Widuri berjalan pelan menuju kursi ruang tunggu keberangkatan. Keramaian bandara tak mampu mengusiknya. Hatinya beku dan dingin.
Luka pengkhianatan Frans mantan suaminya masih sangat jelas membekas. Meski telah lewat tiga bulan sejak pengakuan Frans telah menjalin kasih dengan Thea sekretarisnya sendiri, hati Widuri masih saja berdarah. Terlebih lagi Frans memaksa segera bercerai agar bisa secepatnya menikahi Thea.
Kemarin pengadilan sudah menuntaskan urusan perceraian mereka. Sampai beberapa saat sebelumnya, Widuri masih merasa bermimpi dan tak ingin terbangun. Tapi sikap mesra tanpa malu Frans dan Thea di pengadilan kemarin, benar-benar membuka kesadarannya. Semuanya sudah berakhir!
*
*
Sambil menyesap capuccino, Widuri melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Masih jam tujuh malam. Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum masuk pesawat.
Sambil duduk santai, Widuri mengeluarkan buku catatannya. Setelah menghela nafas panjang untuk mengurangi rasa nyeri di hatinya, dia mulai menggoreskan pena..
Rabu, 15 November 2021
Dear diary, kemarin aku lupa menyapamu karena terlalu sibuk menangis. Hari berlalu cepat seperti berlari saat kita tenggelam dalam lamunan. Baru malam kemarin aku memutuskan untuk mengistirahatkan otakku dengan berlibur sejenak. Melihat suasana baru, memanjakan diri dengan belanja dan menghabiskan uang tunjangan perceraian yang diberikannya padaku. Kurasa menghadiahi diri sendiri bukanlah dosa.
Frans sungguh tidak tau malu menuduhku tidak mampu memberinya anak sebagai alasannya berselingkuh. Andai saja dia tau bahwa aku sudah memeriksakan diri ke dokter kandungan dan dokter tidak menemukan apapun yang salah dengan kesuburan dan kandunganku. Andai saja dia tau kalau dokter berprasangka bahwa suamikulah yang mungkin jadi penyebab aku tidak bisa hamil.. Ahhhh...
Meski berulangkali dokter menyarankan aku untuk membawa Frans ikut memeriksakan diri, tapi bagaimana aku sanggup membuatnya terluka dan rendah diri jika dianggap tidak subur? Aku terlalu mencintainya dan tak ingin dia merasa lemah serta kehilangan harga diri di depan keluargaku. Tapi kasih sayang dan pengertianku dikhianatinya begitu rupa. Melupakan segala cinta yang dulu dia ucapkan sendiri.
Widuri memejamkan matanya yang berkabut, merapikan kacamata hitamnya dan mengalihkan pandangan pada dinding kaca ruang tunggu. Hujan petang tadi sudah berganti gerimis dan udara jadi semakin dingin.
Sambil mengancingkan sweater Widuri melihat ke sekitar. Kesibukan bandara tak berkurang. Sesekali terdengar panggilan operator dari pengeras suara untuk penumpang pesawat lainnya. Petugas dan calon penumpang lalu lalang silih berganti.
*
******
Di area Lounge.
Seorang pria masih sibuk dengan laptopnya. Sambil mengetik di keyboard dia terus mendengarkan suara sekretarisnya dari alat kecil yang menempel di telinganya. Sesekali dia membalas dan memberi instruksi.
"Astrid, saya baru saja mengirimkan file. Kamu urus itu sesuai yang saya katakan tadi lalu serahkan pada Luke. Katakan padanya untuk segera mengaturnya. Saya mau itu sudah beres saat saya kembali dari Manila minggu depan. Tekankan padanya bahwa saya sudah tidak mau menerima alasan apapun lagi. Ini kesempatan terakhirnya!"
"Baik, Pak," sahut suara di seberang sana.
