Bianca menguap lebar, padahal sebelum masuk kelas ia sudah minum kopi. Namun rasa kantuknya itu tidak bisa di ajak kompromi sama sekali. Ini akibat kemarin ia menonton maraton drama Korea, alhasil dirinya hanya bisa tidur dua jam.
Bianca melipat kedua tangannya di meja, menjadikannya bantalan. Hanya membutuhkan waktu tiga detik, matanya itu sudah tertutup rapat. Hingga suara bariton yang sangat familiar di telinganya itu membuatnya berjingkat, nyaris saja ia terjungkal ke belakang kalau saja Dosen Killer itu tidak menahan tubuhnya.
Dalam jarak sedekat ini, Bianca bisa mencium aroma maskulin yang menyeruak memenuhi Indra penciumannya. Hingga dirinya tidak sadar sudah menjadi tontonan anak satu kelas. "Sampai kapan kamu menempel di tubuh saya?" bisik Arsen, seketika membuat bulu kuduk Bianca meremang. Perempuan itu segera menjauhkan tubuhnya dari Arsen.
"Bianca Almeera Anatasya," panggil Arsen tegas, Bianca kontan menegakkan tubuhnya lalu mata bulatnya itu mendongak menatap pria yang berdiri menjulang di hadapannya. Batinnya terus merutuki kebodohannya yang tertidur di kelas dosen galak.
"Temui saya setelah kelas ini selesai," kata Arsen lalu kembali duduk di kursi kebesarannya. Badan Bianca kontan terkulai lemas, sekarang apa lagi? Pasti pria itu membantainya dengan tugas lagi.
Triple sial kalau begini caranya, Bianca berkali - kali mengumpat dalam hati. Ia melirik ke arah Abel yang sedang meringis ke arahnya, "Sorry, gue tadi juga baru tau kalau si galak ada di belakang lo. Lo tau sendiri kan, Pak Arsen itu selalu muncul tiba - tiba."
Ya, dosennya yang satu itu selalu datang tak di jemput pulang tak di antar eh. Maksudnya, pria itu selalu muncul tiba - tiba dengan aura hitam. Membuat bulu kuduk berdiri di tambah lagi olahraga jantung mendadak.
Bianca mengacak rambutnya dengan kasar, seharusnya semalam ia tidak tergoda melihat Cha Eun-woo di laptopnya. Dirinya pasti tidak akan tertidur di kelas si Galak.
"Okay, saya tutup mata kuliah hari ini. Jangan lupa selesaikan tugasnya, pertemuan selanjutnya kita bahas bersama," ucap Arsen seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh mahasiswa serta mahasiswinya, hingga matanya jatuh memandang perempuan mungil yang baru saja mencari masalah di mata kuliahnya. "Bianca, kamu ikut saya sekarang."
Bianca memasukkan buku dan peralatan tulisnya yang lain dengan ogah-ogahan. Rasanya ia ingin kabur, lalu melanjutkan acara tidurnya di kasur kesayangannya. Tetapi itu sangat mustahil, mengingat pria itu sangat pelit nilai. Bisa-bisa dirinya mendapat nilai D, dan mengulang mata kuliah dosen galak itu.
"Gue tunggu di Kantin fakultas Ekonomi, ya," kata Abel, perempuan itu menatapnya dengan tatapan prihatin. "Semangat, yes."
Semangat gundulmu. Bianca mendengus lalu menyampirkan tas ransel di bahunya. "Besok aja kita ke Gramedia-nya, Bel. Setelah ketemu sama si Galak, gue pengin langsung ke kos lanjut tidur."
Abel mau tidak mau mengangguk setuju, ia tidak ingin menambah mood buruk Bianca berkali lipat lebih buruk dari sebelumnya. "Ya udah kalau gitu, gue cabut duluan. Semangat pacaran sama si Galak!" Setelah menggoda sahabatnya, Abel langsung ngacir keluar kelas.
Apa? Pacaran? Amit - amit ia pacaran dengan dosen galak itu. Ganteng sih ganteng, tapi kalau galak bin kejam, maaf - maaf saja dirinya tidak mau.
