"Bentar lagi aku jemput. Tiga puluh menit lagi aku sampai di kampusmu,"
ucap seseorang dari balik telepon.
"Iya aku tunggu," jawabku.
Titt.. tiittt... tiiittt...
Teleponku ternyata dimatikan. Aku pun memasukkan handphone-ku ke dalam tas disebelahku. Akhirnya, aku akan segera bertemu dengannya setelah satu bulan tidak bertemu. Dia sangat sibuk karena pekerjaanya sebagai seorang direktur di sebuah perusahaan besar membuatnya jarang menemuiku. Aku pun memaklumi kesibukannya karena selain dia seorang direktur utama, dia juga seorang duda yang harus mengurus anaknya seorang diri.
"Telepon dari Reno ya, Fa? Ciiieee.. yang mau ketemuan nih," goda sahabatku Nela.
"Bukan dari Reno tapi yang satunya," ucapku menimpali.
"Oh si Pak Direktur itu ya. Aku kira kalian sudah putus," kata sahabatku yang satunya, Elsa.
"Belum dong. Kan dia emang sibuk banget makanya ketemu aja satu bulan sekali," ujarku menjelaskan.
"Lagian mana mau Shifa ninggalin si Pak Direktur itu meskipun duda. Kan selama ini walaupun jarang ketemu tapi duit ngalir terus. Iya kan, Fa?" tanya Nela.
Begitulah Nela, sahabatku yang satu ini memang orangnya ceplas-ceplos. Apa yang ada dipikirannya langsung dia ucapkan tanpa basa-basi. Sedangkan si Elsa, dia orang yang pendiam, ramah dan santai. Kalau aku orangnya juga santai seperti Elsa, tapi aku bukan orang yang pendiam. Aku suka menjalin kasih dengan beberapa laki-laki. Selain bisa mendapatkan cinta yang selama kecilku tak pernah kurasakan, aku juga mendapatkan uang yang bisa aku gunakan untuk kebutuhanku tanpa merepotkan ibu. Kami bertiga bertemu di kampus ini saat sama-sama sedang melakukan pendaftaran mahasiswa baru dan langsung klop banget.
"Iya dong kamu tahu aja apa yang aku
pikirkan," ucapku santai.
"Memangnya kamu nggak takut ketahuan sama Reno? Nanti kalau Reno tahu gimana?" tanya Elsa.
"Ya nggak gimana-gimana. Toh selama ini aku juga sering kan gonta-ganti pacar. Kalau dia tahu ya tinggal putusin aja beres," jelasku sambil menyeruput jus alpukat kesukaanku.
"Duh.. kalau aku jadi kamu pasti aku bakalan bingung deh. Oh iya, kalau orang di foto ini bagaimana menurutmu?" tanya Elsa sambil menunjukkan foto seorang laki-laki dari handphone-nya.
Aku dan Nela melihat dengan seksama foto tersebut. Foto itu memperlihatkan seorang laki-laki tersenyum menghadap ke kamera. Dibelakangnya terlihat banyak bunga-bunga bertebaran seperti di area taman.
"Ganteng juga. Siapa nih, pacarmu ya? Kok aku gak dikasih tahu sih," tanya Nela.
"Bukan. Aku dikenalin sama Linda tetangga aku yang sering ke rumah itu loh. Dia bilang laki-laki di foto ini mau mencari istri. Dan aku tertarik dengan fotonya," ucap Elsa.
"Kok sama fotonya? Apa kalian belum pernah ketemu? Mending ketemuan dulu deh supaya tahu dia aslinya gimana. Kenalan dulu aja, kalau cocok nanti bisa dilanjutin ke jenjang lebih serius kalau kamu emang suka sama dia," saranku.
"Kita rencananya mau ketemu hari minggu. Tapi dia nggak mau kalau ketemuan cuma berdua. Dia maunya aku bawa teman. Kalian mau nggak nemenin aku?" tanya Elsa.
"Kenapa dia gak mau ketemu berdua? Ribet amat mau ketemu aja. Bukannya nanti kalau mereka pacaran juga yang menjalani cuma mereka berdua? Kenapa harus melibatkan orang lain?" tanyaku dalam hati. Kupandangi foto tadi sambil memikirkan kebingunganku dengan orang di foto tersebut.
"Ya udah kalau gitu besok kita temani. Tapi kita berdua duduknya agak jauhan ya, biar nggak dikira ganggu kalian. Iya kan, Shifa?" tanya Nela.
