PLAKKKK...!!!
Sebuah tamparan keras seorang ayah daratkan pada pipi kanan putra bungsunya setelah ia mendengar kalimat yang sangat mengejutkan terlontar dengan ringannya dari bibir sang putra.
Saking kerasnya hingga membuat sudut bibir pemuda itu robek dan mengeluarkan darah. Mata hitam itu berkilat tajam menatap sepasang mutiara berwarna abu-abu cerah milik pemuda yang berdiri di depannya.
"Apa kau sadar dengan yang kau ucapkan itu? Di mana otakmu? Dia itu adalah Kakakmu, Kakak kandungmu. Bagaimana bisa kau mencintainya? Aku membesarkanmu sebagai pria normal!!"
Tuan Reno sudah tidak bisa menahan kemarahannya karena ucapan putra bungsunya.
Selama ini ia tidak pernah mempermasalahkan meskipun Leon tumbuh menjadi pemuda begajulan yang memiliki hobi balap liar dan sering membuat onar.
Hampir setiap malam Leon pulang dalam keadaan mabuk berat. Tapi kali ini masalahnya berbeda. Dengan entengnya Leon mengatakan jika dia mencintai kakak kandungnya sendiri, dan tentu saja tuan Reno tidak bisa menerimanya.
Alih-alih merasa bersalah kemudian meminta maaf pada sang ayah , Leon justru berbalik menatap mata hitam tuan Reno dengan pandangan meremehkan.
Leon mendecih, memutar matanya jengah."Lalu di mana letak kesalahanku, Pa? Bukankah setiap orang memiliki hak untuk mencintai dan di cintai? Begitu pula denganku!!"
"Aku mencintai kakakku, dan begitu pun sebaliknya. Dia juga mencintaiku. Kami saling mencintai, seharusnya Papa sadar akan hal itu."
"Kau salah Jika berfikir seperti itu, Leon. Aku memang mencintaimu, tapi cinta dan sayang yang aku berikan bukan cinta seperti itu. Tapi cinta dan sayang seorang Kakak kepada Adiknya."
Jlederrr...!!!!
Bagaikan di sambar petir di siang hari. Hati dan perasaan Leon hancur berkeping-keping setelah mendengar pengakuan sang kakak, Leon memutar lehernya dan mata abu-abunya terkunci pada mata coklat milik kakaknya yang menatapnya sendu.
"Jadi selama ini kau hanya mempermainkanku? Lalu apa yang telah kita lewati selama ini sama sekali tidak ada artinya bagimu? Kau keterlaluan, kau sungguh-sungguh KETERLALUAN!" bentak Leon di akhir kalimatnya.
"LEON, CUKUP!"
Tuan Reno menarik lengan Leon dan menyeretnya menuju pintu. Tuan Reno membuka pintu utama itu lalu mendorong Leon hingga pemuda itu terhuyung kebelakang
"Papa sungguh-sungguh malu memiliki Putra yang memiliki kelaian sepertimu. Lebih baik pergi dari rumah ini dan jangan pernah menginjakkan kakimu di rumah ini lagi, sebelum kau menjadi normal."
Brakkk...!!!
Tuan Reno membanting pintu di depannya dan menguncinya dari dalam. Rasa kecewa yang ia miliki pada Leon mengalahkan rasa sayangnya, tuan Reno mengusir putra bungsunya dan memintanya untuk tidak pernah kembali sebelum menjadi normal.
Bukan karena tuan Reno membenci Leon, namun tuan Reno ingin agar Leon bisa sadar. Adrian adalah kakaknya, dan tidak seharusnya dia mencintai kakaknya sendiri
"OKE!! AKU AKAN PERGI, DAN JANGAN HARAP AKU SUDI MENGINJAKKAN KAKIKU DI RUMAH INI LAGI."
Tuan Reno menutup matanya. Tangan kanannya mencengkram dadanya yang terasa sesak. Dengan langkah tertatih, ayah dua anak itu menghampiri Adrian yang sejak tadi hanya menundukkan wajahnya lalu memeluk putra sulungnya itu.
