NovelToon NovelToon

Berbagi Cinta : Satu Atap Tiga Hati

Gadis menyedihkan

Alana Adhinata, gadis 15 tahun. Duduk di sudut ruangan, menatap wanita cantik yang tengah dirias oleh team MUA sejak tiga jam lalu. Hari ini adalah hari bahagia kakak tersayangnya, Lily Adhinata. Dia akan menikah dengan pria yang sialnya sangat dibenci oleh Alana karena sikap arogan dan dingin pria itu. Alasan kebencian itu hanya karena masalah sepele, tapi berbekas di hati Alana.

Alana membenci Arundaya Dirgantara karena sudah merebut Lily dari hidupnya dengan cara menikahi wanita itu. Dia tidak terima tentu saja!

"Hei, apa aku cantik?" tanya Lily dengan wajah cantik dan tatapan yang penuh rasa bahagia.

"Kau sempurna, Kak." Alana mencoba tegar untuk mengatakan itu, menahan air mata yang sudah mulai meremang di pelupuk mata.

Pernikahan itu harusnya terjadi satu tahun lalu, tapi karena Alana tidak setuju Lily menikah, dengan berat hati, Lily menolak lamaran Arun, pria yang sudah lama dipacarinya. Hal itulah yang membuat Arun membenci Alana. Pria itu jelas tahu kedudukan Alana dalam keluarga itu, tapi berani sekali memutuskan Lily boleh menikah atau tidak.

Malam itu, saat akan pulang dari rumah Adhinata, dengan rasa kecewa dalam hatinya setelah penolakan itu, Arun menarik Alana yang kebetulan melintas di halaman rumah.

"Dasar gadis tidak tahu diri, egois! Demi kepentingan mu, kau membuang kebahagiaan Lily. Apa kau tahu, dia sangat ingin menikah dengan ku? Hal itu membuatnya bahagia! Tapi kau dengan sifat kekanak-kanakan mu itu merusak segalanya. Aku membencimu, Alana!"

Setelahnya Arun berlalu meninggalkan Alana yang masih terkejut atas apa yang baru saja dilakukan Arun padanya.

Arun sangat mencintai Lilyana, sejak pertemuan pertama mereka di acara kampus, penyambutan mahasiswa baru waktu itu. Arun sebagai almamater kampus yang berprestasi diminta untuk memberikan kata sambutan dan motivasi untuk mahasiswa yang akan berjuang di kampus biru itu.

Sejak hari itu, Arun mendekati Lily. Gayung bersambut, Lily menerima Arun yang kala itu sudah menjadi CEO di perusahaan besar papanya, Wiga Dirgantara.

Pacaran selama empat tahun, meyakinkan Arun untuk melamar Lily. Orang tua Lily tentu saja sangat gembira mendapatkan calon mantu dari keluarga terpandang, sebesar Dirgantara.

Kegembiraan Santi dan Bima, orang tua Lily tidak bertahan lama. Impian mereka terhempas kala Lily menolak lamaran itu. Terlebih karena alasan yang tidak masuk akal, yaitu Alana tidak setuju. Hal itu membuat orang tuanya kecewa sekaligus marah atas keputusan Lily. Bahkan Santi semakin membenci putri tirinya itu.

"Dasar anak tidak tahu diri! Atas dasar apa kau merusak kebahagiaan kakakmu? Kau iri, ya? Kau harus sadar kau siapa disini!" salak Santi menyeret tangan Alana menjauh dari ruang tamu. Habis sudah kesabarannya.

Cubitan Santi di lengan dan pinggangnya membuat Alana meringis kesakitan. Santi benar-benar habis kesabaran menghadapi anak tirinya ini. Ditatapnya wajah Alana penuh kebencian. "Kau adalah petaka dalam hidupku dan keluargaku. Tidak bisakah kau mati saja?" ucapnya dengan suara bergetar.

Setiap melihat wajah Alana, Santi akan dibawa mengingat peristiwa 15 tahun lalu. Malam yang akan dia ingat bahkan sampai ke liang kubur. Asal mula kebencian yang tertanam dalam hatinya.

Malam itu, hujan gerimis menyapa tanah Jakarta. Santi baru tiba di Jakarta bersama Lily yang saat itu berusia 7 tahun. Mereka baru saja tiba setelah seminggu lamanya berada di Jogja mengurus nenek Lily yang sakit keras. Bima tidak bisa ikut dengan mereka karena pekerjaan dan juga menjalankan perusahaan yang baru saja mereka rintis.