Saat berjalan ke ruang Arsen, Bianca berpapasan dengan Agam. Gebetannya sejak menginjakkan kaki di universitas ini, senyuman manis langsung ia layangkan ke arah laki - laki itu. "Agam," sapanya memberanikan diri.
"Eh, Bianca. Mau pulang?" tanya Agam dengan senyuman lebar, membuat jantung Bianca berdisko ria.
"Anu- mau ke ruangannya si Galak," balas Bianca, mengundang tatapan penuh tanya laki - laki di depannya.
"Si Galak? Siapa?" tanya Agam penasaran.
"Si Galak itu Pak Arsen," jawab Bianca enteng, tanpa dosa. Tidak lupa senyum geli terbit di bibirnya, sedangkan Agam menatap ke arah belakangnya dengan pandangan... takut? Karena penasaran, Bianca menoleh ke arah belakang.
Mamp*s. Di belakangnya, si dosen killer itu berdiri disana dengan tatapan lasernya. Bianca meringis. Duh Gusti, tatapan Arsen membuat dirinya ingin menjedotkan keningnya di tembok.
"Kenapa masih disini? Saya tunggu di ruangan, kamu justru pacaran," kata Arsen masih dengan tatapan tajamnya.
"Maaf, Pak, tadi saya—" Belum sempat Bianca melanjutkan bicaranya, pria itu menyelanya.
"Alasan," ujar Arsen singkat, padat dan jelas. "Ikut saya."
Bianca mengekori Arsen dengan raut masam, di sepanjang jalan ke ruangan pria itu, tidak sedikit perempuan menyapa Arsen dengan senyuman manis. Bianca heran bagaimana bisa perempuan di kampusnya banyak yang suka dengan dosen galak macam Arsen.
Keduanya sampai di depan pintu bercat cokelat, Arsen mengeluarkan kunci dari saku celana khaki-nya. "Masuk," titah Arsen.
Arsen mendudukkan dirinya di kursi kebesarannya, sedangkan Bianca duduk tepat di depan pria itu. Arsen menatap nyalang mahasiswa bandelnya, "kenapa kamu selalu cari masalah di awal mata kuliah saya hingga sekarang? Terlambat, tidur di kelas, lalu besok apa lagi?"
"Maaf, Pak. Saya khilaf, Bapak kan tahu manusia tidak luput dari salah," ucap Bianca, sedangkan Arsen mendengus. Mahasiswinya itu selalu bisa menjawab argumennya. Tiba - tiba kepalanya terasa pening, Arsen memijat pangkal hidungnya.
"Sebagai hukuman, buat makalah tentang materi yang saya terangkan tadi. Besok jangan lupa taruh di meja saya," kata Arsen tegas.
Astaga. Bianca sudah menduganya dari awal jika akan begini jadinya. Dosen galaknya itu akan membantainya dengan tugas, padahal di kelas Arsen sudah memberi tugas. Alamat, dirinya nanti malam harus lembur. Malam Minggu yang sudah dirinya susun dengan Abel, tinggal harapan.
"Pak, apa tidak—"
"Kenapa? Kamu meminta saya melipat gandakan hukuman kamu?" tanya Arsen dengan seringaiannya. Bianca kontan menggelengkan kepalanya dengan cepat. Yang benar saja, tugas segini saja sudah membuatnya gumoh saking banyaknya.
Argh! Kalau seperti ini terus, bagaimana ia bisa punya pacar? Setiap hari dirinya selalu berkutat dengan buku besar dan laporan sampai membuat kepalanya nyaris botak.
Entah dapat keberanian dari mana, Bianca menyeletuk. "Ini semua karena Bapak yang memberi tugas menumpuk, saya jadi susah cari pacar. Kalau sampai saya jadi perawan tua, Bapak harus bertanggung jawab."
Arsen yang mendengar celetukan Bianca, ia menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa saya harus bertanggung jawab? Bukan salah saya, itu salah kamu yang memiliki wajah pas-pasan."