"Tidak perlu merasa bersalah, Drian. Kita berdua tidak akan pernah kehilangannya, percayalah pada Papa jika suatu saat nanti Leon pasti akan kembali ke dalam pelukan kita." Adrian mengangguk.
Pengakuan Leon yang mengejutkan tentu menjadi pukulan berat untuk Tuan Reno dan Adrian. Mereka tidak menyangka jika Leon memiliki kepribadian yang menyimpang.
Dengan entengnya Leon mengatakan jika dirinya sudah jatuh cinta pada Adrian yang notbainnya adalah kakak kandungnya sendiri. Hati tuan Reno hancur sehancur-hancurnya, dan dia hanya bisa berdoa semoga keajaiban dalam hidup putra bungsunya.
🌹
"Minumlah dulu."
Vivian meletakkan teh panas di atas meja. Mata hazelnya menatap sahabat yang merangkap sebagai cinta pertamanya itu dengan sendu.
Leon telah menceritakan semuanya pada Vivian termasuk Adrian yang selama ini hanya mempermainkannya. Leon juga mengatakan jika ia telah di usir oleh ayahnya, dengan tangan terbuka Vivian menerima Leon dan mengijinkan pemuda itu untuk tinggal bersamanya.
Vivian adalah satu-satunya orang yang mengetahui jika Leon adalah seorang pemuda yang tidak normal, Vivian tidak pernah merasa jijik ataupun risih dengan kelainan yang Leon miliki apalagi merubah perasaannya pada pemuda itu.
Vivian bangkit dari duduknya lalu menghampiri Leon kemudian duduk di samping pemuda itu. Vivian menarik bahu Leon dan membawa pemuda itu kedalam pelukannya. Vivian mengusap punggung Leon dengan gerakan naik turun.
"Aku tidak akan menertawakanmu meskipun kau ingin menangis, jangan di pendam. Jika kau ingin menangis, menangislah. Bahuku ini siap menampung semua air matamu. Cinta sepihak memang sangat menyakitkan"
Leon melepaskan pelukan Vivian dan menjitak gemas kepala gadis itu. "Aku bukan pria melankolis Nona, dan aku tidak akan menangis hanya karna hal sepele." Ujarnya.
Leon bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju lemari pendingin, Leon kembali sambil menggenggam minuman kaleng bersoda.
"Yakkk...!!! Aku sudah membuatkanmu teh hangat, tapi kenapa kau malah mengambil minuman itu??"
"Ck, dasar pikun. Apa kau ingin membunuhku? Jelas-jelas aku alergi pada semua jenis teh,"
Vivian menepuk jidatnya dan tersenyum tiga jari. "Sorry," sesalnya. "Aku lupa, baiklah biar ku minum sendiri teh ini." Vivian meraih cangkir teh yang ada di atas meja dan meminumnya, kedua matanya terbelalak.
Vivian menyemburkan teh di dalam mulutnya. Lidahnya terasa terbakar. "Panas.. panas..!" panik Vivian sambil mengibaskan tangannya di depan lidahnya yang menjulur keluar.
Leon mendengus geli, ia tidak tau kapan sahabat barbienya itu akan menghilangkan sikap cerobohnya itu.
"Kau tidak berubah sama sekali, tetap saja ceroboh."
Vivian berdecak sebal sambil menatap Leon kesal. Gadis itu menyambar gelas berisi air mineral yang Leon sodorkan padanya lalu meneguknya.
"Berisik, sebaiknya mandi sana setelah ini temani aku berbelanja. Aku juga mau mandi." kata Vivian yang masih belum beranjak dari tempatnya.
"Oke, ayo mandi." Leon bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Vivian.
"Ma..mandi?" ucapan Leon sukses membuat pipi Vivian merona.
Leon memutar matanya bosan. "Tidak barengan, dasar mesum." cibir Leon dan pergi begitu saja. Vivian pun bergegas pergi kekamarnya untuk mandi dan mengganti pakaiannya.
Tak sampai 20 menit Vivian selesai merias diri. Gadis itu memakai jeans ketat, blus putih berenda yang di balut cardigan tipis berwarna putih juga yang lengannya di gulung sampai siku.
