NovelToon NovelToon

Between Hate And Love

Prolog

Namira Cahya Sari Jamil, seorang wanita berusia 23 Tahun yang kini baru saja lulus di salah satu Universitas ternama di kota ini dengan predikat cumlaude. Tak tanggung-tanggung ia meraih IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) tertinggi di antara wisudawan yang kini tengah di wisuda. IPK yang ia raih sangat lah fantastis, 4.00 atau sempurna.

Menyandang gelar predikat wisudawati terbaik pada angkatan 2017 bukanlah prestasi yang pertama bagi gadis yang biasa di panggil Nami itu, ia juga pernah menjadi salah satu delegasi Mahasiswa Model United di Singapura. Selain itu ia juga merupakan salah satu Duta Baca Nusantara pada tahun 2016. Bukan hanya itu mungkin prestasi yang Nami raih selama hidupnya, masih banyak deretan prestasi yang pernah ia raih sepanjang hidupnya.

Waktu kecil ia juga pernah memenangkan beberapa lomba seperti lomba membaca, tulis, dan hitung saat TK, Menjuarai Olimpiade Matematika saat SD, dan saat beranjak SMP hingga SMA ia juga aktif di club MIPA dan English Debate.

Namira juga memiliki bakat lain seperti melukis. Ia pernah beberapa kali di percaya untuk mewakili sekolahnya di Lomba Melukis meski hanya tingkat daerah ketika ia masih SD. Dan lagi-lagi Namira benar-benar beruntung karena selalu mendapat posisi teratas.

Segundang prestasi tersebut membuat namanya selalu di elu-elukan oleh semua orang. Tak dapat di pungkiri kedua orang tuanya sangat bangga pada salah satu putrinya itu.

Berbanding terbalik dengan saudari kembarnya, Almira Bintang Sari Jamil. Panggilan kecilnya adalah Al, cukup sederhana, sesederhana penampilannya. Gadis yang sederhana, lugu dan sedikit urakan sejak kecil itu kini tumbuh apa adanya. ia awalnya tidak peduli jika banyak orang yang selalu menyibirnya termasuk ayahnya. Tapi semakin lama semakin terasa sakitnya.

Jika berbicara soal prestasi Almira itu bukan tipe orang yang terlalu suka mengejar prestasi, tapi bukan ia tak punya bakat sama sekali, ia memiliki salah satu bakat yang sama seperti Namira, yaitu melukis. Hanya saja kesempatan mengembangkan bakatnya itu tak pernah ia tunjukan baik untuk orang lain maupun orang tuanya. Ia hanya ingin hidup sesuai jalannya. Bukan karena ia bodoh, tapi Almira memang tidak suka memamerkan prestasi akademik apalagi non akademik seperti kakaknya. Dia juga tidak gila pujian, baginya selama hidupnya baik-baik saja tanpa merugikan orang lain itu sudah cukup.

Perbedaan antara Nami dan Al memang cukup ketara, bagai langit dan bumi. Atau bagai Matahari dan Bulan. mereka tidak bisa berjalan beriringan karena mereka berdua berada diarah yang berbeda.

Passion mereka berdua juga beda, mungkin hanya wajah dan bakat melukis mereka saja yang sama. Soal yang lain mereka tidak bisa dikatakan mirip.

Namira yang hidupnya penuh kedisiplinan, tepat waktu dan terstruktur. Sedangkan Almira menyukai hidup yang seperti air mengalir. Baginya hidup seperti air mengalir lebih menyenangkan karena tak perlu memikirkan takut gagal, takut gagal dan takut gagal.

Karena Almira percaya semua orang memiliki peluang yang sama untuk berhasil meski ia tak sepintar Namira.

"Cobalah lihat putriku ini sungguh hebat dan luar biasa bukan?" puji laki-laki paruh baya bernama, Rubbiontoro Jamil yang tak lain adalah Ayah Nami dan Al.

"Betul sekali ayah, ibu setuju sama ayah," timpal wanita yang 2 tahun lebih muda dari pak Jamil itu. Mutiarani Dewi Jamil yang tak lain adalah istrinya.

"Selamat atas kelulusan kamu, Nami" Al memberi ucapan selamat pada Nami atas kelulusannya itu.

