NovelToon NovelToon

Apa Kabar Cinta

Cinta pertama

Aristia Azzalia memperbaiki posisi duduknya dan berdeham sedikit dengan senyumnya yang mengembang sempurna. Ia melirik Laki-laki yang ada di sampingnya, orang yang dikenalnya sedari kecil.

Samudra Akbar adalah pria berhati lembut dengan sikap yang penuh perhatian, penyayang, dan selalu terlihat rapi. Sepasang matanya yang berwarna coklat jernih dan tajam menambah perawakannya menjadi sempurna.

Jika berbicara dengan lawan bicaranya suaranya datar, namun setiap kalimat yang terucap dari mulutnya teratur. Jelas menunjukkan bahwa ia orang yang pintar. Berkarisma. Memang sebagai sebagai seorang laki-laki ia termasuk sempurna, setidaknya dimata Aristia Azzalia.

"Saya mau berbicara dengan Kakak, ini Serius ...." ucapnya.

Suaranya memecah keheningan diantara mereka. Sedikit ragu menerpa hatinya. Menghela nafas perlahan, lalu memberanikan diri menggenggam tangan pria disampingnya.

Samudra yang sedari tadi menikmati angin pantai dan memandang langit biru yang membentang. Dengan senyum ia mengalihkan pandangan pada gadis yang ada di sampingnya.

"apa?" 

"Aku suka Kakak!" suaranya pelan. "Aku sudah pernah beberapa kali kan mengatakannya dalam satu bulan ini. Aku serius mengatakannya, tidak bercanda. Aku benar-benar menyukai Kakak"

Tak ada jawaban dari Samudra.

Aristia menunggu jawaban Samudra. Matanya mulai berembun. Bulir bening mulai memenuhi kelopak matanya, sekuat tenaga ia membendungnya agar tidak tumpah.

"Aku benar-benar menyukai Kak Samudra." ulangnya.

"Apa Kakak bisa mulai menyukai saya mulai hari ini?" pintanya.

Aristia menambah erat genggaman tangannya pada Samudra.

Samudra berdeham. Kemudian ia menatap Aristia dengan lembut. Ditatapnya gadis yang sedang merajut harap didepannya.

Aristia adalah adik dari Safira Lintang sahabat karibnya. Rumah mereka berdekatan. Samudra sudah menganggap Aristia sebagai adiknya, Aristia sudah dikenalnya sejak kecil. 

"Heemm... ya, ya." dengan hati-hati Samudra mencoba merangkai kata demi kata agar tidak perkataannya yang terucap nanti tidak menyakiti menyakiti perasaan Aristia.

Ia menarik pelan tangan yang tadi digenggam Aristia.

Air mata Aristia kini mulai berjatuhan. Samudra menghapus bulir bening dari sepasang manik hitam gadis dihadapannya dengan ibu jari.

 "Aku juga menyayangi mu. Tapi rasa sayang ku sebagai Kakak."

Ditatapnya gadis itu. Lidahnya kelu untuk berucap. Ia tidak pernah berfikir jika Aristia akan memiliki rasa suka yang berbeda padanya.

"Apa Kak Samudra benar-benar enggak bisa menyukai ku?" Ucapnya lagi.

Aristia tahu, memang kemungkinan Samudra menolak lebih besar. Tapi rasanya ia tidak bisa menahan untuk memendamnya lebih lama lagi.

"Tidak bisa Tia. Aku tidak menyukai mu jika itu sebagai wanita." Ucap Samudra tegas. 

Aku memang kejam langsung menolak perasaan mu seperti ini. Aku sulit untuk mengatakan tidak, terlebih aku memang menyayangi mu tapi sebagai adik ku. Kata Samudra dalam hati.

Samudra beranjak dari tempatnya duduk. Perlahan ia melangkah pergi menjauh dan meninggalkan Aristia yang sedang terduduk mengeja perasaannya.

Aristia menatap Samudra, hatinya sudah berdenyut dari tadi.

"Maaf...." setelah kata itu terucap, dengan mantap Samudra melangkahkan kakinya.

Aristia memandang punggung Samudra yang kian menjauh dari jarak pandangnya.

Di kajauhan Aristia melihat Samudra berpapasan dengan Lintang. Hatinya berdenyut dengan kuat, dadanya penuh sesak serasa terhimpit batu besar.

Kata penolakan Samudra benar-benar seperti pisau yang menusuk tajam jantungnya sebuah harapan.

