NovelToon NovelToon

Istri Keempat Suamiku

1

"Nikahi dia, Pak. Sah secara agama dan negara."

Kuhela napas panjang. Bukan yang pertama kalinya, Mas Hendra—suamiku—tertangkap basah sedang bersama wanita muda. Berjalan berdua seakan dia seorang bujangan.

Mas Hendra masih diam, dia hanya bisa tertunduk bersama kekasihnya yang bisa kuperkirakan usianya masih berkisar 25 tahun.

"Jangan lagi kau sakiti, Pak. Cukup aku." Suasana cafe yang ramai seakan lengang tak berpengunjung selain kami. Gadis berambut sebahu itu terlihat takut, "siapa namamu, Dek?"

"Na—ma sa—"

"Jangan takut, saya gak akan marahin kamu atau vidioin terus disebar ke internet," jelasku. Dia mengangguk. Menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan.

"Nama saya Mi—ra, Bu," ucapnya dengan bibir bergetar. Sesekali kulihat kedua tangannya saling meremas.

"Ayo, ikut saya. Kamu naik mobil saya saja, biar Mas Hendra mengikuti dari belakang." Mereka berdua mengangguk patuh. Kami berjalan beriringan.

Kuhentikan mobil tepat di depan rumah. Menyuruh Mira turun membuka gerbang, ia menurut. Kuparkirkan mobil di garasi. Mengajak gadis yang masih terlihat ketakutan itu masuk ke dalam.

"Kamu tunggu di sini, saya ambil minum dulu. Nanti kalau mas Hendra masuk ajak dia duduk di sini juga, ya, Mir," ucapku sambil melangkah masuk menuju dapur, meninggalkan Mira sendiri di ruang tamu.

Beberapa saat kemudian aku kembali bersama teh hangat dan empat toples camilan. Mira dan Mas Hendra duduk berdekatan.

"Geser kamu, Pak. Belum jadi istrimu." Mas Hendra menurut. Ia bangkit duduk di kursi yang sebelahnya.

"Diminum dulu." Mereka berdua saling melempar pandangan, "gak aku kasih racun, kok!" Sesekali mereka saling lirik saat menyeruput teh hangat yang kusajikan, "Enak tehnya?" Mira mengangguk, "kalau boleh tahu usiamu berapa, Dek?"

"Uhuk!" Mira terbatuk. Mas Hendra dengan segera mendekat duduk, menepuk punggungnya dengan perlahan. Aku memalingkan wajah, mengambilkan tisu di meja sebelahku duduk.

"Jadi, umurmu berapa?"

"Du—a li—ma, Bu."

"Masih kuliah apa kerja?"

"Kerja, Bu."

"Kerja di mana?"

Hening sejenak. Aku menatap lekat pria yang sudah 25 tahun menyandang status sebagai suami. Ada raut ketakutan di sana.

"Sa—ya sekertaris baru di kantor Pak Hendra, Bu," jawab Mira sambil menundukan kepala. Kedua tangannya mengepal di atas paha.

"Kalian tadi kencan?"

"Iya. Tidak!" Mira menjawab iya, sedang Mas Hendra mengatakan tidak.

"Jadi, yang bener yang mana? Jujur saja, saya amat benci kebohongan. Namun, saya sangat suka dengan kejujuran meski menyakitkan sekalipun."

"Maafin, aku, Las."

Aku mengangguk. "Ceritakan, Pak. Aku akan dengaarkan."

Mas Hendra akhirnya buka mulut. Menceritakan tentang awal kedekatannya dengan sekertaris baru, juga perihal ketertarikannya pada gadis muda itu. Ia menjelaskan selama lima bulan ini mereka intens dan intim berhubungan, namun hanya di luar kantor. Jika, di dalam mereka seperti atasan dan karyawannya.

Kuhela napas, harus kah menangis? Tidak, bahkan ini sudah terjadi sejak tahun ke lima pernikahan kami. Semakin berjalannya waktu, hatiku semakin membatu. Sakit yang ia sebabkan perlahan menguatkan kerapuhan yang ada, menjelma menjadi wanita tangguh dalam menahan semua luka. Demi ketiga anak yang dititipkan dalam pelukanku.

"Beri alamat rumahmu, Mira. Biar kami bisa segera melamar kamu," ucapku sembari bangkit meninggalkan mereka berdua yang masih terdiam mematung.

