NovelToon NovelToon

HANA LOVE STORY

Bab 1

Di pagi hari itu tampak kabut tipis menyelimuti bumi, udara terasa dingin dan segar. Sedangkan tanah pun basah menandakan baru turun hujan, matahari juga masih enggan keluar dari persembunyiannya.

Hana Pertiwi, seorang gadis manis berusia 23 tahun membuka jendela kamarnya. Kicauan burung terdengar bersahutan, udara yang sejuk langsung menyeruak masuk ke kamar Hana, membuat si empunya kamar itu bernafas dengan lega dan menghirupnya dalam dalam. Berulang kali.

Hana, nama panggilannya, adalah gadis manis nan sederhana dengan pipi sedikit chubby punya lesung pipit yg indah saat tersenyum. Dengan tubuh yg tidak terlalu tinggi, berkulit kuning langsat dan berhijab. Hana sangat disenangi oleh teman temannya karena dia anak yang supel, suka membantu jika ada teman yang kesusahan.

Kisah cintanya dimulai di siang hari ini, saat ia diminta sang bunda berbelanja kebutuhan rumah tangga yang menipis dirumah. Berbekal kertas catatan ia berbelanja dari toserba yang letaknya sekitar 4 kilometer dari rumahnya.

Hana telah selesai berbelanja, ia baru keluar dari pertokoan yang lumayan ramai itu, lalu mengendarai motor maticnya untuk pulang dengan sebuah kardus belanjaan di bagian footstep depan, ia melaju dengan kecepatan sedang saat keluar dari area toko. Tak dinyana, tiba tiba ada sepeda motor dengan suara knalpot yang begitu nyaring meluncur terlalu mepet dengan sepedanya sehingga membuat Hana terkejut dan hilang keseimbangan.

BRAAAKKK!!

Sepeda Hana pun oleng ke kiri dan Hana pun terjatuh, semua terjadi begitu cepat, membuat telapak tangan Hana lecet dan parahnya kaki Hana ketiban pijakan kaki motor maticnya sehingga lecet dan berdarah. Dan sepertinya kaki Hana keseleo. Laki laki pengendara motor itu menyadari ada seseorang yang jatuh dibelakangnya segera menghentikan laju motor, dan kembali menghampiri Hana yang terkapar dibawah motor maticnya. Beberapa orang yang melihat Hana jatuh pun segera datang untuk menolong.

"Awww!, sakit ya Alloh!" Hana meringis kesakitan saat sepedanya berhasil di angkat, dia segera berdiri dibantu oleh seorang laki laki paruh baya disampingnya. "Pelan pelan mbak!" kata laki laki itu

"Terima kasih pak, tapi sepertinya kaki saya terkilir!" Hana merasakan nyeri dipergelangan kakinya dan tak bisa berdiri tegak. Darah pun merembes dari kaki yang ternyata ada luka cukup dalam.

Hana yang jijik dengan warna merah darah merinding melihat darahnya sendiri, rasanya ia ingin pingsan saat itu juga, tapi ia sekuat mungkin menahannya.

"Ini gimana sih mbak kok jatuh, aku kan gak nyenggol kamu tadi!" omel lelaki yang menyenggolnya tadi.

"Eh mas! ini mbaknya jatuh kok malah dimarah marahin, harusnya segera ditolong dong! Tuh lihat kakinya berdarah!" Seru seorang ibu ibu yang ikut merubung Hana. Hana masih diam merasakan sakit, tak ada tenaga untuk menjawab kata laki laki pengendara motor itu. Untung saja belanjaan Hana dimasukkan kardus dan dilakban tadi sehingga aman tidak jatuh berantakan.

"Itu tanggung jawab mas sudah buat mbaknya jatuh, bawa ke klinik buat diobati, tuh deket kliniknya kelihatan dari sini!"

kata ibu yang satunya lagi.

"Iya iya Bu, saya tanggung jawab, kalau tidak mah saya juga gak berhenti tadi!" ungkap pria itu agak kesal.