Sial. Pedas seperti biasa. Mulut dosen galaknya itu tidak berubah, tetap sama. Rasanya Bianca ingin mengumpat kepada dosen galaknya, tetapi tidak mungkin dirinya melakukan itu. Bianca sayang dengan nilainya, ia tidak ingin menganggung resiko untuk mengulang mata kuliah pria itu.
Bianca hanya bisa mengelus dada. Sabar, Bi. Orang sabar di sayang Agam. Dengan perasaan dongkol setengah mati, Bianca pamit lalu keluar dari ruangan pria itu.
Bianca menatap langit yang tampak mendung siang ini, sepertinya akan turun hujan. Ia berjalan dengan cepat ke arah halte, sebelum hujan mengguyur membasahi tubuhnya. Petir mulai bersahutan, bahkan angin sekarang sangat kencang.
Tak berselang lama gerimis datang, Bianca berlari kecil. Hingga suara klakson mobil mengejutkannya. Bianca sontak menghentikan langkahnya, ia sudah sangat hafal dengan mobil range rover yang berhenti tepat di sampingnya. Ada apa lagi si Galak mengklaksonnya? Apa dosennya itu akan menambah hukumannya?
Kaca mobil terbuka, menampakkan wajah pria yang tadi sempat membuat emosinya memuncak. "Kenapa, Pak?
"Naik," titah Arsen dengan raut datar. Alis Bianca bertaut bingung, dirinya tidak salah dengar, kan?
"Bapak tadi bilang apa?" tanya Bianca memastikan.
Arsen mendengus, perempuan itu selalu menguji kesabarannya. "Saya bilang, Naik." Bianca melongo di tempatnya. Dosennya itu habis makan apa? Kenapa pria itu berubah baik?
"Naik atau saya berubah pikiran," ucapan Arsen sukses menyentak Bianca dari lamunan.
"Eh, iya, Pak. Saya ikut Bapak," kata Bianca lalu masuk ke dalam mobil pria itu.
Hening. Hanya terdengar suara merdu Ed Sheeran yang mengalun dari tape serta suara hujan yang memenuhi mobil. Bianca menatap keluar kaca mobil, hujan siang itu sangat deras. Ia menghembuskan napas panjang, hujan mengingatkan dirinya pada kenangan masa lalunya yang sangat pahit.
Tiba - tiba matanya berkaca-kaca, ia berusaha menahan buliran air mata yang siap jatuh membasahi pipinya. Bianca tidak ingin terlihat lemah di hadapan Arsen. Lagi pula, tidak seharusnya ia mengingat kenangan pahit yang tidak pantas untuk dirinya ingat lagi.
"Ck...." Suara decakan pria di sampingnya, kontan membuat Bianca mengalihkan atensinya dari kaca mobil ke arah Arsen.
"Kenapa, Pak?" tanya Bianca dengan alis bertaut bingung.
"Macet," balas Arsen singkat tanpa menatap mahasiswi bengalnya itu.
Bianca menatap ke depan, dan benar saja mereka terjebak macet. Aish, tinggal di ibu kota pasti tidak lepas dengan yang namanya macet. Tetapi masalahnya, ia sangat lapar sekarang. Tadi pagi, dirinya memang absen sarapan karena tidak ingin terkena semprotan si setan, siapa lagi bukan Arsen. Tetapi tetap saja, hari ini ia tetap terkena semprotan mulut cabe dosen galak itu.
"Bianca." Suara tegas itu menyadarkannya dari lamunan. Mendengar Arsen memanggilnya, entah kenapa bulu kuduknya langsung berdiri. Aura serta suara pria itu selalu menunjukkan sinyal negatif.
Bianca menoleh ke arah samping kanannya, dimana Arsen berada. Pria itu menatapnya dengan sorot mata tajam menusuk, dan itu sukses membuat kedua tangannya dingin. Perasaannya yang tidak enak, kini semakin menjadi.
"Dari sisi mana saya galak? Sampai kamu panggil saya si Galak," tanya Arsen dengan mata menyipit.