Hils yang senada dengan warna blus dan cardigannya. Rambut panjangnya di ikat ekor kuda dengan sapuan make up tipis yang semakin menyempurnakan penampilannya.
Vivian menuruni tangga dan mendapati Leon duduk di ruang dengan tubuh sedikit membungkuk. Vivian memperhatikan apa yang tengah pemuda itu lakukan, rupanya Leon sedang mengikat tali sepatunya.
Lagi-lagi Vivian di buat kagum dengan style yang Leon kenakan , meskipun terkesan buruk dan serampangan, namun hal itu tidak mengurangi sedikit pun ketampannya.
Apa pun dan bagaimana pun Leon, bagi Vivian dia tetaplah pemuda yang sama. Pemuda yang sangat dicintainya meskipun perasaan tulusnya tidak pernah terbaca oleh Leon.
"Hei! Vivian, sampai kapan kau akan berdiri di sana seperti orang bodoh?" tegur Leon yang segera menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
Vivian memandang Leon dengan tatapan mirisnya, ia berharap Leon mau mengomentari penampilannya atau sekedar melirik kearahnya. Namun dugaan Vivian salah.
Dandan secantik apa pun ia di depan Leon, namun hal itu tidak akan memberikan pengaruh apa pun untuknya.
Dada Vivian terasa sesak, meskipun di suguhi wanita bu*il nan sexy di depannya tapi Leon akan lebih tertarik sama sekali. Tapi Vivian tetap berharap suatu saat nanti Leon akan menjadi normal dan bisa menerima kehadirannya.
"Kita berangkat." kata Vivian dan melewati Leon begitu saja.
.
.
BERSAMBUNG.
Leon memicingkan matanya dan menatap punggung Vivian yang semakin menjauh dengan tatapan penuh selidik. Pemuda itu merasa heran dengan perubahan sikap sahabatnya itu. Tadi Vivian bersikap baik-baik saja, tapi sekarang dia bersikap aneh.
Leon mendengus berat, Leon mengayunkan kedua kakinya secara bergantian, dan dengan cepat ia menyusul Vivian yang sudah menunggunya di halaman rumah minimalisnya.
Bahkan tatqpqnnya berubah dingin ketika menatapnya."Jangan lupa kunci pintunya," kata Vivian tanpa menatap lawan bicaranya. Gadis itu mengalihkan tatapannya dan menatap ke arah lain.
Leon melemparkan kunci itu pada Vivian yang kemudian di simpan di tas kecilnya. Leon berjalan menuju motor sport merahnya yang terparkir di halaman rumah Vivian.
Dengan langkah santai, Vivian menghampiri Leon yang sudah selesai memanaskan motor besarnya. "Ayo," Vivian duduk di belakang dengan kedua tangan yang ia letakkan di atas bahu tegap pemuda itu.
Motor besar Leon perlahan melaju meninggalkan halaman rumah Vivian dan keluar menuju jalan raya. Leon mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi, Vivian yang terkejut refleks memeluk pinggang Leon dengan dada menempel sempurna pada punggung pemuda itu.
Bagi Vivian moment semacam ini sangat berarti, namun tidak untuk Leon. Leon tidak merasakan apa pun meskipun Vivian memeluknya seperti itu, Leon merasa biasa-biasa saja.
20 menit kemudian mereka tiba di pusat perbelanjaan, Vivian pun segera turun dari motor besar Leon dan berjalan menuju pintu masuk, di sana ia menunggu Leon yang sedang memarkirkan motor besarnya.
Tak jauh dari tempat Vivian berdiri, terlihat beberapa pria yang terus mencuri pandang kearahnya, orang itu menatap Vivian dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bangkit dari duduknya, orang itu menghampiri Vivian.
"Hai cantik, sendirian saja. Boleh dong kami temani." Pria itu mencoba menggoda Vivian namun dihiraukan olehnya. Vivian tak tak mau peduli.
"Tidak sopan," dengan kasar Vivian menyentak tangan orang itu dari dagunya dan menatapnya tajam.