"Iya-iya terserah deh aku ikut aja asal jangan pagi-pagi ya. Besok aku udah janji mau bantuin Ibuku jualan di pasar. Memang jam berapa sih?" tanyaku.
Belum juga Elsa menjawab, handphone ditasku berbunyi. Kubuka tasku dan kulihat pacarku si direktur sudah menelepon. Mungkin dia sudah sampai di depan kampusku.
"Udah dulu ya ini dia udah datang. Kita lanjut di whatsapp aja ya. Bye," ucapku terburu-buru.
Aku tidak mau dia menungguku terlalu lama karena aku tahu dia memiliki temperamen yang buruk. Aku takut kalau sampai aku kelamaan datang, dia akan langsung pulang tanpa mengucapkan apa-apa.
"Ya udah, sana samperin," jawab Nela yang disusul dengan anggukan Elsa.
Aku pun pergi berjalan ke depan kampus untuk menghampirinya. Kulihat handphone-ku masih berbunyi. Ketika aku mau mengangkat telepon darinya tiba-tiba ada Reno dan teman-temannya berjalan kearahku.
"Kamu mau kemana, Shifa? Aku baru saja mau nyusul kalian ke kantin," sapa Reno.
"Oh aku buru-buru mau pulang nih. Soalnya Ibu udah nyariin," jawabku gugup.
"Ciiiieeee.. Kita duluan aja yuk," ucap satu teman Reno. Teman-teman Reno pergi meninggalkan kami berdua.
"Itu Ibu kamu ya yang telepon kok gak kamu angkat dulu?" tanya Reno.
"Eh iya ini mau aku angkat. Aku duluan ya," jawabku gemetar. Aku pun berjalan melewati Reno untuk segera menemui kekasihku yang satunya. Tapi tiba-tiba tanganku dipegang seseorang.
"Ayo, aku anterin biar kamu cepet pulangnya," ajak Reno.
"Duhh.. Gimana nih? Aku sedang buru-buru tapi malah bertemu dengan kekasihku yang satu lagi," ucapku dalam hati.
"Nggak usah, aku udah pesen ojek online. Nanti aku hubungi ya, kalau aku udah sampai rumah," ucapku sambil melepaskan tangan Reno.
Aku pun buru-buru pergi dari tempat itu meninggalkan Reno dengan setengah berlari. Kulihat Reno masih tetap berdiri sambil terus melihatku.
"Kali ini maafin aku ya. Kita udah sering bertemu. Sekarang giliran aku menemui kekasihku yang satunya lagi," ucapku dalam hati.
Aku menghampiri Dito, kekasihku yang tengah menungguku sedari tadi. Dia memperlihatkan wajah yang kurang suka melihatku berjalan ke arahnya.
"Kenapa teleponku tidak diangkat? Katanya jam kuliahmu udah habis dari tadi," tanyanya.
"Iya tadi aku lupa mau angkat teleponnya. Maaf ya kamu pasti kelamaan nungguin aku," jelasku.
"Ya sudah ayo masuk mobil. Kita ngobrol di dalam mobil saja," ucap Dito.
Aku pun memasuki mobilnya yang sangat mewah. Aku tidak akan pernah bisa memiliki mobil mewah seperti ini. Bagaimana dia bisa begitu kaya dan memiliki segalanya? Sedangkan aku untuk makan saja harus menunggu ibu jualan di pasar.
"Kita pergi ke tempat yang biasa saja ya. Di belakang mobil ada hadiah untuk kamu. Nanti kita juga mampir ke mall untuk beli barang yang kamu mau," terangnya sambil fokus menyetir mobil.
"Iya," ucapku menimpali.
Dia memang seorang laki-laki yang kaya. Pergi ke mall merupakan sesuatu hal yang biasa untuknya. Meskipun dia berumur empat puluh tahunan tapi dia tidak pernah pelit terhadapku. Dia selalu memberi hadiah ketika bertemu, mengirimiku uang setiap minggunya dan selalu membelikan apa yang aku mau meskipun aku tahu itu semua tidak gratis.
"Makasih sayang servisan kamu benar-benar nikmat. Punya kamu itu emang ngegigit banget beda dari yang lain," ucap Dito sambil membelai rambutku.
"Iya dong aku kan selalu ngerawat punya aku biar kalau ketemu, kamunya bisa puas," pungkasku.
"Andaikan saja kita bisa ketemu tiap hari. Pasti aku bakalan bahagia banget punya kekasih yang pandai diranjang kayak kamu gini," kata Dito.
