"Hukum pancung Grand Duke Fransisco karena telah berani memberontak kepada putri mahkota!" perintah tegas dari seseorang laki-laki tampan yang tengah duduk disebuah singgasana mewah dengan angkuhnya.
Laki-laki itu tidak sendiri, ia sedang bersama dengan seorang wanita berambut ungu muda dan bermata ungu, matanya seperti bunga Lavender yang menjadi ciri khas keluarga Lavandula.
"Tidak! Baginda, hamba mohon. Jangan bunuh suami hamba!" ujar seorang wanita paruh baya yang sedang memohon-mohon di bawah kaki laki-laki itu.
Hatiku sakit melihat wanita itu sampai memohon kepada laki-laki itu, tapi sayangnya laki-laki berhati batu itu malah menendang sang wanita yang tidak lain adalah Ibuku. Seorang Grand Duchess Fransisco, Syila Fransisco.
Tidak hanya menendang Ibu dengan kencang hingga kepala ibu terbentur dan mengeluarkan darah, ia juga menatap ibu dengan tatapan hina dan jijik. Ia melihat Ibuku, Grand Duchess Syila Fransisco seorang wanita terhormat setelah permaisuri dan Kaisar seperti melihat seorang serangga pengganggu yang sedang mengganggu kesenangannya.
"Hukum juga dia! Dia pantas mati," titah laki-laki itu.
Jder...
Bagaikan petir disiang bolong yang panas dihari ini, hatiku hancur berkeping-keping mendengar titah bahwa ibuku juga akan dipancung. Kali ini aku tidak ingin tinggal diam lagi, aku berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari para pengawal yang sedang memegang ku erat-erat.
"Tidak, hamba mohon baginda. Jangan bunuh ibunda hamba!" pintaku sambil berusaha melepaskan diri dari para pengawal yang tidak memberikan ruang untukku bergerak sedikitpun.
"Lepaskan aku!" pintaku kepada para pengawal namun tidak ditanggapi sedikitpun oleh mereka.
Aku terus meronta hingga tenagaku habis dan membuatku terduduk lemas ditanah.
"Hiks...hamba mohon baginda, hamba akan melakukan apapun untuk menggantikan ibunda dan ayahanda hamba," aku tak kuasa lagi menahan air mata melihat ibuku yang sudah bercucuran darah tidak sadarkan diri dan ayahku Grand Duke Fransisco dengan seorang algojo yang sudah siap dengan kapak besarnya yang kapanpun kapak itu bisa melewati leher ayah.
Aku berusaha memohon dan memohon tapi ia malah menatap dengan tatapan hina kepadaku. Bukan hanya dia, seluruh orang yang ada di lapangan luas ini menatap kami dengan tatapan sama seperti laki-laki itu.
"Apa kau yakin ingin menggantikan orang tuamu?" tanya laki-laki itu.
Perkataannya berhasil menghilangkan rasa frustasi ku, aku menganggukkan kepalaku dengan cepat memberikan jawaban kepadanya.
"Rakyat rakyat ku semua!" Panggil laki-laki itu tiba-tiba yang berhasil membuat seluruh perhatian mengarah kepadanya.
"Di sini, kita semua akan melihat. Apa yang akan terjadi jika ada yang berani memberontak kepada keluarga Kekaisaran Theoden. Aku, selaku putra mahkota Artemis Margary The Theoden sang pemegang jabatan sementara akan memberikan hukuman kepada putri dari keluarga Grand Duke Fransisco, Lareinya Fransisco yang bersedia untuk menggantikan orang tuanya. Maka, besok tepat tengah hari pemberontak akan dipancung ditempat ini dan mendapatkan hukuman yang setimpal," ujarnya dengan tegas dan lantang.
Sesaat tempat yang sangat ramai dengan lautan manusia itu hening, namun detik kemudian suasana berubah 360°. Mereka mengagung-agungkan nama pemimpin mereka selanjutnya.
" Hidup yang mulia putra mahkota Artemis Ivander The Theoden," seru mereka dengan begitu bersemangat.
" Hidup yang mulia putri mahkota Charlotte Lavandula, " seru mereka setelah mengagung-agungkan putra mahkota.