Kini Aristia menangis sejadi-jadinya. Berakhir sudah Cinta pertamanya. Liburan akhir sekolah yang juga mengahiri cinta selama empat tahun yang ia pendam.

Pertemuan

Liburan semester satu telah usai. Hari ini Aristia akan menjalani rutinitasnya kembali sebagai siswi. Ia berjalan dengan gembira, melangkahkan dengan perlahan kaki menuju kelas sambil bersenandung ria.

Ia berhenti sejenak di depan pintu kelas, ditariknya nafas.

"hari yang baru, aku yang baru. Selamat datang hari yang penuh warna." dengan santai ia memasuki kelasnya.

Hatinya benar-benar berbunga, selama libur sekolah ia menata lagi hati dan perasaannya dimulai dari memotong rambut. Selain itu rencana diet yang ia buat juga sukses, ini sesuatu yang penting untuk dirayakan pikirnya.

"Hai, semuanya!" ia menyapa penghuni kelas.

"Pagi Tia...." balas salah satu teman sekelasnya.

Aristia melangkah menuju mejanya, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kelas. Tak di temukannya beberapa wajah yang dicarinya. Bel masuk akan segera berbunyi. Kelas mulai ramai dipenuhi anak-anak.

Aristia menghela nafas panjang.

"Putri dan yang lain kemana ya?"

Ia menaruh kedua tangannya diatas meja lalu membaringkan kepala diatas tangannya. Hiruk-pikuk didalam kelas mulai terdengar karena guru belum masuk ke dalam kelas. Perlahan ia memejamkan matanya.

Sejenak, ia menikmati suara teman sekelasnya. Sampai sebuah tangan menyentuh kepalanya. Dengan malas ia membuka matanya.

"Pagi Rafa...." ucapnya santai.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, laki-laki yang dipanggil Rafa langsung menaruh kepalanya dimeja mengikuti Aristia.

Di liriknya Aristia yang memejamkan mata, tanpa minta persetujuan Aristia ia langsung menaruh earphone ditelinga Aristia.

Aristia membuka matanya lalu tersenyum. Memandang laki-laki yang ada dihadapannya.

Abraham Rafassa, di sekolah ia termasuk cowok populer selain Aswin dan Rudi yang juga merupakan sahabatnya.

Abraham Rafassa yang biasa dipanggil Rafa. Sulit baginya untuk mendeskripsikan tentang Rafa yang mendapat julukan Si Gunung Es.

Bagi Rafa satu-satunya keinginannya ketika berada di sekolah bisa dengan tenang menikmati hari. Tanpa ada gangguan sedikit pun.

"Bagaimana kamu bisa hidup dalam tenang dengan wajah yang rupawan itu Rafa?" Aristia tertawa pelan. Ia kembali memejamkan matanya.

Hanyut dalam buaian lagu yang didengarnya. Tanpa sadar ia mengikuti lirik lagu yang diputar, lalu ia berhenti saat sebuah suara memecah keterdiaman mereka.

"Rafa...." ucapnya.

Aristia membuka mata. Seorang gadis sudah berhenti tepat di meja mereka, dibelakang Rafa. Tak ada sahutan.

Sejenak Aristia melihat gadis itu dari ekspresi wajahnya jelas ada yang ingin ia bicarakan. Aristia mengalihkan lirikan pada Rafa yang tidak bergeming.

"Rafassa...." suara Aristia pelan. Ia menyentuh pundak Rafa.

Kelas mendadak sunyi setelah kedatangan gadis itu.

"Rafa...." suara Aristia kini agak keras tapi tetap tak ada sahutan.

Gadis itu yang melihat sikap Aristia tiba-tiba melihat dengan sinis. Aristia menarik earphone dari telinga Rafa. Kembali gadis itu menatap Aristia dengan kesal.

"Apa" Rafa membuka matanya.

Aristia dengan perlahan menunjuk belakang Rafa. Rafa berbalik. Dilihatnya sudah berdiri seorang gadis.

"Aku mau ngomong! ada perlu"

"Ayo ke luar kelas" Rafa hendak bangkit dari duduknya.

"Gak perlu di sini aja" jawab gadis itu melirik Aristia. "Aku suka kamu, kamu mau jadi pacar aku kan?" lanjutnya setelah jeda sejenak.

Seisi kelas terdiam. Kelas menjadi hening dan sunyi termasuk Aristia. Rafa melirik Aristia, gadis yang di lirik malah diam terpaku.