"Tapi kalau ketemu tiap hari takutnya kamu bosen lagi sama aku. By the way, aku kenalin dong sama anak kamu. Aku kan juga pengen lebih dekat sama keluarga kamu," pintaku sambil menatap wajahnya.
Entahlah, apa aku punya kelainan atau bagaimana. Kenapa aku biasa saja ketika aku menatap wajahnya tidak ada rasa risih sama sekali. Padahal usia kami terpaut dua puluh tahunan. Mungkin dia seumuran dengan ayahku.
"Nanti ya, kalau ada waktu aku bakal kenalin kamu sama anakku. Kamu kan tahu sendiri kalau aku jarang ada waktu. Anakku juga sibuk terus karena dia udah kelas tiga SMP," jawabnya mengecup bibirku.
"Ayo kita lanjut ronde yang kedua. Kamu yang di atas ya," lanjutnya. Tangannya yang semula membelai rambutku sekarang berpindah membelai bagian intimku.
"Bentar dong, Sayang. Aku kan capek," ucapku sambil mendesah pelan. Aku benar-benar menikmati setiap sentuhannya. Dia selalu tahu bagaimana caranya supaya aku menikmati setiap sentuhannya.
Ya beginilah aku. Setiap aku bertemu dengan Dito, aku selalu diajak ke sebuah hotel sebelum pergi jalan-jalan. Aku pun memakluminya karena kita juga jarang bertemu. Aku sudah biasa melakukan hubungan terlarang ini semenjak keperawananku direnggut mantan pacar pertamaku. Pikirku sekalian saja aku jatuh ke lubang buaya, toh keperawananku tidak bisa kembali lagi.
Aku mengenal Dito lebih lama dibanding dengan Reno. Aku menjalin hubungan dengannya sudah lebih dari satu tahun lamanya. Sedangkan dengan Reno, kami baru pacaran sekitar lima bulan yang lalu. Dito dan Reno sama-sama sudah menikmati tubuhku, hanya saja Dito tidak pelit dengan uang. Dia selalu memberi uang jajan yang menurutku lebih dari cukup untuk membiayai kehidupanku sehari-hari. Reno juga baik, hanya saja dia sering mentraktirku makan seperti yang dilakukan pasangan muda lainnya. Reno tidak pernah memberiku uang atau mengajakku berbelanja.
Tentu saja hubunganku dengan mereka tidak ada yang serius. Apalagi dengan Dito, aku lebih seperti "baby sugar"nya. Aku sebenarnya ingin serius dengannya. Toh dia kaya meskipun umurnya tidak muda lagi. Tapi aku tidak pernah diajak kerumahnya apalagi dikenalkan dengan anaknya.
*************
"Mampir dulu yuk nanti aku buatin kopi," ajakku.
"Nggak usah. Nggak enak aku sama Ibu kamu kalau malam-malam bertamu. Aku bukain bagasinya ya, kamu ambil sendiri belanjaan kamu," ucap Dito.
"Ya udah kalau gitu aku ambil dulu ya," ucapku membuka pintu mobil.
Aku pun berjalan ke belakang mobil. Kubuka pintu bagasi dan kuambil beberapa tas benjaanku. Tak lupa kututup lagi pintu bagasinya.
"Makasih ya buat hadiahnya. Nanti hubungi aku kalau sudah sampai rumah," ucapku bahagia.
"Ya udah aku pergi dulu ya," ucapnya pamit.
Setelah mobil milik Dito pergi, aku pun berjalan memasuki rumahku. Kucari ibu yang ternyata dia sedang sibuk dengan mixernya. Pantas saja dia tidak keluar ketika aku diantar Dito pulang. Mungkin ibu tidak tahu kalau aku sudah pulang.
"Assalamu'alaikum, Bu, aku sudah pulang," ucapku sambil menengadahkan tanganku untuk bersalaman dengan ibu.
"Wa'alaikum, Shifa, kok kamu baru pulang sih. Ibu kira kamu nggak bakal pulang malem," ucap ibu sambil mematikan mixernya.
"Ini baju buat Ibu. Tadi aku sekalian mampir beli beberapa buku di mall. Ibu kan tahu kalau mata kuliahku makin hari makin bikin pusing," ucapku beralasan.
"Kamu dapat uang darimana, Fa, buat beli baju ini. Itu juga kenapa belanjaan kamu banyak banget? Mending kalau kamu punya uang ditabung deh daripada beli-beli kayak gini," ucap ibu menceramahiku.