"Terimakasih baginda," ucapku sambil tersenyum kepadanya.
Setidaknya sebagai anak perempuan satu-satunya keluarga Grand Duke dan sebagai adik dari kakak-kakak yang sudah menyayangi ku selama ini, aku rela harus mati demi menyelamatkan mereka semua meskipun aku sudah terlambat menyelamatkan kakakku yang gugur di medan perang.
"Tidak, jangan Reinya!" teriak itu berasal dari suara ayah dari dalam tempat yang akan menjadi tempat terakhir untukku besok, ayah terdengar sangat sedih dan putus asa. Aku melihat ke ayah dan melemparkan senyuman untuk cinta pertamaku itu berharap bisa menghilangkan sedikit kesedihannya.
"Lepaskan Grand Duke Dan Grand Duchess! Bawa mereka ketempat yang disediakan." perintah putra mahkota Artemis dan segera dilaksanakan oleh para bawahannya.
Ayah pun dibebaskan dan dituntun bersama dengan 2 orang prajurit. Tapi, tidak semudah itu ayah dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan dirinya dan usaha ayah tidak sia-sia. Setelah lepas ia berlari ke arahku.
"Maafkan kami yang mulia." ucap salah seorang prajurit yang membawa ayah tadi.
"Tidak apa, biarkan mereka mengucapkan salam perpisahan untuk yang terakhir kali." ujar putra mahkota.
"Bagaimana sayang?" tanya putra mahkota Artemis kepada wanita disampingnya yang tidak lain adalah Charlotte.
"Anda sangat murah hati yang mulia," ucap Charlotte.
"Sudah kubilang, kau tak perlu sungkan kepadaku," kata putra mahkota Artemis sambil membelai rambut Charlotte.
Mereka bercanda gurau di atas singgasana untuk beberapa saat hingga akhirnya mereka turun sambil berpegangan tangan dan menyapa para rakyat.
•••
Seperti titah yang mulia putra mahkota aku dan ayah akhirnya bisa bertemu setelah 2 minggu ayah dikurung karena dianggap memberontak.
"Hiks... putriku, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu mau menggantikan ayah?" ayah menangis sesegukan sambil memelukku.
"Maafkan aku ayah, seharusnya aku menjadi anak yang berguna. Tapi, karena diriku keluarga kita menjadi seperti ini," kataku sambil menundukkan kepala, aku merasa tidak pantas melihat ayah.
Aku ingin sekali menenangkan ayah dan mengobati ibu, lalu memeluk mereka seperti biasa. Namun, sepertinya itu hanya akan menjadi angan-angan ku saja.
"Nak, tanpa perlu melakukan apapun kau sudah sangat membantu bagi kami. Kau adalah hal paling berharga bagi kami," sesaat ayah berhenti menangis dan memegang pipi ku.
Tangan hangat ayah yang biasanya kini menjadi dingin saat menyentuh pipi ku. Aku tahu ayah pasti sangat kedinginan berada dalam ruangan yang gelap, sempit dan dingin itu.
"Tidak apa ayah, mungkin sudah takdir aku menyusul kakak-kakak," kata-kata ku terpotong karena para prajurit dengan paksa memisahkan aku dengan ayah.
"Mau kalian bawa kemana putriku? Lepaskan!" perintah ayah kepada para pengawal namun tidak digubris sedikitpun oleh mereka.
Aku memberikan senyuman terakhir ku untuk ayah, seraya mengatakan.
"Aku harap ayah dan ibu bahagia. Terima kasih sudah merawat ku hingga sekarang. Jangan pernah merasa bersalah dengan pengorbanan ku untuk kalian," ucapku dengan susah payah karena para prajurit menarik ku dengan paksa.Dalam hitungan menit aku sudah berpindah di tempat lain dengan keadaan diseret seperti tadi.
Bahkan kakiku sudah tidak mampu lagi berjalan. Kenapa? Karena seluruh pergelangan kakiku sudah berlumuran darah akibat di seret puluhan meter.
Hingga sampai di suatu tempat dibawah tanah, tempat yang sangat dingin tanpa Ventilasi udara bahkan sinar matahari pun tidak bisa masuk ke dalam ruangan yang dingin.