M*mpus. Bianca harus menjawab apa? Ia kira Arsen tidak mendengar atau masa bodo dengan obrolannya bersama Agam dua jam yang lalu. Nyatanya, pria itu justru bertanya kepadanya. Kalau tahu akan begini, seharusnya ia menolak pulang bersama Arsen.
"Kenapa diam?" Arsen memiringkan tubuhnya, membuat pria itu bisa menatap Bianca sepenuhnya.
Bianca menggigit bibir bawahnya, perempuan itu terlihat gusar. Bianca bingung harus menjawab apa, otaknya mendadak blank. Bagai buah simalakama, kalau ia menjawab jujur dirinya tidak bisa menjamin pulang dengan selamat. Mungkin saja dosen killer itu akan membuangnya ke rawa - rawa. Kalau ia berbohong, pasti dosen killer itu akan mencecarnya. Serba salah.
Kruyuk.
Kedua sudut bibir Arsen berkedut, pria itu menahan tawanya. Sorot mata elangnya yang tajam itu berubah menjadi sorot geli. Sedangkan Bianca, mendengus kesal. Di sisi lain Bianca senang karena suara perutnya, dirinya terbebas dari pertanyaan Arsen. Tetapi di sisi lainnya lagi ia malu setengah mati, rasanya ia ingin mengubur dirinya hidup - hidup. Wajahnya memanas, menahan malu.
"Kalau Bapak mau tertawa tidak usah di tahan," ucap Bianca sedikit kesal. Kedua matanya kontan membelalak kala mendengar suara tawa membahana Arsen. Ia yang awalnya membuang muka, kini menatap dosennya itu tidak percaya. Pria itu benar - benar tertawa, rasanya ia ingin melempar sneakers-nya ke kepala Arsen.
Tapi detik selanjutnya, Bianca tertegun. Matanya menelisik wajah tampan Arsen, baru kali ini Bianca melihat pria itu tertawa. Karena setiap kelas wajah Arsen selalu kaku.
Mata dosennya menyipit seiring dengan gelak tawa yang terdengar dari bibir tipis pria itu. Tidak lupa kedua lesung pipi yang tadinya tidak terlihat, kini tampak menghiasi kedua pipi Arsen. Hal itu menambah kadar manis seorang Arsen Megantara. Dosennya itu juga memiliki bulu mata lentik dan hidung yang mancung bak perosotan, dan itu sukses membuat Bianca iri.
"Tutup mulut kamu, saya takut ada lalat yang masuk," kata Arsen setelah berhasil menghentikan tawanya. Pria itu kembali fokus dengan kemudi, karena jalan sudah tidak macet seperti tadi. "Saya tahu kalau saya tampan, tapi jangan tatap saya seperti itu."
Tercyduck.
Bianca ingin berkata kasar, namun hanya sampai tenggorokan saja. Ia memilih membuang muka, menatap keluar kaca mobil.
"Rumah kamu dimana?"
"Indekos saya ada di jalan mawar, Pak," balas Bianca singkat, enggan menatap wajah Arsen. Ia yakin jika pipinya itu masih memerah.
Saat berada di perempatan jalan, Arsen membelokkan mobilnya ke arah kanan jalan. Bianca kontan menoleh ke arah pria itu, "kok belok ke kanan, Pak? Seharusnya kan belok ke arah kiri."
Arsen hanya diam, tidak menanggapi pertanyaan yang mahasiswi bandelnya itu lontarkan. Menyadari jika dosennya itu mengacuhkannya, Bianca berdecak. Butuh stok sabar yang sangat banyak jika berbicara dengan dosen galaknya.
Tak berselang lama mobil range rover hitam milik Arsen berhenti di kedai soto pinggir jalan. Pria itu melepas seat belt-nya lalu menatap Bianca yang masih diam di tempat. "Ayo, turun. Kita makan dulu," perintahnya.
"Pak, tapi—"
"Saya tidak mau membuat anak orang mati kelaparan, apa lagi kamu anak kosan," kata Arsen tegas, menunjukkan jika ucapan pria itu tidak ingin di bantah.