Pintu gerbang yang tidak dikunci memudahkan mereka untuk masuk. Begitu pun pintu yang lupa dikunci dari dalam. Lily yang saat itu sudah lelah, memilih untuk merebahkan tubuhnya di sofa saat memasuki ruang keluarga.

Dahi Santi berkerut. Rumah tampak begitu sepi, sementara sang suami yang biasa pada jam segini pasti sudah menikmati berita di televisi justru tidak tampak. Baru akan memanggil pelayannya, Santi mendengar suara sahut-sahutan dari dalam kamar Mira, pelayannya. Semakin penasaran Santi menempelkan telinganya di daun pintu, menguping sesaat untuk memastikan apa yang sedang terjadi di dalam sana.

Jantungnya berdebar kencang, saat suara mendesah dan geraman hebat itu seperti suara suaminya. Santi masih menepis segala kemungkinan yang sudah mulai menjalar di pikirannya. Kakinya mulai lemas, tubuhnya bergetar saat pria itu bersuara.

"Kau begitu nikmat, Mira. Aku menyukai mu," erangnya meracu, memuji lawan mainnya. Santi meremas pinggiran gaunnya. Dia tidak perlu bukti lagi untuk meyakinkan hatinya. Cukup mendorong pintu yang jadi penghalang antara dirinya dan dua orang yang sudah mengkhianatinya itu.

Dua kali menarik napas, Santi menguatkan hatinya. Memberikan keberanian pada dirinya sendiri untuk mendorong daun pintu itu dan membuka perzinahan yang dilakukan keduanya.

Brak!

Hempasan daun pintu yang membentur tembok membuat kedua manusia yang berbaring tanpa sehelai benang pun itu tersentak.

Bima buru-buru mendorong Mira dari atas tubuhnya hingga terpelanting di lantai. "San-ti...."

Tidak ada kata yang keluar dari mulut Santi Matanya penuh dendam menatap kedua manusia yang sudah berbuat dosa itu. Perlahan kakinya melangkah, berdiri tepat di hadapan Mira yang dengan kedua tangannya menutupi bagian atas tubuhnya. Wajahnya tampak sangat ketakutan saat bersitatap dengan Santi.

"Maafkan saya, Nyonya," ucap Mira penuh rasa takut. Sujud di kaki Santi, berharap wanita itu akan memberikan belas kasih padanya.

Alih-alih mengampuni, Santi yang sudah dipenuhi amarah, menjambak rambut Mira, menyeret wanita itu ke luar dari rumah. Saat tiba di halaman Santi memaki bahkan memukuli Mira.

"Wanita sundal, pel*cur, biad*b, tidak tahu diri. Kau menjijikkan!" maki nya penuh emosi.

"Maafkan saya, Nyonya. Tapi tuan yang memaksa saya. Hari pertama nyonya pergi, tuan memperk*sa saya. Maafkan saya nyonya," ucap Mira masih sujud di kaki Santi dengan tubuh bergetar hebat. Dia sadar kalau dia salah.

Bima yang ikut melihat keluar setelah selesai memakai pakaian, membawakan satu selimut dan menutupi tubuh Mira.

"Dasar pria brengsek! Kau malah menyentuhnya di depanku!" raung Santi.

"Aku minta maaf Santi. Aku salah. Aku menyesal." Bima berlutut dihadapan Santi.

"Kau menjijikan. Ceraikan aku sekarang juga!"

"Tidak Santi. Aku tidak akan menceraikan mu. Aku mohon beri aku satu kesempatan lagi, demi Lily, demi perusahaan yang baru kita bangun."

"Lantas wanita ini?" Santi melirik jijik ke arah Mira yang masih tersungkur memohon maaf.

"Usir saja dia. Kita beri sejumlah uang biar dia tutup mulut. Kita bisa mulai lembaran baru. Aku tidak akan pernah mengulanginya lagi, aku bersumpah." Kedua tangan Bima menyatu di depan dada, memohon belas kasih Santi.

Hanya karena Lily, dan juga kehormatan keluarganya. Santi memaafkan Bima, walau bara itu masih akan selalu tersimpan dalam hati.