Bahkan kakiku sudah tidak mampu lagi berjalan. Kenapa? Karena seluruh pergelangan kakiku sudah berlumuran darah akibat di seret puluhan meter.
Hingga sampai di suatu tempat dibawah tanah, tempat yang sangat dingin tanpa ventilasi udara bahkan sinar matahari pun tidak bisa masuk ke dalam ruangan yang dingin dan sempit ini.
Begitu masuk aku sudah disambut dengan aroma amis dari darah yang tersisa dari para penghuni tempat ini sebelumnya. Tempat ini bahkan lebih buruk dari seluruh tempat yang ada di Kekaisaran.
"Masuk kau kesana!" prajurit mendorongku dengan sangat kasar hingga kepalaku menabrak dinding jeruji besi ini.
"Nikmatilah kesengsaraan sebelum kematian mu, tuan putri," ucap kedua prajurit itu sambil menatapku dengan tatapan hina.
"Ayo kita pergi!" ajak salah satu prajurit.
Mereka pergi meninggalkan ku sendirian didalam jeruji besi yang dingin ini.
"Mungkin ini rasanya saat ayah dan kakak di masukkan kesini. Seharusnya dari dulu aku menggantikan kakak-kakak agar mereka tidak menderita," lirihku sambil menyentuh lantai yang sangat dingin dan juga tempat yang akan menjadi tempat terakhirku ini.
••
Tidak terasa siang berganti malam, malam hari di tempat ini lebih dingin dari bagian utara Kekaisaran ini, dimana tempat itu adalah tempat paling tertutup salju.
Aku mencoba untuk menghangatkan diri dengan cara menggosok-gosokkan kedua telapak tangan lalu menempelkan ke pipiku yang sudah kotor dipenuhi dengan lumpur, darah dan sebagainya.
Namun sayangnya tidak berhasil. Semakin malam, udara dingin di sini semakin menusuk hingga menembus kedalam tulang.
Suasana sangat hening hingga sebuah langkah kaki tiba-tiba datang dan menggema di semua tempat.
Tak... tak... tak...
Langkah itu semakin mendekat, aku pikir akan ada pembunuh bayaran yang akan membunuh ku terlebih dahulu sebelum aku dipancung besok. Namun , asumsi ku salah total.
Ternyata yang datang adalah seseorang yang sangat aku kenal bahkan dia adalah sahabat ku dari kecil.
"Charlotte? Kaukah itu?" tanyaku kepada siluet yang sangat aku kenal itu, tapi untuk memastikannya aku ingin bertanya. Tidak mungkin seorang putri mahkota terhormat datang ke tempat seperti ini.
"Iya, ini aku," jawab orang itu.
Tebakanku kali ini benar, dia adalah sahabat kecilku .
"Charlotte kenapa kau datang kesini? Disini dingin, kau bisa sakit jika berada disini," ujarku.
"Kau memang sahabat ku yang paling baik hati Reinya." kata Charlotte sambil tersenyum dan mendekat ke arahku.
"Reinya, mendekatlah!" pinta Charlotte yang terdengar seperti perintah, tapi aku tidak menghiraukan nya. Aku mendekat ke jeruji besi di mana Charlotte sedang menungguku sambil tersenyum disana.
"Aku senang bisa melihatmu lagi Reyna," kata Charlotte sambil memelukku dengan hangat.
Aku juga membalas pelukannya tanpa ragu, tapi saat aku hendak memeluknya, Charlotte menjauh dan melepaskan pelukan.
"Charlotte?"
"Heh, kau terlalu naif ya Reyna," kata-kata Charlotte yang tiba-tiba membuatku bingung, biasanya Charlotte tidak pernah seperti ini.
"Apa maksudnya?" tanyaku dengan bingung.
"Tapi, karena kenaifan mu rencanaku berjalan dengan lancar. Hahaha," jawab Charlotte diiringi dengan tawanya yang menggema.
Charlotte menghentikan tawanya dan beralih mendekat kepadaku dan mencengkram kuat daguku.
"Terima kasih sahabatku, karena berkatmu aku bisa dengan mudah mendapatkan posisi ini," kata Charlotte diiringi dengan senyum miringnya.