≠≠≠≠

#Istri_Keempat_Suamiku

Part 2

Part sebelumnya

https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view\=permalink&id\=3112021482193055

Kudorong pintu kamar lalu menutupnya perlahan. Menyandarkan punggung pada daun pintu, memegang dada yang terasa sesak. Hati ini tiba-tiba terasa nyeri, teringat cerita Mas Hendra tadi. Tentang kedekatan mereka berdua beberapa bulan terakhir, hingga terjebak dalam perzinaan. Allah, apa yang harus hambamu lakukan kali ini?

Aku berjalan menuju meja rias, duduk di sana mematut diri di depan cermin. Membuka kerudung, membiarkanya tergeletak di lantai. Kuraih kapas dan susu pembersih, mengusapkannya pada wajah secara perlahan.

Dalam cermin terpantul bayangan diri, sesaat usapanku berhenti. Nampak wajah Mira di dalam sana. Rasa menyesal itu menusuk sanubari. Tuhan, jangan sampai keturunan kami menanggung dosa orang tuanya. Aku tergugu.

Derit pintu terbuka, aku melihat Mas Hendra masuk dari pantulan cermin. Ia berjalan mendekat, memegang kedua bahuku lalu merunduk.

"Lepaskan, Mas." Ia bangkit, berganti posisi bersimpuh di lututku. Kedua tangannya menggenggam jemari tua ini.

"Maafkan aku, Lastri. Maafkan," ucapnya dalam isakan. Aku bergeming. Memikirkan bagaimana jika Mira adalah putriku yang saat ini tengah jauh dari jangkauan mata, kami di sini percaya jika ia tengah tekun belajar. "Lastri ..."

"Sudah berapa kali aku bilang, Mas. Jika kau merasa tertarik pada perempuan lain, katakan! Jangan berzina!" bentakku padanya.

Ya, aku memang mengizinkannya menikah lagi. Bukan untuk yang kedua kali. Jika lamaran kali ini berhasil maka, genap sudah batas maksimal untuk lelaki itu memiliki istri.

"A—ku akan meninggalkannya, Las."

Aku tertawa sinis. "Lelaki macam apa kamu! Menodai anak orang, lalu mencampakannya!" Dadaku naik turun, sesak ini semakin menjadi.

"Ia hanya butuh uang, Las."

"Kau lupa, Mas. Kau punya anak lelaki dan perempuan. Kau lupa, Mas. Jika wanita pezina harus menikah dengan lelaki yang mengzinainya."

Tangis Mas Hendra membuncah. Ia terus mengucap kata maaf tanpa henti. Aku hanya diam, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan.

"Maafkan aku, Las."

"Dosa zina hanya bisa ditebus dengan merajam pelaku zina, Mas. Bertobatlah pada Allah, semoga kesungguhanmu bisa meluruhkan dosa-dosamu." Aku memapahnya bangkit. "Akan kukabari kedua adik maduku."

"Jangan, Las. Aku mohon."

"Tidak, Mas. Mereka harus tahu." Aku bangkit, meninggalkan Mas Hendra sendiri di kamar. Berjalan menuju dapur mengambil air minum dan ponsel yang tertinggal di sana.

Kududukan pinggul di sofa, menaikan kaki mencari posisi nyaman lalu menyalakan tivi. Tak lupa membawa cemilan yang tadi kubawa ke depan untuk suguhan. Setoples nastar cukup menemani leyeh-leyehku kali ini. Sekelebat pikiranku melayang, membayangkan jika nanti Mira pindah ke sini. Ah, sudahlah. Biarkan saja. Toh tidak ada bedanya untuku.

'Assalamu'alaikum.'

'Dek, ada kabar baik.'

'Mas Hendra mau nikah lagi.'

Baru pesan itu selesai kukirim langsung mendapat respon dari adik madu yang pertama, Tati namanya. Usia tiga tahun lebih tua dariku.

'Yang bener, Mbak?'

Segera kuketik balasan. 'Iya, bener, kok!'

'Wanita mana lagi, Mbak?' Kali ini dari adik madu ketiga, Nuri.

'Belum tahu, cuma tadi dibawa ke sini.'

'Usianya 25 tahun.'

'Waaah, daun muda dong.' Tati membalas diikuti dengan emot tertawa menangis guking-guling banyak sekali.