Berpisah dengan Lily

Rumah tangga Lily dan Arun tampak sangat bahagia. Setahun sudah Lily menikah, dan selama itu pula dia tidak melupakan adik kesayangannya. Terbukti selama kurun waktu itu pula dia sudah lima kali mengunjungi Alana. Membelikan apa pun kebutuhan Alana.

Lily memang sangat memanjakan adiknya itu, walau dia tahu Arun tidak akan suka. Namun, pria itu, toh, tidak bisa berbuat apa-apa. Bagi Arun yang terpenting adalah Lily senang.

Saat Arun berada di luar kota, Lily akan menginap di rumah orang tuanya, dan menghabiskan waktu bersama adik kecilnya. Mereka akan menghabiskan waktu untuk nonton, makan dan mengelilingi mall dengan agenda keluar masuk toko.

Bersama Lily, Alana bisa menjadi dirinya sendiri. Bisa tertawa dan juga bercerita apa pun. Terlebih saat ini Alana sudah ada yang naksir. Lily selalu mengingatkan untuk pacaran sehat, utamakan pendidikan.

"Tenang aja, Kak, dia cowok yang baik kok," ucap Alana mencomot satu kentang goreng dan mulai mengunyahnya.

"Kapan-kapan kenal kan sama Kakak."

"Siap bos," sahut Alana mengangkat tangan tanda menghormat pada Lily, dan keduanya pun tertawa bersama. Tidak ada beban dan kesedihan.

Kebahagiaan Alana yang sebenarnya ada di samping Lily, karena saat tiba di rumah nanti, biasanya Santi akan menghajar nya lagi.

Bahkan Bi Jum, pelayan di rumah mereka begitu geram, hampir setiap hari menyaksikan bagaimana Santi menyiksa Alana. Bi Jum hanya bisa menatap dari kejauhan sembari mengepalkan tinju, saat melihat keadaan Alana yang menahan sakit atas sabetan rotan di punggungnya. Bi Jum akan setia mengobati Alana, mengoles minyak sembari mengutuk perbuatan Santi.

Hari dimana Lily meninggalkan rumah itu, adalah hari dimana derita Alana yang sesungguhnya. Kalau dulu ada Lily yang akan menjadi tamengnya, kini Alana hanya bisa memasrahkan diri.

Bagaimana dengan Bima? Dia adalah ayah kandung Alana, lantas mengapa tidak membela anaknya?

Jawabannya karena Bima pun membenci Alana. Tepatnya wajah Alana yang begitu mirip dengan ibunya. Bima sebenarnya mencintai Mira. Saat dimana Mira memasuki rumah itu sebagai pelayan, Bima sudah jatuh cinta. Tapi dia sadar tidak mungkin memiliki Mira terlebih karena dia sudah beristri.

Saat malam itu dimana dirinya kepergok oleh Santi, sesaat Bima ingin pergi saja bersama Mira, tapi dia kembali berpikir, kalau hidupnya akan susah tanpa sokongan keluarga Santi, hingga Bima memilih untuk melepas Mira.

Sejak saat itu, Santi berubah. Tidak pernah lagi menganggapnya sebagai suami. Mungkin mereka tidur di ranjang yang sama, tapi hubungan mereka tidak seperti dulu lagi.

Setiap Bima mendekati Santi, wanita itu akan terus mengungkit kesalahannya dan menjadikan senjata untuk menolak melayani nya.

Kejadian itu berlangsung lama, hingga pada tahun ke lima, berawal ketika seseorang mendatangi mereka, memperkenalkan diri sebagai saudara jauh Mira. Pria itu datang membawa seorang gadis kecil berumur lima tahun dan mengatakan itu adalah anak Bima dan Mira. Santi yang mendengarnya hampir saja pingsan. Setelah bisa menguasai diri, Santi dengan tegas menolak anak itu untuk tinggal bersama mereka, begitu juga dengan Bima.

Tidak adanya anak itu saja sudah membuat Santi membenci nya, apa lagi setelah anak itu bersama mereka nantinya, Santi bisa saja mengusir nya dari rumah itu, tapi pria itu mengancam akan melaporkan ke polisi karena sebagai ayah sudah menelantarkan anak kandungnya.

"Saya juga akan membeberkan berita ini pada awak media, agar Bapak malu. Saya tahu Bapak adalah orang terpandang, hal ini akan mencoreng nama baik Anda, dan saya jamin para kolega Anda akan meninggalkan Anda!"