"Aku ingin bertanya satu hal kepadamu," pertanyaan ku tiba-tiba berhasil menghentikan tindakan Charlotte yang semakin lama semakin kencang mencengkram daguku.
"Apa kau selama ini tidak tulus kepadaku?" tanyaku lagi, sesaat keadaan hening hingga Charlotte angkat suara.
"Ya, selama ini aku hanya memanfaatkan mu untuk bisa naik ke posisi putri mahkota dan membalaskan dendam. Aku pikir akan sulit, namun ternyata berkat sahabatku yang sangat baik dan naif ini semuanya menjadi lebih mudah." jawab Charlotte.
"Baiklah aku mengerti sekarang, selama ini bahkan kau tidak pernah tulus kepadaku." ucapku dan tanpa sadar satu bulir air mata jatuh membasahi pipiku mendengar pengakuan dari orang yang paling aku percaya.
"Baguslah jika kau mengerti, aku ingin pergi. Yang mulia putra mahkota sudah menunggu kami." kata Charlotte.
"Oh iya, aku hampir lupa. Kau lihat!" Charlotte menunjuk perutnya kepadaku.
"Dia adalah calon anakku dengan putra mahkota, seharusnya anak ini menjadi milikmu. Namun takdir berkata lain, sayang sekali bukan? Reinya. Sudahlah, lagipula aku malas berlama-lama disini. Nikmatilah akhir dari kehidupan mu yang indah Lareinya Fransisco," ujar Charlotte berlalu pergi tapi langkahnya berhenti ketika jarak kami sudah jauh 5 langkah.
"Oh iya, ada satu hal lagi yang ingin aku sampaikan, bersiaplah karena besok kami semua akan memberikan hadiah yang pasti kau sukai," ucap Charlotte dan setelah mengatakan hal itu ia pergi.
'Heh, penderitaan mu tidak hanya berhenti sampai di sini Reinya. Nikmatilah kehidupan seperti kematian sebelum kematianmu yang sesungguhnya datang," gumam Charlotte dengan senyum miring nya.
Aku terduduk lemas mendengar perkataan Charlotte tadi.
"Dasar Reinya bodoh. Bagaimana bisa kau percaya dengan orang seperti dia dan memberikan semuanya kepadanya. Sekarang aku tahu siapa penyebab kehancuran keluargaku," air mata dengan cepat mengalir bagaikan hujan deras mengalir dipipiku.
Aku menyesali kebodohanku sehingga membuat keluarga yang aku cintai hampir hancur.
Aku membenci diriku yang terlalu percaya kepada orang lain, aku membenci diriku yang terlalu naif, namun apa gunanya aku membenci? Semuanya sudah terlambat.
•••
Tanpa terasa malam pun sudah berganti pagi mataku menjadi sembab karena menangis tanpa henti. Bahkan aku tidak memiliki air mata lagi untuk menangis.
Drek...
Pintu jeruji besi dingin yang ada didepan ku terbuka lebar dan menampakkan beberapa pengawal yang sudah bersiap.
Aku tidak memperdulikan apapun yang akan mereka lakukan. Tidak ada gunanya lagi aku memberontak dan melawan yang ada hanya membuang tenaga.
Mereka saling memandang untuk beberapa saat setelah itu mereka masuk dan menarik ku keluar dari jeruji besi yang dingin ini.
•••
Mereka menyeret ku kesebuah ruangan yang lebih parah dari sel tadi. Tempat ini mungkin lebih mengerikan dari neraka.
Bau darah yang menyambut walaupun masih sangat jauh, dan ketika memasukinya kami disambut oleh aliran darah yang mengalir tanpa henti.
"Kalian sudah datang?"
Suara bass seorang yang menghadap belakang membuatku mengingat seseorang.
"Kau, putra mahkota breng**k! Berani sekali kau," tidak tahan lagi sebuah kata yang sangat ingin aku ucapkan lolos begitu saja ketika melihatnya, orang yang aku cintai dulu dan juga orang yang menghancurkan ku hingga seperti ini.
"Lancang!" teriak Artemis.
"Cambuk dia 100 kali sekarang juga!" perintah dari Artemis langsung diindahkan oleh beberapa pengawal yang ada di ruangan ini.
Mereka mulai mengambil cambuk dan mencambuk ku hingga 100 kali.