"Kamu bisa naik nggak ke motor aku?"

"Tolong bantu mbaknya ya pak buat naik ke motor!" serunya meminta tolong seorang bapak.

Laki laki yang membantu Hana berdiri pun membantu Hana untuk naik ke motor sport milik pria itu, sedang motor Hana diamankan oleh satpam toko.

"Kamu kenapa sih tadi kok bisa jatuh, aku kan tidak nyenggol kamu?" pertanyaan yang diulang tadi karena belum mendapat jawaban dari Hana.

"Untung aja gak di jalan raya, bisa habis kamu tadi. Kalau naik sepeda itu yang konsen, jangan sambil ngelamun." Omel pria itu sembari melajukan motornya menuju klinik terdekat.

"Aku kan tadi kaget denger suara knalpot kamu kenceng banget terus terlalu mepet tadi, jadinya aku ngerem mendadak, rem depan lagi, jadinya oleng. Itu tempat jalan kan lagi rame kenapa kamu juga naik motornya ngebut juga!" kini gantian Hana yang mengomel. Dia yang kena apes, dia juga yang malah kena omel.

"Iya maaf, tadinya aku buru buru, disuruh ibu aku buat belikan sesuatu. dan aku lagi janjian sama temen tadi, batal deh semuanya itu semua gara gara kamu!"

"Loh, kok salah aku!" Hana mendelik tak terima.

"Hhhh, aku yang apes, aku yang kesakitan, aku juga yang disalahin. Dasar nasib lagi apes!" Gerutu Hana di jok belakang sepeda pria itu.

Mereka telah sampai di klinik. Dengan susah payah Hana turun dan berjalan tertatih menuju teras klinik. Lelaki itu yang ingin membantunya, ia tepis tangannya.

"Aku kan cuman mau bantu kau. Biar cepat sampai sana!" ia menunjuk teras klinik, tapi Hana tetap menggeleng.

"Bukan mahram!" ucap Hana ketus, walau sebenarnya ia merasa sangat kesakitan. Peluhnya mengucur membasahi dahinya yang setengah tertutup jilbab.

"Dasar keras kepala, udah kesakitan gitu masih juga mikir bukan mahram, cewek aneh!" gerutu pria itu lirih, namun masih bisa didengar Hana.

"Nama kamu siapa?" tanya pria itu namun Hana bungkam tak mau menjawab, setengah kesal pria itu berjalan cepat lebih dulu menuju ruang pendaftaran, dan tak berapa lama keluar lagi karena memang tak ada pasien yang antri.

"Ayo, langsung masuk ke ruang dokter!"

"Mbak Dewi kenapa? Ada yang bisa saya bantu?" Hana terbengong. Siapa Dewi?

"Dia jatuh dari motor Bu, kakinya berdarah itu!" Hana baru sadar jika yang dimaksud Dewi adalah dirinya.

"Tadi aku tanya nama kamu gak kamu jawab, aku asal aja ngasih kamu nama Dewi!" pria itu berbisik dan tersenyum tipis di samping duduk Hana, saat Hana menatapnya ingin melayangkan protes.

Walaupun Hana mendelik, nyatanya hatinya berdebar menatap pria yang menatap tajam dirinya sedekat itu, hanya jarak tak sampai setengah meter.

Hana berbaring di ranjang pasien, ia melipat dan menggigit bibirnya karena luka yang dideritanya baru menimbulkan rasa ngilu luar biasa. Tadi saat baru saja jatuh rasanya tak sesakit itu.

"Waah, ini ada luka yang cukup dalam nih mbak Dewi, ini nggak bisa dijahit, karena lukanya menganga. Saya tempel plester saja mbak, dan nanti daging yang koyak bakal tumbuh dengan sendirinya." ucap sang dokter tersenyum simpul.

Petugas medis itu membersihkan luka Hana, lalu menempelkan jaring penutup luka dan yang terakhir menutupinya dengan plester.

Setelah menerima obat dan membayar perawatan Hana, pria itu mengajak Hana pergi dari tempat itu.