Bianca menghela napas panjang, tidak ada pilihan lain selain menuruti dosen galak. Ia melepaskan seat belt-nya, namun nihil. Bianca tidak bisa melepas seat belt itu, sepertinya macet. Melihat Mahasiswinya yang kesulitan melepas seat belt, Arsen memajukan tubuhnya. Ia berinisiatif membantu Bianca, namun....
Plakk.
"Kamu kenapa tampar saya?" tanya Arsen dengan intonasi yang meninggi.
Bianca melotot, perempuan itu menatap ke arah Arsen waspada. "Bapak kenapa dekat - dekat dengan saya? Jangan macam - macam sama saya, Pak. Saya ini juara silat di kampung," balas Bianca ikut meninggikan intonasi suaranya.
Arsen menatap Bianca sinis. "Saya hanya ingin membantu kamu melepas seat belt. Kamu jangan geer, kamu itu bukan tipe saya."
Untuk kedua kalinya, Bianca malu. Pipinya memanas, perempuan itu berdeham berusaha menetralkan rasa malu dan gugup yang menyergapinya. Arsen kembali mendekat, perlahan ia berusaha melepaskan seat belt Bianca.
"Sudah," kata Arsen, pria itu kembali menjauhkan tubuhnya lalu keluar dari mobil meninggalkan Bianca yang mematung.
Sadar jika Arsen meninggalkannya, Bianca segera turun menyusul pria itu. Ia tidak menyangka jika dosennya itu mengajaknya makan di pinggir jalan, mengingat Arsen bisa di bilang kaya tujuh turunan. Bianca tidak tahu pasti dengan gosip itu, teman - temannya yang termasuk fans Arsen mengatakan jika pria itu sangat kaya.
"Kamu sampai kapan berdiri di situ? Ayo, masuk," perintah Arsen tidak terbantahkan. Bianca mengekori pria itu masuk ke dalam kedai soto.
Selagi menunggu pesanan, keduanya sibuk dengan ponsel masing - masing. Hingga suara Arsen memecah keheningan.
"Jarak kos kamu sama kampus jauh, kenapa nggak cari yang dekat saja?"
Bianca yang tadinya fokus dengan ponsel di tangan kanannya, kini beralih menatap Arsen. Perempuan itu menghela napas panjang. "Kalau dekat mahal, Pak. Saya harus hemat karena saya merantau disini. Lagi pula makanan disini juga mahal berbeda sama di kampung saya." Arsen manggut - manggut.
Drrtt... drrtt....
Bianca menyalakan ponselnya, begitu melihat caller ID yang tepampang di layar ponsel. Keningnya berkerut samar, ia menatap Arsen meminta izin untuk mengangkat telepon. Setelah pria itu setuju, Bianca bangkit dari duduknya lalu berjalan menjauh.
Arsen menatap kepergian mahasiswinya. Tidak sampai sepuluh menit, Bianca kembali. Tetapi ada yang membuat Arsen heran, kenapa mahasiswinya itu tampak muram? Siapa yang menelepon Bianca sampai membuat wajah perempuan itu menjadi kusut?
Bianca baru saja menerima panggilan dari Ibunya yang berada di kampung, beliau mengatakan jika uang yang dirinya kirim dua Minggu yang lalu sudah habis untuk berobat. Ya, Ibunya itu sakit. Sebenarnya Bianca tidak tega meninggalkan Ibunya di kampung, tetapi wanita paruh baya itu keukeuh memintanya untuk kuliah. Karena sebelumnya, ia pernah cerita kepada Ibunya jika dirinya ingin kuliah dan bekerja di kantoran. Untung saja, tetangganya itu mau di mintai tolong untuk merawat Ibunya.
Tetapi ketika ia sudah berkuliah, rasanya ia salah jurusan. Di tambah lagi dosennya itu malaikat berhati iblis macam Arsen, membuatnya tidak betah di jurusan akuntansi. Namun Bianca tidak boleh menyerah begitu saja, dirinya harus bisa membanggakan Ibunya. Karena hanya wanita paruh baya itu yang dirinya miliki sekarang.
