NovelToon NovelToon

Tante Bocil

Tanteku

Rintik hujan masih menetes membasahi bumi, udara dingin berhembus dan menyergap seluruh tubuhku. Setelan Jas bermerek Italia dan payung hitam yang kugenggam, tampaknya tak bisa melindungiku dari tragisnya tangisan alam ini.

Namun aku tetap berdiri di tempatku, aku tetap menghadap kedepan dengan hormat. Tak ada tangis atau pun rintih kesedihan, yang mengiringi dikebumikannya jenasah kakekku.

Benar, aku sedang berdiri di depan orang-orang yang sedang memproses. Dikebumikannya jenasah mendiang kakekku, ayah dari ibuku.

Ibuku baru saja tiba dari Amerika, setelah 10 tahun akhirnya ia pulang. Kakek pasti lebih berarti bagi ibuku, dari pada aku, yang merupakan putra pertamanya.

Ibuku pergi ke Amerika karena menikah lagi, setelah bercerai dengan ayah kandungku. Aku punya adik perempuan, Namanya Jane. Mungkin saat ini usianya sekitar 15 tahun, namun Jane tak bisa ikut kembali ke sini karena dia harus bersekolah.

Sudah cukup lama, aku tidak pergi ke pemakaman. Aku tak ingat suasana di pemakaman umum, bisa membuatku merasa merinding, gamang dan temaram. Entah kenapa Aku merasa hidupku akan berubah setelah hari ini.

.

.

Sebelum kembali ke Ibu Kota, kami mengunjungi kediaman kakekku.

Aku sama sekali tak mengenal tempat ini, karena kak sekalipun aku mengunjungi tempat ini sebelumnya. Setelah gerbang utama rumah itu dibuka, mataku disuguhi oleh pemandangan taman yang indah. Taman yang amat terawat, itu memiliki beberapa jenis bunga liar yang terlihat seperti rumput aneh. Namun bunga-bunga kecil warna-warni yang mekar, tampak cukup indah.

Manik mataku terus menatap ke segala arah meneliti setiap detail, sampai pandangannku tertuju pada gadis kecil yang berjongkok di dekat bunga-bunga liar.

Gadis berambut coklat sepanjang pinggang, itu menoleh ke arahku. Mungkin derap langkahku mengganggunya, sehingga dia langsung tau keberadaanku yang baru saja masuk ke dalam halaman rumah tua ini.

Ibuku sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah, wanita yang melahirkanku itu biasanya banyak bicara. Namun hari ini dia diam saja, dia tak mengatakan apa pun atau menangis.

Hal itu membuatku khawatir, namun keberadaan gadis kecil di hadapankku. Membuatku menghentikan langkah kakiku. Mata bulatnya yang berbinar, langsung menyita perhatianku.

Aku melihat percikan cahaya kesedihan yang mendalam di dalam manik mata kecil itu, mata indah nan polos itu mulai berair sembab. Kegelisahan dan keputusasaan tersirat jelas dari pancaran matanya. Gadis kecil ini tampak tak memiliki harapan apapun.

Aku mendekatinya, aku berjongkok dihadapannya dan kuraih wajah munggilnya.

"Ayah!" katanya.

"Siapa? Yang kau sebut ayah?" tanyaku kaget.

"Jangan tinggalkan Yomi sendirian!" ujar gadis kecil itu.

Tubuh mungil itu melangkah maju dan memelukku dengan cukup erat, aku masih bingung dengan apa yang baru saja dikatakan gadis yang sekarang berada di dalam pelukanku.

Kenapa dia bisa memanggilku ayah, padahal aku tidak punya pengalaman membuat bayi sebelumnya.

Aku bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan tentang pacaran, aku sibuk membuktikan bawa aku tidak bergantung pada keluarga ayahku yang terkenal sangat sukses.

"Ayah jangan mati!" Kata gadis kecil itu.

Dia melepas pelukannya dariku. Sekonyong-konyong, tanpa aba-aba dan tanpa rambu-rambu jemari kecilnya meraih wajahku.

