NovelToon NovelToon

How To Love You

Natasya Putri

...Note : Novel ini merupakan karya pertama saya yang saya revisi. Jadi maafkan kalau penyusunan kata-kata dan bahasanya amburadul dikarenakan author masih penulis amatiran....

...Oh iya, cerita ini tidak termasuk dalam kategori CEO yang sangat laris dan banyak digandrungi oleh kaum emak-emak. Jadi kalian tidak akan menemukan sultan dengan kekayaan tanpa batas di dalam cerita ini, ya😁...

... Cerita ini hanya berkisah tentang perjalanan cinta seorang gadis desa yang dikejar oleh dua orang pria tampan sekaligus.😎...

...Awalanya author menulis cerita ini (kurang lebih 1 setengah tahun yang lalu) karena author ingin menulis kisah perjalanan cinta author beberapa tahun silam sebelum bertemu dengan suami🙈 Tapi entah kenapa semakin ke sini ceritanya makin melenceng😅😂🤭 Tapi pokoknya garis besarnya mirip lah gitu 🤣🤭 ...

...Yang penasaran dengan kisah author, eh🙊 kisah cinta Tasya bersama Hendra dan Fathur, silahkan scrool ke bawah ya guys😉😁...

...🌹🌹🌹Happy Reading🌹🌹🌹...

...****************...

Namaku Natasya Putri, umurku 20 tahun. Saat ini aku bekerja di sebuah toko percetakan yang ada di desaku, yaitu Toko Mentari yang letaknya di desa Tadanpili.

Letak toko percetakan tempat aku bekerja tidak jauh dari rumahku, hanya berjarak sekitar 1 kilo meter saja. Untuk sampai ke sana aku hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja menggunakan skuter matic merek Foni berwarna merah kesayanganku .

Meski pun aku tinggal di desa, tapi toko percetakan tempat aku bekerja selalu ramai setiap harinya. Itu karena letaknya yang sangat strategis, yaitu tepat di samping sekolah SMP Negeri 1 Sabangpiri dan SDN 54 Tadanpili, ditambah lagi letaknya juga sangat dekat dengan Kantor Desa Tadanpili. Jadi toko milik pak Rahmat tempat aku bekerja tersebut tidak pernah sepi pengunjung, bahkan di saat hari libur sekali pun. Sampai-sampai aku dan teman kerjaku yang bernama Dewi harus bergantian mengambil jatah libur setiap minggunya. Kami tidak boleh mengambil jatah libur secara bersamaan.

Arloji di tanganku baru saja menunjuk angka pukul 06.00 lewat beberapa detik, tapi aku sudah memacu motorku menuju tempat kerja. Ya, seperti ini lah keseharianku. Aku harus berangkat ke toko pagi-pagi sekali karena biasanya sebelum pukul setengah 7 pagi sudah banyak anak sekolah yang datang untuk membeli perlengkapan belajar mereka ini dan itu.

Toko percetakan tempat aku bekerja menjual berbagai macam ATK, melayani jasa foto copy, print, scan, laminating, cetak undangan, dan lain sebagainya.

Oh iya, seperti yang aku katakan tadi, jarak antara tempat tinggalku dan toko sangatlah dekat. Jadi tidak butuh waktu lama untuk aku sampai ke sana. Hanya butuh waktu beberapa menit saja, tidak memakan waktu sampai 5 menit karena jalanan yang sangat mulus. Jadi tidak ada kendala sama sekali.

Saat aku memarkirkan motorku tepat di depan toko, aku melihat pak Rahmat si pemilik toko memang sudah selesai membuka pintu tokonya lebar-lebar. Jadi aku bisa langsung masuk tanpa perlu duduk menunggu di emperan toko.

"Assalamu'alaykum, Pak," sapaku pada bosku tersebut.

"Wa'alaykum salam," jawab pak Rahmat.

"Dewi belum datang, Pak?" tanyaku seraya berjalan memasuki toko.

"Belum," jawabnya singkat.

Oh iya, pak Rahmat dan istrinya sudah berteman baik dengan ayah dan ibuku sejak mereka masih muda dulu. Makanya, aku bisa dengan mudah masuk bekerja di toko ini setelah aku lulus di SMK satu tahun lebih yang lalu.