Pria itu menyimpan laptop dalam tas kerjanya. Dia masih memeriksa gadgetnya saat seorang staf wanita lounge menghampiri.
"Mr. Dean Whittman?" tanyanya memastikan.
"Ya," jawab sang pria.
"Sekarang sudah waktunya masuk pesawat. Mari saya antar," ujar staf wanita tersebut.
"Baik, terima kasih," balas Dean, lalu menyimpan gadgetnya di saku jas.
Dia mengambil coat yang tadi disampirkan di lengan sofa dan melangkah mengikuti arahan staf tersebut menuju pintu masuk kelas eksekutif.
*
*******
Di kelas eksekutif ada enam kursi dan itu terisi semua. "Mungkin karena sudah dekat musim liburan di bulan Desember," pikir Dean Whittman.
Dia menuju kursi yang ditunjukkan pramugari padanya. Kursi terdepan bagian kanan di sisi jendela. Perfect!
Dean sangat sering melakukan perjalanan dan tidak pernah kecewa dengan pilihan sekretarisnya. Pesawat ini nyaman jadi dia bisa istirahat sejenak.
"Aku harus membelikan oleh-oleh untuknya saat kembali nanti," janji Dean dalam hati.
Dean tak mempedulikan sekitarnya dan mencoba memejamkan mata saat seorang pramugari membagikan snack box dan jus buah yang di kemas dalam gelas plastik kecil.
"Ahh, ini mungkin bentuk ucapan selamat datang," asumsi Dean.
Dia lalu mulai menikmati snack yang disajikan sambil menunggu pesawat lepas landas. Dia tidak sempat makan apapun di Lounge karena sibuk membuat beberapa tugas untuk Astrid.
*
*******
Setelah pesawat mengudara, Widuri kembali mengeluarkan buku catatannya dan berniat kembali menulis. Tapi gadis muda yang duduk di sebelahnya menyapa.
"Ke SG mau liburan atau kerja, Mbak?" tanyanya mencoba bersikap ramah dan berbasa-basi.
"Liburan!" Jawab Widuri pendek, berharap tidak ditanya lagi.
Saat ini Widuri tak ingin diganggu siapapun. Dia ingin sendiri. Dia hanya ingin mencurahkan segala isi hati pada buku catatannya. Dia dan buku catatannya memiliki dunia sendiri yang terasing dari sekitar. Dia menyukai keterasingan itu saat ini.
Tapi gadis muda itu ternyata type orang yang sangat, sangat ramah.
"Kalau saya ke SG mau ketemu suami," ucapnya dengan mata berbinar-binar serta senyum terkembang manis.
Binar mata dan senyum itu, khas orang jatuh cinta dan mabuk rindu. Tanpa disadari, senyum Widuri menghilang dan berubah sedih. Gadis itu terkejut dan dengan cepat memegang tangannya dengan ekspresi penyesalan di matanya.
"Apakah kata-kataku tidak berkenan untukmu? Maafkan aku, aku tidak akan banyak bicara lagi. Maafkan yaa. Aku sungguh tidak tau bagian mana kata-kataku yang tidak kau sukai," ucapnya tanpa henti, sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya tanda permohonan maaf.
Widuri menghela nafas sejenak. Katanya tak mau bicara lagi. Tapi ada berapa banyak kata yang terucap sebelum akhirnya dia berhenti bicara?
"Ah, tidak ada. Aku hanya sedang ada masalah, jadi ingin sendiri dulu dan mengambil liburan seminggu di SG. Jadi ini bukan salahmu," balas Widuri. Dia lalu mengalihkan perhatian pada buku catatannya dan mulai menulis.
*Dear diary, saat ini aku sudah di pesawat. Aku ingin melupakan hal-hal buruk itu dan menyongsong hari baru, dunia baru, harapan baru. Semoga hidupku bisa lebih baik lagi.