Emuahhhhhhh

Sial dia mencium bibirku. Ciuman pertamaku yang sangat berharga.

"Kenapa kau menciumku!" bentakku pada gadis kecil itu.

"Paman mirip sekali dengan ayahku!" ujar gadis manis itu.

Awalnya aku ingin memarahinya karena menciumku, namun

manik matanya yang berbinar itu. Langsung membuatku seketika luluh lantah, dengan tatapan imutnya. Aku jadi tidak tega.

"Jangan mencium laki-laki dewasa yang baru kau lihat!

"Maksudku Jangan pernah mencium laki-laki dewasa. Kau mengerti???

"Itu bahaya!" nasehatku dengan nada serendah mungkin.

"Kenapa? Apa mencium lelaki dewasa termasuk pelecehan seksual?" tanya gadis kecil didepanku.

Aku tak percaya suara imut itu, mengatakan kata-kata vulgar dengan sangat nyaman.

"Kamu tidak bisa didenda, sih!

"Tapi kau mungkin akan dalam bahaya, jika laki-laki dewasa yang kecium adalah penjahat!" aku mencoba menjelaskan dengan kalimat yang lebih lembut.

"Apa maksud paman. Pedopil?" tanya gadis itu.

Aku hampir terjengkang dari jongkokku, karena mendengar kata durjana itu dari mulut kecil itu. Kuputar kedua bola mataku, sambil memikirkan jawaban yang tepat untuk bocil di depanku.

"Itu kamu tahu!

"Harusnya kau tak sembarangan mencium laki-laki dewasa. Kau tau--kan apa resikonya?" tanyaku.

Namun gadis kecil itu hanya menggeleng pelan, membuatku tambah bingung. Karena harus menjelaskan hal diluar nalar otak kecilnya.

Aku tak menyangka jika menasehati gadis kecil, akan lebih susah daripada menasehati atasan di tempat kerjaku. Yang terkenal keras kepala, killer dan maunya menang sendiri.

Kuhela nafasku panjang-panjang, dan memikirkan cara untuk kabur. Aku tak mau salah bicara di depan gadis kecil ini. Karena jika aku salah bicara sedikit saja, mungkin kata-kata aku bisa merubah arah hidupnya yang masih panjang.

"Sepertinya kita tidak bisa membicarakan itu disini!

"Emmmmmm...Siapa namamu?" aku mengalihkan kan arah pembicaraan kami sebelum kabur.

"Yomi!" kata gadis itu.

"Yomi, canti sekali!" kataku dengan semyum palsu.

Kucubit kedua pipinya yang tembem dengan begitu gemas.

"Yomi Alexzander Fandes!" kata gadis kecil itu.

"Yomi Alexzander Fandes, nama belakangmu mirip nama belakang ibuku!

"Tunggu! Kenapa nama belakangmu, bisa mirip dengan nama belakang ibuku?" tanyaku bingung.

"Kenapa kalian berdua tidak masuk!"

Itu suara ibuku dia berteriak dari balik jendela, ruang depan, rumah kayu kakekku.

Aku menggaruk bagian belakang kepalaku meski tak gatal. Mencoba memutar otakku untuk memikirkan sebuah kemungkinan, yang mungkin terjadi di hiruk- pikuk keluarga ibuku.

Ibuku mempunyai tiga saudara kandung, pamanku menikah dengan seorang wanita dan kedua anaknya lebih tua dariku. Apa bibiku punya anak lagi, namun kenapa Kak Farhan dan Dea tidak menceritakannya padaku.

Lalu kakak ibuku yang kedua, tante Violet kelihatannya wanita itu tidak mungkin memiliki anak seusia gadis ini. Karena aku tahu benar bahwa ia dan suaminya bercerai sekitar 10 tahun yang lalu.

Lalu siapakah anak ini?

Aku memandangi wajah gadis kecil itu, dengan penuh rasa penasaran.

Tak lama seorang pelayan wanita yang cukup tua menghampiri keduanya.

"Ayo Ndoro Yomi semua sudah menunggu!" kata pelayan itu.