'Kita mah apa atuh.' Nuri membalas lagi.

'Hus, sabar, ya. Insya Allah kita mampu.'

Tati dan Nuri kompak mengirimkan emotik menangis. Aku terkekeh, mengingat mereka memang sering tidak akur saat awal bersama. Usia tua tidak menjamin sebuah kedewasaan, bahkan akulah yang menjadi jembatan agar Tati mampu menerima hadirnya Nuri saat itu.

Mas Hendra memberi secarik kertas. "Ini apa, Mas." Aku mendongkak, mengambil kertas dari tangannya.

"Alamat rumah Mira yang kamu minta." Aku mengangguk mengiyakan. Kening sedikit berkerut tatkala setelah membaca alamat rumahnya, "Dia bukan asli sini, Mas?" Mas Hendra duduk tepat di sebelahku, tangannya kutampis saat mengambil secomot nastar dari dalam toples. "Aku gak suka berbagi makanan. Cukup berbagi suami saja."

Mas Hendra meringis, "Keras juga sabetanmu, Las."

"Sekeras hatiku, Mas."

Sesaat kemudian hening di antara kami. Hanya riuh suara musik di televisi yang mendominasi. Mataku masih fokus pada layar 41 inci itu, sedang Mas Hendra, aku tidak peduli.

2

Mas Hendra berangkat pagi-pagi sekali. Paling juga menemui Mira, terserahlah. Aku tidak peduli. Sesuai kesepakatan semalam di chat grup WA khusus, kedua maduku akan bertandang ke rumah setelah anak-anak pulang sekolah. Kusiapkan segala sesuatunya, dari mulai makanan dan camilan. Tidak lupa memberitahu Bi Asih agar datang lebih awal dan membawa beberapa teman untuk membantu membersihkan rumah. Sangat berharap jika mereka mau untuk menginap.

Kulihat satu persatu kamar yang pernah Tati dan Nuri tempati dulu bergantian. Memastikan jika memang sudah benar-benar bersih. Aku khawatir jika masih ada hal yang berdebu bisa membuat asma anak Nuri kambuh. Di masing-masing kamar tak banyak perubahan. Hanya dekorasi kamar yang disesuaikan dengan keinginan anak-anak.

Aku menuruni tangga. Mengedarkan pandangan kesekeliling. Rumah dengan delapan kamar utama dan dua kamar tamu, begitu mewah juga megah. Hanya ditinggali oleh aku bersama Mas Hendra semenjak 15 tahun terakhir. Tati memutuskan untuk memilih terpisah setelah setahun Nuri tinggal bersama. Kemudian Nuri juga meminta dibangunkan rumah, mungkin saja ia iri kala itu atau karena mereka merasa tidak akan pernah nyaman jika bersama. Rumah ini ramai hanya sesekali saat anak-anak pulang dari pondok pesantren, atau jika anak-anak yang lain lama tak bersua denganku. Maka ia akan merengek meminta ibu mereka untuk mengantarkan, lalu anehnya semuanya bebarengan. Membuat Tati dan Nuri sedikit bersinggungan dan berujung dengan perdebatan.

Aku terkekeh mengingat hal itu. Kaki ini berhenti tepat di depan potret figura keluarga besar kami, yang diambil lebaran tahun lalu. Aku duduk di tengah diapit oleh Tati dan Nuri, sedang Mas Hendra bersama ketiga anak lelakinya berada di bagian belakang, lalu di depan duduklah tiga anak perempuan kami.

"Semua sudah, Bu."

Aku menoleh, mengangguk dan tersenyum, "makananya udah, Bi?"

"Sudah, Bu."

"Yang lain mana? Saya tunggu di meja makan."

Aku berjalan terlebih dahulu, Bi Asih memanggil teman-temannya. Kutarik kursi perlahan, lalu dusuk di atasnya. Bi Asih berserta yang lain berderet di samping meja.

"Saya mau nanya, kalian punya pekerjaan pokok?" Mereka saling melirik. Mungkin bingung dengan pertanyaanku, "maksudnya, selain menerima kerja panggilan apa kalian punya kerjaan lain selain ini?" Mereka serempak mengangguk. "Coba perkenalkan diri kalian satu-satu, beserta usia kalian."

Sati persatu dari mereka memperkenalkan diri. Dimulai dari pria yang tepat berada di sebelah Bi Asih.