Atas ancaman itu, mau tidak mau suami isteri itu akhirnya menerima Alana di rumah itu. Tapi jangan pikir menjadikannya anak, Alana adalah budak dan alat untuk melampiaskan amarah, sakit hati dan rasa dendam Santi pada Mira.

Kepindahan Lily dari rumah itu membuat dunia Alana tidak sama lagi. Gadis itu hanya akan diam dan mengerjakan tugas-tugasnya. Lelah dan tertekan, itu yang dirasakan Alana. Kadang kala Santi akan menyuruhnya melakukan sesuatu yang tidak masuk akal hanya untuk melampiaskan rasa sakit hatinya dan menghibur kebosanannya.

Seperti hari itu, sepulang sekolah Alana di minta untuk mengangkat tanah gembur yang ada dalam karung. Memindahkannya ke taman belakang, lalu membagi ke dalam beberapa polibag. Setelahnya, meminta mengangkat polibag yang lebih dari lima puluh itu ke depan, ke tempat dimana Alana mengangkat karung tanah itu.

"Dasar wanita gila, bisa aja 'kan tadi ngisinya di sana aja, gak mesti mengangkat tanah itu kebelakang dulu. Sabar, ya, Non," bisik Bi Jum pada Alana.

Alana hanya akan tersenyum pada wanita itu dan meneruskan perbudakan yang sedang dia jalani.

Setidaknya hanya di sekolah Alana bisa sedikit memanusiakan dirinya. Alana memang bukan gadis unggulan di sekolah. Parasnyanya ayu, tapi karena kurang mengikuti trend dandanan anak SMA zaman sekarang, hingga tidak banyak kaum Adam yang melirik nya.

Tapi satu orang siswa, yang sejak kelas dua menjadi teman sekelasnya menyadari keistimewaan Alana. Gadis itu pada dasarnya memiliki kepribadian menarik, hanya sedikit tertutup pada orang yang tidak dekat dengan nya. Buktinya berteman selama satu tahun ini membuat Gara bisa berteman dengan Alana. Hingga kenaikan kelas, Gara menyatakan perasaannya pada Alana.

Tidak ada alasan bagi Alana untuk menolak Gara. Pria itu satu-satunya yang memperlakukan dirinya sangat baik. Namun, Alana takut kalau sampai ibu dan bapaknya tahu mengenai hubungan mereka. Terlebih Santi, ibu tirinya itu tidak akan terima kalau sampai tahu Alana pacaran.

Ibunya yang sebagai pelakor akan menjadi senjata bagi Santi untuk memaki dan mengatainya dengan kalimat-kalimat yang menyakitkan.

"Aku gak bisa Gar." Alana menunduk, memandangi sepatunya yang coba melukis tanah. Dia harus menerima kenyataan pahit kalau dirinya tidak pantas berpacaran dengan pria sebaik dan sempurna seperti Gara.

"Kenapa? Kamu gak suka sama aku?"

"Bukan gitu. Mmm..., aku takut ibuku tahu. Dia pasti akan marah besar kalau tahu aku pacaran." Alana mendongak sesaat menatap Gara lalu kembali menunduk.

"Asal kamu juga suka sama aku, kita bisa rahasiakan hubungan kita. Aku gak masalah."

Kadang Alana berpikir Gara bukanlah manusia. Pria itu terlalu baik, terlalu sempurna. Pengertiannya yang besar pada Alana membuat gadis itu tidak bisa menolak lagi.

"Gimana, kamu mau 'kan jadi pacar ku?" tuntut Gara tidak sabar. Dia sudah menyukai gadis itu sejak kelas dua, saat mereka di pertemukan dalam satu kelas.

Perlahan Alana mengangguk. Gara yang gembira, tanpa sadar menarik tangan Alana dan mencium punggung tangan gadis itu.

Sebenarnya bukan hanya Gara teman Alana di sekolah. Saat kenaikan kelas tiga, pada mata pelajaran Biologi, Alana satu kelompok dengan Gara, Dita, Fajar dan Wisnu. Mereka yang tidak pernah saling tegur sapa di awal tahun ajaran baru, tapi di kelas dua menjadi teman dekat.

Resminya hubungan Gara dengan Alana juga tidak membuat genk itu bubar, justru kelimanya semakin solid, mendukung hubungan mereka.

Semenjak berteman dengan mereka rasa percaya diri Alana muncul. Perlahan Alana berubah jadi gadis riang.