Kaki Hana semakin ngilu saja, hingga berjalan pun ia sangat kesusahan.

"Dimana rumah kamu aku antar!" tanya pria itu setelah mereka naik ke motor dan ia melajukannya dengan pelan kearah timur.

"Udah, jalan aja nanti disimpang tiga yang deket taman itu, belok kanan!" ucap Hana mengarahkan.

"Nah, yang ada pagar hitam tuh. Berhenti disana!" Pria itu mengikuti petunjuk arah Hana, dan membelokkan sepedanya ke rumah dengan cat warna krem.

Pria itu memberhentikan sepedanya dekat teras rumah Hana, disaat itu ibu Mira, ibunya Hana membuka pintu dan terkejut.

"Loh, Hana? Kamu kenapa nak?"

Bab 2

"Ya Alloh! Hana, kamu kenapa nak?" sontak Bu Mira membuang asal sapu yang akan dipakainya menyapu dan mendekati anak gadisnya.

"Ya Alloh, Hana!" Bu Mira mencoba membantu Hana turun dari sepeda.

"Ssssh, sakit Bu!" keluh Hana sembari meringis, tertatih di papah ibunya masuk ke dalam rumah.

"Nak, ayo silakan masuk dulu!" hampir saja Hana dan ibunya melupakan pria yang membawa pulang Hana.

"Makasih Bu!"

Ketiga orang kini duduk di sofa ruang tamu.

"Sebenarnya kenapa kamu sampe kayak gini, Han!" Hana sudah hampir membuka mulutnya, tapi pria yang bersama mereka menyahut lebih dulu.

"Hana kecelakaan tunggal, Bu. Kurang hati hati nyetirnya, jadi oleng deh!" Hana mendongak dan mendelik pada pria dihadapannya yang memasang muka tak bersalah dan sedikit menyunggingkan senyum.

"Hana hati hati kok, Bu! Cuma ya itu tadi Hana kaget, denger sendiri kan ibu suara knalpot dia, berisik banget. Ya Hana kaget, dong!" Hana protes dan menatap tajam pria dihadapannya.

"Oiya, ya Alloh! tamunya dianggurin. Maaf, Nak! Namanya siapa kalau boleh tahu?" pria itu tersenyum dan mengangguk.

"Nama saya Randy, Bu! Saya tadi kebetulan nyalip Hana, saya gak sampai nyenggol dia kok, tapi tiba tiba Hana sudah oleng di belakang saya. Dan saya bawa dia ke klinik setelah itu saya antar pulang!" Pria bernama Randy tanpa Bu Mira minta menerangkan apa yang terjadi pada Hana.

"Oalah, gitu to kejadiannya. Nduk ngimpi opo yo kamu semalam? Kaki mulus gini jadi belang." ucap Bu Mira bernada prihatin meneliti kaki anaknya yang selonjoran di sofa. Lalu beralih menatap Randy yang duduk diam didepan mereka.

Randy menahan senyum dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu tersenyum pada Bu Mira.

"Bu! maaf sekali lagi ya! Saya tidak bermaksud mencelakai Hana, tapi saya janji saya yang akan membayar semua biaya perawatan Hana." kata Randy pada bu Mira.

"Eh! ya nak Randy, yang penting Hana gak apa apa. Oiya, sebentar. Biar ibu bikinin minum dulu, buat Nak Randy!" Randy mengangguk dan mengucap terimakasih sebelum Bu Mira beranjak ke dapur.

Randy menyesap teh melatinya yang dibuatkan Bu Mira sembari menatap lurus gadis yang sedang mendesis karena sakit dihadapannya.

Manis. Randy tersenyum tipis.

"Setelah ini, kamu segera minum obatnya gih, biar sakitnya berkurang!"

Ucap Randy sembari membuka kresek obat Hana. Lalu mengambilkan dengan telaten satu persatu tablet dan pil obat yang berjumlah empat sesuai petunjuk dokter dan menaruhnya di lepek bening tempat Bu Mira menaruh cangkirnya tadi.