Ah iya, setelah kembali dari liburan ini, aku akan mengajukan pengunduran diri. Kalau tetap di perusahaan itu, aku akan lebih mungkin ketemu Frans karena dia adalah direktur perusahaan cabang. Aku benar-benar tak ingin melihatnya lagi di kehidupanku. Aku muak!
"Ya, itu adalah keputusan yang tepat," pikir Widuri sambil memandangi catatannya.
Saat itu pramugari mengantarkan makan malam. Widuri menyimpan buku lalu meletakkan kotak makannya di meja. Dia lapar dan ingin makan sekarang.
Nasi goreng seafood yang disajikan dimakannya dengan lahap dan cepat. Yahh, itu hanya sedikit, hanya untuk pengganjal lapar saja. Tak heran jika segera habis. Di hotel nanti dia harus memesan makan malam yang sebenarnya, atau dia tak akan bisa tidur karena kelaparan.
Saat pramugari kembali berjalan ke pantry, Widuri memanggil sembari menyodorkan kotak nasinya yang sudah kosong.
"Sudah habis, Mbak, terima kasih," ucap Widuri tersenyum canggung melihat pramugari cantik itu terkejut.
"Baiklah. Apakah masih mau yang lainnya lagi?" tanya pramugari itu dengan ramah.
"Oh tidak, terima kasih. Itu cukup untuk saat ini," balas Widuri sambil menggoyangkan tangannya tanda menolak.
Widuri melipat meja. Dia ingin ke toilet sekarang, sebelum beristirahat. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum pesawat mendarat. Dia berjalan ke arah toilet melewati barisan kursi di depan.
Melewati seorang wanita paruh baya berambut pirang keabuan yang asik merajut untuk membunuh waktu. Mengagumkan melihat ketelatenan para perajut, mengubah benang menjadi kain dan segala macamnya. "Aku bisa mati bosan mengerjakannya," pikirnya dalam hati.
Kembali ke kursinya, Widuri memilih tetap memasang sabuk pengaman. Dia mulai memejamkan matanya yang lelah dan perih karena kurang tidur dan banyak menangis.
"Mataku pasti bengkak sekarang. Nanti di hotel mau tidur sampai siaaanggg. Tak perlu bangun pagi dan menyiapkan sarapan untuk suami. Tak perlu buru-buru untuk berangkat kerja!" batinnya.
"Ini hari baru, hari kebebasanku" gumamnya sambil tersenyum lemah.
Tiba-tiba pesawat berguncang keras dan keluar instruksi lewat pengeras suara untuk duduk dan mengencangkan sabuk pengaman.
Informasi pilot, pesawat menghadapi badai. Widuri mengucapkan doa dari bibirnya, lalu hal yang terakhir di dengarnya adalah teriakan histeris penuh ketakutan para penumpang.
******
Jangan lupa tinggalkan like dan komen yaa.. 🥰💙
"Aduuhh.... Aaahhhh...." rintihnya kesakitan.
"Kepalaku, tubuhku, sakit semua seperti habis dipukuli."
Widuri membuka mata, pandangannya kabur. Lalu kesadarannya perlahan kembali.
Widuri ingat bahwa dia naik pesawat tadi malam, lalu di perjalanan pesawat berguncang keras. Dia refleks menundukkan kepala sembari memeluk lutut. Lalu terakhir terdengar suara teriakan.
Widuri menggumamkan doa berharap tak terjadi hal buruk. Tapi sekarang dia merasa tubuhnya bergoyang-goyang dan udara sangat dingin menusuk tulang. Tak ada suara apapun. Widuri mengerjap-ngerjapkan matanya untuk melihat dengan jelas agar tau apa yang terjadi.
Dia terlonjak karena terkejut. Di depan sana hanya ada warna hijau samar diselimuti warna putih bersih seperti salju.
'Tunggu..! Salju?' pikirnya kebingungan.
Tubuhnya masih bergoyang pelan karena keterkejutannya tadi. Pelan-pelan Widuri mencoba memahami posisinya. Dia masih terikat di kursinya!