"Nama saya Ujang, Bu. Usia saya 30 tahun, pekerjaan sehari-hari membersihkan kebun jika ada panggilan. Cukup, Bu."

"Nama saya Rati, usai saya 32 tahun. Saya hanya buruh cuci, Bu."

"Nama saya Nita, Bu. Usia baru 20 tahun. Saya bisanya jaga anak tetangga, Bu."

"Nama saya Ijah, usia saya 38 tahun. Bekerja sebagai juru masak di warteg depan rumah."

"Nama saya Hamdan, Bu. Usia saya 34 tahun. Saya pengangguran saat ini, dulu pernah bekerja sebagai sopir proyek."

"Jadi kamu bisa nyetir mobil?" Ia mengangguk, "Punya sim?"

"Punya, Bu." Aku mengangguk paham.

"Nama saya Lela, usia saya 35 tahun. Hanya ibu rumah tangga biasa, Bu."

"Kamu sudah punya anak?" Dia mengangguk, "berapa usianya?"

"20 tahun."

"Jika saya pekerjakan kalian di rumah ini, apa kalian mau?" Mereka tersenyum, saling melihat satu sama lain.

"Mau, Bu," ucap mereka serempak.

"Pak Ujang bisa ngerawat kebun, Hamdan jadi supir pribadi saya, Rati, Nita, Ijah, Lela nanti tanya Bi Asih apa yang harus kalian lakukan. Kalian bisa bekerja mulai besok." Aku bangkit, "Oia, makanlah. Jangan sungkan membawa pulang, ya." Kutinggalkan mereka di meja makan, takut sungkan jika masih ada aku di sana.

Aku kembali berkeliling, dulu rumah ini tak sebesar ini. Terlebih saat awal pernikahan kami. Hanya ada dua kamar utama, satu kamar tamu dan satu untuk pembantu. Bi Asih yang setia menemani dari awal di sini, seseorang yang dipercaya ibu mertua untuk menjagaku.

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumussalam." Kubuka pintu, si Kembar yang berusia 10 tahun itu menghambur dalam pelukanku, disusul dengan si Bungsu yang tampak sedikit mencebikan bibir.

"Awassi, Kak. Ini ibu dedek loh," ucapnya menyingkirkan tubuh kedua kakak kembarnya, "Assalamu'alaikum, Bu." Ia menjabat tanganku lalu menciumnya dengan takdzim.

"Wa'alaikumussalam." Kuciumi wajah mereka satu persatu, "ayo masuk. Ibu kalian mana?"

Mereka kompak menunjuk ke arah parkir mobil, terlihat di sana Tati dan Nuri tengah berdiskusi, "biasa, Bu. Kalau ketemu ya gitu. Kalo gak ada kabar aja nanyain mulu," sloroh si Kembar Hana.

"Kalian masuk dulu, ya. Di dalam ada Bi Asih sama temen-temennya," ucapku pada ketiganya, bergegas jalan menuju parkiran sebelum terjadi baku hantam. Meski selama ini tak pernah sampai hati mereka berkelahi.

"Kalian ini, anak-anak sudah masuk malah ribut di sini," kataku mengagetkan keduanya, sontak mereka serempak menoleh.

"Assalamu'alaikum, Mbak." Mereka menyalamiku bergantian. Aku maju selangkah, berbalik lalu mengapit lengan keduanya. Mengajak mereka berjalan agar secepatnya pergi dari sini.

"Tadi kalian ngapain di sana?"

"Ini loh, Mbak. Mbak Tati, gak hati-hati mobilku baret."

"Heleh, kan bisa dibawa bengkel, Nur," elak Tati.

"Tapi, tetap aja, Mbak!"

"Sudah, sudah. Kita kumpul kok malah ribut. Ayo masuk."

Kami sampai di depan pintu, Bi Asih keluar bersama teman-temannya. Tati dan Nuri masuk lebih dulu. Bi Asih berpamitan dan memberitahu bahwa semuanya telah siap dihidangkan. Sebelum pulang tak lupa kuucapkan terima kasih dan memberi uang upah beserta ongkos pulang.

"Mereka tadi siapa, Mbak?" tanya Tati saat aku baru masuk ke dalam rumah

"Oh, mereka yang akan bekerja di sini mulai besok, Ti." Tati mengangguk-anggukan kepala.