"Padahal aku cuma bawa tiga tas belanjaan. Sementara lima tas lainnya aku taruh di depan pintu rumah supaya Ibu tidak tahu. Kalau tahu bisa-bisa Ibu curiga lagi," ucapku dalam hati.
"Ini tadi temenku kok yang belanjain. Aku mana mungkin belanja sebanyak ini, kan keuntungan jualan online shop juga gak banyak, Bu. Aku tadi menang tebak-tebakan skor sepakbola makanya temenku mentraktir beliin aku baju," ujarku beralasan.
"Bu, aku lapar nih. Hari ini Ibu masak apa?" tanyaku sambil berusaha mengalihkan perhatiannya.
"Ya udah jangan lupa bilang makasih ke temen kamu. Dia udah belanjain kamu banyak barang. Ibu hari ini masak pepes ikan kesukaan kamu. Kamu mandi dulu sana kalau mau makan terus nanti bantuin Ibu bikin kue. Hari ini Ibu banyak pesenan kue dari Bu RT. Dia mau ngadain acara ulang tahun anaknya besok pagi," jelas ibu.
"Siap Ibuku yang cantik. Aku pergi ke kamar dulu ya mau naruh tasku. Oh iya, Bu, besok siang aku mau diajak Elsa sama Nela ke perpustakaan," ucapku sambil berlari menjauhi Ibuku. Aku pun mengambil belanjaanku tadi dan masuk ke kamar. Tak lupa pintu kamar aku kunci. Kubuka satu persatu tas belanjaan yang dibelikan Dito.
"Wahh.. ternyata ini kalung. Bagus banget hadiah dari Dito. Pasti ini mahal banget," ucapku terbelalak melihat kalung yang begitu cantik.
Kringg.. krinngg...
Handphone-ku yang berbunyi mengalihkan perhatianku. Kubaca sms yang ternyata dari Elsa.
Besok kita ketemuan di Cafe Dhelice jam 1 siang. Kamu jangan lupa ya, Fa. Aku takut sendirian.
Siap tenang aja. Aku sudah ijin kok sama Ibuku dan dia ngebolehin. Balasku.
Mungkin sekarang Elsa gugup karena besok dia mau bertemu dengan laki-laki bernama Alfan. Hanya dia saja yang sampai saat ini pacaran cuma satu kali. Itu pun sudah lama sekali. Dia benar-benar gadis yang berbeda. Dia mungkin cocok dengan laki-laki itu karena sepertinya laki-laki dalam foto itu kelihatan agamis dan pendiam.
Kringgg.. Kringg...
Handphone-ku berbunyi lagi. Kali ini Reno meleponku.
"Halo," jawabku pelan. Pasti aku bakalan diceramahi karena handphone dari tadi aku mode silent dan kulihat dia berulang kali meneleponku.
"Kamu darimana aja kok dari tadi nggak diangkat teleponku?" tanyanya emosi.
"Aku habis bantuin Ibu nih. Ini aja belum kelar pesenannya banyak banget soalnya," jawabku beralasan.
"Oh kirain kemana. Ya sudah kalau gitu kamu lanjutin dulu bikin kuenya. Jangan sampai kelelahan ya, Sayangku," ucap Reno.
"Iya-iya bawel. Jangan telepon dulu ya aku mau istirahat kalau sudah selesai bantuin Ibu. Besok saja kalau mau hubungi aku!" seruku.
"Ya udah deh selamat malam sayangku yang paling cantik," ucap Reno yang kemudian teleponnya dimatikan.
Reno benar-benar sangat menyebalkan. Sekali sms tidak dibalas, dia akan terus menerus menghubungiku. Apa mungkin dia tahu hubunganku dengan Dito? Ah mana mungkin dia tahu, aku kan jarang ketemu sama Dito. Aku sebenarnya ingin putus dengan Reno karena selama ini dia tidak pernah membelikanku apa-apa seperti Dito, tapi bagaimana aku mengatakannya? Akan canggung jadinya karena aku dengannya masih satu kampus.
"Jangan gugup ya. Aku sama Nela tunggu di meja belakang kamu," ucapku menenangkan Elsa.
Dia benar-benar terlihat gugup. Bahkan ketika aku menjemputnya tadi, Elsa memakai baju yang terbalik. Aku pun tertawa terpingkal-pingkal sampai aku menyadari kalau Elsa terlalu gugup dengan pertemuannya. Akhirnya aku membantunya berdandan supaya dia bisa tampil cantik dipertemuan ini. Tapi bukan Elsa namanya kalau dia pakai lipstik dan peralatan make up lainnya. Meskipun dia pandai memakai hijab, tapi dia tidak pernah memakai make up seperti wanita pada umumnya. Dia pun menolak bantuanku mendandaninya. Dia lebih suka tampil apa adanya seperti ini.