Di usiaku yang seharusnya mengenyam bangku kuliah seperti anak-anak seusiaku pada umumnya, terpaksa aku harus bekerja mencari nafkah. Aku bekerja mencari uang untuk diriku sendiri, bukan untuk menafkahi keluargaku karena ayahku masih sanggup untuk bekerja mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya.

Aku berasal dari keluarga sederhana. Pekerjaan ayahku hanya seorang petani dan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Aku anak kedua dari 4 bersaudara, kakakku seorang laki-laki dan kedua adikku perempuan, yang masing-masing duduk di bangku SMK dan SMP.

Melihat keadaan perekonomian keluargaku, saat aku lulus sekolah, aku memutuskan untuk tidak mendaftar di universitas. Meski pun sebenarnya aku sangat ingin melakukannya, tapi aku tidak boleh egois, kedua adikku jauh lebih membutuhkan biaya sekolah dari pada aku. Cukuplah biaya sekolah mereka berdua yang ditanggung oleh kedua orang tuaku saat ini.

Aku harus bekerja mencari uang, kemudian menabungnya untuk biaya kuliahku paling lama 1 tahun lagi ke depannya, karena saat ini uang tabungan dalam rekeningku sudah lumayan.

Sejujurnya aku sangat ingin mendapatkan gelar sarjana karena aku ingin mencari pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih tinggi. Aku sangat ingin membahagiakan keluargaku, terutamanya ayah dan ibuku yang sudah membesarkanku dengan penuh kasih sayang sejak aku terlahir ke dunia hingga detik ini. Bahkan saat aku masih di dalam perut ibuku pun mereka memang sudah menyayangi dan menjagaku dengan baik.

Kembali pada aktifitasku di tempat kerja. Saat aku tengah melakukan bersih-bersih di dalam toko, sahabat sekaligus teman kerjaku, Dewi, akhirnya datang. Dewi seumuran denganku dan dia merupakan teman sekelasku dulu saat kami sama-sama duduk di bangku SMP.  Sayangnya saat kami lulus SMP, kami memiliki pilihan yang berbeda. Aku memutuskan untuk menuntut ilmu di SMK Negeri 1 Sabangpiri dan mengambil jurusan TKJ (Teknik Komputer Jaringan), sedangkan Dewi memilih bersekolah di SMA N 1 Sabangpiri dan mengambil jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial).

Berdasarkan jurusan kami tersebut, di toko, kami membagi tugas kami masing-masing. Dewi di bagian penjualan melayani para pembeli sedangkan aku di bagian pengetikan, print, foto copy, laminating, dan lain sebagainya. Pokoknya di bagian percetakan, bergelut dengan berbagai macam mesin yang berhubungan dengan tugasku tersebut.

"Tumben kamu di antar, Wi? Motor kamu ke mana?" tanyaku pada Dewi. Tadi aku melihatnya diantar oleh seorang pria paruh baya yang tidak lain adalah bapaknya.

"Motor aku lagi di bengkel. Tadi pas aku mau kesini, eh tiba-tiba bannya kempes. Jadi terpaksa deh aku diantar sama bapak."

"Oh, gitu."

Melihatku membersihkan toko, gadis yang berhijab sama sepertiku itu tidak tinggal diam begitu saja, dia segera mengambil kemoceng kemudian membersihkan lemari etalase kaca dari debu-debu yang menempel, serta kotoran-kotoran lainnya yang mungkin saja ada hingga lemari tempat barang jualan tersebut benar-benar bersih.

Beberapa saat kemudian.

Setelah pekerjaan bersih-bersih kami selesai, kami pun duduk bersama di balik lemari etalase toko sambil mengobrol. Kebetulan pagi ini pekerjaanku tidak banyak, jadi aku membantu Dewi di bagian penjualan.

Saat kami tengah sibuk melayani pembeli yang terdiri dari beberapa orang anak SMP serta beberapa orang anak SD, tiba-tiba sebuah motor M-Nax hitam berhenti tepat di depan toko. Pemuda pemilik motor tersebut memarkirkan motornya tepat di samping motor kesayanganku.

Melihat kedatangan pemuda itu, Dewi yang saat itu berdiri tepat di sampingku pun menyenggol pelan lenganku menggunakan sikunya.

"Ehm, ehm." Dewi sengaja berdehem untuk menggodaku.