"Terima kasih ya, Al" Nami mengembangkan senyumnya lantas memeluk Almira dengan erat. Almira membalasnya meski sebenarnya ia enggan.

"Aku doakan kamu bisa segera menyusul seperti aku, jangan terlalu nyaman berlama-lama disini," tambahnya. Almira hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Almira tersenyum getir mendengar ucapan Namira yang seperti menyindirnya karena Almira tak berhasil lulus pada tahun yang sama dengan kakaknya.

"Biarlah anak ini menikmati kampusnya lebih lama, toh dia lulus pun mau jadi apa jika tak ada prestasi!" pak Jamil mencibir, membuat Almira hanya diam tak berkata.

Ia tahu ayahnya itu memang sering sekali membandingkannya dengan Namira. sakit hati? tentu saja, Almira bukan manusia yang kosong tanpa hati, ia hanya manusia biasa yang pastinya mengalami rasa sakit hati juga ketika orang lain menghina dan mencibirnya. Terlebih yang kini melakukannya adalah ayahnya. Dan lebih parahnya ayahnya melakukannya terlalu sering.

"Aku memang tidak punya prestasi seperti Nami, tapi aku akan lebih sukses dari Nami" batin Almira. Ia bertekad pada dirinya sendiri.

Tapi lain hal yang di lontarkan mulutnya untuk membungkam pernyataan ayahnya yang terasa seperti silet yang tajam.

"Aku akan berusaha jadi lebih baik, yah. Ayah tidak perlu khawatir. Aku tidak akan mempermalukan ayah,"

ujar Al sembari menahan sesak yang mengungkung di dadanya. Emosinya hampir memuncak tapi ia tahan, bagaimanapun lawan bicaranya adalah orang yang harus ia hormati.

"Bahkan kamu terlalu sering berkata seperti itu, tapi tidak pernah dibuktikan oleh aksi," pak Jamil kali ini mulai menyolot, terlihat betapa kecewanya dia saat salah satu putrinya tak sesuai harapannya.

"Ayah, berikan Al kebebasan ibu yakin Al juga bisa seperti Nami kelak," bu Rani melengkungkan senyumnya sembari mengelus bahu Almira yang berdiri tak jauh darinya. Bu Rani tahu Almira pasti sangat amat terpukul mendengar ucapan pak Jamil barusan.

"Entahlah harus menunggu berapa puluh tahun lagi agar Al bisa seperti Nami, rasanya mustahil!" ujar pak Jamil lantas bergegas memasuki mobil meninggalkan Almira yang tak bergeming.

Perlakuan Pak Jamil terhadap kedua putrinya itu memang sedikit berbeda. Entah karena Pak Jamil terlanjur kecewa dengan Almira karena tidak bisa mengikuti jejak kakaknya, atau karena Almira adalah anak yang keras kepala dan tidak bisa di atur.

"Sabar!" kata bu Rani sembari mengusap air mata Almira yang entah sejak kapan lolos dari pelupuknya.

"Ayah hanya emosi, ga perlu di ambil hati," Nami menimpali, lantas pergi membuntuti pak Jamil.

"Kenapa sih bu, ayah ga sayang padaku? kenapa ayah selalu bedain aku sama Nami?" Almira tak bisa membendung rasa sakitnya, air matanya semakin deras.

"Tidak, kamu salah nak. Ayah sayang sama Al, benar kata Nami, ayah cuma lagi emosi aja kok," bu Rani mencoba menjelaskan pada putrinya itu agar tak salah paham pada ayahnya.

Gara-gara perlakuan buruk Ayahnya itu membuat Almira menjadi sebal kepada Namira. Ia bertekad akan mencari cara lain untuk bisa membanggakan ayahnya bahkan lebih hebat dari Namira. Ia akan berusaha semaksimal mungkin dengan kerja kerasnya sendiri. Ia bukan bayangan Namira yang harus selalu dibelakang mengikuti kemana Namira berjalan. Ia adalah Almira, seorang pribadi yang lain, dan ia punya cara sendiri untuk bisa meraih kesuksesannya sendiri.

Bersambung.

Merangkai Harapan

Matahari mulai menampakkan wujudnya di ufuk timur, semburat warna jingga tak luput menghiasi kehadiran sang surya. Angin sepoi-sepoi, tetesan embun yang masih menggantung di ujung dedaunan, serta suara kicauan burung saling bersahutan melengkapi indahnya suasana pagi.