"Halo guys, udah jam segini apa si pria tampan itu belum juga datang?" tanya Nela yang baru saja datang.
"Belum, Nel. Mungkin dia kena macet di jalan," jawab Elsa.
"Ayo, Nel, kita duduk di meja sebelah sana saja. Jangan ganggu orang yang mau berduaan. Nanti kamu dianggap obat nyamuk lagi," ajakku.
"Ayo," ucap Nela.
Aku dan Nela memilih duduk tidak jauh dari Elsa. Kami memilih duduk di dekat jendela karena aku suka melihat pemandangan yang berwarna hijau.
"Nela, kamu pesen apa? Aku pingin minum yang seger-seger nih," ucapku membaca daftar menu.
"Minuman yang paling direkomendasiin disini apa, Mbak?" tanya Nela kepada waitress yang berdiri disebelah kami.
"Disini yang paling recommended itu Dalgona Coffe, Mbak. Minuman ini baru disini dan langsung booming," ucap si waitress.
"Ya udah aku pesen itu aja sama nasi goreng yang pedas ya. Terus chicken katsu-nya dua sama kentang goreng juga dua," ucap Nela.
"Banyak banget, Nel. Kamu lapar atau kerasukan?" tanyaku bingung.
"Kita kan mau nungguin orang pacaran, jadi kita harus siapin amunisi dong. Lagian chicken katsu sama kentang gorengnya buat kamu juga," jawab Nela santai.
"Ya udah, Mbak aku minumnya strawberry sparkling juice sama chicken steak. Pakai nasi ya, Mbak, biar kenyang," ucapku.
"Baik, Mbak, silahkan ditunggu," ucap waitress pergi.
"Kamu kerasukan juga ya, Fa, kok pesen steak pakai nasi," ucap Nela menyindir.
"Hehehe... Aku kan ngikut kamu, Nela. Aku tadi lupa nggak makan dulu soalnya buru-buru jemput Elsa," ucapku beralasan.
Aku memang sepulang dari pasar langsung mandi dan pergi untuk menjemput Elsa. Sepeda motor yang biasa dia pakai kemana-mana ternyata bannya bocor. Tentu saja aku langsung pergi kerumahnya sampai-sampai aku lupa kalau aku belum makan siang.
"Eh tuh lihat cowok yang baru masuk itu. Kayaknya itu deh cowok yang namanya Alfan yang mau ketemu sama Elsa," ucap Nela.
Aku pun membalikkan badan untuk melihat cowok yang dimaksud Nela. "Tampan juga tuh cowok," itulah kata pertama yang ada dipikiranku. Ternyata dia juga tidak datang sendirian. Dia bersama satu temannya yang sepertinya seumuran.
"Oh iya yang pakai jaket coklat itu kan. Bener-bener mirip sama yang difoto. Tapi kok temennya ikut duduk bareng sama dia dan Elsa sih. Ganggu aja," tukasku.
"Iya ya kok temennya nggak nyari meja lain. Apa gak risih kalau ketemuan bertiga gitu," ucap Nela menyetujuiku.
"Bentar ya." Aku pun berdiri dan pergi ke meja tempat Elsa, Alfan dan temannya duduk.
"Mas," ucapku menepuk pundaknya.
"Aku temennya Elsa. Kenalin nama aku Shifa. Gimana kalau kamu duduk di meja sebelah sana sama aku dan temenku satunya. Siapa tahu kita bisa berteman akrab," ucapku berani. Kulihat raut wajah Elsa yang gugup seperti melarangku meninggalkan mereka berduaan saja.
"Tapi ... aku mending cari meja sendiri saja kalau gitu," ujar si cowok.
"Ngapain? Nggak perlu sungkan gitu. Ayolah kita bisa mengobrol bareng-bareng daripada sendirian nanti malah bosan," ajakku. Dia pun berdiri mengekoriku.
"Mas, aku pinjem temenmu yang ini ya. Nanti bakalan aku balikin kok. Kalian lanjutin aja kenalannya," ucapku tersenyum.
"Iya silahkan aja nggak apa-apa kok," jawab laki-laki yang duduk di depan Elsa.