Kenapa pelayan itu memanggil Yomi dengan sebutan Ndoro. Keluarga kakekku memang sangat terpandang, nenek buyutku adalah seorang Nyai selir pejabat Belanda. Jadi peninggalan hartanya juga baanyak dan keturunannya hampir semua tampan dan cantik termasuk aku.

Gadis kecil itu digendong oleh pelayan wanita yang sudah cukup tua itu, dan aku mengikuti langkah kaki rentanya memasuki ruang tamu rumah bergaya Jawa kuno milik kakekku.

Semua ornamen di dalam rumah ini kelihatan klasik dan lebih ke arah mistis. Namun yang lebih mengerikan adalah pandangan jijik semua orang, pada gadis kecil bernama Yomi yang sekarang duduk disampingku.

"Kau saja, Mer! yang mengasuhnya!" ujar Paman Jevo.

"Aku tinggal di Amerika! aku tidak bisa!" kata ibuku.

"Aku seorang janda, dan anakku baru saja memberikan cucu padaku!

"Aku harus merawat cucuku! Aku tidak mungkin merawat anak itu!" ujar tante Violet.

"Kalau begitu kita kirim dia ke panti asuhan saja!" kata Paman Jevo.

"Kenapa ayah mempunyai putri setelah usianya sangat tua!

"Menyusahkan saja!" kata ibuku.

Aku pun memandang kearah Yumi yang menunduk sedih.

Jadi gadis kecil ini adalah putri kakekku, dia adalah tanteku.

___________BERSAMBUNG_____________

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN LIKE ❤❤❤

Hati Nurani

"Apa kalian nggak kasihan, dia masih sangat kecil!" kataku.

Pandangan jijik mereka beralih ke arahku, disudutkan dan disalahkan saat kita tak melakukan kejahatan. Ternyata sesakit ini ya.

"Anak haram, hanya akan bawa sial. Jika kita mengasuhnya, kita juga akan ikut sial!" kata tante Violet.

"Kalau begitu biar aku saja yang merawatnya!" kataku.

"Kamu sudah gila ya, Lan?" bentak ibuku.

Mode kuntilanak yang sudah hampir 10 tahun tak kulihat itu, kini dapat kulihat lagi. Tampak lebih seram dari pada dulu memang, tapi aku harus mulai mendengar ocehan dengan nada tingginya sekarang.

"Kau pikir mengasuh seorang anak itu mudah?" tanya Ibuku.

Aku tak berani melihat ke arah wajahnya, karena wajah cantik blasteranya. Pasti sudah lebih seram dari--pada mantan yang ngajak balikan.

"Nggak, bawa saja anak ini kepanti asuhan!" ujar Ibuku.

Sudah lama sekali aku tak melihat ibuku semarah ini. Karena dia telah meninggalkanku, di rumah ayahku 10 tahun yang lalu.

"Aku tetap akan membawanya ke rumahku!" kataku tegas.

"Irland! Pikirkan baik-baik, apa kata keluarga ayahmu. Jika kau membawa anak kecil ke dalam rumahmu?

"Mereka akan mengira kalau dia adalah putrimu!" kata Ibuku.

"Aku sudah memutuskan hubungan dengan ayah!

"Jadi mereka tidak akan ikut campur dengan hidupku lagi!" kataku.

"Kau ini putra pertama di keluarga Hartono! Jangan main-main dengan ayahmu!" nasehat Ibuku.

Aku masih menatap ke depan, dan tidak melihat ke arah ibuku yang duduk di sampingnya kananku.

Tiba-tiba saja aku merasakan rasa sakit yang selama ini kupendam. Merasa sakitnya diabaikan oleh kedua orang tuaku, yang sudah sibuk dengan keluarga mereka masing-masing. Aku merasa kelahiran diriku seperti sebuah kesalahan, yang harusnya tidak dilakukan oleh kedua orang tuaku.

"Ibuku bahkan membuangku, mana mungkin ayah mau memungutku?" tanyaku.

Semua orang di dalam ruangan itu terdiam, mereka pasti tahu sepak terjang yang sudah kulalui. Selain ibuku tentunya, yang sepertinya tidak peduli padaku.