Bukannya merasa marah dan lekas pergi, orang itu memandang rekan-rekannya lalu memberi kode pada mereka untuk mengamankan Vivian yang menurutnya sangat liar itu.
Vivian mundur beberapa langkah kebelakang, perasaannya mulai tidak enak, Vivian yakin jika orang-orang itu memiliki niat buruk padanya"Ma..mau apa kalian?" tanya Vivian terbata-bata. Dia sangat ketakutan sekarang.
"Santai cantik, tidak usah takut. Kami bukan orang jahat kok. Bagaimana kalau kamu ikut kami dan menemani kami bersenang-senang??" Ucap salah satu dari preman-preman itu.
"Lepaskan," jerit Vivian histeris.
Sekuat tenaga gadis itu mencoba melepaskan cengkraman dua orang yang memegangnya, namun apa daya. Tenaga Vivian tidaklah sebanding dengan mereka. "LEON!! tolong...." dan teriakan keras Vivian sampai pada telinga Leon.
"Bang*at, lepaskan gadis itu."
Bruggg...!!!!
Leon menarik pakaian belakang pria yang hendak melecehkan Vivian, kakinya menendang tulang rusuk salah satu dari dua orang itu hingga terkengkang kebelakang.
"Kurang ajar, apa yang kalian lihat? Hajar pemuda sok pahlawan itu." merasa tidak terima, bos dari para perusuh itu memberi perintah pada anak buahnya untuk menghajar dan mengeroyok Leon.
Adu pukul antara Leon dan pria-pria itu pun tidak dapat terhindarkan lagi, meskipun hanya seorang diri namun hal itu tidak membuat Leon gentar sedikit pun.
Dan tidak sampai 10 menit, Leon berhasil mengatasi orang-orang itu. Leon menghampiri Vivian dan memastikan apa gadis itu baik-baik saja.
"Kau tidak apa-apa???" tanya Leon memastikan. Vivian menatap Leon sejenak lalu mengangguk tipis. Meyakinkan pada Leon jika dirinya baik-baik saja.
"Ya, hanya pergelangan tanganku yang sedikit nyeri." Jawabnya.
Leon meraih tangan Vivian dan mendapati pergelangan tangan gadis itu memerah. "Nanti kita kompres, sebaiknya sekarang kita masuk ke dalam. Bukankah kau ingin berbelanja." Vivian pun mengangguk.
Leon merangkul punggung Vivian. Keduanya pun berjalan beriringan memasuki pusat perbelanjaan. Vivian merasakan pipinya memanas karena sentuhan fisik antara dirinya dan Leon.
Leon meninggalkan Vivian dan mengambil troli lalu mendorongnya menuju rak berisi berbagai jenis barang dengan Vivian berjalan di sampingnya.
Pertama mereka menuju rak yang menyediakan berbagai jenis bahan makanan, lalu mereka menuju rak yang menyediakan buah-buahan segar dan sayuran. Lalu menuju rak berisi sarden dan daging kalengan.
"Malam ini kau ingin makan apa, Leon?" tanya Vivian yang masih setia berjalan di samping Leon.
Leon mengangkat bahunya. "Entah, terserah kau saja." jawabnya asal.
"Hhmm." Vivian tampak menimbang-nimbang jenis makanan apa saja yang akan ia beli kali ini.
Jika biasanya ia hanya memikirkan perutnya saja, tapi kali ini tidak. Ada orang lain yang ikut tinggal satu atap dengannya. Dan Vivian tau pasti makanan apa yang paling Leon sukai.
Kemudian Vivian mengambil beberapa bungkus mie instan, daging kalengan, pasta dan sarden lalu memasukkan kedalam troli yang masih kosong.
"Ayo." mereka kembali berkeliling untuk menemukan barang-barang yang mereka butuhkan.
Kebersamaan mereka di iringi candaan kecil, Leon dengan jahil mengolesi pipi Vivian dengan tepung yang bocor. Dan berlanjut dengan Vivian yang membalasnya, dan hal itu terus berlanjut, mereka saling membalas.
