NovelToon NovelToon

Mencintai Pria Lumpuh

Awal Mula

Dimas Abraham disambut udara panas nan menyengat setibanya di terminal kedatangan Bandara XXX. Dengan terburu-buru dia mencari taksi.

Dimas segera masuk saat sebuah taksi berhenti tepat dihadapannya. Suara AC didalam taksi mendesing dengan keras, tapi hanya terasa menghembuskan hawa panas saja. Dengan letih Dimas menjatuhkan kepalanya di kursi belakang.

Ya Tuhan! Musim panas ini pasti telah membuatku sakit.

Dimas menghela nafas, mencoba untuk merasa lebih nyaman. Anehnya, seluruh tubuhnya terasa kaku. Dia masih bisa merasakan betisnya- tapi kakinya terasa seperti dicor dengan semen.

Ketika Dimas mencoba untuk melonggarkan dasinya, jemarinya terasa begitu kaku, seperti mati rasa untuk selamanya.

Apa-apaan ini?

Untungnya Dimas punya waktu untuk istirahat nantinya di hotel. Kemudian Dimas melihat berkas-berkas yang dibawanya sebelum menelepon Kevin. Jika laporan asistennya itu akurat, bisnis Akira, adalah bisnis yang bagus, - namun minim anggaran, tetapi mempunyai potensi yang sangat baik.

Akira telah melakukan yang terbaik untuk pekerjaan barunya.

Siapa yang bisa percaya bahwa dia bisa membangun sebuah butik dengan pakaian yang di desain sendiri?

Berdasarkan laporan Kevin, Akira akhirnya mendapat ilmu tentang bisnis dalam tiga tahun keduanya berpisah. Tapi sekarang, seperti sebelumnya, Akira melangkah terlalu jauh.

Dimas menghela nafas panjang. Akira terlalu banyak mengalokasikan dana untuk sebuah pagelaran fashion show. Sebagai konsekuensinya bisnis Akira kekurangan modal. Dan itulah alasan mengapa Dimas ada di kota ini

Ketika taksi berhenti didepan hotel XXX, Dimas mecoba menarik uang yang ada disaku bajunya.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan jari-jariku? Kenapa begitu sulit untuk digerakkan?

Dimas lalu memberikan ongkos dan segera keluar dari taksi. Tenaganya terasa kembali pulih karena hawa dingin dari lobi hotel.

Dimas berjalan ke arah meja resepsionis. Setelah selesai dengan urusan check in, Dimas kemudian mengikuti pelayan menuju kamarnya.

"Mari Tuan, saya bawakan barang anda." ucap seorang pelayan laki-laki.

Dimas lalu menyerahkan kopernya, lalu berjalan menuju lift.

Kamar Dimas berada di lantai paling atas, kamar tipe presidential suite room.

Pintu lift terbuka, Dimas lalu menyodorkan uang tips pada pelayan itu.

Saat masuk ke kamar kaki Dimas mulai terasa kaku. Berharap dengan tidur siang sebentar bisa membuatnya segar kembali. Dimas menjatuhkan diri diatas ranjang dan tertidur.

Cukup lama Dimas tertidur, hingga saat dia membuka mata, kamar menjadi begitu gelap.

Aku pasti tidur berjam-jam. Sudah jam berapa ini? gumam Dimas

Dimas lantas melirik jam yang ada dipergelangan tangannya itu. Ketika hendak bangun, kakinya tidak bisa diajak bekerjasama.

Apa yang salah dengan diriku? Apa mungkin aku terkena flu atau demam?

Dimas sebenarnya tidak punya waktu untuk sakit disaat seperti ini. Dimas harus menyelesaikan pekerjaannya. Dan berjanji pada dirinya sendiri untuk berlibur selama sebulan.

Dengan perlahan Dimas mencoba untuk mengatur posisinya agar bisa duduk, kemudian mengangkat gagang telepon dan menaruh ditelinga nya, dan menelepon dokter di rumah sakit XXX.

Ketika Bayu Anggara menjawab, Dimas dengan cepat menjelaskan bahwa ia merasakan kaku dan begitu lemahnya pundak dan otot kakinya.

“Coba kau ingat-ingat Dim, apa kau merasakan sensasi terbakar di telapak kakimu?”

“Ya, mulai dari tadi pagi. Kenapa?” tanya Dimas.

“Itu mungkin gejala awalnya. Apakah kau merasa sulit untuk bernafas?”

“Tidak.”

“Apakah kau merasa sulit untuk menelan?”

“Tidak.”