"Terserah kau saja!" kata Ibuku.

Itulah akhir dari perdebatan sengit kami, aku merasa nasib Yomi mirip denganku. Jadi aku merasa kasihan padanya, tanpa memikirkan akibat yang akan kulalui nantinya.

.

.

Malam itu aku langsung pergi untuk pulang ke ibu kota, karena besok pagi aku harus kerja. Aku menyetir sambil memikirkan banyak hal, pekerjaanku, hidupku, dan juga hidup Yomi. Seketika aku langsung punya beban dalam waktu beberapa detik.

Moto hidupku adalah aku tidak menginginkan apapun, aku tidak memiliki apapun, aku bebas. Tapi sepertinya aku harus mengganti moto hidupku mulai sekarang, yaitu aku hidup untuk Yomi tanteku.

Gadis berusia sembilan tahun itu tertidur pulas di sampingku, wajah imutnya terpejam namun tersirat senyuman kebahagiaan.

"Tega sekali mereka mencampakkan anak semanis ini!" kataku dalam hati.

Saat melihat wajah polos Yomi, aku kembali mengingat cerita yang diceritakan oleh pengasuh Yomi sebelumnya. Ibu Yomi meninggalkan putrinya dan kakekku, setelah menikah dengan kakekku selama satu tahun. Tak ada yang tahu pasti tentang identitas ibunda Yomi. Pengasuh itu hanya bilang, bahwa ibu kandung Yomi masih sangat muda saat menikah dengan kakekku.

Gadis ini lebih malang dariku, ibuku meninggalkanku saat usiaku 14 tahun. Namun Yomi ditinggalkan ibunya, tepat setelah dia dilahirkan.

Aku tahu jalan ke depannya pasti akan sangat berat, namun keputusan ini tak akan kusesali.

.

.

Di Jakarta aku tinggal di sebuah perumahan kecil, dengan seorang pembantu bernama Mbok Sri. Mbok Sri adalah salah satu pembantu di rumah ayahku, namun dia pindah kerumahku karena sangat menyayangiku. Wanita yang mungkin seusia dengan ibuku itu, sudah menganggapku seperti anak kandungnya sendiri.

Meski dia seorang pembantu, namun aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri. Karena hanya Mbok Sri--lah yang selalu ada di setiap aku ingin memeluknya. Wanita yang dulunya adalah membantu favorite ibuku itu, selalu berusaha membelaku di depan ayahku.

Aku memang sering membuat kesalahan, saat aku tinggal di rumah mewah nan megah ayahku. Aku sering mengerjai adik tiriku, yang tidak tahu diri dan ibu tiriku yang sok paling berkuasa. Meski hukuman yang diberikan ayahku cukup berat, namun aku melakukan kesalahan itu berulang-ulang. Seperti itulah hidupku dahulu.

Memang baru setahun ini, aku benar-benar melepas diriku dari belenggu ayahku. Aku tak ingin hidup dibawah tekanan ayahku dan ibu tiriku. Meski aku harus bekerja keras dan membiayai hidupku sendiri, namun aku termasuk orang yang mempunyai tekat yang kuat.

.

.

Aku sampai di rumah pukul 09.00 malam, karena Mbok Sri sedang pulang kampung. Jadi suasana rumahku sangat kelam, tak ada satu lampu pun yang dinyalakan. Karena memang tidak ada manusia yang menyalakan.

Aku keluar dari mobilku, lalu membuka gerbang. Kulanjutkan langkahku masuk ke dalam rumah untuk menyalakan lampu. Setelah semua terang aku kembali keluar, kuraih  tubuh mungil Yomi yang masih berada di dalam mobil.

Kubopong gadis kecil itu menuju kamarku, kutidurkan dia di atas kasurku. Sejenak aku duduk di sampingnya, kurapikan rambut panjang coklatnya yang berantakan mengenai wajahnya.

Entah kenapa aku merasa sangat lega karena membawanya kemari.

Apa seperti ini saat seorang ayah melihat putrinya?