Prahara rumah tangga

Satu tahun pernikahan mereka, tanda-tanda kehamilan Lily pun belum ada. Bukan tidak berusaha, semua hal yang dia tahu dapat mempercepat kehamilan sudah dia lakukan. Mulai dengan mengkonsumsi makanan sehat, olah raga, juga sudah dia kerjakan. Tak sampai disitu, usahanya juga dibarengi dengan doa dan Lily juga puasa demi permohonan, tapi tetap saja Tuhan belum mengabulkan permohonannya.

Berbeda dengan Arun, pria itu menyikapinya dengan santai. Bagi dia, selama bersama Lily, itu sudah cukup. Kalau masalah anak, Arun lebih open minded. Dikasih syukur, belum dikasih, ya, bersabar.

Masalahnya, bukan Arun yang didesak oleh Ema, mamanya, tapi Lily. Arun yang anak tunggal menjadi sangat ditunggu keturunannya, sebagai ahli waris keluarga Dirgantara.

Desakan dari mertuanya untuk segera hamil membuat Lily kian hari tampak semakin depresi.

"Kamu jangan pikirkan omongan mama. Biarin aja. Aku gak mau, Hun, kamu jadi sakit gara-gara omongan mama," ucap Arun kembali membenamkan wajahnya di ceruk leher Lily. Tidak lama terdengar dengkuran halus dari pria itu yang sudah terbuai mimpi. Pertarungan mereka begitu menguras tenaga Arun. Dia begitu perkasa hingga Lily kadang sangat susah mengimbangi gerakan Arun.

Dia ingin membahagiakan suaminya. Dia tahu Arun memiliki n*fsu yang menggebu-gebu, jadi Lily memutuskan mencari informasi berhubungan dengan kegiatan suami istri di atas ranjang. Awalnya Lily akan merasa jijik dan geli, tapi untuk suaminya, Lily pun mau melakukan gaya-gaya yang dianggapnya aneh. Tapi makin kemari, justru Lily merasa ketagihan dan piawai dalam menaklukkan batang kebesaran Arun yang selalu menjadi kesukaannya.

"Hun, nanti pulang cepat ya, jangan lupa kita mau ke rumah mama," ucap Lily membenarkan letak dasi suaminya.

"Iya bawel," sahut Arun mencubit pipi Lily sembari tersenyum. "Tapi bisa gak, sih, kita gak usah pergi aja? Aku lebih suka kita di rumah berdua, pelukan dan berc*nta hingga pagi," ucap Arun di telinga Lily, mencium dan menggelitik wanita itu bersamaan.

"Geli, Hun." Lily menangkup wajah pria itu, membuat mata mereka saling tatap. "Aku gak mau mengecewakan mama. Ini hari ulang tahunnya."

Arun memutar bola matanya dan menghembuskan napasnya berat. "Baiklah, Tuan putri." Arun menyudahinya kalimatnya dengan ciuman mesra dan lama sebelum berpisah dengan istrinya.

Sejam sesudah Arun berangkat kerja, Lily berniat mencari kado untuk mertuanya, dan orang yang tepat untuk menemaninya adalah Alana. Penuh semangat Lily mengirim pesan, kalau nanti dirinya akan menjemputnya sepulang sekolah.

"Ga, nanti pulang sekolah aku balik sama kakakku, ya," ucap Alana riang, memasukkan ponselnya dalam tas.

"Yah, belalang tempur sedih dong gak ngantar kamu pulang." Gara pura-pura menunjukkan wajah sedihnya.

"Bilang sama belalang tempur, besok 'kan bisa pulang bareng lagi. Tapi gak boleh ya, di naikin cewek lain."

"Aku senang kalau melihat wajah mu seceria ini Al," ucap Gara merapikan helai rambut Alana dan menyelipkan di balik telinga gadis itu. Angin yang berhembus membuat beberapa helai rambut lurus Alana menjuntai hingga wajahnya.

"Kadang aku cemburu, rasanya hanya Kak Lily yang bisa membuat mu sebahagia ini." Kali ini ucapan Gara serius. Alana sudah menceritakan semua hal tentang dirinya, bagaimana posisinya di dalam keluarga itu.

Dia ingin Gara mengetahui jati dirinya sebelum mereka benar-benar pacaran. Kalau karena latar belakangnya membuat Gara malu menjadikan nya pacar, maka sebaiknya mereka berhenti di awal.