"Sebanyak itu, Mbak?" Nuri menimpali.

"Iya, Nur. Lebih banyak lebih baik, 'kan?"

Mereka tertawa bersama-sama, "nyindir kita, Nur," canda Tati, diiyakan oleh Nuri.

"Apaan sih kalian. Aku malah seneng, karena kalian rumah gak sepi. Ayo makan, pasti kalian lapar, 'kan?"

"Bu, siapa yang masak?" ucap Maira—putri Nuri—gadis kecil delapan tahun itu terlihat berbinar saar melihat ayam goreng kremes kesukaannya.

"Ibu, dong! Spesial buat kalian semua!" ucapku penuh semangat.

Kami makan bersama-sama. Semua menu favorit masing-masing terhidang di meja. Kupandangi wajah mereka satu persatu. Senyuman itu, semoga akan selalu terukir di bibir manis bidadari ini. Semoga kebahagiaan selalu menghampiri keluarga besar kami. Karena merekalah aku bertahan sampai saat ini.

≠≠≠≠

"Mbak, gimana ceritanya mas Hendra mau nikah lagi?" tanya Nuri, aku menoleh meletakan bolpoin di atas buku. Wanita 38 tahun itu berjalan mendekat sembari mengelap tangan dengan kain. Nuri menarik kursi, duduk di hadapanku.

3

Harta duniawi memang diperlukan, tapi harta sesungguhnya adalah keluarga yang damai serta anak-anak saleh, salehah. Begitupun kami, hidup dengan kucuran nikmat dari sana-sini, tidak serta merta membuat kami lupa bahwa kami hanyalah manusia biasa. Tetaplah sama hanya seorang wanita kampung yang memang bernasib beruntung karena kebaikan dari Sang Khalik.

Setelah anak-anak tidur siang, kami membersihkan rumah bersama-sama. Begitu menyenangkan, seperti pertama kali kami serumah dulu. Meskipun, terkadang terjadi perdebatan kecil antara Tati dan Nuri itu lah yang membuat rindu akan suasana seperti ini.

"Mbak, gimana ceritanya mas Hendra mau nikah lagi?" tanya Nuri, aku menoleh meletakan bolpoin di atas buku. Wanita 38 tahun itu berjalan mendekat sembari mengelap tangan dengan kain. Nuri menarik kursi, duduk di hadapanku.

"Nanti aku ceritain. Nunggu Tati selesai, ya." Nuri mengangguk. Tanganku dengan cekatan membuka toples camilan favoritnya, kue kacang. Lalu kembali menulis beberapa hal di catatan.

"Ini sengaja kamu buat sendiri, Mbak?" tanyanya, aku mengangguk mengiyakan, "dari dulu kamu selalu gitu, Mbak. Baik banget sama kita."

Keningku berkerut. Kututup buku menggesernya ke samping, menyangga dagu dengan kedua telapak tangan, "harus berapa kali aku jelasin, Nur?" Kuhela napas dalam, "awalnya memang berat, tapi karena kalian aku jadi kuat."

"Mbak?"

"Hm?"

"Makasih, ya!" Nuri meraih kedua telapak tanganku, menggenggamnya erat. "Makasih banget, mau nerima kami."

Aku mengangguk dan tersenyum lebar. Nuri tersenyum. Dalam posisi seperti ini, kami sama-sama belajar mengerti satu sama lain. Bahkan sedari awal, baik Tati atau pun dirinya sudah kuberitahu jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan hati segera diutarakan. Agar semua yang menjadi ganjalan mendapat solusi terbaik dan tidak berlarut.

Saat itu pernikahanku dengan Mas Hendra memasuki tahun kelima. Usaha percetakan dan pengepul barang bekas maju pesat. Hanya saja, aku belum diberi kepercayaan untuk memiliki momongan. Kami masih baik-baik saja, tetap bahagia meski selama itu belum dikaruniani keturunan. Keluarga Mas Hendra juga tidak pernah mempermasalahkan haal itu. Namun, seketika semua berubah dalam sekejap, saat suamiku menginginkan menikah lagi. Berharap rumah ini tak lagi sepi dengan hadirnya si buah hati. Aku diberi waktu satu bulan untuk memikirkannya.