"Kamu biasanya kalau minum pil pakai apa? air putih, atau pisang, atau nasi? Biar aku ambilkan!" tanya Randy dengan mimik serius. Namun Hana menggeleng.

"Nanti aja, biar diambilkan ibu aku!" jawab Hana pendek.

"Oiya, aku sudah gak apa apa. Kamu lebih baik pulang, nanti kamu dicariin ibu kamu lagi. Tadi kamu bilangnya di suruh ibu kamu 'kan?" Randy tersenyum meletakkan gelas tehnya yang telah kosong.

"Kamu ngusir aku? Jutek banget jadi cewek. Ya udah, aku pamit dulu. Dua hari lagi aku kesini antar kamu ke klinik buat kontrol."

"Sekarang, aku mau ambil motor kamu dulu!" Hana tersentak menyadari dan teringat sepedanya masih di tempat kejadian dia jatuh tadi. Ia menggeleng, menolak permintaan Randy untuk mengambil motornya.

"Gak usah! Nanti biar Ayahku yang ambil motornya. Juga buat kontrol lusa.Terimakasih udah mau nolong aku. Bawa aku berobat dan sudi mengantar sampai rumah. Padahal kan kamu gak salah!" kata Hana tulus, ia berusaha berdiri namun di cegah Randy.

"Sudah, gak masalah kok. Mana coba kuncinya?" Randy menengadahkan tangan. Terpaksa Hana memberikan kunci dari saku celananya.

"Ya udah, aku pergi dulu!" tanpa mendengar jawaban Hana, Randy pergi meninggalkan rumah Hana dengan motornya yang berbunyi nyaring.

"Loh, nak Randy kenapa udah pulang Han?" tanya ibu tergesa menemui Hana karena mendengar suara sepeda motor Randy.

"Iya, Bu! barangkali sedang buru buru. Tapi tadi minta kunci motor aku, katanya mau minta tolong satpam toko buat ngantar sepedanya kesini. Emang kenapa sih?"

"Padahal ibu udah selesai masak. Biar dia ikut makan siang disini, dia kan udah baik hati nolongin kamu!" Hana melengkungkan bibir ke bawah.

"Udahlah, Bu! kita gak kenal dia. Ngapain juga pake acara ngajak makan siang. Enggak banget deh, ibu ini." keluh Hana.

"Hana, gak ada salahnya kan, kita berbuat baik sama orang, cuman ngajak makan siang biasa. Dia kan udah nolongin kamu loh! Lagian tadi dia juga gak mau uangnya diganti, gimana sih kamu ini Han!" omel sang ibu lalu Bu Mira beranjak ke belakang, datang lagi membawa sepotong pisang.

"Nih, biasanya kamu minum pil pakai pisang kan? cepetan diminum dulu habis itu istirahat ya, Han!" Hana mengangguk menerima pisang yang dibawakan ibunya.

Ia menelan satu persatu obat dengan pisang sampai habis.

Saat ibu menuntun Hana ke kamarnya, dua sepeda motor terdengar masuk ke pekarangan rumah, Hana hafal itu suara motornya. Dan satunya lagi, punya pria yang bernama Randy.

"Sebentar ya Han, ibu mau nemuin nak Randy dulu! Mau ajak makan disini kalau mau!" setelah mendudukkan Hana di kursi, sang ibu tergesa keluar menemui Randy yang datang bersama satpam toserba.

Semoga aja gak mau! gumam Hana lirih, namun ibu masih bisa mendengarnya.

Terlihat olah ibu, Randy memberikan uang pada satpam itu, setelah mengangguk pak satpam segera pergi.

"Eh, pak Satpam! Nak Randy! Jangan pulang dulu."

"Sebagai rasa terimakasih, yuk kita makan siang dulu, ibu sudah nyiapin buat makan siangnya!" seru Bu Mira dan pak satpam yang sempat berbalik mengucap terimakasih karena ia sudah makan siang tadi.

"Tapi Nak Randy belum kan? Ayo masuk lagi dulu!" tak enak hati menolak, Randy mengangguk mengikuti Bu Mira ke ruang makan.