Masalahnya sekarang, ia butuh uang untuk biaya kuliah dan pengobatan Ibunya. Seminggu yang lalu dirinya di pecat, dan Minggu terakhir ini jadwalnya padat karena tugas dari Arsen. Alhasil dirinya belum bisa mencari pekerjaan part time.
Bianca tertunduk lesu, kepalanya mendadak pening. Ia memijat pelipisnya, setelah merasa lebih baik, dirinya kembali menghampiri Arsen. Bianca mendudukkan dirinya berseberangan dengan si Galak, di depannya sudah ada se-mangkuk soto dan es jeruk. Biasanya Bianca bersemangat jika makan gratis, tetapi kali ini rasanya ia tidak napsu makan. Ia menatap soto itu tanpa minat.
"Makan," titah Arsen, seraya menatap Bianca dengan mata elangnya.
Bianca hanya mengangguk lemah, ia menyuapkan makanannya perlahan. Di kepalanya sibuk memikirkan bagaimana caranya ia mendapatkan pekerjaan part time dengan cepat. Hingga suara bariton itu menyentaknya dari lamunan.
"Kenapa, Pak?" tanya Bianca, menatap balik dosennya.
Arsen menatap mahasiswi bandelnya itu gemas. Pasalnya sudah sepuluh menit berlalu, namun Bianca masih makan beberapa suap. Mungkin karena telepon itu, membuat mahasiswi-nya tidak berselera untuk makan. Arsen ingin bertanya tentang siapa yang menelepon Bianca dan kenapa perempuan itu tampak murung. Tetapi Arsen mengurungkan niatnya, karena itu bukan urusannya.
"Kalau makan jangan lelet," kata Arsen, "atau kamu mau saya suapi?"
Mata Bianca melebar mendengar perkataan Arsen, perempuan itu kontan menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak usah, Pak. Saya bisa makan sendiri." Bianca menyuapkan makanannya dan mengunyahnya dengan cepat.
"Jangan terlalu cepat, nanti tersedak." Baru saja Arsen mengingatkan, Bianca terbatuk karena tersedak. Arsen dengan sigap menyodorkan Es jeruk ke arah perempuan itu, Bianca pun menerimanya kemudian meneguk minumannya hingga tersisa setengah.
"Saya kan sudah bilang, jangan terlalu cepat," sahut Arsen, sedangkan Bianca mendengkus.
"Tapi tadi Bapak bilangnya saya lelet," balas Bianca tidak mau kalah.
Arsen menghela napas panjang, ia malas berdebat. Dirinya memilih diam, tidak menanggapi mahasiswinya. Arsen kembali fokus dengan ponselnya.
Bianca menatap kesal ke arah Arsen, ia mendumel. Di mata dosen galaknya itu, dirinya selalu salah. Memang benar kata Abel, Dosen selalu benar dan mahasiswa selalu salah. Bianca kembali menyuapkan soto ke dalam mulutnya dengan perasan dongkol.
***
Arsen fokus dengan kemudinya, sedangkan Bianca sibuk memainkan ponselnya. Perempuan itu masih kesal dengan Arsen.
"Jangan lupa, besok kumpulkan makalahnya di ruangan saya jam sembilan. Saya tidak mentolerir keterlambatan, kalau kamu terlambat mengumpulkan makalahnya, saya tidak segan menambah hukuman untuk kamu, Bianca," terang Arsen sesekali mencuri pandang ke arah Bianca yang berada di sampingnya.
Bianca memejamkan matanya, kemudian menghembuskan napasnya pelan. Berusaha mengontrol emosinya yang siap meledak, Arsen dan sikap perfeksionisnya. "Iya, Pak."
Memasuki gang jalan mawar, Arsen memelankan mobilnya. "Kos kamu sebelah mana?"
"Bapak lurus saja, kos saya masih sedikit jauh," jawab Bianca sembari fokus memperhatikan jalan.