Begitulah penyiksaan mereka sebelum waktu kepalaku berpisah dengan tubuhku.
"Bunuh dia!"
"Jangan biarkan dia hidup!"
"Bunuh pemberontak!"
"Selamatkan Kekaisaran Theoden dari para pemberontak!"
Begitulah teriakan mereka ketika melihatku datang ke lapangan.
Tidak hanya meneriaki ku mereka juga melempari ku menggunakan batu-batu besar, tidak sedikit luka yang aku dapatkan karena lemparan batu besar itu.
Perlakuan seperti itu terus berlanjut walaupun kepalaku sudah berada di tiang pemancungan.
Beberapa saat setelah leherku berada di tiang pemancungan yang mulia putra mahkota Artemis Ivander The Theoden dan yang Charlotte Lavandula datang dengan senyuman yang selalu mekar di wajah wanita itu.
"Seperti yang saya katakan kemarin, hari ini, siang ini. Kita semua akan menyaksikan hukuman bagi pemberontak yang berani melawan Kekaisaran Theoden. Seperti yang kita tau, hukumannya adalah hukuman Mati,"
Ujar putra mahkota yang berpidato terlebih dahulu kepada rakyatnya.
"Inilah akhirnya, akhir yang sangat mengenaskan yang tidak pernah terpikirkan olehku sedikit pun. Ayah, Ibu, Kakak-kakak, aku minta maaf kepada kalian jika aku banyak salah. Sekarang mungkin waktunya aku menebus semua kesalahan itu, namun jika ada kesempatan sekali lagi aku harap kita bisa bahagia." batinku.
Tanpa sadar lagi-lagi air asin berwarna bening mengalir di pipiku.
"Sebelum itu," Artemis menggantung kata-katanya sebelum kapak besar itu melewati leherku.
Semua mata mengarah kepadanya termasukku tapi tidak dengan Charlotte.
"Aku akan memberitahukan kepada kalian semua, hukuman tegas yang akan didapatkan oleh keluarga penghianat," lanjut Artemis sembari menatap ke arahku.
"Tunggu! Dia bilang keluarga penghianat tadi? Bukankah mereka sudah setuju jika aku yang menggantikan hukuman ayah dan ibu? Apa mungkin mereka melakukan sesuatu kepada mereka? Tidak itu bukan hal yang mungkin tapi itu adalah hal yang bisa mereka lakukan seenaknya." batinku.
"Sekarang!" perintah Artemis kepada seseorang disampingnya.
Orang itu segera pergi melaksanakan perintah mutlak dari atasannya, kami semua dibuat penasaran dengan apa yang akan terjadi.
Beberapa saat kemudian orang itu datang dengan beberapa orang sambil membawa sesuatu yang tidak bisa aku lihat. Karena memang posisi ku kini mengarah ke barat.
Orang-orang bersorak-sorai melihat kedatangan utusan Artemis itu.
"Lemparkan!" titah tegas Artemis.
Bruk....
Dari kejauhan terlihat sesuatu yang berbentuk seperti kepala terpisah dari tubuh dengan rambut blonde hair dan rambut lurus berwarna biru dongker.
Aku berharap ini mimpi, namun ternyata benar saja itu adalah kepala yang terpisah dari tubuh.
"Tidak, tidak mungkin,"
"Yang mulia! Kenapa ini? Anda pasti berbohong kan? Ini bukan. Aku yakin pasti bukan," sekuat tenaga aku berteriak agar terdengar oleh Artemis dan untuk membuktikan bahwa perkirakan ku salah.
Seorang pengawal datang dan mengambil kepala itu dan menghadapkan nya kepadaku.
"Tidak! Ini tidak mungkin! Ayah! Ibu! Artemis breng**k kau! Raja tidak tahu malu! Mati saja kau! Berani sekali kau mengingkari janjimu, kau membunuh orang tuaku setelah sepakat dengan perjanjian. Breng**k kau! Bed***h!" air mata serta emosi tak lagi dapat aku bendung melihat kepala yang ada di depan ku ternyata adalah kepala ayah dan ibu yang sudah berpisah dengan anggota tubuhnya.
"Laksanakan sekarang!" perintah dari Artemis kepada algojo.