Satu bulan kujalani dengan terus mencari petunjuk. Sampai pada akhirnya ibu mertua juga ibuku sendiri sama-sama berkata yang sama intinya. Poligami bagian dari syari'at, jika kamu mau, siap, ikhlas harus sepenuhnya jangan setengah-setengah. Jika kamu belum siap, utarakan. Namun, jangan sampai membenci apalagi mencaci. Jangan sampai menyesal, sesulit apa pum keadaan pernikahan, tetaplah bertahan. Karena, setan akan amat seneng ketika anak Adam memutuskan tali pernikahan mereka.

Setelah melalui berbagai pertimbangan. Akhirnya, kuputuskan untuk mengizinkan Mas Hendra menikah lagi.

Aku masih ingat betul, awal-awal harus berbagi suami. Berat untuk dijalani. Berbagai usaha agar jiwa ini tetap waras selalu aku lakukan. Dari mulai berdiam sambil menyemangati diri, mengikuti kajian-kajian di masjid, sampai menyibukan dengan mencoba membuka usaha kecil-kecilan.

Allah memberi hikmah disetiap ujian kepada umatnya. Setelah Tati dinyatakan hamil, Mas Hendra semakin bertambah giat bekerja, usaha percetakannya maju pesat, ia juga membuka rumah konveksi hingga bisa membangun sebuah toko baju dengan brand milik sendiri di kota. Setahun kemudian lelaki yang kini usianya 45 tahun itu membuka usaha sewa tenda, dekorasi pernikahan dan segala perlengkapan lainnya.

Dua tahun kemudian Nuri datang, hatiku yang sudah mulai tertata lebih bisa menerima, terlebih menyadari kekuranganku. Namun, tugas terberat adalah menyakinkan Tati. Agar ia bisa ikhlas dan kita hidup berdampingan. Pernah ia kabur dengan membawa si kecil Ali—anaknya—membuat aku dan Mas Hendra kalang kabut mencari. Dengan berbekal informasi dari salah satu karyawan Mas Hendra, kami menemukannya di sebuah masjid di kota tetangga.

Perubahan sedikit terjadi, Nuri yang masih 20 tahun saat itu membuat Tati mungkin sedikit iri. Ia semakin sibuk di depan cermin, hingga membuat lupa pada putranya sendiri. Aku hanya bisa mengambil sisi positifnya, menjadi semakin dekat dengan Ali hingga sekarang. Pun dengan adik madu keduaku, ia yang pernah bekerja sebagai perias tak keberatan mengajariku dan Tati berdandan. Sejak saat itulah keakraban terjalin antara kami. Meskipun, kadang perdebatan kecil ada, tapi tak jadi sebuah perkara berarti.

≠≠≠≠

Kami duduk bertiga, menghadap toples camilan masing-masing. Nuri dan Tati terlihat lebih serius dari biasanya. Aku mengamati wajah mereka satu persatu. "Kalian itu kenapa?"

"Mbak mergokin mas Hendra di mana?" tanya Tati.

"Jadi, kemaren tuh ada pesanan kue ke sebuah cafe. Kaya cake ulang tahun gitu lah. Karena gak ada anak yang bisa nganter, akhirnya aku sendiri yang nganter ke sana." Aku meminum sisa air dalam gelas sampai habis. Tati dengan cekatan mengisinya lagi, "tau siapa yang pesan? mas Hendra!" Mulut kedua maduku mengangga, "masa iya, gak tau kalau toko yang ia pesani itu punyaku?"

"Sengaja kali yak, Mbak?" Nuri berasumsi.

"Terus mas Hendranya kaget gak, Mbak?"

Aku terkekeh, "bukan kaget lagi, tapi hampir pingsan. Dia pucat pasi. Lagi enak-enakan berdua, suap-suapan. Eh, ada aku nganter roti."

"Jadi, dia beneran gak tau kalo itu roti pesannya di tokomu dong, Mbak," terka Tati.

"Kayaknya sih, iya. Ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin dia tahu cuma masa iya ownernya yang bakalan nganter. Kedua, gak tau sama sekali kalo aku punya toko roti." Nuri dan Tati tertawa renyah.

"Ya ampun, Mbak. Toko kue terlaris masa sampai gak tau," ucap Tati diikuti dengan semburan tawa.

"Ish, kamu ini." Aku mencebik, membuat Tati semakin tertawa sampai terpingkal.

"Aku heran sama kamu, Mbak. Kok malah nyuruh mas Hendra nikah lagi?" Nuri menyusul bertanya.