Ini hari yang baru untuk Namira, suatu hal yang besar dalam hidupnya akan segera ia rangkai.

Namira bersiap untuk meraih mimpinya itu, mulai hari ini ia akan bergabung di perusahaan ayahnya, The Rubbiantoro Corporation. Ia akan mengawali karirnya di sana, meski hanya berstatus karyawan biasa Namira selalu penuh gairah untuk memajukan perusahaan yang dirintis ayahnya itu. Baginya meski ia mampu menjadi Gold Manager secara langsung tapi ia tidak ingin masuk ke perusahaan ayahnya itu karena adanya dinasty kekeluargaan .

Yang Namira inginkan bukanlah jabatan tingginya, tapi ilmunya. Ya, jika Namira menginginkan posisi Gold Manager maka ia harus bekerja sebagai mana pekerja lainnya bekerja keras untuk mendapat posisi tersebut. Ia bukanlah orang pecundang yang akan mensabotase hak orang lain hanya karena ia anak CEO nya. Sekali lagi dia bukan pecundang yang hanya ingin mendapatkan sesuatu dengan cara instan.

Namira telah bersiap dengan setelan baju kerja nya, membubuhkan sedikit make up pada wajahnya yang cantik, lalu bersiap menyongsong masa depannya.

Sementara Almira, dia harus bersusah payah bangun dari alam mimpinya. Matanya sembab karena sehari semalam ia menangis di kamarnya. Bahkan ia melewatkan makan malamnya. Ia benar-benar tak berselera menyantap apapun, pikirannya bak penuh kabut yang seolah-olah tidak mampu berpikir jernih. Di otaknya adalah ia hanya ingin menangis, menangis dan menangis. Bagaimana ia bisa merangkai harapannya agar ia sedikit mendapat pengakuan dari ayahnya jika ia hanya bisa menangis.

"Pagi!"sapa Namira yang sudah sampai di meja makan.

"Pagi!" sambut ayah dan ibunya berbarengan.

Namira duduk di kursinya, lalu kemudian membuka piringnya yang tertelungkup. Bu Rani menyendok kan nasi goreng dan mengisinya pada piring Namira.

"Dimana Al? apa sudah bangun?" tanya Bu Rani pada Namira yang kebetulan memang kamarnya bersebelahan dengan kamar Almira.

"Sepertinya dia sedang mandi bu," ujar Namira yang tadi sedikit mendengar sayup-sayup kucuran shower di kamar adiknya.

"Bahkan dia tidak merubah kebiasaan-kebiasaan buruknya itu. Jam segini baru mandi mau jadi apa anak itu? " cibir pak Jamil disela kunyahannya. Ia benar-benar sudah kehilangan kesabarannya melihat putrinya yang satu itu.

"Sabar ayah!" bu Rani mencoba menenangkan pak Jamil yang lagi-lagi hampir emosi.

"Ayah sudah cukup sabar selama ini bu, tapi anak itu tetap tidak berubah. Masih bermalas-malasan dan urakan," tukas pak Jamil terbawa emosi.

Di sisi lain, Almira mendengar sayup-sayup suara ayahnya yang sedang mencibirnya lagi dan lagi. Entah ada masalah apa dengan ayahnya itu, sepertinya Almira sudah tak tahan harus berapa lama lagi ia bertahan di rumahnya ini.

Cibiran demi cibiran sangat amat sering ia dapatkan. Jika orang lain yang melakukannya ia akan diam dan membiarkan saja seperti debu yang terbawa hembusan angin, hilang tak berbekas.

Tapi ini ayahnya, ayah kandungnya. Orang yang harusnya berperan mensupport dirinya saat terpuruk, orang yang harusnya merangkulnya dirinya saat sedang jatuh. Namun apa yang ia dapat setiap pagi? Sebuah cibiran.

Almira mengusap air matanya dengan punggung tangannya, ia tak boleh menangis lagi sudah cukup ia menangis sehari semalam kemarin. Matanya juga sangat bengkak karena terus-terusan menangisi ucapan pedas ayahnya.

"Cukup untuk kali ini!" batin Al.