"Ya ampuun, kursiku tersangkut di dahan pohon," gumamnya saat melihat ke atas.
Tampak pohon pinus besar dan kokoh berdiri di samping kirinya. Sisa rangkaian kursi pesawat yang didudukinya tersangkut di dahan pinus. Widuri tak menemukan wanita muda teman sebangkunya, entah dimana dia.
"Jika bukan karena dahannya yang kuat dan berdaun rimbun itu, aku pasti sudah jatuh ke bawah." Widuri melihat ke bawah.
"Ya Tuhan, tinggi sekali! Kira-kira adakah 10 meter? Gimana caranya turun nih?" gumamnya lagi.
Tiba-tiba Widuri mendengar teriakan ketakutan.
"Aahhhh, toloong. Tolooong."
Widuri memejamkan mata. Mungkinkah suara itu dekat dengan badan pesawat? Itu terdengar agak jauh dari tempatnya. Atau orang itu juga terlempar keluar seperti dirinya?
Widuri menghela nafas, jangankan menolong orang lain, dirinya sendiripun belum tentu sanggup melihat pemandangan mengerikan akibat jatuhnya pesawat. Pasti banyak korban.
Widuri berfikir keras, jika dirinya yang ada di tengah badan pesawat bisa terlempar keluar dan tersangkut di pohon, maka pesawat itu mestinya patah. Apakah pesawat ini terhempas atau menabrak gunung?
"Tunggu, ada yang aneh disini," gumam Widuri lalu melihat berkeliling untuk memastikan.
Dibukanya mata lebar-lebar. Sejauh mata memandang, itu memang pemandangan hutan pinus yang ditimpa salju. Dia tidak berhalusinasi. Tapi sejak kapan Singapura bersalju? Ataukah ada pulau di Indonesia yang mengalami musim dingin?
"Hellooow.... Indonesia itu negara khatulistiwa, negara tropis. Dari mana datangnya salju?"
Widuri bicara sendiri. Tapi meski berpikir keras, dia tak mampu memahami keadaan ini.
"Apakah pesawat ini terlempar badai hingga Eropa atau kutub utara?" tebaknya asal-asalan.
"Hahahh aku mulai gila nih."
Lalu Widuri menertawai dirinya sendiri.
"Ahh, lebih baik mencari penumpang selamat lainnya dan berkumpul bersama menunggu tim rescue datang. Tapi mungkinkah mereka akan mencari di hutan pinus bersalju? Ini dimana sebenarnya? Benar-benar aneh."
Widuri bergumam sambil tangannya mencoba melepas seatbelt, tapi terhenti. Tubuhnya bergetar tiba-tiba saat mendengar lolongan serigala di kejauhan.
"Mengerikan! Di hutan ini ada serigala? Apakah bau darah korban pesawat memancing mereka? Tapi tetap tergantung begini juga bukan pilihan, karena tubuhku sudah sangat kedinginan. Jika bukan karena aku tersangkut di ketinggian dan tertimpa sinar matahari, pasti aku sudah membeku."
Ya, Widuri hanya mengenakan sweater dan celana jeans penangkis dinginnya udara musim hujan bulan November. Itu bukanlah pakaian untuk musim dingin bersalju seperti ini.
"Baiklah, aku akan turun dan mencari yang lain lalu bersama memikirkan solusinya," ucapnya memantapkan hati.
Lalu tangannya yang nyeri berusaha melepas seatbelt.
Ssyyuutt.
Tubuhnya meluncur turun dengan cepat dan...
Brukkk!
Widuri terhempas di salju dan membentuk jejak hampir 1 meter dalamnya.
"Adduuhhh... tubuhku rasanya remuk. Aahhh...," keluhnya saat mencoba duduk.
Widuri akhirnya membiarkan tubuhnya berbaring sejenak, meluruskan kaki dan mengumpulkan semangat untuk bangun. Widuri menatap pohon di atasnya.