Aku pun kembali ke mejaku semula. Aku mempersilahkan si cowok untuk duduk di depanku sedangkan aku sendiri duduk di sebelah Nela.
"Mas namanya siapa? Udah temenan lama ya sama Mas Alfan?" tanyaku memulai percakapan.
"Kenalin namaku Krish, aku rekan kerjanya Pak Alfan. Lebih tepatnya sih dia atasanku," jawab cowok yang ternyata bernama Krish.
"Kenalin juga namaku Nela, kalau temenku ini namanya Shifa. Dan yang sedang bersama Mas Alfan itu namanya Elsa. Kita satu jurusan di kampus," terang Nela.
"Wah pesanan kita udah datang. Makasih ya, Mbak," ucapku. Melihat makanan yang disajikan waitress di depanku membuat cacing-cacing diperutku berbunyi.
"Masnya pesen aja nggak perlu sungkan. Kita disini sama-sama laper makanya pesen makanannya banyak banget. Harap maklum ya," ujarku sedikit tertawa.
"Iya Mas Krish pesen aja disini makanannya enak-enak kok," ucap Nela menyetujui ucapanku.
"Ya udah, Mbak, aku pesen kopi latte aja ya sama onion rings. Udah itu aja," kata Krish kepada waitress.
"Baik Mas silahkan ditunggu."
"Mas Krish kok pesennya cuma itu aja. Kita jadi malu nih udah terlanjur pesen banyak gini," ucap Nela.
Aku menganggukkan kepala sambil memakan steak ayamku. Aku benar-benar lapar sehingga aku melupakan sopan santunku untuk menunggu pesanan Mas Krish datang.
"Enggak apa-apa kalian makan saja aku udah kenyang kok. Beneran deh. Oh iya kita saling follow facebook yuk sama boleh nggak minta nomer whatsapp kalian biar kita terus terhubung," ajak Krish.
"Boleh-boleh. Siapa nama facebook Mas Krish biar aku add pertemanan," ucap Nela sopan.
Akhirnya suasana pun tidak canggung sama sekali. Sesekali aku melihat meja tempat Elsa duduk, aku ingin memastikan kalau Elsa baik-baik saja dan tidak gugup seperti tadi. Aku juga melihat sosok Alfan yang entah kenapa bisa menarik perhatianku.
*****************
"Elsa, gimana pertemuan kamu sama Alfan?" tanya Nela.
"Dia ganteng sih, tutur katanya juga sopan. Aku tiba-tiba merasa jatuh cinta pada pandangan pertama nih," sahut Elsa.
"Ciiieee.. Respon dia bagaimana pas ketemu sama kamu? Apa dia bilang mau ngajakin kamu serius?" tanyaku penasaran.
"Enggak sih dia nggak bilang apa-apa masalah itu. Kita kemaren cuma bicara tentang kesibukan masing-masing. Ternyata dia wakil direktur di Rumah Sakit Harapan Bunda dan temannya yang dia ajak kemaren itu salah satu dokternya," jawab Elsa.
"Wah.. hebat ya. Padahal umurnya masih 30 tahun tapi udah jadi wakil direktur," ucapku kagum.
"Iya hebat banget. Padahal Krish kemaren enggak cerita apa-apa lho tentang pekerjaannya. Isi facebook-nya juga biasa saja kebanyakan foto travelling," jelas Nela.
"Kalian ngomongin apa sih. Aku ikut nimbrung dong," ucap Reno. Tiba-tiba Reno datang merangkul pundakku. Akupun kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
"Oh ini kami nyeritain Elsa yang sedang pdkt sama cowok. Kalian mau kencan ya," ujar Nela.
"Iya dong kami mau jalan-jalan ke Taman Indah beli eskrim. Iya kan, Sayang?" tanya Reno.
"Iya deh mumpung dosenku nggak masuk. Ayo kalau mau berangkat sekarang," balasku.
Sebenarnya Reno sama sekali nggak bilang mau ngajak ketemuan sebelumnya jadi aku santai-santai saja menikmati minuman mojitoku.
"Jalan-jalan kok cuma beli eskrim. Sekali-kali beliin perhiasan dong sekalian lamaran," canda Nela.
"Iya biar Shifa enggak gandeng cowok lain mulu," ucap Elsa menimpali.
"Sssttt.. Apaan sih. Ya udahlah ayo kita pergi, Sayang," ucapku sambil menggandeng tangan Reno. Aku ingin segera menjauhi Nela dan Elsa. Takutnya mereka bisa keceplosan kalau bukan cuma Reno saja yang aku pacari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!