"Jika memang ada kehidupan setelah ini, aku Lareinya Fransisco bersumpah jika aku bersalah maka di kehidupan manapun tidak akan pernah bahagia dan berakhir tragis. Namun, jika alu tidak bersalah dan hidup kembali maka kalian semua yang telah menyakitiku akan ku hancurkan. Hahaha!" ucapku dengan sekuat tenaga.
"Terutama kalian, kalian yang akan mendapatkan lebih parah lagi! Artemis b*****t dan Charlotte j****g. Mati kalian semua! Hahaha!"
Jleb...
Inilah akhir dari semuanya, aku tidak bisa menyelamatkan ayah dan ibu dan kakak-kakak. Bahkan mereka tidak menepati janji. Maafkan aku ayah ibu.
...•...
"Hosh, hosh, hosh..." nafasku terengah-engah.
"Apa ini? Kenapa tempat ini begitu tidak asing?" ujarku melihat keseluruhan penjuru ruangan.
"Bukankah ini kamarku? Tapi, seharusnya aku sudah mati? Leherku juga masih utuh. Bahkan seluruh tubuhku masih ada, Jangan-jangan." aku bergegas turun dari tempat tidur dan menuju cermin terdekat.
Benar saja, tubuhku berubah menjadi mungil dan rambut ku yang bergaya blonde hair berwarna pirang keemasan masih sangat panjang.
"Jangan-jangan aku kembali ke masa lalu," aku bergegas berlari keluar kamar dan menabrak seseorang yang ada diluar pintu.
"Ma, maafkan aku. Permisi aku masih ada urusan." ujarku sambil berusaha berdiri dan berlari kembali.
"Nona, tunggu!"
Aku melihat kebelakang sesaat dan ternyata orang itu mengejarku tapi aku memilih untuk tidak menghiraukannya. Aku ingin memastikan keadaan keluarga ku dulu.
"Aku yakin mereka sekarang pasti ada di sana. Aku harus ke sana." sekuat tenaga aku mencoba berlari melewati lorong yang sangat panjang dan besar ini, membutuhkan waktu lama untuk sampai ke tujuan karena memang tubuhku sangat mungil yang membuat langkah kakiku semakin pendek.
Usaha tidak akan mengkhianati hasil. Sebuah pepatah yang pernah aku dengan dan awalnya aku tidak percaya ternyata benar adanya.
Akhirnya aku sampai di ruangan itu.
Brak...
"Hosh... hosh... hosh... " nafas memburu dan lelah menghampiri, namun aku mencegah semuanya agar aku tidak pingsan saat ini juga.
Aku menatap penghuni ruangan ini yang berjumlah 4 orang yang terdiri dari 1 wanita paruh baya dengan rambut blonde hair dengan mata berwarna hijau, seorang pria paruh baya dengan rambut biru laut dan mata biru langit dan seorang pemuda dengan warna mata dan rambut yang mirip dengan pria paruh baya itu, tidak lupa seorang remaja laki-laki dengan rambut dan warna mata yang sama persis dengan sang wanita paruh baya.
"Ayah! Ibu! Kakak-kakak!" aku berlari berhamburan ke arah mereka.
Mereka semua berlutut menyamakan tinggi denganku dan membuka tangannya lebar-lebar.
Bruk... Grep...
Aku memeluk mereka dengan sangat erat berharap tidak akan pernah lepas.
Sebutir air mata lolos dari mata berwarna biru laut ku dan tidak berselang lama air asin itu jatuh dengan deras membasahi pipiku. Bukan karena sedih, tapi karena aku sangat bahagia bisa bertemu dengan orang-orang yang aku sayangi lagi. Entah mimpi atau bukan tapi yang pasti aku ingin menikmati saat-saat seperti ini lagi.
•••
Setelah cukup melepas rindu kini saatnya aku mulai diinterogasi.
Kami semua berada di ruangan tadi namun dengan posisi duduk.
Aku tidak berani menatap ke arah mereka berempat karena sudah pasti aku akan di sidang.
"Reinya!" panggil seseorang dari mereka.
"Tamat sudah, jika kak Chantelle sudah angkat suara sudah tidak ada lagi harapan untukku." batinku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!