Almira mengemas pakaiannya, ia akan pindah mulai hari ini. Ia bertekad akan melewati kehidupannya sendirian tanpa bantuan orang tuanya. Meski berat, Almira yakin dapat melewatinya dengan lancar. Lagi pula ia semenjak semester 4 sudah terbiasa bekerja part time di sebuah butik milik ibu temannya. Atau menerima tawaran mengajar bimbel dari rumah ke rumah semata-mata agar ia tak meminta biaya pada ayahnya.

Almira mengingat kembali betapa bekerja kerasnya dirinya untuk tidak meminta biaya pada orang tuanya, tapi tak sedikitpun ayahnya menghargai jerih payahnya itu hanya karena tidak berprestasi seperti Namira.

Setelah selesai mengemas beberapa pakaian yang ia perlukan, Almira sengaja tidak langsung turun ke lantai bawah. Ia akan menunggu momen tepat untuk bisa kabur dari rumahnya ini. Lagipula untuk apa dia bertahan di rumah yang sama sekali ia tak mendapatkan rasa aman ataupun nyaman.

"Al, apa sudah selesai mandinya? " pekik ibunya dari luar kamarnya membuat Almira yang sedari tadi berjalan mondar-mandir memikirkan cara untuk kabur dan akan pergi kemana sedikit terperanjat kaget.

"Sudah bu.... ada apa? " sahut Al dari balik kamarnya, ia menyembunyikan kopernya diantara tepian lemari dan sofa kamar tidurnya.

"Ibu akan pergi ke kantor sekarang, ayah juga akan pergi. Jika Al mau ke kampus jangan lupa sarapan dulu, nak! " Pekik ibunya lagi dari luar kamar Almira. Almira sengaja tak membuka pintunya karena khawatir ibunya akan mencegahnya jika tahu Almira akan meninggalkan rumah ini.

"Sebentar lagi Al akan turun bu, kalau ibu mau berangkat sekarang silahkan. nanti Al makan sarapannya, jangan khawatirkan aku bu!" sahut Almiranlagi, yang tak lama di balas bu Rani lagi.

"Yaudah, ibu pergi dulu ya!"

Terdengar suara derap langkah bu Rani meninggalkan kamar Almira. Almira menghembuskan nafas lega saat bu Rani sudah benar-benar menghilang dari balik pintu kamar Almira.

Almira juga memeriksa dan memastikan jika semuanya sudah pergi ke kantor, baik ayahnya, ibunya maupun Namira.

"Hari ini, detik ini juga aku akan memulai hidupku sendiri dan akan ku temukan mimpiku dengan jalanku sendiri," tekad Almira sembari mengepalkan kedua telapak tangannya.

Almira berjalan menuruni anak tangga rumahnya sembari membawa koper berisi baju-bajunya serta buku-buku kuliahnya.

Ia kali ini harus terbiasa untuk hidup lebih mandiri dari biasanya, mulai hari ini juga Almira tidak akan membiarkan matanya menitikkan air mata sedih lagi. Sudah cukup ayahnya menyakitinya, ia tak akan membiarkan ayahnya membunuhnya perlahan-lahan dengan cibirannya itu. Ia bukan gadis pecundang seperti kakaknya yang masih bergantung pada orang tuanya. Meski ia bukan gadis pintar tapi ia adalah gadis yang kuat.

Ia ingin menciptakan ketenangan untuk dirinya sendiri, membangun pondasi kuat agar ia tidak jadi pribadi yang lembek. Jika Namira saja bisa melakukan apa saja kenapa Almira tidak bisa? Almira pasti bisa juga. Tapi Al bukanlah plagiator yang meniru apa saja yang Namira lakukan, Almira bisa sukses melalui kerja kerasnya dan caranya sendiri. Ia akan membuktikan pada ayahnya bahwa ia mampu seperti Namira kelak, bahkan mungkin lebih.

Bersambung~

***

**Hi semunya jangan lupa untuk vote, like, rate, komen terus karya aku ya. one vote, like, rate and comment means a lot for me.

Uang Tambahan

Seminggu setelah kepergian Almira, nampak ibunya terlihat murung mengkhawatirkan salah satu putrinya itu. Ternyata Almira tidak hanya meninggalkan rumahnya tapi ia juga meminta cuti kuliah untuk sementara waktu. Sehingga tak ada satupun pihak keluarganya maupun teman-teman kampusnya yang tahu di mana Almira sekarang.