Aku berdecak. "Ck, apa sih, Wi?"

Aku segera memutar badanku, berpura-pura mencari sesuatu. Padahal sebenarnya aku tidak mencari apa-apa. Aku hanya tidak ingin bertatapan muka dengan orang itu. Ya, dia, orang yang baru saja datang itu, yang lengkap dengan seragam hitam putih khas pegawai honorer.

Tap tap tap.

Semakin jelas aku mendengarkan langkah kaki orang itu, semakin aku membungkukkan badanku. Aku berpura-pura mencari sesuatu di rak bagian paling bawah lemari toko.

Orang Itu (Hendra)

"Selamat pagi, Kak Hendra." Aku mendengar Dewi menyapa orang itu dengan sangat ramah seperti biasanya.

Ya, seperti itulah Dewi, semakin aku ingin menjauhi orang itu, semakin dia ingin membuatku dekat dengannya. Hng, Dewi ini sahabat yang sangat menyebalkan. Dia bahkan tidak tanggung-tanggung saat memuji orang itu di hadapanku. Saking kesalnya aku sampai mengatakan kalimat ini pada Dewi, 'kalau kamu suka, kak Hendra buat kamu aja, aku gak mau'.

Dasar menyebalkan. Dewi malah terkekeh setelah mendengarku mengatakan kalimat itu.

"Tasya, kamu sedang apa di situ?" Suara pertanyaan orang itu membuatku tersentak kaget. Sepertinya suaranya tepat berada di atas kepalaku.

Aku mendongak. Astaga. Ternyata benar. Kenapa dia bisa langsung tahu kalau aku bersembunyi di sini? Ini pasti ulah Dewi, tidak salah lagi. Dewi pasti diam-diam memberikan kode pada orang itu kalau aku bersembunyi di bawah sini.

Kenapa sih Dewi sangat mendukung agar aku menerima cinta orang itu? Aku 'kan sudah sering bilang kalau aku sudah memiliki orang yang aku suka, yaitu kak Fathur. Jadi tidak ada lagi tempat untuk laki-laki lain di hatiku. Dan satu lagi, aku juga sudah menekankan kalau aku tidak mau berpacaran, maunya langsung menikah. Kenapa Dewi ini sepertinya tidak bisa mengerti juga? Dewi benar-benar sangat menyebalkan sekali ya jadi orang, susah sekali dikasih tahu.

"Tasya ...." Kali ini orang itu memanggilku dengan nada lembut yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata. Pokoknya, telingaku terasa geli mendengarnya. Iih.

Aku berdiri dari posisiku, sembari berpura-pura tersenyum. Senyuman yang benar-benar tidak ikhlas ini aku pamerkan di hadapannya.

"Iya, Kak." Aku menjawab dengan lembut dan sopan karena memang seperti itulah cara berbicaraku yang sesungguhnya, apalagi kepada orang yang lebih tua dariku.

Dia tersenyum padaku. Manis ... sekali. Dia sangat tampan, mirip Irwansyah. Tapi sayangnya, seberapa tampan pun dia, dia belum mampu menggeser posisi kak Fathur di hatiku.

Jika kalian penasaran seperti apa wajah kak Fathur, kalian bisa mencari nama 'Aditya Surya Pratama' di mesin pencarian Google atau pun di Instagram. Dia sangat mirip dengan dokter tampan sskaligus model tersebut.

"Kamu sedang apa tadi di bawah sana?" Dia kembali bertanya padaku. Kali ini diiringi dengan senyuman dan tatapan yang sepertinya sudah mengunciku sebagai target. Sepertinya tatapannya itu tidak bisa lagi kemana-mana selain hanya menatapku seorang.

Aku yang ditatap seperti itu tentu saja merasa malu dan salah tingkah.

Orang ini kenapa sangat tidak bisa menjaga pandangannya saat bertemu denganku? Batinku.

Aku lalu menjawab pertanyaannya tadi dengan gelengan kepala. Aku malas meladeni atau pun berbicara dengannya. Jika aku terus menjawab saat dia mengajakku berbicara, dia pasti tidak akan pernah mau pergi meninggalkan toko ini. Pasti dia ingin terus mengobrol denganku.

