno kesal.
"Sudahlah pah,"Lisa mencoba menenangkan suaminya itu.
Sedangkan Alina dia hanya menunduk karena merasa tidak enak, dengan sikap Abian yang pergi begitu saja. Apa mungkin karena kehadirannya yang membuat anak dari sahabat ayahnya itu terlihat kesal pikirnya.
Setelah sarapan selesai, Alina membantu bi Inah membereskan piring kotor bekas makan tadi.
"Alina biar bi Inah saja yang mengerjakan semuanya."tutur Lisa.
"Tidak apa-apa Tante, Alina sudah biasa mengerjakan semua ini."jawab Alina dengan tersenyum tipis.
Papah benar, Alina adalah gadis yang baik dia cocok untuk Abian. suara hati Lisa yang kini sedang menatap Alina yang sedang mencuci piring dari kejauhan.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
"Sayang, kapan kamu akan beliin aku kalung?"tanya wanita cantik yang sekarang berada di pangkuan putra pemilik perusahaan Jeguk Group itu, siapa lagi kalau bukan Abian.
"Tenang sayang, aku akan belikan kamu kalung berlian yang limited edition, ok."balas Abian seraya tangannya merapikan rambut sekretarisnya itu ke belakang telinga.
"Kamu janji kan?"tanya wanita itu memastikan.
"Apa sih yang nggak buat kamu."Abian mulai mendekatkan wajahnya ke wajah sekretarisnya itu.
Brakk.. pintu ruangan Abian terbuka yang membuat wanita yang sedang berada di pangkuan bosnya itu terlonjak kaget, sehingga langsung turun dari pangkuan bosnya itu.
"Saya ingin bicara berdua dengan anak saya."ucap Seno yang secara tidak langsung sedang mengusir halus sekretaris putranya itu.
Wanita itu bergegas berjalan keluar dari ruangan bosnya dengan wajah yang menunduk.
"Papa gangguin aku aja deh."protes Abian.
"Mau sampai kapan kamu bersenang-senang dengan wanita yang tidak jelas seperti itu."desis Seno kesal karena mendapati putranya yang masih belum bisa berubah.
"Ya sampai aku puas!"jawab Abian santai.
"Mulai besok kamu akan menikah dengan gadis pilihan papah, jadi siapkan diri kamu."perintah Seno yang membuat mata Abian terbelalak.
"Maksud papah?"Abian mencoba menelaah ucapan sang ayah.
"Apa kurang jelas kata-kata papah barusan."kembali Seno bertanya dengan posisi masih berdiri di depan putranya dengan kedua tangan yang di masukkan ke saku celananya.
"Apa masalah kehidupan aku harus papah yang memutuskan?"Abian mulai protes.
"Papah tidak ingin berdebat dengan kamu, jadi turuti saja perintah papah."tegas Seno.
"Ok tapi aku punya satu syarat."ucap Abian yang kini beranjak dari duduknya dan mulai berjalan sedikit dan kembali duduk di meja kerjanya.
"Syarat?syarat apa?"tanya Seno dengan menautkan kedua alisnya.
"Aku akan menikah dengan gadis pilihan papah, tapi aku ingin pernikahan ku di rahasiakan. Satu lagi jika dalam kurun waktu satu bulan, aku masih tidak menyukai atau mencintai gadis itu maka aku berhak untuk menceraikannya."tegas Abian.
"Ok papah terima syarat itu, bersiap-siaplah karena besok kamu akan menikah!"pesan Seno seraya menyentuh bahu sang putra sebelum keluar dari ruangan Abian.
Lihat saja gadis kampung, kamu tidak akan pernah bisa menjadi bagian dari kehidupan ku.batin Abian dengan senyum tipis di bibirnya.
"Ko papah sudah pulang jam segini?"tanya Lisa heran pada Seno yang baru saja memasuki rumah.
"Kita harus menyiapkan acara pernikahan untuk Alina dan Abian."tutur Seno.
"Maksud papah?"tanya Lisa memastikan.
"Besok mereka akan menikah."seru Seno sambil tersenyum sumringah.
"Papah serius?lalu apa Abian setuju dengan keinginan papah?"Lisa masih tidak percaya dengan apa yang di ucapkan suaminya itu.
"Iya mah, Abian sudah setuju untuk menikah dengan Alina."kembali Seno melukiskan senyuman tipis di bibirnya.
Tok! tok! tok!
Seno mengetuk pintu kamar Alina yang sedikit terbuka. Alina yang sedang melipat pakaiannya langsung berdiri untuk melihat siapa yang mengetuk pintu kamarnya.
"Pak Seno,!" lirih Alina saat pintu kamar dia buka.
"Saya ingin bicara sesuatu dengan kamu, bisa kita bicara sebentar?"tanya Seno.
"Bisa pak."jawab Alina dengan wajah yang menunduk.
Seno mulai berjalan dengan Alina yang mengekor di belakang.
"Alina apa kamu percaya dengan takdir?"tanya Seno yang kini sudah berada di sebuah balkon di rumahnya.
Alina hanya diam tidak menjawab.
"Kamu boleh menyebut ini takdir, yang harus kamu jalani. Bapak akan menikahkan kamu dengan putra ku satu-satunya yaitu Abian."tutur Seno dengan posisi berdiri membelakangi Alina.
Mata Alina seketika membulat tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.
"Kamu masih ingat dengan surat yang Almarhum Bapak kamu berikan untuk Bapak?"sambung Seno yang kini membalikan badannya dan mulai menatap wajah Alina.
Alina hanya mengangguk. "Isi dari surat itu adalah Almarhum Bapak kamu ingin kamu menikah dengan anak Bapak, dan Bapak yakin kamu adalah anak yang baik yang akan menuruti apapun yang di inginkan orang tua kamu."
Lagi-lagi Alina di buat terkejut dengan penuturan Seno. "Jadi besok adalah hari pernikahan kamu dengan Abian, itu saja yang ingin Bapak sampaikan sama kamu." jelas Seno sebelum akhirnya berlalu pergi.
Alina hanya bisa diam mencoba menelaah semua kata-kata yang di ucapkan Seno barusan.
Bahkan lidah Alina pun terasa kelu untuk sekedar menanyakan atau bahkan menolaknya.
"Menikah?dengan orang yang sama sekali tidak aku cintai dan bahkan tidak aku kenal."gumam Alina tidak percaya.
Kenapa kemalangan selalu berpihak kepadaku?apa gadis miskin seperti ku tidak pantas bahagia?apa hanya penderitaan yang pantas aku dapatkan?Kenapa Tuhan kau begitu tidak adil terhadapku?apa kesalahanku sehingga kau menghukumku seperti ini? batin Alina dengan air mata yang mulai membasahi pipi putihnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!