Ibunya menyesal karena tidak bisa menahan Almira untuk tidak pergi. Namun berbeda dengan suaminya. Pak Jamil nampak tak terlalu peduli, lagipula apa yang bisa di harapkan dari salah satu putrinya itu? hanya membuat kekacauan sepanjang saat.

"Ini semua salah mu! " tukas bu Rani pada suaminya disela tangisannya.

"Aku kehilangan salah satu putriku karena ulahmu"

Pak Jamil yang sedari tadi sedang sibuk memasang jam tangannya tiba-tiba menghentikan aktivitasnya.

"Untuk apa mengkhawatirkan anak itu, dia sudah besar. jika dia tidak ingin tinggal disini biarkan saja!" kelekar pak Jamil, sorot matanya begitu tajam membuat bu Rani tertunduk lesu.

Selama ini memang pak Jamil terkenal dengan sifat dingin dan tegas. Tidak ada yang boleh membantah semua perkataannya di rumah ini.

"Tidak bisakah kau memikirkan sedikit kebahagiannya? dia juga putri kita," bu Rani semakin terisak, ia tak kuasa menahan kepedihannya. Bagaimanapun Almira adalah putrinya, kebanggaannya.

Bukannya pak Jamil merasa tersentuh mendengar pekikan istrinya, ia malah tetap sibuk dengan dirinya yang akan bersiap pergi ke kantor dan tak mengindahkan bu Rani yang semakin terisak.

"Aku akan pergi ke kantor lebih awal. berhentilah menangis! " pak Jamil keluar dari kamarnya.

Di tempat lain, Almira sudah bersiap untuk mencari beberapa pekerjaan baru. Ia tak bisa hanya mengandalkan mengajar bimbel privat dari rumah ke rumah atau menjadi karyawan part time. Almira butuh uang tambahan untuk bisa bertahan hidup. Jika ia tak melakukannya dengan segera, uang tabungannya akan menipis hari demi hari.

Almira berjalan menyusuri jalanan perkotaan, berharap ia mendapatkan lowongan pekerjaan. Ia juga rajin melamar pekerjaan melalui platform digital seperti Jobstreet, Job.Id, Linkedin dan lain sebagainya. Namun usahanya itu belum menemukan hasil, sehingga ia harus mencari lowongan secara offline.

Setelah Almira berjalan cukup jauh, Almira mengusap peluhnya yang mengucur menggunakan punggung tangannya. Ia berhenti sejenak di sebuah tepian jalan, ia akan melemaskan otot-ototnya sejenak sebelum akhirnya akan kembali berjalan jauh.

"Aku sudah berjalan cukup jauh, tapi masih belum ada lowongan pekerjaan yang aku temukan," keluh Almira isela nafasnya yang ngos-ngosan.

Almira membuka tumbler yang sengaja ia bawa untuk perbekalannya selama perjalanan ini. Meneguk langsung dari mulut tumblernya sembari berdiri, tenggorokannya terasa kering saat ini.

Disaat Almira sedang asyik minum tiba-tiba ada laki-laki berlari dengan tergesa-gesa di depan matanya, nampak kencang sekali larinya.

Almira hendak menutup tumblernya setelah selesai membasahi kerongkongannya yang mengering, namun kejadian yang tak terduga menghampirinya.

Brukkkkk

Seseorang berkemeja hitam menubruk Almira dari arah kiri membuatnya langsung terjatuh seketika. Tumblernya yang tak sempat tertutup pun juga ikut terjatuh, airnya tumpah kemana-mana.

"Sorry... saya tidak sengaja!"

Almira hampir marah di buatnya, ia mendongak kesal pada seseorang yang menubruknya secara tiba-tiba membuat semuanya jadi kacau, bajunya kotor dan basah karena cipratan air dari tumbler.

"Kalau jalan tuh pakai mata dong," Almira memekik kesal sembari membersihkan busananya yang kotor karena tadi terjatuh.

"Sekali lagi sorry... saya benar-benar tidak sengaja tadi saya sedang mengejar orang yang mencuri dompet saya," kata orang tersebut membuat Almira tidak jadi marah lagi.

"Jadi tadi itu copet? " tanya Almira.