“Apakah kau memperhatikan atau apapun itu tentang bagaimana rasa makananmu?”

“Aku tidak sarapan. Yang aku ingat semalam makan malam ku terasa aneh.” Dimas mencari kata yang tepat untuk menjelaskan. “ Seperti logam.”

“Apakah kau terkena flu atau semacam virus yang tidak aku ketahui?”

“Aku merasa sangat buruk tiga minggu yang lalu, hanya beberapa hari, tapi tidak sampai mengganggu tidurku. Ada apa sebenarnya Bayu? Bukankah kau bilang aku hanya terkena virus du jour dan hanya memerlukan aspirin. Tidak bisakah kau memberiku resep obat? Pelayan akan menyiapkannya untukku.” ucap Dimas

“Tidak sesimpel itu, Dimas. Aku tidak bisa mendiagnosa mu hanya melalui telepon, tapi aku khawatir dengan gejala-gejala yang kau rasakan. Itu bisa saja menandakan penyakit yang serius dan kau perlu diperiksa lebih lanjut. Dimana kau sekarang?” tanya Dokter Bayu yang merupakan sahabat Dimas.

“Aku di kota XXX. Mencoba untuk membantu Akira. Terdengar aneh kan, dia sekarang menjadi fashion designer, tapi dia sendiri sejak dulu tidak pernah suka mengenakan pakaian bermodel?”

“Lupakan dulu urusanmu itu” jawab Bayu dengan cepat. “Segera telepon ambulan dan pergilah ke rumah sakit XXX. Aku akan menelepon kenalanku disana, Jerry Miller, ahli syaraf. Dia akan menemui mu diruang emergency atau kau bisa meminta orang lain untuk membantumu.” jelas Dokter Bayu lagi.

“Aku tidak punya waktu untuk sakit. Aku….”

“Segera telepon ambulan Dimas. Sekarang juga. Bicaralah dengan Jerry. Mari berharap kekhawatiran ku ini terlalu berlebihan, semoga semuanya baik-baik saja, tapi jangan ambil resiko.” potong Dokter Bayu.

Sambungan telepon terputus.

Dimas memutuskan untuk pergi menggunakan taksi daripada harus menggemparkan hotel dengan memanggil ambulan. Tapi saat dia mencoba untuk berdiri, kakinya roboh dan tubuhnya jatuh kesamping tempat tidur.

Berusaha berlutut, Dimas berusaha menelepon operator dan meminta bantuan pelayan.

Apa yang sebenarnya terjadi padaku?

Dimas berada dalam kondisi yang prima. Namun, tubuhnya lemah. Basah. Keringat dingin mengalir ke seluruh tubuhnya, dipunggung dan di dadanya.

Dimas mengedipkan mata karena cahaya terang lampu menyilaukan matanya, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.

Aku pasti berada didalam ambulan yang sudah ditelepon oleh manager hotel tadi, pikirnya.

Dimas melihat sekilas, dirinya terbaring di tempat tidur dikelilingi empat atau lima orang yang memeriksa tangan dan kakinya. Seorang perawat merobek pakaiannya. Dokter menepuk perlahan, mendengar denyut jantungnya. Dimas mendengar dengungan dan berbagai macam bunyi klik dan biip.

Tenggorokannya kering, lidahnya terasa kelu. Dimas kesusahan untuk berbicara. “Apa ini?”

“Istirahatlah Pak Dimas, jangan buang tenaga anda.” jawab seorang perawat.

Membuang tenaga dengan hanya dua kata? Apa maksudnya?

Dimas kembali bertanya “Apa ini?”

Tidak ada yang menjawab. Dingin, ketakutan akan lumpuh menggerogoti pikiran Dimas, dan dia mencoba mengontrol pikirannya untuk tidak panik dengan memikirkan sesuatu, apapun itu yang bisa menyingkirkan pikirannya dari mimpi buruk ini.

Pekerjaan.

Dimas mulai fokus dengan laporan yang diberikan Kevin.

Ya, aku akan membantu Akira untuk terakhir kalinya.

Dimas akan memberikan Akira bantuan dana untuk menyelenggarakan fashion show yang akan membuat bisnis Akira semakin dilirik penikmat fashion dan hal itu akan semakin mendapat keuntungan lima kali lipat dari pendapatan Akira selama ini.

Berharap kesalahannya dimasa lalu tidak akan mengusik pikirannya lagi.

Ya Tuhan, begitu cintanya aku terhadapmu Akira.