"Ya, gimana lagi. Sudah kebablasan. Gimana, kalian gak setuju?" Mereka saling manatap satu sama lain.

"Usianya berapa, Mbak?" tanya Tati.

"Ish, Mbak Tati. Kemarin kan dibilang 25. Dasar pelupa, faktor U sih," timpal Nuri sembar terkekeh. Tati memelototkan matanya.

"Udah, udah. Jadi, menurut kalian gimana?"

"Dia tau gak jadi istri keempat, Mbak?" tanya Nuri. Aku mengedikan bahu, lalu menggeleng.

"Lah, mas Hendra apa gak bilang, ya!" Tati meninggikan nada bicaranya, "dia orang mana, Mbak?"

"Kampung Pe, Ti. Jauh, ya? Di sini dia merantau gitulah."

"Ho'oh," jawab Tati.

"Cuman ..." Aku mencondongkan badan ke d

Depan. Tati dan Nuri mengikuti, "ada yang aneh sama mas Hendra." Kuembuskan napas pelan, menyandarkan punggung di kursi.

"Aneh kenapa, Mbak?" tanya mereka bersamaan.

"Aku masih inget betul waktu mas Hendra bawa kalian ke rumah ini. Duduk deketan aja enggak. Ini malah dempet-dempetan," kesalku. "Terus, kaya gak wajar gitu, lah. Sekarang juga mas Hendra jarang solat."

"Kalo dipikir-pikir sih, iya," sahut Tati.

"Iya, Mbak. Bener. Tiap kali ke rumah juga kalo diajak solat berjamaah atau disuruh pergi ke masjid dia gak mau," terang Nuri.

"Hm, ada yang aneh rupanya," gumamku. Diangguki oleh Nuri dan Tati bersamaan.

Setelah kami berdiskusi panjang lebar, akhirnya kesepakatan yang didapatkan adalah mengizinkan Mas Hendra untuk menikah lagi. Besok atau lusa, waktu yang telah kami tentukan untuk pergi melamar ke rumah Mira. Sekarang, tinggal bagaimana kami memberi pengertian terhadap anak-anak. Semoga saja mereka memahami.

"Gimana usaha konveksimu, Ti?" tanyaku pada Tati. Ia memegang usaha konveksi dan percetakan. Bahkan, sudah kupatenkan namanya sebagai pemilik usaha.

"Alhamdulilah, Mbak. Semua berkat doa dan usaha kita. Gamis yang Mbak rancang juga laris banget di pasaran. Katanya simpel tapi elegan. Udah nambah cabang toko juga."

"Terus gimana usaha WO dan distributor gas milikmu, Nur?"

"Alhamdulilah, gak jauh beda sama Mbak Tati, Mbak. Malah sekarang aku sibuk juga bikin kelas rias manten."

"Alhamdulilah," ucapku bersyukur. Aku juga memiliki sendiri, mengelola beberapa toko kue. Selain ikut mengelola gudang buah segar milik suamiku. Membangun toko buah murah dari kota sampai pelosok, agar masyarakat bisa membeli untuk kebutuhan mereka.

Aku membiarkan usaha milik Mas Hendra dikelola Tati dan Nuri, tentu dengan persetujuan suami kami. Mengajari mereka, juga menjadikan nama mereka sebagai pemilik usaha. Hanya satu usaha milik Mas Hendra yang masih atas namanya, sebuah perusahaan kontraktor yang tengah berkembang saat ini dan beberapa saham yang ia masukan atas nama Ali dan si kembar Hasan, Husen di perusahaan properti juga waralaba.

"Jaga baik-baik apa yang telah kalian perjuangkan. Nasib orang gak ada yang tahu. Kita cuma bisa mempersiapkan sedari dini. Kalian nabung emas kan?"

"Iya, Mbak," jawab Nuri.

"Semua yang Mbak Lastri nasehatkan, kami lakukan. Termasuk nabung emas itu." Tati tersenyum lebar, "terus, Mbak lastri gimana?"

"Alhamdulilah, toko lagi laris-larisnya. Aku juga beli sawah sama ladang. Bayar orang buat pengerjaannya. Semoga bisa jadi supleyer sayuran organik sebentar lagi," ucapku sembari terkekeh pelan.

"Aamiin," ucap kami bersamaan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!