Tidak. Aku tidak akan memberikannya peluang untuk dekat denganku, apalagi harapan palsu. Aku tidak mau menyakiti hatinya, hati laki-laki mana pun. Aku takut terkena karma. Haha.

Aku pikir, aku harus mencari cara untuk segera pergi dari hadapannya sekarang juga. Jika aku terus berdiri di sini membantu Dewi melayani pembeli, dia pasti tidak akan pernah mau pergi dan memilih untuk tetap duduk anteng di kursi meja kerjaku sambil terus menatapku tiada henti.

Orang itu bebas keluar masuk toko ini karena pemilik toko ini adalah omnya. Pak Rahmat adalah adik kandung pak Gunawan, papanya kak Hendra.

Ahha, sepertinya aku ada ide. Berbohong untuk kebaikan kami masing-masing tidak ada salahnya 'kan?

"Wi, aku ke toilet sebentar ya. Perut aku tiba-tiba mules nih." Aku sengaja berbohong agar bisa segera menghindar dari orang itu.

"Kak, saya pamit ke belakang dulu ya," kataku, sambil tersenyum paksa dan mengangguk sopan ke arahnya.

Belum sempat dia menjawab aku sudah berlari ke belakang.

Setelah berlalu sekitar 10 menit, aku akhirnya merasa cukup untuk bersembunyi di dalam kamar mandi. Aku pikir orang itu mungkin sudah pergi. Dan setelah aku cek, ternyata memang benar, dia sudah pergi. Pasti sekarang dia sudah pergi ke tempat kerjanya. Sudah waktunya nya aku keluar sekarang.

Aku heran, anak orang kaya seperti dia kok mau-maunya sih bekerja sebagai staf honorer di sekolah. Gajinya 'kan tidak seberapa. Ah, entahlah? Aku tidak mengerti dengan cara berpikir anak orang terkaya nomor dua sekecamatan Sabangpiri itu. Bisa-bisanya dia membuang-buang waktunya begitu saja.

Saat aku kembali, pembeli sudah nampak sepi. Di jam seperti ini, bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi. Artinya, tidak ada lagi anak sekolah yang berkeliaran di luar pekarangan sekolah. Mereka semua sudah masuk ke dalam kelasnya masing-masing untuk belajar. Sama halnya dengan orang tadi yang profesinya sebagai staf TU di sekolah tersebut.

Aku berjalan menghampiri Dewi. Saat melihatku kembali, dia lalu bertanya, "Kamu kok lama banget sih di kamar mandinya?"

"Karena urusan yang satu itu baru aja selesai, Wi. Kamu kok makin lama makin cerewet sih kayak ibu-ibu?" kataku, seraya duduk di kursiku sendiri. Tepatnya di depan komputer.

"Tuh, ada tugas buat kamu." Dewi menunjuk flashdisk berwarna putih yang tergeletak di atas meja kerjaku.

"Apa ini?" tanyaku, meminta penjelasan.

"Kata kak Hendra, di dalam flashdisk itu ada file yang isinya mau diprint."

"Oh." Aku segera mencolok flashdisk tersebut di CPU komputer.

"Filenya yang mana, Wi? Foldernya banyak banget. Aku 'kan jadi bingung." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan tertutupi oleh hijab.

"Emang tadi kak Hendra bilang apa sih?" imbuhku.

"Ya dia cuma bilang ada file yang mau diprint. Aku juga gak nanya file apaan. Oh, atau gini aja, kita tunggu aja kak Hendra datang lagi ke sini nanti, baru kita tanya," usul Dewi.

"Ya udah deh. Daripada kerjain tapi salah-salah juga. Mending gak usah dikerjain sekalian."

...----------------...

Beberapa jam kemudian.

Saat jam istirahat di sekolah tiba, orang itu datang lagi ke toko.

"Bagaimana? Apa filenya sudah selesai di print?" tanyanya.

Tanpa menoleh pun aku bisa tahu kalau dia sedang berjalan ke arahku, dan sekarang sepertinya sudah berdiri tepat di belakang kursiku. Aku bisa merasakan kalau dia meletakkan kedua tangannya di sandaran kursiku. Reflek aku memajukan badanku ke depan. Aku tidak mau laki-laki ini menyentuhku.