"Maaf gak bisa. Aku gak suka sama kamu." jawab Rafa datar tanpa ekspresi.

Ia lalu bangkit dan pergi. Tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya. Termasuk gadis yang baru saja ditolaknya.

"Tunggu!" teriaknya lagi.

"Kamu kenapa sampai sebenci ini sama aku. Bahkan kamu gak melirik sedikit pun. Mempermalukan aku di keramaian seperti ini." gadis itu berkata dengan suara keras.

Rafa yang sudah berada didepan pintu.

"Kamu yang mempermalukan diri mu, bukan aku." Rafa terus melangkahkan kakinya.

Mendengar perkataan Rafa gadis itu membelalakkan matanya.

Ia melihat ke Aristia. Memandang sekeliling kelas.

"Ini gara-gara kamu!" umpatnya pada Aristia.

Gadis itu pergi sambil menendang meja.

Seisi kelas gaduh setelah kejadian itu. Beberapa teman mengerubungi Aristia.

"Itu kan Kakak Senior kelas dua IPS, yang cantik itu."

"Iya. Dari mana dia dapat keberanian itu ya."

"Entahlah... Tapi Rafa benar-benar to the point tanpa pikir panjang ya."

Aristia hanya mendengar perkataan teman-temannya. Ia tidak berkata sepatah kata pun.

"Tia. Kamu baik-baik aja kan?"

"Iya, kamu juga kena semprot tadi"

"Aku gak apa-apa." jawab Aristia sambil menggeleng.

Aristia kembali duduk di kursinya. Kelas masih ramai atas kejadian tadi.

Guru pun belum kunjung masuk ke dalam kelas. Aristia memandang keluar jendela. Di pandanginya langit biru dari jendela. Ia mengingat kembali memorinya yang sudah lama tersimpan.

Hari itu, hari pertama tahun ajaran baru ketika SMP. Ia bersama Putri sahabatnya berangkat sekolah.

Aristia yang berjalan menghadap putri. Ia yang membelakangi jalannya terus saja melangkah dengan santai.

"Hei, cara berjalan mu itu salah."

"Tapi ini benar-benar menyenangkan Put."

Sambil tetap asik menghitung langkahnya. Aristia tertawa kecil. Putri hanya menggeleng melihat tingkah Aristia.

"Berjalan seperti itu bisa berbahaya, Aristia."

Belum sampai lima menit ucapan Putri terkabul.

Tiba-tiba ia menabrak seseorang dari belakang. Aristia hampir terjatuh. Beruntung orang dibelakang memeganginya, sehingga ia seperti bersandar di badan orang itu.

"Aku selamat." Aristia menghela nafas.

Aristia mendongakkan wajahnya. Sejenak ia terdiam melihat laki-laki yang memegang pundaknya.

Setelah beberapa detik Aristia tersadar dan dengan cepat ia menarik badannya.

"Maaf... Aku gak sengaja." kata Aristia yang menyadari bahwa tadi ia terpesona akan ketampanan pria ini.

"Gak apa-apa." jawab laki-laki itu datar.

Aristia melihat Putri tersenyum pada laki-laki itu. Ia merasa heran.

Aristia mendekati Putri, lalu berbisik "Kamu bukan lagi terpesona karena dia tampan kan?"

Tak dihiraukannya perkataan Aristia barusan. Putri menghampiri laki-laki itu lalu memukulnya, sedetik kemudian Putri memeluknya.

Aristia yang kebingungan menyaksikan pemandangan itu.

"Wah... Gadis cantik bebas memeluk pria tampa." ia bergumam.

Di lihatnya kedua orang didepannya. Aristia merasa takjub karena dua orang yang rupawan sedang bersama.

Putri menarik tangan pria itu, lalu mendekati Aristia.

"Tia kenalin ini Rafa, Kami berteman sejak kecil. Baru ini ketemu lagi. " Putri memperkenalkan laki-laki itu.

"Rafa." lelaki itu mengulurkan tangannya.

"Aristia." jawab Aristia sambil menjabat tangan Rafa.

"Semoga kita bisa berteman baik ya." Putri tersenyum.

"Rafa harus baik-baik ya sama Tia. Gak boleh cuek."

Putri berkata sambil memasuki halaman sekolah. Aristia hanya mendengarkan cerita mereka selama dalam perjalanan ke kelas.

Itulah pertemuan pertama mereka. Pertemuan pertama yang bisa mengikat jalinan persahabatan mereka yang terjalin hingga kini.