"Ayo, nak Randy. Maaf masakan ibu ya cuman seperti ini! Gak ada yang istimewa." Bu Mira merendah.

"Ibu baru nyoba resep bikin rawon, nih. Cobain ya, Nak Randy!"

Nasi dan lauk rawon dengan kuah warna hitam itu beraroma menggugah selera, tak lupa kerupuk udang disajikan sebagai pelengkap membuat cacing diperut Randy memberontak.

"Waah, Bu! sepertinya ini enak sekali." begitu antusias Randy menyuapkan nasi ke mulutnya setelah membaca doa.

"Hmmm, enak Bu!" dengan lahap Randy memakannya.Hana yang duduk disebelahnya melirik dan menyebikkan bibir.

Kayak orang gak makan seminggu aja!

"Ayo Han! kok cuman diaduk aduk aja nasinya!" tegur Bu Mira pada anaknya.

"Kan, tadi barusan makan pisang sambil minum obat Bu, udah kenyang." jawab Hana.

"Lah, kan cuma pisang, mana kenyang. Kalo gitu kenapa tadi mau ibu ambilin nasi!" protes ibu pada Hana yang hanya diam saja. Kakinya serasa senut senut.

"Kakiku sakit buat digantung, Bu! biar Hana selonjoran disitu ya, ibu tolong buang nasi aku!" Bu Mira dan Randy menatap Hana yang beralih ke sofa dekat tempatnya tadi.

"Bu, ini sayang nasinya kalau kebuang, biar saya makan aja ya, Bu!" pinta Randy tanpa ada rasa jaim jaimnya. Padahal juga baru sekali ini dia datang ke rumah ini. Itupun karena mengantar Hana sebab kecelakaan. Bu Mira bengong dan tak merespon beberapa saat. Apalagi Hana, ia menoleh pada Randy yang menatap ibunya.

"Eh, jangan! Biar ibu buang. Itu udah sisa aku, udah aku makan!" ucap Hana merasa tak enak hati.

"Eh, iya. Nak Randy ambil nasi sama lauk yang baru. Ini masih banyak kok, biar itu ibu yang makan!" Bu Mira meminta piring Hana yang diambil Randy.

"Gak papa kok Bu! Hana gak lagi sariawan 'kan? Gak punya penyakit menular kan?

Lagian gak baik buang buang makanan!" Hana menelan ludah, Randy sudah makan nasinya tadi yang sudah Hana makan tiga sendok.

Ini orang benar benar ya!

Hana menunduk, merasa malu dan kesal. Andai ia tak sakit, ia akan berlari meraih piring itu dan merebutnya,

Kenapa ia sama sekali gak jijik makan sisa orang yang bahkan baru saja ia kenal. Pipi Hana semburat, sembari meringis menahan sakit.

Acara makan telah usai. Ibu membersihkan piring dan sendok serta mangkuk bekas mereka makan ke belakang.

"Kenapa kamu lakukan itu?"

...Bersambung...

Bab 3

"Heii, kenapa kau lakukan itu?"tanya Hana saat ibu sudah tak terlihat. Ia begitu kesal bercampur malu pada ibunya.

Setelah ini ia pasti akan diberondong pertanyaan oleh sang ibu.

Ibu pasti gak akan percaya begitu saja jika ia dan Randy tak saling mengenal sebelumnya, setelah kejadian tadi.

"Aku melakukan apa?" ucapnya tenang.

"Kenapa kamu ngeyel makan sisa nasi aku. Ibu pasti berpikir macam macam tadi karena hal itu!"

"Memang apa, salahnya dimana? Kamu gak punya penyakit menular kan?"

"Aku udah terbiasa makan sisa adik adikku."

Tapi kan aku bukan adik kamu!

"Dan aku juga menyayangkan gadis secantik kamu suka buang buang makanan. Padahal di luaran sana banyak orang yang sulit walau cuman buat nyari sesuap nasi. Dan kamu dengan seenaknya buang makanan."