Perasaan yang tidak dapat kugambarkan dengan kata-kata. Rasa senang bahagia dan kebanggaan ada di dalam hatiku saat ini. Perasaan yang sangat aneh.

Aku pernah memenangkan tender yang cukup besar untuk peusahaan dimana aku bekerja, namun saat itu aku tidak merasakan perasaan yang unik seperti ini.

Apakah Yomi adalah sebuah tender yang lebih besar, dari tender yang pernah kumenangkan. Entahlah, aku hanya senang karena gadis kecil ini mau ikut denganku tanpa perlawanan.

Aku kembali ke dalam mobil dan mengambil beberapa tas yang berisi pakaian Yomi, serta beberapa barang milik gadis kecil itu.

Namun sekarang aku bingung, karena aku tidak tahu harus tidur di mana. Aku hanya punya satu kamar dan kamar itu sudah digunakan oleh Yomi.

"Aku harus mandi dulu! Siapa tau jika aku sudah mandi, aku bisa berpikir dengan jernih!" ujarku pada diriku sendiri.

Segera kulakukan rencanaku itu, karena tubuhku juga sudah terasa gerah. Aku  akhirnya bisa merasa rasanya, disiram dengan air hangat dari ujung kepala hingga ujung kaki hari ini.

Rasanya semua ototku yang menegang akhirnya melemas kembali. Aku lanjutkan menyabuni seluruh area tubuhku, namun mataku langsung terbelalak ingin keluar.

Segera kudekap erat belalai panjang kebangaanku, lalu menyapukan pandangannku ke sekitarku. Aku mencari handuk mandiku, yang ternyata berada di luar ruang kaca yang menjadi penyekat ruang mandi.

"Kenapa kau tak mengetuk pintu dulu jika ingin masuk?" tanyaku.

Kepala bervolume kecil itu, berputar pelan ke arahku yang berada di dalam ruang kaca yang buram.

"Sudah kuketok tadi, kamu aja yang enggak dengar!" kata gadis kecil yang baru saja kubawa kerumahku.

Aku segera berjongkok, aku masih punya hati nurani. Tak mungkin kubiarkan mata bulat kecil yang masih suci itu, ternodai oleh pemandangan tak senonoh ini.

"Kamu???

"Kau memanggilku, Kamu?!" tanyaku dengan nada tak percaya.

"Bukankah mereka bilang kau keponakanku, artinya aku lebih tua dari kamu--kan?" gadis kecil itu menaikkan celananya. Dia baru saja pipis di toilet, dan anehnya aku memejamkan mataku saat tau Yomi akan menaikkan celananya.

Kini aku tau. Perkataan seorang ibu kepada anaknya memang selalu kejam, Tapi harus didengar dan dituruti.

___________BERSAMBUNG_____________

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN LIKE ❤❤❤

Mbak Suster

Aku keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan sehelai handuk di pinggangku. Memang setiap hari aku selalu seperti ini, setelah mandi.

Namun kali ini saat aku mau keluar dari kamar mandi, aku celingak-celinguk dulu seperti maling. Aku harus memastikan Yomi tidak berada di sekitar kamarku.

"Kemana bocah gila tadi?!" gerutuku.

Bagaimana bisa bocil itu masuk kedalam kamar mandi, yang didalamnya ada orangnya. Apa yang salah aku, karena tidak mengunci pintu kamar mandi.

Aku segera jalan cepat ke arah lemari pakaianku, aku mengambil pakaian sehari-hari yang biasa kukenakan. Namun saat akan mengenakannya aku kembali berpikir.

Gimana kalau bocil laknat itu masuk ke kamarku tanpa permisi lagi dan melihat aku telanjang. Aku tak menyangka ini akan sangat merepotkan. Aku bahkan tidak bisa berganti baju dengan bebas, di kamarku sendiri. Aku harus berganti baju di kamar mandi dan kupastikan pintunya telah kukunci.

Celana Boxer hitam dan t-shirt lengan pendek berwarna senada telah kukenakan. Aku berjalan gontai keluar dari dalam kamarku, aku harus mencari keberadaan Yomi.