Akira Abraham

Kelelahan, Akira Olivia mengangkat kepalanya tegak dan menggosok lehernya dengan jemarinya. Silau cahaya lampu yang ada diatas meja membuat matanya serasa terbakar. Mencoba memijit pelipis dengan jarinya sambil menguap.

Akira kebingungan, harus segera mencari investor untuk menyelamatkan bisnisnya, Akira Fashion Designer. Tiga tahun dia merintis semuanya bersama neneknya, mendesain, membangun, membuat, dan menjual pakaian hasil karyanya.

Akira menarik nafas dalam-dalam dan menutup matanya sebentar.

Tidak mungkin, aku tidak boleh menyerah.

Akira harus memangkas biaya produksi sebanyak mungkin, tapi pakaian tersebut harus tetap dibuat. Karyawan akan tetap bekerja, dan dia harus menemukan cara untuk menangani masalah finansial ini.

 

Yang Akira perlukan adalah seseorang yang berani mengambil resiko memberikan bantuan kepada bisnis kecil yang dikelola oleh seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun yang tidak punya banyak pengalaman di dunia fashion.

 

Telepon berbunyi, dengan cepat Akira menuruni tangga, berharap neneknya baik-baik saja.

Siapa lagi orang yang akan meneleponku di jam dua pagi seperti ini?

“Halo apakah saya bisa bicara dengan Nyonya Akira Abraham?” ucap seorang wanita di seberang telepon.

“Siapa?” tanya Akira heran.

“Saya perawat dari rumah sakit XXX, nyonya. Saya mencoba menghubungi Nyonya Akira Abraham. Istri dari Tuan Dimas Abraham.”

“Dimas?”

“Apakah anda Nyonya Akira Abraham?”

“Aku rasa iya.” Tentu saja iya. “Iya,” imbuhnya, merasa sedikit malu.

“Tuan Dimas sekarang berada di rumah sakit XXX, kami belum menentukan diagnosanya, tapi Tuan Dimas sungguh sakit. Dia meminta kami menghubungi anda Nyonya.”

Terkejut terdengar dari suara Akira “Aku…?”

“Ya Nyonya.”

“Dia mencari aku?” tanya Akira sekali lagi dengan raut wajah penuh tanda tanya.

Nada suara perawat terdengar kesal. “Jika anda ingin melihat suami anda, Nyonya Abraham, dia ada di unit ruang perawatan intensif. Dia sepenuhnya sadar- tidak terluka ataupun dioperasi. Dia dapat dikunjungi kapanpun. Anda harus mengetahui bahwa kondisinya lumayan serius.”

Akira mendengarkan dengan baik penjelasan dari perawat itu, lalu menutup telepon.

Dimas ada di kota ini, di rumah sakit, dan mencari aku? Setelah tiga tahun diam membisu, sekarang dia mencari ku. Dimas pasti sangat sakit.

 

Akira berdiri didepan ruang ICU mendengar penjelasan Dokter Jerry, mencoba memahami apa yang dijelaskan oleh laki-laki botak dihadapannya tentang bagaimana kondisi Dimas saat ini.

 

“Lengan dan kaki Tuan Dimas secara parsial mengalami kelumpuhan, dan sepertinya akan lebih memburuk lagi. Ada jaringan yang rusak di tulang belakang dan ototnya. Meskipun begitu saya belum bisa memastikan, tapi saya yakin dia mengalami Guillain-Barre syndrome.”

Dimas lumpuh. Ya Tuhan, batin Akira.

Akira mengingat dengan jelas bagaimana kuatnya otot lengan dan kaki Dimas, badannya yang tegap, dadanya yang bidang, kekuatan dan kesenangan yang Akira rasakan dalam pelukan Dimas.

Akira mengubur segala kenangan manis itu selama tiga tahun, tapi kini semuanya kembali lagi.

Kenapa dia kembali lagi Tuhan?

 

Akira dan Dimas terlihat sangat serasi saat bersama, tapi itu dulu. Ketika cinta dapat menyatukan setiap perbedaan yang ada diantara mereka.

 

Akira menarik nafas dengan gemetar. Dia harus tahu yang sebenarnya. “Apakah dia merasa kesakitan Dokter?”

“Tidak, dia tidak akan merasa kesakitan. Meskipun tubuhnya mati rasa. Dia bisa merasakan tekanan, kehangatan, sentuhan, sama seperti biasanya.” jawab Dokter Jerry.

“Apakah dia sekarat?” Akira menggigit bibir karena mengatakannya. Ada perasaan takut yang berkecamuk di dalam dadanya.