"Di belakang ada ayam, ada bebek juga. Kami biasa memberikan sisa nasi sama hewan itu. Toh nanti kalau ayam sama bebeknya besar bisa disembelih buat dijadikan lauk makan. Kamu jangan sok bijak, cari muka? Buat apa?" sewot Hana yang kala itu langsung menutup mulut karena ibu datang dari arah dapur.

"Waah, ternyata ibu pelihara ayam sama bebek ya? Ibu bener bener kreatif, bisa memanfaatkan sisa nasi biar tak terbuang. Maaf tadi kalau saya lancang makan nasinya Hana. Saya pikir itu mau dibuang ke got. Saya tak terbiasa buang buang makanan, Bu." ibu tersenyum, lalu duduk lagi dimeja makan setelah membereskan semuanya.

"Lagi pula masakannya ibu enak banget. Sayang kalau cuma berakhir di makan ayam."

"Nak Randy bisa aja mujinya. Saya tadi masih belajar kok, baru liat resep di YouTube juga."

"Ibunya nak Randy pasti juga jago masak!" senyum cerah Randy berubah sendu. Ibu pun langsung meminta maaf, tak tahu salah apa pada kata katanya.

"Saya tak pernah tahu seperti apa ibu kandung saya, apalagi makan masakannya!" jawab Randy sembari memasang raut muka sedih. Ibu Mira dan Hana saling pandang.

"Oh, maaf nak Randy kami tak tahu..." suara ibu tercekat di tenggorokan. Randy melanjutkan bicaranya.

"Sejak bayi saya tinggal di panti asuhan. Tanpa tahu siapa Ayah dan ibu saya. Dan karena saya sudah dewasa dan punya penghasilan sendiri, saya keluar dari panti dan mencari kontrakan. Ingin hidup mandiri. Dan Alhamdulillah, saya bisa seperti sekarang ini!" tanpa diminta Randy bercerita, Hana mendengarnya diam seribu bahasa. Sedang ibu, air mukanya berubah sendu, tak menyangka ada anak semalang Randy.

Tadi bilangnya disuruh ibunya belanja, sekarang bilang gak punya ibu, yang benar yang mana? Dasar modus doang tuh pastinya.

Awas ya, suatu hari aku akan bongkar kebohongan kamu! Hana.

"Sekali lagi ibu minta maaf! tak sengaja menyinggung nak Randy!" Randy mengangguk dan berdiri.

"Gak apa Bu! Saya biasa aja kok!"

"Saya sudah kenyang nih, Bu! Saya pamit dulu. Lusa saya kesini lagi buat nganterin Hana kontrol. Terimakasih makan siangnya! Assalamu'alaikum."

"Waalaikum salam." Randy menyalami Bu Mira sebelum pergi dan hanya melirik Hana sebentar sebelum melangkah. Hingga tatapan mereka bersirobok.

****

"Shhhh, awww. Sakit!" Keluh Hana yang berjalan menuju kamarnya.

"Hati hati Han!"

"Ibu sangsi kalau kamu gak ada apa apa sama pemuda itu, buktinya dia mau makanan yang udah kamu makan." komentar ibu setelah Hana berbaring dikamarnya. Hana memutar bola matanya, apa yang dipikirkannya tadi menjadi kenyataan saat ini.

"Ya Alloh, Bu! Gak percaya amat sama anak sendiri. Kapan aku bohong sama ibu!"

"Hana sumpah, liat cowok itu juga baru tadi. Gak pernah bertemu sebelumnya."

"Hana tadi juga sempat protes sama dia, terus dia bilang apa coba? Dia bilang dia udah terbiasa makan sisa adik-adiknya yang gak habis makannya." sungut Hana.

"Masya Alloh, ada pemuda seperti itu di zaman ini, langka loh Han!"

" Langka! Hewan purbakala, kali!" seloroh Hana.

"Ish, kamu ini!"

***

Selama dua hari, yang bisa dilakukan Hana adalah tidur, main game di ponselnya, makan dan tidur.