Diam-diam Vivian mengulum senyum tipis, moment semacam ini begitu berarti untuknya, meskipun Leon tak merasakan hal yang sama.
Jika boleh berharap. Vivian berharap waktu berhenti berputar detik itu juga agar kebersamaannya dengan Leon tidak cepat berakhir. Vivian ingin memiliki lebih banyak waktu bersama pemuda yang dicintainya itu.
"Leon, kau lebih suka yang mana? Jeruk atau apel?" Vivian menunjukkan dua jenis buah pada pemuda tampan di sampingnya.
Leon bersidekap dada, menimbang buah mana yang akan ia pilih, bukan menunjuk salah satu dari kedua buah yang Vivian tunjukkan padanya. Leon malah mengambil anggur hijau dan anggur merah.
"Bagaimana kalau yang ini saja??" Vivian mendengus.
Dengan kesal Vivian mengembalikan apel dan jeruk itu ketempatnya lalu memasukkan dua jenis anggur itu kedalam troli.
"Bukankah kau sangat menyukai jeruk? Kenapa tidak kau ambil juga??" Leon menarik plastik trasparan yang ada di samping Vivian lalu memasukkan puluhan jeruk ke dalam kantong itu.
"Tidak usah banyak-banyak. Toh, hanya aku sendiri yang memakannya. Bukankah kau sangat membenci jeruk, itulah kenapa aku tidak jadi mengambilnya." Tutur Vivian panjang lebar.
Leon tidak memberikan jawaban lagi. Pemuda itu mengusap kepala Vivian lalu melewatinya begitu saja. Vivian tersenyum sambil memegangi kepalanya yang baru saja di pegang oleh Leon. Gadis itu tersenyum lebar.
"Vivian, ayo.."
"Yakk!! Leon, tunggu aku!!"
.
.
.
"Sudah dapat semua yang kau butuhkan?" tanya Leon memastikan.
Vivian mengangguk. "Sudah." Jawabnya tersenyum.
Setelah hampir dua jam berkeliling, akhirnya mereka mendapatkan semua barang yang mereka butuhkan. Leon dan Vivian membawa semua belanjaannya menuju kasir dan membayarnya.
Dua kantong besar sudah berada di genggaman Leon. Leon menolak ketika Vivian menawarkan untuk membantu membawakan belanjaan itu. Vivian tersenyum tipis, dengan hati riang, gadis itu menyusul Leon yang sudah berjalan menuju parkiran.
"Yakk!! Leon,kenapa aku ditinggalkan lagi?!"
"Karena kau lelet!!"
.
.
.
T.B.C
Malam sudah semakin larut tapi Vivian tak kunjung bisa menutup matanya. Meskipun sudah mulai memberat, tapi kedua matanya masih sulit dan enggan untuk dipejamkan.
Gadis itu beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan lurus menuju jendela besar di samping tempat tidurnya. Langit malam ini terlihat cerah, jutaan manik-manik langit bertaburan menghiasi langit malam.
"Huft,"
Gadis itu mendesah berat. Kenapa rasanya begitu sulit dan menyakitkan. Dia tidak pernah merasakan jatuh cinta pada orang lain, dan sekalinya jatuh cinta pemuda yang dia cintai adalah seorang yang tidak normal. Dan itu membuatnya menjadi lebih sulit.
Vivian ingin sekali bisa memenangkan hati Leon dan membuat dia hanya mencintainya, tapi dia tidak tau bagaimana cara harus melakukannya.
"Ya Tuhan, kenapa kau membuat semuanya menjadi begitu sulit. Bantu aku, Tuhan, bantu aku memenangkan hatinya. Bantu aku membuatnya menjadi normal karena aku ... sungguh-sungguh mencintainya!"
🌹
Leon yang baru saja bangun di buat bingung dengan keadaan rumah yang begitu sepi. Ia tidak melihat batang hidung Vivian di mana pun padahal jam di dinding baru menunjukkan pukul 7 pagi.
Leon berjalan lunglai menuju lemari pendingin yang berada di ruang makan kemudian mengeluarkan sebotol air mineral dan meneguk setengai dari isinya.