"Maaf, Kak. Saya gak tau file mana yang mau Kak Hendra cetak." Aku membuka isi flashdisk nya. Di layar monitor terpampang hampir 10 folder yang tidak tahu entah apa isinya. Aku juga tidak berani membukanya dari tadi.

"Oh iya, ya. Tadi aku lupa mengatakan folder mana yang isinya mau suruh kamu cetak."

Gerakan tangannya tiba-tiba saja mengejutkanku. Untung saja aku segera menarik tanganku yang tadinya aku letakkan di atas mouse. Hampir saja dia menyentuh punggung tanganku.

Kenapa aku merasa ada yang tidak beres? Aku curiga, sepertinya dia memang sengaja melakukannya.

"Filenya yang ini?" Aku bisa mendengar dengan jelas kalau dia berbicara tidak jauh dari telingaku. Tubuh kami saat ini terlihat sangat dekat sekali, dan itu sukses membuatku risih.

Aku tahu, dia sudah menyukaiku dan mengejarku sejak lama, tapi tidak seperti ini caranya. Aku tidak suka laki-laki yang lancang karena kesannya sangat kurang ajar dan tidak menghargai gadis berhijab sepertiku.

Aku segera bergeser dari kursiku, kemudian berdiri sekitar dua meter darinya. "Mohon maaf sebelumnya, Kak. Bisakah kak Hendra mengerjakannya sendiri? Saya mau ke toilet."

Fathur

Author PoV

Di dalam sebuah apartemen di pusat kota Marakas, seorang pemuda tampan sedang mengemasi barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam koper.

Pemuda itu  adalah Fathur Rahman/Fathur, putra orang terkaya nomor satu sekecamatan Sabangpiri. Saat ini Fathur sudah menyelesaikan studinya di salah satu universitas bergengsi di kota Marakas, yaitu di Universitas Sahanuddin (UNSAH).

Sekarang pemuda berusia 25 tahun tersebut ingin kembali ke kampung halamannya untuk mengelola usaha dan bisnis besar milik kedua orang tuanya.

Di dalam keluarganya, Fathur adalah anak laki-laki satu-satunya. Jadi dialah yang akan menjadi penerus bisnis sarang burung walet beserta toko tani terbesar milik kedua orang tuanya. Kakaknya seorang perempuan, sudah menikah dengan pengusaha sukses, punya dua orang anak, dan menetap di kota Marakas.

Setelah selesai mengemasi barangnya, Fathur pun segera memakai jaket jeans berwarna hitam ditambah kacamata hitam kesayangannya.  Setelah itu dia segera berangkat.

Dret dret.

Ponsel Fathur tiba-tiba berdering begitu dia baru saja memasuki mobilnya.

"Halo, Ma." Fathur menjawab panggilan telepon tersebut yang ternyata dari mamanya, ibu Susi.

"Halo, Fathur." Terdengar suara sahutan bu Susi di ujung  telpon.

"Iya Ma."

"Kamu sudah di mana sekarang Sayang?"

"Ini Ma, Fathur baru mau berangkat," jawab Fathur, sambil mengenakan safety belt.

"Oh. Ya sudah, hati-hati di jalan yah, Nak," pesan bu Susi sebelum menyudahi obrolan mereka di telepon.

"Iya, Ma."

Setelah panggilannya dengan sang mama ditutup, Fathur pun segera tancap gas menuju desa kelahirannya.

"Bismillah, semoga selamat sampai tujuan."

Sudah lama Fathur tidak kembali ke kampung halamannya. Terakhir kali dia kembali tiga tahun yang lalu, itupun hanya menginap semalam saja di rumah orang tuanya lalu kembali lagi ke kota Marakas. Dia sangat jarang pulang kampung dikarenakan kesibukannya yang sangat padat.

Selain urusan kuliah, pemuda itu juga mempunyai banyak urusan lainnya. Ditambah lagi perjalanan dari kota Marakas menuju desa Tadanpili yang hanya bisa ditempuh menggunakan jalur darat. Butuh waktu setengah hari untuk bisa sampai.

Setiap Fathur rindu pada kedua orang tuanya ataupun sebaliknya, Bu Susi lah yang akan datang berkunjung ke kota Marakas untuk bertemu dengan kedua anaknya. Kadang juga Pak Rahman ikut, itu pun kalau beliau sedang tidak sibuk.

..._____________...