Gadis kecil itu berdiri di ruang tamuku, dia memandang ke arah luar melalui jendela yang tirainya belum kututup. Aku tahu gadis kecil itu masih merasakan kesedihan, baru tadi pagi ayahnya pergi meninggalkannya untuk selamanya.

"Apa yang kamu lihat?" tanyaku.

"Ayahku!" katanya.

"Jangan nakutin gitu deh bocil!" ujarku.

Aku pun berjalan menuju dapur, untuk membuat kopi aku baru sadar bahwa aku masih punya pekerjaan yang harus kukerjakan.

"Aku bilang pada ayah!

"Kalau aku ikut dengan orang yang baik, jadi dia tidak perlu khawatir!" kata gadis itu, tanpa rasa dosa.

Ya aku ini memang lelaki jantan dan sangat perkasa, namun jika dihadapkan dengan urusan gaib. Aku angkat tangan, angkat kaki, angkat segala macam--lah. Pokoknya aku nggak bisa denger cerita horor apapun.

"Aku bilang jangan nakutin!" tegasku.

"Tapi ayah tidak mau pergi, dia mau di sini!" kata bocil laknat itu.

Apa dia tidak mengerti kode yang kuberikan, atau dia memang sengaja membuatku ketakutan.

"Jika kamu nggak diam, maka kuantar kamu ke desa itu lagi.

"Atau kujual saja kau, biar dibawa ke luar negeri dijadiin TKW!" ancamku.

"Kamu akan dipenjara, karena menjual anak kecil yang masih di bawah umur!" bocil itu tak mau kalah.

"Kau boleh tinggal di sini! Melakukan apapun yang kau suka.

"Tapi kau tidak boleh mengatakan hal-hal horor apapun! Mengerti!" pungkasku.

Rasanya percuma saja, bicara dengan bocil ini. Ocehanku hanya mengurus tenagaku, dia sama sekali tidak mengerti apa yang kumaksud.

"Aku tidak pernah tidur sendirian!" kata suara mungil yang imut itu.

Akhirnya dia menoleh ke arahku yang berada di dapur. Benar rumahku hanya ada dua ruangan, yang satu adalah ruangan tidur dan juga kamar mandi. Lalu satunya ini adalah ruang tamu dan dapur yang menjadi satu.

Aku membeli rumah ini dengan hasil kerja kerasku selama ini. Menjadi tukang edit video youtuber-youtuber, yang tak lain adalah teman-temanku sendiri.

"Lalu kamu minta aku, untuk menemanimu tidur? Aku masih punya pekerjaan!" aku langsung menolak permintaannya.

Skor kita satu sama bocil!!!

"Kalau begitu aku akan begadang semalaman! Lagian besok aku tidak perlu sekolah--kan!" kata Yomi.

Aku tidak menyangka jika seorang imut itu, bisa mengeluarkan argumen-argumen yang sangat luar biasa.

Apa yang kakekku ajarkan padanya???

Baguslah kalau dia cerdas, paling tidak dia tidak memerlukan bantuanku saat mengerjakan PR jika dia sekolah nanti.

Benar yomi perlu sekolah, tapi dimana aku akan menyekolahkannya apa di sekitar sini ada sekolahan SD. Aku harus menyiapkan surat pindah dan juga beberapa dokumen. Agar bocil ini bisa meneruskan pendidikannya di sini.

Itu bisa kuurus nanti, alasan aku membawa Yomi ke sini secepat ini adalah karena rumah yang ditempati oleh kakekku selama hidup. Sudah dijual olehnya, jadi tidak ada tempat tinggal lagi untuk Yomi.

Kakekku berusia 80 tahun saat meninggal, dia pasti sudah tidak punya pendapatan lagi. Namun kakek harus menjaga Yomi, aku tidak menyalahkannya karena kakek menjual properti satu-satunya miliknya.

Gadis kecil itu berjalan ke arahku dengan tatapan yang cuek.

"Aku harus minum susu sebelum tidur!" caranya berbicara benar-benar, seperti seorang putri kaisar dari kahyangan yang turun ngangkut di pohon rambutan.