Aristia tersenyum mengingat hal itu. Waktu memang sangat cepat berlalu.

Hujan di sekolah

Aristia menunggu di lorong kantor sekolah, di luar hujan turun sejak sejam yang lalu. Ia memandang pintu gerbang yang berada lumayan jauh di depannya.

Matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling, di samping kirinya merupakan aula sekolah yang biasa digunakan untuk kegiatan sekolah. Di depan aula merupakan taman dan jalan setapak untuk menuju gerbang utama sekolah. Suasana sunyi dan sepi karena anak-anak sudah pulang.

Ditengah suara gemericik hujan yang terdengar sore ini, dibelakang terdengar suara langkah kaki yang mendekat.

-Deg-

Jantung Aristia berdegub, tiba-tiba ia merasa cemas.

Ah.... Sial! rutuknya dalam hati. Agak menyesal tadi ia menolak Putri yang ingin menemaninya menyelesaikan mading sekolah.

Ia tidak tahu hari akan hujan dan sekolah akan sesepi ini ketika sore hari.

Seseorang telah berada disampingnya, berjarak sekitar satu meter dari tempat dia berdiri.

Aristia hanya menunduk, lalu ia melirik ke samping. Tampak orang itu memakai celana, yang berarti disampingnya seorang laki-laki.

Aristia tidak berani melihat wajah laki-laki itu, ia memegang tasnya dengan erat.

"Mau apa dia mendekat ke sini" Aristia berkata dalam hati.

"Tia belum pulang" sapa orang disampingnya. Aristia memberanikan diri menengok ke samping.

Seorang laki-laki yang ia kenali sudah berada tepat disebelahnya, Sandro teman seangkatannya namun beda kelas.

"Belum. Sebentar lagi" jawab Aristia singkat.

Ia menatap langit yang tidak juga menunjukkan bahwa hujan akan segera reda.

"Kamu gak bawa payung kan?" kata sandro, "Ayo kita pulang bareng. Aku akan mengantar mu" lanjut sandro lagi sambil mendekat.

Sebenarnya Aristia enggan bersama Sandro, bukan sekedar enggan ia memang selama ini menjaga jarak dari laki-laki yang tengah bersamanya ini.

Pasalnya Aswin dan Rafa pernah memukul Sandro, karena kedapatan mengganggu Putri ditoilet ketika sedang sendiri.

Sandro membuka payung, dan memayungi Aristia tanpa ragu. Di tengah kebingungan untuk menolak Sandro, tiba-tiba....

- Tuk -

Suara payung yang begesekan terdengar. Payung Sandro tergeser karena benturan dari payung lain yang cukup kuat.

Sekarang, payung berwarna bening sudah memayunginya dan jelas ia tahu payung yang diatas kepalanya bukan lagi milik Sandro.

Aristia melihat ke depan dan terkejut, "Rafa!"

Rafa memayunginya, sedang Rafa terguyur air hujan. Tangannya mencondongkan payungnya pada Aristia.

Aristia langsung mendekati Rafa yang basah.

Mata Rafa dan Sandro bertatapan, Rafa menunjukkan ketidaksukaannya pada Sandro. Semua terlihat dari sorot mata Rafa.

"Kamu kehujanan" Aristia berkata, memang seluruh payung menutupi badan Aristia.

"Aku gak apa-apa, ini menyenangkan. kamu lebih penting" balas Rafa.

"Tapi tetap nanti kamu sakit. aku gak mau kamu sakit" Aristia berkata dengan khawatir.

Aristia lalu mengusap wajah Rafa yang terkena air hujan.

"Aku gak apa-apa." ulang Rafa dengan nada kesal. Ia merasa Aristia memperlakukannya seperti anak kecil.

"Meski kamu bilang gak apa-apa, kamu bisa sakit. Kita bisa pakai payung ini berdua."

Aristia memegang tangan Rafa yang sedari tadi memegang payung, lalu melangkah maju mendekat kan tubuhnya pada Rafa.

"Nah.... Sekarang sudah gak kehujanan lagi" Aristia tersenyum.

"Kamu kenapa berduaan dengan Sandro."

"Hanya kebetulan lewat, dan menawari pulang bareng"

"Dia sudah pulang duluan tuh!"

Aristia sampai lupa pada Sandro yang tadi bersamanya, karena terkejut melihat kedatangan Rafa.