Matanya menyapu ke segala penjuru arah dan tanpa sengaja mata abu-abunya melihat memo yang tertempel di papan kecil di atas kulkas. Leon menarik memo itu lalu membacanya.
"Aku ada kuliah pagi, dan aku sudah menyiapkan sarapan untukmu."
Leon meletakkan memo itu di atas kulkas lalu berjalan menuju meja makan. Membuka tudung saji dan mendapati beberapa jenis makanan tersaji rapi di atas meja dengan semangkuk nasi yang di letakkan di samping secangkir kopi pahit kesukaan Leon.
Leon menarik kursi untuk duduk. Meletakkan beberapa lauk berbeda di atas nasinya dan mulai menyantap sarapannya.
Leon menutup matanya seraya mengunyah makanan yang ada dimulutnya, meresapi rasa nikmat dari hidangan special yang memang Vivian siapkan untuknya. Leon tidak tau bagaimana mungkin gadis itu bisa mengetahui semua makanan kesukaannya.
Tapi Leon sangat bersyukur karna memiliki sahabat seperti Vivian yang bisa menerima dirinya apa adanya, bahkan Vivian tidak merasa risih meskipun dia tau bila dirinya adalah seorang...
Ting...!!
Ponsel milik Leon berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Dengan segera Leon mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja dan membuka pesan tersebut lalu membacanya.
"Hei pemalas, apa kau sudah bangun? Aku sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanmu. Makan yang banyak jangan sampai kau menjadi kurus karena kelaparan! Maaf aku pergi tanpa memberitaumu. Aku tidak tega untuk membangunkanmu. Kau terlihat lelah."
Leon tersenyum tipis membaca pesan singkat itu. "Kau memang sahabat terbaikku, Vivian Astoria. Aku beruntung bisa mengenal gadis sebaik dan sehebat dirimu." Meletakkan kembali ponselnya di atas meja dan melanjutkan sarapannya yang sempat tertunda.
.
.
Leon menghentikan motor besarnya di halaman sebuah bangunan yang terlihat sedikit mengerikan.
Banyak coretan-coretan yang menghiasi dindingnya. Kedatangan Leon di sambut oleh beberapa orang yang tanpa aba-aba langsung melayangkan serangan padanya.
Leon menahan setiap serangan yang datang padanya, memukul mundur beberapa pria yang mencoba menyerangnya.
Leon menghajar orang-orang itu tanpa ampun. Sedikitnya ada 5 pria yang terkapar di tanah setelah di hajar habis-habisan oleh Leon. Leon menarik pakaian salah satu dari kelima pria itu.
"Katakan di mana bos kalian?" tanya Leon tanpa basa basi.
"Bos tidak ada di tempat, di-dia sedang pergi."
"Jangan coba-coba membohongiku jika kau tidak ingin kuhabisi di sini." ancam Leon, pria itu menggeleng.
"Ti...dak, saya tidak berbohong. Bos memang tidak ada di tempat, dia sedang pergi." Leon mendorong tubuh pria itu hingga terhempas ke tanah.
Leon kembali menaiki motor besarnya dan dalam hitungan detik motor sport itu melesat jauh menuju jalan raya. Leon melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, menyalip beberapa kendaraan yang ada di depannya. Tak jarang Leon mendapat cacian dan makian dari pengendara lain.
Di tengah hiruk piruk kota yang di padati kendaraan umum maupun pribadi, tanpa sengaja mata abu-abunya menangkap sebuah pemandangan yang sangat menyakitkan.
Leon melihat siluet seseorang yang sangat ia kenal berdiri di pinggir jalan bersama seorang orang asing. Mereka terlihat dekat dan sangat mesra. Hati Leon seperti terbakar melihat pemandangan menyakitkan itu.
Brakkk...!!!
Karena kehilangan konsentrasinya, motor besar Leon terperosok di jalanan saat mencoba menghindari kendaraan lain.
Tubuh pemuda itu terhempas dan terguling di aspal. Helmnya pecah menjadi dua bagian.