Tidak terasa jam sudah menunjuk angka pukul 17.00 waktu setempat. Sekarang sudah waktunya Tasya dan Dewi pulang. Kali ini mereka pulang lebih awal karena saat itu pekerjaan di toko tidak begitu banyak. Biasanya saat mereka sibuk, mereka bisa sampai lembur hingga pukul 9 malam.

Karena hari ini Dewi tidak membawa motor, Tasya pun memutuskan untuk mengantar sahabatnya itu pulang terlebih dahulu sebelum dia sendiri kembali ke rumahnya.

Sementara itu di waktu yang sama namun tempat yang berbeda.

"Selamat Datang di desa Tadanpili." Fathur bergumam seraya membaca tulisan sambutan selamat datang di wilayah perbatasan antara desa Tadanpili dengan kelurahan Talatunra.

"Huft ... lamanya baru pulang kampung, sudah banyak sekali perubahan di desa ini, mulai dari jalanannya sampai bangunan-bangunannya. Berarti pembangunan dan perekonomian masyarakat di desa ini pasti mengalami banyak peningkatan dibandingkan beberapa tahun yang lalu." Fathur berbicara sendiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya saat memperhatikan keadaan desa tempat dia di lahirkan 25 tahun silam.

"Ah ... lama-lama nyetir pegel juga ya ternyata," keluh Fathur sambil menggoyang-goyangkan bahunya dan sesekali dia juga mengangkat bokongnya.

Dari arah yang berlawanan, dia melihat seorang gadis cantik berhijab yang sedang mengendarai skuter matic merah merek Foni.

Cewek itu sangat mirip dengan Tasya, apa kabar ya dia sekarang? Pasti sekarang dia sudah besar. Fathur membatin sambil senyum-senyum sendiri.

Terakhir kali mereka bertemu saat acara syukuran yang diselenggarakan di rumah pak Ahmad, pamannya Fathur 5 tahun silam. Saat itu setelah mereka makan bersama, Fathur pun mengantar Tasya bersama Tania dan juga Tantri untuk pulang ke rumah. Tania dan Tantri adalah kedua adik kandung Tasya.

Fathur tidak sadar kalau ternyata gadis yang dia lihat barusan itu memang benar Tasya. Dia tidak terlalu mengenali gadis itu karena mereka berdua sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu ditambah lagi Tasya yang kini sudah berhijab.

"Oke ... sudah sampai, Wi." Tasya menghentikan laju motornya tepat di depan pintu gerbang kayu kediaman Dewi beserta keluarganya.

"Oke Tasy, makasih ya." Dewi berucap seraya turun dari motor.

"Sepuluh ribu aja, Bu." Tasya bercanda seraya menengadahkan tangannya ke arah Dewi. Kedua gadis itu pun lalu tertawa bersama.

"Mampir dulu yuk, Tasy."

"Lain kali aja, Wi. Soalnya udah mau malam nih," tolak Tasya.

"Oh, ya udah kalo gitu."

"Oke. Aku balik dulu yah. Dah ...!"

"Oke dadah ... jangan ngebut-ngebut, kasian 'kan kak Hendra kalo kamu sampe kenapa-kenapa." Dewi memang sangat senang sekali menggoda sahabatnya itu. Melihat Tasya marah membuatnya gemas sendiri.

"Idih ... kok dia yang kasian. Bukannya aku yang kasian kalo aku sampe kenapa-napa? Kamu ini gimana sih, Wi?" Tasya memicingkan matanya ke arah Dewi. Dia tidak habis pikir dengan cara berpikir sahabatnya tersebut. Sepertinya Dewi lebih memikirkan orang lain ketimbang sahabatnya sendiri.

"Iya, karena kak Hendra itu sayang banget sama kamu. Hehe. Kamunya aja yang gak mau buka hati."

"Ih ... bener-bener ya nih orang. Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi ke aku, aku geli mendengarnya." Tasya bergidik.

"Aku 'kan udah bilang, kalau aku gak suka sama dia. Kalo kamu suka ya dia buat kamu aja," kata Tasya menekankan, sepertinya dia mulai kesal pada sahabatnya tersebut.

"Jangan marah-marah, Bu. Nanti cantiknya luntur. Haha."

"Ya udah, pulang sana. Aku gak tahan liat cewe cantik marah-marah," goda Dewi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!