"Betapa tingginya.. sampai membuatku tenggelam sedalam ini saat jatuh di salju."
Widuri segera bangkit. Itu tempat terbuka, mudah jadi mangsa serigala.
"Saat pesawat jatuh aku diberi kesempatan hidup. Jadi jangan sia-siakan hidupku yang berharga ini tanpa usaha."
Widuri merangkak keluar dari tempatnya jatuh.
Setiba di permukaan Widuri menepuk-nepuk sweater dan celana jeansnya menyingkirkan bunga salju yang menempel. Tasnya masih terselempang di tubuhnya, tapi isinya sudah hilang entah kemana.
Widuri membuka risleting kantong tas dalam. Disitu ada parasetamol 1 blister, obat batuk dan obat masuk angin sachet masing-masing 6, juga obat maag 1 blister. Ada plester luka 3 pcs. Widuri memang menyiapkan obat-obat ringan yang biasa dipakainya sebelum berangkat ke Singapura. Lalu dia membuka kantong tas depan, disitu masih ada 2 batang coklat yang dibelinya di toko bandara.
"Lumayan.... Ini hartaku untuk bertahan hidup," ucapnya pelan lalu menyeret kakinya menuju suara teriakan tadi.
Udara sangat dingin. Widuri tidak punya sarung tangan. Jadi dia memasukkan tangannya ke saku celana jeans untuk menjaganya tetap hangat. Dia menemukan sesuatu yang familiar dan menambah ketenangannya. Itu benda kenangan kakaknya. Widuri menggenggamnya erat dan tersenyum sambil menengadah ke langit.
"Terimakasih sudah menjagaku kak. Aku akan berusaha bertahan hidup sampai tim rescue tiba. Jadi tolong jaga mama dan papa sampai aku kembali," desahnya.
Matanya berembun, dia rindu pada sosok kakak yang telah mendahuluinya ke surga.
Widuri melihat sekitarnya sambil berjalan. Dia menemukan selembar kain merah tua terhampar di salju tak jauh dari tempatnya berdiri. Diseretnya langkah untuk memeriksa. Tapi tak ada seorangpun disitu. Jadi diambilnya kain itu dan membelitkannya di leher dan kepala untuk memberi kehangatan. Widuri melanjutkan perjalanannya.
Tak sampai 15 menit, Widuri melihat sesuatu menyilaukan mata di atas sana. Sepertinya itu kepingan pesawat! Dia bergegas melangkah, tapi matanya tertumbuk pada benda berwarna pink di dekat pohon pinus muda. Itu hampir terbenam di salju, tapi Widuri mengenalinya. Itu buku catatannya! Dia girang sekali, lalu mencari lagi di sekitar. Dan benar saja, dompet dan hp nya juga ada di dekat situ.
Widuri mencoba menyalakan hp mencari layanan operator seluler. Tapi tak ada sinyal.
"Ahh bodohnya.. ini kan hutan. Mungkin tak ada antena pemancar disini. Semoga di lokasi yang lebih tinggi bisa dapat sinyal."
Harapannya kembali tumbuh. Dengan semangat, Widuri berjalan ke arah cahaya yang menyilaukan itu. Disitu lebih tinggi, jadi tidak akan mudah untuk sampai kesana. Kaki Widuri bahkan terbenam dalam salju hingga setengah betis. Tapi dia terus melangkah.
Widuri kembali menemukan benda tercecer lainnya. Ada pisang, apel dan jeruk. Entah buah ini supply pesawat atau bawaan penumpang.
Widuri memungut dan ingin memakan pisang yang didapatnya. Tapi pisang itu beku, keras seperti batu. Dengan raut kecewa disimpannya buah-buahan itu dalam tas. Beberapa saat kemudian dia juga menemukan banyak benda lainnya, termasuk kotak makan malam yang masih utuh. Widuri membukanya..