"Bukankah kau berencana untuk begadang, menemaniku bekerja?" tanyaku.

2-1 akhirnya dia diam.

Yomi termakan oleh omongannya sendiri, dipikirnya aku tidak bisa membalikkan ucapannya.

.

.

Seperti biasa aku mengerjakan pekerjaanku, di meja ruang tamu dengan bergaya lesehan. Meski ada sofa tapi aku lebih nyaman melakukannya dengan cara seperti ini. Saking sibuknya, aku tidak melihat Yomi yang dari tadi berada di sofa menungguku.

Saat aku menoleh ke belakang, gadis kecil itu sudah tertidur lelap. Karena pekerjaanku sudah selesai. Kubereskan semua kertas, laptop dan segala macam alat-alat tulisku.

Ternyata tanpa sadar jarum jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Aku segera membawa Yomi kembali ke dalam kamarku. Namun saat aku ingin mengangkat tubuhnya, tak sengaja aku memegang lengannya. Aku merasakan suhu yang tidak biasa di tubuh gadis kecil itu.

"Dia deman?" tanyaku lirih.

Kuraba keningnya dan kecocokan suhunya dengan suhu tubuhku.

"Dia benar-benar demam! Gimana ini?" Aku benar-benar panik.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung masuk ke kamarku dan kuambil kunci mobil dan dompetku. Kubopong tubuh munggil Yomi, aku harus segera membawa gadis kecil ini ke rumah sakit.

Jarak rumah sakit dengan perumahan yang kutinggali hanya sekitar 10 menit, dengan perjalanan mengunakan mobil. Dan sesampainya aku di sana aku langsung menuju ruang UGD.

Untung hari itu UGD di rumah sakit itu tak begitu dipadati oleh pasien. Jadi Yomi bisa langsung ditanggani oleh seorang perawat.

Aku terus di samping ranjang rawat Yomi, jantungku tak bisa berhenti berdetak cepat. Bahkan aku bisa melihat kedua tangganku gemetar. Aku benar-benar merasa sangat ketakutan,tanpa kusadari aku tak berganti baju. Aku hanya mengenakan Boxer dan t-shirt pendek yang kukenakan setelah mandi tadi.

"Giman, Sus. Keadaannya?" tanyaku dengan suara maskulin yang agak bergetar.

Untuk pertama kalinya aku tidak peduli dengan penampilanku, malah peduli pada keadaan seseorang orang yang entah siapa aku tidak tahu.

Pasti aku hanya merasa bersalah, karena dia demam saat bersama denganku. Meski banyak yang bilang aku adalah pria yang baik, namun sensor hati nurani yang kumiliki tidaklah setajam yang kalian kira.

Aku hanya akan menolong orang-orang yang meminta tolong padaku, atau orang-orang yang mengenalku saja. Lalu mengabaikan orang lain yang kesusahan tanpa merasa bersalah. Itulah diriku.

Namun entah kenapa hari ini, aku sangat khawatir kepada Yomi yang mengalami demam.

"Emmmmm!" Suster muda Itu tampak memperhatikanku, dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Gimana Suster keadaannya?" tanyaku dengan nada penuh tekanan.

Ini Suster nggak tahu, apa? Aku lagi khawatir dan sangat ingin tahu keadaan Yomi saat ini.

Namun manik mata Suster itu, masih saja menelisik dan mencari fakta di dalam wajah dan juga tubuhku. Akhirnya aku tahu apa yang dicari oleh Suster itu.

"Keponakanku!" kataku sambil kutunjuk tubuh Yomi yang masih terbaling lemas di ranjang rawatnya.

"Tentu saja gadis kecil keponakan anda! Anda terlalu muda untuk mempunyai anak!" kata Suster itu dengan tertawa terkekeh.

Berani-beraninya Mbak Suster ini, tertawa diatas penderitaan yang kuderita.

"Gimana keadaan Yomi?!" tanyaku sekali lagi, namun kali ini dengan nada yang sangat penuh penekanan.

___________BERSAMBUNG_____________

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN LIKE ❤❤❤

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!