“Ada banyak kasus kematian disebabkan oleh syndrome ini, tapi sekarang sudah berkurang. Bagaimanapun, kebanyakan kasus kematian yang disebabkan oleh syndrome ini adalah karena adanya gangguan pernapasan ketika otot dada yang digunakan untuk bernafas mengalami kelumpuhan. Sekarang Tuan Dimas berada di ICU jadi kami bisa memonitor pernapasannya. Hal positifnya adalah pernafasannya dalam keadaan normal saat ini.” jelas Dokter Jerry lagi.

“Apakah dia akan….” Bibir Akira menolak untuk mengatakan kata kelumpuhan. “Akankah dia sembuh?” Katakan iya Dokter!

“Kami tidak bisa memprediksinya. Masih terlalu dini. Kami juga belum bisa memastikan bahwa dia mengalami Guillain-Barre syndrome sampai kami melakukan tes lebih lanjut. Sebetulnya, kami tidak tau seberapa luas kelumpuhan itu akan menyebar ditubuhnya. Bisa jadi hanya sehari, mungkin seminggu. Lalu kami akan mengusulkan untuk rehabilitasi. Tapi kau harus tahu bahwa tidak ada gejala khusus dari Guillain-Barre syndrome. Beberapa pasien hanya mengalami lumpuh yang tidak terlalu parah, beberapa yang lain mengalami kelumpuhan yang cukup serius. Ada pasien yang bisa sembuh seratus persen, tapi kebanyakan mengalami kelumpuhan permanen, Nyonya Abraham.”

“Nona Akira, Akira Olivia,” ucap Akira membenarkan namanya dengan keadaan linglung, dan berpikir mengapa dengan cepat ia menyadari dokter menyebut namanya dengan salah.

 

Dimas sekarang lumpuh. Mungkin saja sekarat. Dan mencari diriku. Kenapa? Sejak aku meninggalkan Dimas tiga tahun yang lalu, Dimas tidak pernah menghubungiku. Lalu kenapa sekarang?

Mungkin Dimas menyadari bahwa pernikahan mereka tidak berjalan dengan baik. Hidup di kalangan menengah atas sebagai istri dari seorang pebisnis kaya yang terkenal. Akira tidak pernah merasa nyaman, hidup dalam aturan yang melemahkan semangatnya.

 

Tapi sekarang Dimas sangat sakit. Dan mencari dirinya, Akira tidak mungkin akan membiarkannya melewati ini sendirian.

Jika Dimas memang membutuhkan aku sampai Sofia kakaknya dan teman-temannya datang, maka biarlah.

 

Beberapa detik Akira berpikir.

Apakah Dimas akan melakukan hal yang sama jika berada di posisiku saat ini.

 

“Bisakah saya melihatnya Dokter? Apakah dia bisa berbicara?” tanya Akira.

“Anda boleh menemuinya Nona Akira. Dia terjaga, dan sejauh ini, kemampuan bicaranya tidak terganggu sama sekali.”

Sejauh ini!

“Demi kebaikan Tuan Dimas, saya menyarankan anda untuk sabar. Jadilah diri anda sendiri. Jangan perlakukan dia seperti orang yang cacat. Kesembuhannya tergantung pada emosinya.” saran Dokter.

Dokter Jerry lalu membuka pintu ruang ICU. “Tinggallah selama mungkin yang anda mau. Saya akan memeriksanya besok. Selamat malam.” ucap Dokter Jerry lalu melangkah pergi.

Sementara Akira diam mematung. Memilih berdiri di depan pintu tanpa berani melangkah masuk ke dalam.

Pikiran Akira masih berkecamuk.

Apa aku harus masuk? Tapi apa yang harus aku katakan?

Akira kemudian berjalan mondar mandir di depan ruang ICU. Menimbang-nimbang untuk masuk ke dalam, atau lebih baik pulang ke rumah.

Akira memilih duduk di bangku yang tersedia, lalu membuka ponselnya dan mencari tahu tentang penyakit yang diderita Dimas.

Akira mengetik kata Guillain-Barre syndrome di kolom pencarian.

Dahi Akira mengkerut, sorot matanya fokus membaca setiap isi artikel tentang syndrome itu.

"Ya Tuhan, kasihan sekali kau Dimas. Semoga kau tidak mengalami syndrome ini." ucap Akira.

Akira kemudian memasukkan ponsel ke dalam tas kecil yang ia bawa. Berdiri di depan pintu ruang ICU, merapikan rambut dan pakaiannya yang terlihat kusut lalu masuk.