"Ahh, nasi goreng seafood!" pekiknya tertahan. Ini anugerah. Aku bisa memakannya nanti setelah dihangatkan.
Berikutnya Widuri makin sering menemukan benda tercecer, termasuk hp, dompet, kertas-kertas, foto, sebuah pasmina lagi warna keabuan dan juga kalung. Tangannya bergetar saat memungut kalung itu.
"Bagaimana kalung bisa lepas dari leher pemiliknya?" pikirnya.
"Apakah..? Ahh tidak. Tidak. Aku tak mau memikirkannya!" Widuri menggelengkan kepala kuat-kuat untuk menepis bayangan horror di kepalanya.
Widuri kembali berjalan. Sepertinya makin banyak benda yang ditemukan.
'Mungkin aku sudah makin dekat dengan badan pesawat' pikir Widuri dalam hati. Dia mempercepat langkahnya.
Tiba-tiba kakinya tersandung sesuatu hingga membuatnya jatuh terjerembab ke depan. Setelah mengatur nafas dan berbalik, Widuri mencari tau apa yang membuatnya tersandung tadi.
"AARRGGHHHH!" teriaknya ngeri.
Itu potongan tangan!
Seketika Widuri menjauhi tangan itu dan melihat ke sekitarnya. Ada banyak potongan tubuh lainnya. Matanya nanar menatap penuh ketakutan. Darah merah yang terserak di salju itu sudah membeku. Widuri menutup matanya dengan tangan untuk menghapus bayangan mengerikan itu.
Widuri bukanlah penakut, tapi ini sungguh diluar batasnya. Bagaimanapun dia hanya wanita biasa. Tubuhnya bergetar hebat. Bibirnya mengucapkan berbagai doa mencari ketenangan. Lalu sesuatu menyentuh pundaknya.
Widuri terkejut dan menoleh untuk melihat. Kemudian menjerit lagi....
"AAARRRGGGHHH...." Jeritnya histeris lalu pingsan!
*******
Jangan lupa like dan komennya yaa.. 🥰💙
Dean Whittman sadar dari pingsan dengan rasa nyeri di kepalanya. Disekanya aliran hangat yang mengalir di dekat telinga. Tangannya dengan segera berlumuran darah!
"Apa yang melukai kepalaku? Ini sakit sekali. Apakah gempa?" gumamnya lirih.
Tapi Dean segera ingat bahwa sebelumnya dia berada dalam pesawat menuju Singapura. Dia baru selesai makan malam dan mencoba beristirahat saat pesawat berguncang hebat.
Dean menyadari dirinya masih berada di kursi pesawat. Lalu melepaskan seatbelt dan melihat sekelilingnya. Penumpang di kelasnya masih berada di kursinya masing-masing. Entah masih hidup atau tidak, Dean belum tau. Tidak ada seorangpun yang bergerak disitu selain dirinya dan tirai pintu.
Dinding pemisah kelas eksekutif dan pantry masih ada meski hampir ambruk. Dean berjalan hati-hati ke arah pintu sambil berpegangan pada sandaran kursi penumpang lain. Kepalanya sangat nyeri dan tubuhnya terasa remuk. Entah pesawat bisa mendarat darurat atau terhempas, Dean belum tau.
Dean melangkah sangat hati-hati. Dia tak tau situasi di luar. Jangan sampai pesawat berada di tepi jurang, yang bila dia sedikit salah langkah dan perhitungan, bisa membuat seluruh pesawat meluncur jatuh. Jantung Dean berdegup lebih kencang seakan dia bisa mendengarnya dalam suasana hening ini.
Dean hampir mencapai tirai pintu. Pesawat bergoyang sedikit saat dia melangkah. Dean melihat sedikit penyok di lantai pesawat. Itu membuatnya lebih berhati-hati lagi. Dengan susah payah dan sambil berpegang erat pada tepi dinding, dia menyibak tirai dan menjulurkan kepalanya ke arah luar. Sekejap dia terkejut dan mematung, lalu ekspresinya kembali berubah datar.