Aristia menengok ke belakang, benar Sandro sudah tidak ada ditempatnya tadi.

"Mungkin ia sudah pulang duluan" kata Aristia, "Kok kamu tahu aku ada di Sekolah?" tanya Aristia.

"Kamu sudah pikun Tia? kamu yang bilang tadi mau mengerjakan mading dan selesai sore."

"Kamu sengaja menyusul aku?" Aristia tersenyum

"Aku kebetulan lewat."

Aristia sedikit kesal mendengar jawaban Rafa yang cuek dan dingin itu.

Wajar jika ia mendapat julukan Si Gunung Es. Setiap kata yang terucap dari mulut Rafa selalu singkat atau tanpa ekspresi.

Kata yang terucap dari milut Rafa kenapa sangat bertolak belakang dengan wajahnya yang rupawan. Rutuk Aristia dalam hati.

"Yaa.... Memang begitulah punya teman bodoh" Aristia menjawab dengan malas.

"Bagus kalo sadar" lanjut Rafa lagi.

Mendengar itu ingin rasanya Aristia memukul Rafa, tapi ia mengurungkan niatnya melihat Rafa yang basah terkena air hujan.

Aristia berjalan beriringan dengan Rafa. Mereka menyusuri jalan sekolahnya. Tanpa mereka sadari Sandro melihat mereka dari kejauhan.

Aristia melirik Rafa yang tengah berjalan di sampingnya.

Aristia memiliki empat sahabat.

Putri Anindita yang sudah dikenalnya sejak kelas tiga Sekolah Dasar (SD). Ia merupakan gadis cantik yang selalu populer sepanjang hidupnya.

Rambutnya panjang berwarna hitam selalu tergerai. Senyumnya yang manis menambah sempurna penampilannya. Selain cantik gadis itu pun pintar, ia selalu mendapat nilai tinggi disetiap pelajaran.

Menginjak masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) baru lah ia mengenal Rafa, Aswin, dan Rudi.

Rudi Danuarta, ia merupakan teman yang menyenangkan dan humoris. Meski ia humoris, ia adalah sahingan Putri dalam setiap mata pelajaran.

Abraham Rafassa ia mendapat julukan Si Gunung Es di sekolah. Wajahnya memang sangat tampan tapi sikapnya dingin.

Sedangkan Aswin Pamungkas ia juga sangat tampan. Sikapnya berbanding terbalik dengan Rafa. Ia seorang yang pengertian, dewasa dan enak diajak bicara.

Meski demikian Aristia lebih leluasa jika bersama dengan Rudi, mungkin karena mata orang disekitar tidak sefokus mereka menatap Aswin dan Rafa.

"Sudah sampai." kata Rafa

"iya,"

Aristia hanya tersenyum. Tanpa dirasa perjalanan mereka sudah sampai di tujuan.

"Saya langsung pulang. Nanti sms ya."

Rafa berbalik tanpa memandang Aristia. Setelah Rafa tak lagi terlihat, Aristia masuk ke dalam rumah.

Bergegas ia membersihkan diri, setelah itu ia makan, dan masuk kamar merebahkan dirinya di kasur.

Di luar hujan kembali turun membasahi bumi. Di ambilnya HP yang tergeletak disamping. Ia menulis pesan pada Rafa.

[aku sedang berbaring dan bersiap untuk tidur]

Terkirim, lalu diletakkan kembali HP-nya.

Nada dering HP-nya terdengar, lalu dilihatnya layar ponselnya tertulis nama Rafa. Ia mengangkatnya.

"Hai bodoh! jika kamu mengirim pesan seperti itu bukankah tersirat bahwa kamu kesepian dan ingin di ucapkan selamat tidur." suara diseberang sana sudah terdengar.

Aristia yang kesal mendengar suara Rafa yang meledeknya.

Ia menarik nafas dalam-dalam dan hendak memaki Rafa. Belum sempat ia berucap, suara diseberang sana mendahuluinya,

"Selamat tidur nona Aristia. Mimpi indah ya dan semoga kamu selalu bersinar"

Aristia terkejut. Untuk pertama kalinya ia mendengar Rafa berbicara dengan nada yang lembut. Tanpa sempat berucap Rafa sudah memutuskan sambungan telpon mereka.

Aristia tersenyum. Air hujan tadi benar-benar menyejukkan hati Rafa pikirnya. Lalu ia menarik selimut dan perlahan memejamkan matanya sambil memeluk guling sampingnya. Lalu tertidur.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!