Pertemuan Kembali

Akira mengedipkan mata melihat alat-alat medis dalam ruangan itu. Ruangan itu terbagi atas dua bagian dengan tiga tempat tidur terpisah. Seorang perawat memandang Akira sekilas

“Nyonya Abraham?”

 

Akira mengangguk, terlalu rumit jika harus memprotes perawat itu salah menyebut namanya.

“Suami anda adalah satu-satunya pasien kami diruang ICU malam ini. Kami memonitor detak jantung dan paru-parunya. Mari lewat sini Nyonya.” ucap perawat itu dengan ramah.

“Seseorang ingin menemui anda Tuan Dimas.”

Akira menguatkan dirinya. Dia memejamkan mata dan bernafas dengan tenang.

Ayo semangat Akira.

Akira membuka mata, memaksakan diri untuk tersenyum, dan melangkah mendekati Dimas.

“Dimas. Apa yang sedang dilakukan laki-laki kuat sepertimu ditempat ini?’ ucap Akira canggung.

Dimas sedang dalam posisi terduduk, dengan kepala disangga oleh tempat tidur yang ditinggikan, terlihat tidak nyaman karena tidak sesuai dengan tinggi tubuhnya, ada piringan putih kecil yang penuh dengan kabel-kabel kecil melekat di dada nya.

 

Akira menatap dagu Dimas, pipinya terlihat menghitam karena mulai ditumbuhi jenggot. Tubuh Akira merasa geli mengingat kenangan masa lalu dimana kulitnya seringkali lecet akibat kumis tipis Akira saat menciuminya.

 

Setelah tiga tahun, dan dalam keadaan yang begitu terpuruk, kehadiran Dimas tetap membuat Akira menjadi lembek.

Akira memegang ujung tempat tidur Dimas untuk menunjukan dukungannya terhadap Dimas.

“Kira? Apa yang…?” Dimas memindahkan lengan kirinya dengan perlahan dan mencoba meraih selimut. Dimas menarik selimut dengan canggung, ia mencoba menutupi tubuhnya.

Akira tidak tahu harus berbuat apa.

Apa aku harus membantunya? Atau membiarkannya melakukan sendiri.

Ajaibnya Akira dapat menemukan kembali suaranya setelah membisu beberapa saat.

 

“Apa yang ingin kau sembunyikan Dim? Masih ingat aku kan? Aku sudah pernah melihat seluruh tubuhmu kan sebelumnya” Akira mencoba mencairkan suasana yang canggung.

 

“Kenapa kau bisa ada disini? Apa yang kau inginkan?” Dimas menjawab dengan cepat.

 

Terlihat raut ketakutan dari wajah Dimas.

“Terima kasih seperti biasanya, bukan begitu Dimas? Aku adalah malaikat penolong yang kau panggil ditengah malam seperti ini.”

“Memanggilmu? Kau? Untuk apa aku melakukannya?” ucap Dimas sambil menarik selimutnya dengan sembrono.

Akira mencoba membantu.

“Tidak! Jangan!" teriak Dimas sambil mengalihkan pandangannya kearah lain. “Perawat…! Bisakah kau perbaiki selimut sialan ini. Disini dingin.” teriaknya lagi.

Terkejut karena teriakan Dimas, Akira beringsut mundur. Menunggu dengan tenang sambil melihat perawat memperbaiki selimut Dimas.

Saat perawat pergi, Akira kembali bicara.

"Dimas, seorang perawat meneleponku semalam dan mencari Akira Abraham. Butuh beberapa menit untuk menyadari bahwa itu adalah aku. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia tahu nomor teleponku. Dia bilang bahwa kau ingin menemui ku. Untuk itu aku datang. Mungkin ini hanya ada kesalahpahaman.”

Sesaat Akira diam, kemudian dengan tenang berkata “Aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggumu. Mungkin sebaiknya aku pergi.”

 

Cegah aku untuk pergi Dimas! Pinta Akira dalam hati.

Tapi apa pentingnya berada disini, dan kenapa aku berharap agar Dimas memintaku untuk tetap berada disampingnya?

“Jangan pergi! Tolong,” imbuh Dimas dengan lembut. “Aku tidak ingat memberikan nama dan nomor telepon mu, tapi aku pikir aku memang melakukannya—terima kasih sudah datang.” lanjut Dimas.

“Bagaimana aku bisa menolak saat kau mengatakan ‘tolong’ dan’terima kasih’ dalam satu paragraf? Apakah kau mulai menjadi lunak karena usia Dimas?" Akira mencoba mencairkan suasana yang agak canggung.