Pemandangan di depannya sungguh luar biasa. Di sisi kanannya hanya tersisa rak pantry setengah rubuh yang menempel pada ruang eksekutif. Bagian lainnya sudah lenyap, termasuk toilet eksekutif yang menjadi pembatas kelas biasa. Segala benda berserakan di sekitarnya, sangat kacau balau.
Di depannya lebih kekiri tampak pemandangan yang sangat mengerikan. Sekitar 6 meter dari situ tampak patahan badan pesawat menganga dengan posisi terbalik. Kursi penumpang kini berada di sebelah atas. Para penumpang yang masih tersangkut seatbelt di kursi, menggantung terbalik. Benda-benda berserakan di bagian bawah. Pohon-pohon yang tumbang dan patah serta noda darah di berserakan mana-mana terhampar di atas permukaan salju yang putih bersih.
Dean berjalan kembali ke kursinya. Dikenakannya Coat panjang yang tersangkut di tangan kursi dan memungut tas kerjanya yang sudah jatuh di lantai, memasang tali panjang dan menyilangkan pada tubuhnya. Dean lalu menghampiri penumpang pria yang duduk di sebelahnya di barisan tengah. Dean meletakkan jari di bawah hidung pria itu, masih ada uap udara keluar dari hidungnya. Dean mencoba membangunkan pria muda itu.
"Hei, apa kau mendengarku? Cepat bangun! Pesawat ini jatuh!" Dean menepuk-nepuk pipinya. Pria itu mengeluh pelan meringis kesakitan lalu membuka matanya. Seketika dia menjerit.
"Aaaahhh!"
"Diam!" Bentak Dean dingin.
'Apakah aku tampak menakutkan?' Pikir Dean heran.
"Tak perlu membuat keributan. Bantu aku mengecek dan menyadarkan penumpang lain."
Instruksi Dean jelas tak mau dibantah. Pria muda itu mengangguk dan melihat sekeliling. Dia bangkit dengan terhuyung menghampiri penumpang wanita di sebelahnya. Menepuk pipi dan memanggilnya dengan lembut.
"Lena, Lena, bangun.... Pesawat kita jatuh.... Bangun...." Berkali-kali dia menepuk dan memanggil. Gadis itu belum sadar juga.
Pria itu terlihat sedih. Lalu dia mencoba membangunkan penumpang lainnya dengan cara serupa.
"Aku keluar sebentar mencari sinyal hp," kata Dean pada pria itu dan dibalas dengan anggukan.
Dean berjalan keluar, mengeluarkan hp dan menyalakannya. Tapi tidak ada sinyal, tidak ada layanan operator. Berkali-kali dicoba tetap tidak berhasil.
Dilihatnya jam tangannya. Sekarang jam 9 lewat 10 menit. Dia menengadah ke atas, langit cerah membiru. Ini masih pagi dan matahari bersinar lumayan hangat.
Tapi Dean tau, dia harus bergerak cepat memeriksa semua hal. Dan semua penumpang selamat harus bersiap sebelum langit gelap.
Dean kembali ke ruang eksekutif untuk memberitahu pria muda itu. Dia melihat seorang wanita juga sudah sadar dari pingsannya.
"Hei, kita harus bergerak cepat mempersiapkan tempat berlindung sebelum hari gelap. Di hutan bersalju banyak binatang buasnya," ujar Dean.
"Hutan bersalju apa?" balas pria muda dan wanita itu serempak dipenuhi rasa heran.
"Lihatlah keluar. Pesawat ini jatuh di kawasan hutan bersalju," balas Dean sambil membuka penutup jendela pesawat yang tak jauh dari situ.
Pria dan wanita itu terkejut melihatnya dan seketika panik. Mereka mulai membangunkan yang lain dengan lebih serius dan tepukan pipi lebih keras.