Pagi itu, ayahnya sudah memanaskan sepeda, hendak mengantar kontrol Hana ke klinik. Beliau bahkan izin sama atasannya untuk dengan alasan ada kepentingan yang tak bisa ditinggalkan.

"Sudah siap, Han?" tanya ayah agak keras dari teras, sementara Hana duduk di sofa ruang tamu.

"Udah, Yah!" Hana mencangklong tasnya. Saat ia dituntun ibunya keluar rumah, ada sebuah sepeda motor masuk dari gerbang rumah.

Randy datang tidak mengendarai motornya yang kemarin. Tapi memakai sepeda matic yang ramah suaranya.

"Assalamu'alaikum, Pak!" Randy menyalami Pak Hadi, ayah Hana.

"Waalaikum salam. Apa ini yang namanya Randy?" tanya Pak Hadi sembari menunjuk dengan jari.

"Iya, Pak. Saya Randy, saya mau ngantar Hana kontrol, Pak!" Pak Hadi menatap anaknya, yang menggelengkan kepala pelan. Dengan isyarat mata Hana berkata pada ayahnya ia ingin diantar ayah saja.

"Silakan duduk dulu nak Randy!" sapa ibu Mira sembari tersenyum.

"Harusnya sih, nak Randy gak usah repot repot. Kan kecelakaannya bukan murni kesalahan nak Randy, lagian kemarin udah bayarin sama nganter Hana pulang juga, kan?" kedua pria itu duduk. Hana ikut duduk di samping Ayahnya karena tak kuat terlalu lama berdiri. Di teras rumah Hana ada empat buah kursi dengan meja kecil bundar ditengahnya. Jadi pas untuk duduk mereka berempat.

"Tapi saya sudah janji sama Hana, Pak. Bukannya janji harus ditunaikan ya?" pak Hadi manggut manggut, merasa sedikit kagum pada pemuda dihadapannya. Apalagi kemarin beliau juga mendapatkan cerita yang dinilainya positif dari sang istri.

"Iya, betul itu nak Randy. Tapi saya juga standby nih, malahan tadi izin gak ngantor. Padahal lagi banyak kerjaan saya. Mungkin nanti sehabis ngantar Hana, bapak kepaksa ngantor juga!" ujar pak Hadi mengabaikan penolakan Hana, dan Randy pun langsung tanggap.

"Ya sudah pak, kalau begitu bapak berangkat ke kantor saja sekarang, mumpung belum terlalu siang, belum telat. Urusan Hana, serahkan pada saya. Insyaallah, saya amanah pak orangnya! Saya bakalan antar Hana sampai pulang dengan selamat." ucap tegas Randy menawarkan diri. Pak Hadi berbinar matanya, ia menoleh pada sang istri.

"Beneran ini nak Randy? Bu, biar Hana sama nak Randy ini ya! Ayah gak jadi izin kerja!" Pak Hadi meminta pertimbangan sang istri.

"Asal gak merepotkan nak Randy aja. Ibu gak apa apa! Tapi, apa nak Randy gak kerja hari ini?" tatapan menyelidik Bu Mira pada Randy.

"Tenang, Bu! saya kerjaannya gak kayak orang kantoran. Saya kerja di kafe, biasanya saya berangkat jam sepuluhan, Bu!"

"Oh, kalau gitu kebetulan. Ya udah, Ayah sana ganti baju terus berangkat kerja, masih ada waktu buat bersiap pergi!"

Pak Hadi meminta izin pada Randy untuk ke dalam berganti pakaian kerja, sedang Bu Mira mengikuti suaminya, hendak menyiapkan apa yang dibutuhkan oleh sang suami. Randy tersenyum melihat kekompakan dan keharmonisan keluarga kecil Hana.

"Kemarin kamu bo'ong kan tentang Ibu kamu? Ngaku deh sama aku!" setelah beberapa saat diam Hana membuka suara. Mereka kini dalam perjalanan menuju klinik.

"Bo'ong tentang apa? Sama siapa?"

...Bersambung......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!