“Menjadi lunak karena bosan, mungkin. Tidak ada yang bisa aku lakukan disini.” Dimas menghela napas dan terlihat ketakutan dari raut wajahnya.

Di tahun-tahun mereka hidup bersama, Akira tidak pernah melihat Dimas ketakutan. Dimas hidup dengan mengontrol emosinya yang tidak pernah diperlihatkan karenanya sulit untuk ditebak oleh siapapun- kecuali saat mereka bercinta.

Dimas akan sangat menunjukkan hangatnya, kuatnya, dengan perasaan yang meledak-ledak.

Akira kembali mengenang masa lalu. Fokus mengingat malam terakhir sebelum dia pergi meninggalkan Dimas. Ketika Dimas bekerja hingga larut malam, lalu pulang dan langsung masuk ke ruang kerja meninggalkan Akira sendiri di meja makan yang sudah menunggunya beberapa jam yang lalu.

Andai saja Dimas sedikit saja lebih memperhatikannya, mungkin Akira tidak akan memutuskan untuk pergi…

Jarum jam menunjukkan waktu sudah menjelang dini hari. Tapi dua insan yang pernah hidup bersama memadu kasih itu, larut dalam obrolan nan hangat hingga tidak menyadari matahari sudah mulai muncul dari persembunyiannya.

“Apakah kau mau menceritakan padaku tentang Gullian-Bare syndrome ini?” tanya Akira.

“Tidak, kumohon, jangan sekarang. Bicarakan tentang hal yang lain saja yang kau mau. Alihkan saja perhatianku dari penyakit ini.” jawab Dimas.

“Apakah kau sudah menghubungi Sofia?” tanya Akira lagi.

“Tidak.”

“Bagaimana kabar kakak ipar ku? Aku belum pernah mendengar kabar darinya sejak dia berhenti menulis tentang tuntutan aturan untuk menjadi istri seorang Dimas Abraham.”

“Dia disibukkan dengan urusannya sebagai seorang istri, jadi dia tidak punya waktu untuk mengganggu ku. Tapi akhir-akhir ini dia sibuk mencari pengganti dirimu. Kau harus melihat beberapa kandidatnya dan bantu aku untuk memilih yang sama persis denganmu.” jawab Dimas.

Akira tertawa mendengar nada humor yang dilakukan Dimas.

“Beberapa dari mereka mungkin akan jauh lebih baik dariku.” Dimas tidak menggubris, lalu Akira kembali bicara. “Apakah kau ingin aku menghubungi Sofia?” lanjutnya.

“Boleh saja, tapi katakan padanya aku disini hanya untuk check-up.” ucap Dimas.

“Kenapa?” tanya Akira heran.

“Dia pasti datang hanya untuk menangis melihatku, tapi dia tidak akan bisa membantu.” Dimas mengangkat bahu dan kembali menghela nafasnya.

Akira mengganti topik pembicaraan, menanyakan Dimas tentang beberapa teman yang tidak pernah dia temui lagi sejak perpisahan mereka. Keduanya sama sekali tidak membicarakan tentang pernikahan mereka, tidak juga perpisahan mereka.

Perawat masuk membawakan sarapan untuk Dimas di atas sebuah nampan, Dimas berusaha mengambil sebuah sendok besar bubur, tapi terjatuh kedalam mangkuk bubur. Akira mencoba membantunya.

“Tidak, jangan! Pergilah cari menu sarapan mu sendiri,” ucap Dimas dengan kasar. “Kau pasti lapar Kira”

Akira berjalan keluar tanpa menoleh.

Kau masih saja seperti dulu.

Akira kemudian berjalan perlahan di lorong rumah sakit. Pikiran Akira berkecamuk, satu sisi ia memikirkan rencana fashion show yang beberapa hari lagi harus terlaksana. Namun, biaya yang menjadi kendala.

Di sisi lain, kini Akira juga memikirkan kondisi Dimas.

Sampai kapan ia akan begini?

Apa aku harus terus selalu menemaninya?

Apa aku sanggup?

Ya Tuhan, bantu aku.

Sejenak Akira berhenti, menatap ada seorang pasien yang tengah menggunakan kursi roda di taman. Lelaki itu terlihat memutar roda kursinya sendiri agar bisa bergerak maju.

Apa Dimas akan seperti itu juga?

Dengan cepat Akira menggeleng.

"Nggak mungkin, semoga saja tidak."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!