Darah segar terlihat mengalir lengan kiri atas juga dahi sebelah kanannya, dan ada luka lain di tulang pipi kirinya. Seketika orang-orang berkerumun menghampiri pemuda itu yang bersusah payah mencoba untuk berdiri.
Beberapa orang membantu menepikan motor Leon, tidak ada kerusakan yang berarti hanya lecet di bagian sisinya karna bersentuhan dengan aspal.
"Nak, kau terluka. Sebaiknya kau segera pergi kerumah sakit. Aku akan memanggilkan taxi untukmu." Seru seorang paruh baya yang merasa prihatin melihat keadaan Leon.
Pemuda itu mengangkat wajahnya kemudian menggeleng. "Tidak perlu, aku tidak apa-apa dan hanya luka kecil saja," ucapnya meyakinkan.
"Tapi Nak, luka-lukamu cukup parah dan terus mengeluarkan darah. Atau begini saja, bagaimana kalau kau ikut ke rumah Paman. Biar Paman yang mengobati luka-lukamu itu. Kebetulan rumah Paman tidak jauh dari sini."
Leon terdiam beberapa saat. Jika ia pulang dalam keadaan berlumur darah, dan Vivian melihatnya, pasti gadis itu akan histeris kemudian jatuh pingsan.
Karena Leon tau bila Vivian memiliki phobia pada darah selain phobia anehnya pada mentimun family. "Baiklah Paman, aku akan ikut denganmu." setelah berfikir cukup lama. Akhirnya Leon menerima tawaran paruh baya itu dan ikut kerumahnya.
.
.
.
"Nah selesai, Nak."
Luka-luka itu sudah di tutup perban, darah segar menyembul menodai kasa putih yang menandakan jika luka itu masih sangat baru.
Leon melepaskan poninya yang semula ia tarik ke atas menggunakan jari-jarinya, helaian rambut itu menutupi sebagian perban yang melingkari dahinya juga bercak darah yang berada tepat di atas alis kanannya
"Terimakasih, Paman. Maaf jika harus merepotkanmu." sesal Leon.
Paruh baya itu tersenyum simpul lalu menggeleng. "Tidak sama sekali Nak, bukankah sudah selayaknya kita harus saling tolong menolong. Oya jika kau masih merasa pusing sebaiknya istirahat dulu di sini. Ada beberapa kamar kosong, yang salah satunya bisa kau tempati."
Leon menggeleng. "Tidak perlu, Paman, karena aku harus pergi sekarang,"
"Baklah kalau begitu. Kapan pun jika kau ingin datang, jangan merasa sungkan karena pintu rumah ini terbuka lebar untukmu." Leon tersenyum tipis lalu mengangguk.
Setelah berpamitan pada paman baik hati tersebut. Leo bergegas pergi. Ia berniat untuk menjemput Vivian di kampusnya, tapi sebelum pergi menjemput gadis itu.
Ada baiknya ia mengganti pakaiannya terlebih dulu, karena tidak mungkin Leon mendatangi kampus Vivian dengan pakain berlumur darah.
Leon menengok kearah belakang. Setelah di rasa aman, Leon segera menambah kecepatan pada motornya dan dalam hitungan detik motor sport itu melesat jauh meninggalkan keramaian kota.
🌹
Rasa cemas kembali menggerogoti perasaan Vivianl Entah mengapa tiba-tiba ia teringat pada Leon, Vivian berharap semoga pemuda itu baik-baik saja setelah semua yang terjadi.
Sebagai seorang sahabat dan orang yang peduli padanya, Vivian sangat memahami bagaimana perasaan Leon saat ini.
Vivian tidak tau bila perasaan yang Leon pada Adrian bisa sampai sedalam itu. Leon selalu menunjukkan sikap yang wajar di depan semua orang.
Leon selalu menutup rapat-rapat rahasianya dari semua orang, tidak ada satu orang pun yang mengetahui bila ia tidak normal keculi dirinya.
Di depannya, Leon selalu mengatakan jika ia baik-baik saja karena pemuda itu tidak ingin membuat dirinya terus-terusan mencemaskannya.