"Aku akan mengecek yang lainnya." ujar Dean.
Lalu berjalan keluar ke arah patahan badan pesawat tak jauh dari sana. Dia harus mencari kain atau apapun yang bisa digunakan untuk membalut kepalanya.
Di bagian patahan badan pesawat, Dean mencoba mengecek nafas para penumpang yang bergantungan. Tak ada udara yang keluar. Dicobanya menepuk pipi beberapa kali namun tak ada respon. Dean lanjut mengecek penumpang lainnya. Setelah yang ke 5 kali, akhirnya ada yang sadar. Baguslah, ucap Dean dalam hati.
"Saya bantu anda turun," ucap Dean sambil memegangi bahu pria itu.
"Aduh...!"
Pria paruh baya itu meringis saat jatuh dari ikatan kursinya.
Meski Dean sudah menahan kepalanya agar tak membentur bagian bawah pesawat, tetap saja badannya sakit saat terhempas ke bawah.
"Terimakasih sudah membantu saya," ucapnya dengan susah payah.
Dia tidak terluka, hanya merasa sakit di seluruh tubuh. Mungkin efek hempasan dan gulingan pesawat saat jatuh.
"Saya seorang dokter, biar saya bantu membalut luka di kepalamu itu," Dokter itu menawarkan bantuannya dengan tulus.
Lalu dia melihat sekeliling dan menemukan tas ransel tergeletak di arah depan. Pria paruh baya itu membuka ransel dan memeriksa isinya.
'Tepat!' pikirnya.
Ini tas ransel wanita, dan biasa wanita membawa selendang ekstra untuk menahan udara dingin. Jadi dia menunjukkan temuannya pada Dean.
"Selendang ini masih harum pewangi pakaian, jadi saya rasa ini lumayan bersih atau mungkin belum digunakan pemiliknya. Mari saya balut luka di kepalamu," ucapnya memaksa. Dean membiarkannya. Lukanya memang harus dibalut.
"Saya dokter Chandra. Siapa namamu?" Tanya dokter itu sambil membalut luka.
"Seharusnya ini dijahit, tapi saya tidak membawa peralatan. Semoga tim penyelamat segera tiba dan kamu bisa dirawat dengan benar," Ucapnya menyemangati.
"Apakah lukanya akan membahayakan nyawa?" tanya Dean memastikan.
"Sejauh yang tampak di luar, itu hanya luka robek tipis, jadi seharusnya tidak akan berbahaya. Kecuali terjadi infeksi atau pendarahan di bagian kepala. Namun kita tak punya peralatan pendukung untuk memeriksa hingga bagian dalam bukan? Berdoalah itu tidak membahayakan nyawa. Sudah terlalu banyak nyawa melayang disini." Ujar Dokter Chandra prihatin.
"Baiklah, terimakasih sudah memeriksa dan membalut luka saya. Saya Dean Whittman. Senang rasanya menemukan seorang dokter di situasi seperti ini. Jadi, bisakah bantu saya memeriksa para penumpang? Saya akan memeriksa bagian lainnya."
Kata-kata Dean terdengar biasa. Namun dalam pandangan dokter Chandra, itu adalah sikap orang yang mampu berpikir jernih dalam berbagai situasi dan terbiasa memimpin. Bahkan luka di kepala karena pesawat jatuh bukanlah hal yang dapat mengganggu ketenangannya. Dia dengan mudah mengatur hal-hal penting lebih dulu. Dokter Chandra kagum dan dengan cepat menganggukkan kepalanya.
"Baik, saya akan memeriksa penumpang di sini dan hal lain yang perlu."
Dokter Chandra menjawab cepat. Dan dengan segera memeriksa serta membangunkan penumpang lainnya. Waktu sangat berharga di saat kritis. Itu bisa berarti menyelamatkan satu nyawa.
*******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!