Tapi nyatanya Gara menerima semuanya. Justru semakin membuat pria itu mengasihi Alana karena merasa hidup begitu tak adil bagi gadis itu.

"Kau dan kakakku memiliki tempat yang berbeda di hatiku. Tapi percayalah kalian berdua lah orang paling aku cintai di dunia ini"," ucap Alana jujur. Kepolosan tampak dari sinar matanya yang membuat Gara ingin memeluk gadis itu.

"Jangan, masih banyak anak-anak." Alana menahan tubuh Gara yang maju mendekat padanya.

Bunyi ponsel menandakan kalau Lily sudah ada di depan sekolah seperti janji mereka tadi. "Yuk, Kak Lily udah sampai, tuh."

Sepasang kekasih itu berjalan bergandengan menelusuri koridor kelas menuju gerbang keluar. Masih ada satu dua siswa yang berjalan untuk pulang. "Hai cantik, sendiri aja nih," goda Gara saat Lily keluar mobil menyambut mereka."

"Hai juga Romeo. Iya nih, makanya aku mau pinjam Juliet kamu nemani aku belanja. Boleh, kan?" sahut Lily tersenyum.

"Iya, Kak. Jagain cinta aku, ya," ucap Gara melepas pegangan tangannya dan menyerahkan tangan Alana pada Lily.

Alana masih melirik kaca spion, melihat Gara yang masih ada di tempatnya, memandangi kepergian mereka hingga mobil Lily berbelok baru lah Gara pergi.

"Dia pria yang baik" suara Lily melepaskan Alana dari kaca spion. Gadis itu hanya memberikan senyum atas perkataan Lily.

Atas saran Alana, Lily memutuskan untuk menghadiahi mertuanya sebuah gelang berlian yang indah. Lily yakin mertuanya pasti suka.

***

Suasana rumah mewah itu tampak sedikit berbeda. Ulang tahun kali ini, Ema ingin suasana lebih hangat hingga meminta pelayan mendekorasi ruang makan dengan ornamen ungu, warna kesukaannya.

Usai makan malam, Lily menyerahkan hadiah ulang tahun, yang di terima Ema dengan gembira. "Terimakasih, tapi sebenarnya, mama menginginkan kabar gembira dari mu sebagai kado ulang tahun mama. Mama ingin cucu"

"Ma, jangan begitu. Jangan membuat Lily semakin tertekan" potong Arun yang tidak ingin melihat Lily semakin terpuruk.

"Apa mama salah? mama dan papa mu sudah tua, kami ingin melihat pewaris Dirgantara sebelum kami mati" nada suara Ema meninggi. Dia begitu kesal melihat anaknya yang selalu membela Lily.

Ema yakin, ini semua salah Lily. Dia lah yang tidak sempurna hingga sampai saat ini tidak bisa hamil.

"Mama berhak menginginkan cucu. Kami juga sudah berusaha, tapi kalau Tuhan belum ngasih, kami mau bilang apa?" Arun terus pasang badan. Sementara Lily hanya menunduk mendengar pertengkaran suami dan ibu mertuanya.

"Banyak cara lain. Kalau memang Lily tidak bisa memberimu anak, kalian bercerai saja, dan kau bisa menikah lagi"

Brak! Arun menggebrak meja, berdiri tiba-tiba hingga menjatuhkan kursi nya.

"Lebih baik aku tidak punya anak dari pada haus bercerai dengan Lily. Sampai kapan pun aku tidak akan mau berpisah dengan Lily" amarah Arun sudah tidak terbendung lagi.

"Kamu jangan bicara kasar pada mama mu. Hormati dia. Kamu ini kenapa jadi begitu berani bicara dengan nada tinggi pada mama mu. Sudah lah, jangan di bahas lagi"

Ema yang tidak menyangka akan menerima perlakuan kasar dari putra yang paling dia cintai itu, pergi meninggalkan ruang makan. Lily jadi serba salah. Di bangkit dan mengejar ibu mertuanya. Arun sempat menarik tangan Lily, tapi di tepis oleh istrinya itu.

"Ma, maaf kan aku. Karena aku mama dan Arun jadi bertengkar" ucap Lily duduk di samping Ema.

"Mama cuma ingin punya cucu. Ly, berjanjilah kalau memang kau tidak bisa memberikan keturunan buat keluarga ini, izinkan Arun menikah lagi"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!