Vivian tau bila Leon tidaklah baik-baik saja setelah mendengar ceritanya semalam. Vivian semakin yakin bila yang Leon rasakan pada Adrian bukanlah cinta melainkan sebuah obsesi yang terlalu berlebihan.
"Ck, melamun lagi. Sebenarnya ada apa sih denganmu akhir-akhir ini?" rutuk Vania, saat ini mereka berdua sedang berada di kantin kampusnya.
Vivian sendiri tidak terlalu fokus pada apa yang di katakan oleh sahabatnya itu. "Apa hal ini ada hubungannya dengan pemuda yang sering kau ceritakan padaku?"
Vivian mengangkat wajahnya dan menatap Vania tanpa ekspresi. "Van, apakah ini saatnya aku menyerah saja? Sepertinya memang tidak ada harapan untukku bisa mendapatkan hatinya. Hatinya sudah terikat pada orang lain, jujur saja aku mulai lelah." lirih Vivian parau.
Matanya sudah memerah menahan tangis, tapi Vivian tidak mau menangis. Akan sangat konyol jika ia menangis di tempat terbuka seperti ini.
"Hah......???"
"Terus terang aku merasa lelah. Aku sudah bertahan selama bertahun-tahun, tapi apa yang kudapatkan. Hanya luka dan rasa sakit, dia mencintai orang lain. Aku lelah, aku sungguh-sungguh lelah. Katakan padaku, sekarang aku harus bagaimana?"
Vania mengatupkan bibirnya, ia sungguh-sungguh prihatin melihat keadaan sahabatnya itu.
Selama 10 tahun Vivian memendam perasaan pada pemuda yang hanya menganggapnya sebagai sahabat, dan Vania mengerti bagaimana rasa sakitnya cinta sepihak.
Tapi ia sendiri bingung harus melakukan apa untuk membantu sahabatnya itu, Vania menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Sebenarnya--"
"Senior, seseorang mencarimu?"
Vania tidak melanjutkan kalimatnya karna teguran seorang gadis berkaca mata berkepang dua yang saat ini berdiri di samping Vivian.
"Mencariku?" kata Vivian.
Gadis itu mengangguk. "Dan dia menunggumu di depan gerbang."
Vivian terdiam, otaknya terus berfikir. Kira-kira siapa orang yang mencarinya . "Apa kau tau ciri-cirinya atau style pakaiannya mungkin?"
Gadis itu berfikir mencoba mengingat-ingat."Dia memiliki kulit seputih susu, wajah yang tampan dan sorot mata yang tajam. Dia memiliki 5 tindik di telinganya 1 di ujung alis kanannya."
"Eyeliner yang membingkai matanya, terus dia memakai pakaian mirip brandalan. Satu lagi Senior, ada perban yang melingkari dahinya dan menutupi tulang pipinya." tutur gadis itu memaparkan.
"Haaaa! Vi, kenapa aku memiliki firasat buruk tentang orang yang mencarimu itu? Jangan-jangan dia memiliki niat buruk padamu.?" Vivian mendelik tajam pada Vania, rasanya Vivian ingin sekali menyumpal mulut bawelnya itu.
Vivian terdiam untuk beberapa saat. Dari ciri-ciri yang juniornya sebutkan. Vivian berani bersumpah jika orang itu adalah Leon. Tapi yang menjadi pertanyaannya, perban di kening dan di tulang pipinya?
Tak ingin rasa penasaran semakin menggerogoti fikirannya. Vivian beranjak dari duduknya dan berjalan menuju jendela kaca yang ada di belakangnya. "Leon," lirihnya tak percaya.
Orang itu ternyata benar-benar Leon. Mengabaikan Vania dan juniornya, Vivian menyambar tasnya lalu bergegas menghampiri Leon. Bahkan gadis itu tidak menghiraukan teriakan keras Vania.
"Yakkkk...!! Vivian Astoria, kau mau kemana? Lalu siapa yang akan membayar makanan dan minumanmu ini!" Teriak Vani
"BAYARKAN SAJA DULU! AKU UTANG PADAMU, OKE!"
.
.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!