Orang itu mengangguk. Ia nampak pasrah karena tidak berhasil mengejar copet tersebut. Dompetnya raib begitu saja membuatnya tertunduk lesu.

"Sorry, saya gak tahu kalau itu copet. kalau saya tahu, udah saya tahan tadi, lalu saya patahin kakinya!" kata Almira sembari mempraktikkan jurus bela dirinya.

"Kevin," pria yang tadi kecopetan itu mengulurkan tangannya ke depan Almira.

"Almira, panggil saja Al" ucap Almira setelah berhasil menjabat tangan pemuda di hadapannya itu.

"Ngomong-ngomong kamu sedang apa di sini? " Kevin membuka pembicaraan.

"Saya sedang mencari pekerjaan baru, soalnya saya butuh uang tambahan untuk bisa melanjutkan kuliah saya," ucap Almira sembari melenguhkan nafasnya.

"Memang kamu semester berapa sekarang?"

"Sebenarnya saya harusnya sudah lulus tapi berhubung saya sibuk mencari uang jadi saya telat satu tahun. Sekarang aku harus menunda lagi satu tahun karena uang saya hampir menipis," Almira mengatakan apa adanya pada Kevin yang baru saja ia temui, Almira merasa tidak masalah menceritakan keadaannya toh jika di lihat-lihat Kevin bukan pemuda yang jahat.

"Memang dimana keluargamu sampai kamu harus berjuang mencari uang sendiri?"

Pertanyaan Kevin membuat Almira sedikit menohok. Almira tidak menjawab pertanyaan Kevin, ia malah sekarang berkaca-kaca. Almira teringat keluarganya terutama ibunya. Tamapi ia tidak ingin kembali karena ayahnya selalu mencibirnya.

Melihat perubahan wajah Almira seketika membuat Kevin jadi merasa tidak enak.

"Maaf jika pertanyaanku salah," Kevin menyesal telah bertanya tentang keberadaan keluarga Almira.

"Tidak masalah, aku hanya merindukan ibuku," ucap Almira sembari menyeka butiran kristal air matanya yang entah sejak kapan lolos dari pelupuk matanya.

"Maaf sebelumnya apa ibumu masih ada?"

"Masih" Jawab Al singkat.

"Lalu kenapa tidak meneleponnya?"

"Aku tidak bisa"

Kevin tidak bertanya lebih lanjut karena takut menyinggung perasaan Almira, bagaimanapun mereka baru kenal. Kevin tidak bisa bertanya terlalu jauh, itu urusan keluarga Almira yang pasti Kevin tidak boleh ikut campur.

Almira melengkungkan senyumnya, ia hendak beranjak pergi. Tapi Kevin menahannya. Kevin meraih tangan kanan Almira.

"Mamaku adalah seorang designer. Beliau mempunyai sebuah butik dan kebetulan sedang mencari seorang karyawan, jika kamu tertarik pergilah ke alamat ini"

Kevin menuliskan alamat di telapak tangan Almira. Almira tersenyum mendapat tawaran itu.

Setelah menuliskan Alamat pada telapak tangan Almira, Kevin langsung beranjak pergi meninggalkan Almira yang masih tidak percaya jika ia bertemu orang baik seperti Kevin.

"Terimakasih," pekik Almira setelah Kevin menjauh dari hadapannya.

Tidak di sangka, hari ini usahanya tidak sia-sia berjalan jauh dari kontrakannya. Paling tidak ia mendapat info lowongan pekerjaan. Dan kebetulan sekali cocok untuknya, ia punya pengalaman kerja di butik juga.

Almira menatap telapak tangannya yang sudah di penuhi coretan alamat butik. Sejenak ia menyimpulkan senyumnya. Ia tahu mengapa Kevin menuliskan alamat itu pada telapak tangannya, pasti karena dompetnya hilang jadi ia tidak memiliki kartu nama ibunya. Dan Kevin juga tak akan berani meminta kertas pada Almira, disaat raut muka Al menyiratkan kesedihan yang mendalam.

"Terima kasih Tuhan atas kebaikan Mu," ucap Al bersyukur.

bersambung.

****

Please bantu Vote, Like, Rate and comment. One Vote, like, rate and comment means a lot for me.

Thanks.

Ms. Oh~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!