Keduanya kembali diam, tidak ada pembicaraan hingga mata Bianca menangkap rumah tidak terlalu besar bercat cream. "Nah, itu indekos saya, Pak," celetuknya sembari tangan kanannya terjulur menunjuk rumah minimalis itu.
Arsen menatap rumah itu dengan kening berkerut. "Kamu tinggal di kos-kosan kumuh seperti ini?!" ucapnya tidak habis pikir.
Mata Bianca berkilat tajam, "mentang - mentang Bapak kaya, Bapak tidak bisa seenaknya bilang kos - kosan saya kumuh." Kos-kosan Bianca tidak kumuh, hanya saja halaman depan itu tidak terawat. Di tambah lagi cat rumahnya sudah sedikit luntur.
Melihat raut kesal di wajah Bianca, Arsen membuka mulutnya ingin membalas perkataan mahasiswi bandelnya namun ia kembali mengatupkan mulutnya.
"Terima kasih tumpangannya, Pak Arsen. Saya pastikan makalahnya sudah ada di meja Bapak tepat waktu." Setelah mengatakan itu, Bianca turun dari mobil tanpa menunggu balasan Arsen.
Arsen bungkam, ia melihat Bianca yang berjalan memasuki pekarangan kos dengan raut kesal. Dirinya termenung, apa ucapannya keterlaluan?
Arsen mengedikkan bahunya, lalu mulai melajukan mobilnya. Di tengah perjalanan, ponselnya itu berdering. Ia merogoh benda pipih itu di saku celananya, dirinya menepikan mobilnya sebelum menerima panggilan telepon.
Arsen menatap ponselnya yang berkedip, ia menatap caller id-nya. Mengetahui jika Mamanya yang meneleponnya, Arsen kontan berdecak sebal. Pasti Mamanya itu akan menjodohkan dirinya dengan teman wanita paruh baya itu.
"Halo, Ma," sapa Arsen.
"Halo, Sayang. Kamu bisa pulang kan hari ini. Mama sama Papa kangen, jangan di apartemen terus," ucap Karin—Mama Arsen— dari seberang.
"Mama kangen atau Mama mau jodohin Arsen sama teman Mama?" tanya Arsen kemudian menghela napas panjang.
"Ini demi kebaikan kamu, Sen. Mama ingin kamu segera menikah," terang Karin.
Nah, kan. Arsen sudah menduganya jika Mamanya itu akan menjodohkan dirinya dengan anak teman wanita paruh baya itu lagi. Mamanya tidak pernah menyerah menjodohkan dirinya, padahal Arsen sudah berkali - kali menolak. Entah ini sudah ke berapa kalinya Karin menjodohkannya. Maka dari itu, ia memilih tinggal di apartemen menghindari Mamanya. Tetapi rasanya percuma ia tinggal di apartemen, wanita paruh baya itu tetap mendesaknya untuk segera menikah.
"Sen," panggil Karin.
Arsen mendengus, percuma dirinya menolak untuk pulang. Pasti Mamanya akan terus memaksanya. "Oke, Arsen pulang," putusnya final.
"Oke, Mama tunggu di rumah." Arsen bisa mendengar nada bahagia di perkataan Mamanya. Setelah sambungan telepon terputus, ia kembali melajukan mobilnya membelah jalanan. Arsen mulai memikirkan cara untuk menolak perempuan yang akan di kenalkan Mamanya. Intinya dirinya masih belum ingin menikah.
Demi Tuhan, dirinya masih berusia dua puluh delapan tahun. Tetapi kata Mamanya itu usia ideal untuk menikah, wanita paruh baya itu tidak ingin dirinya terlambat menikah. Namun bukankah lebih baik terlambat menikah, dari pada salah pilih pendamping?
Lagi pula Arsen masih takut mejalin asmara apa lagi sampai ke jenjang serius, dirinya masih takut di tinggalkan seperti wanita itu yang meninggalkan dirinya beberapa tahun yang lalu. Rasa traumanya di tinggal seseorang masih sangat membekas di hatinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!