Hallo, Readers yang baik!
Senangnya kita bisa berjumpa kembali. Terima kasih untuk semua dukungan pada cerita pertamaku--DIANDRA--yang kini telah tamat setelah menempuh dua musim dengan hampir memiliki 150 episode.
Semua dukungan yang pembaca berikan dalam bentuk vote, like, komen, bahkan hingga rekomendasi ke pembaca lainnya, sungguh sangat berpengaruh baik untuk perkembangan ceritanya.
By the way, ini adalah kelanjutan cerita dari cerita sebelumnya, yang kupersembahkan khusus sebagai rasa syukur atas dukungan yang terus mengalir dari semua pembaca. Tetep aku butiran debu tanpa kaliyan semuwah 🙏
Cerita ini akan fokus dan menitikberatkan untuk melanjutkan kisah cinta sang duren sawit (duda keren sangat berduit) alias sang babang Bram Trahwijaya.
Setelah menduda dan berdamai dengan masa lalu, akankah pertemuan tidak sengaja dengan seorang gadis bermata biru akan mengubah kehidupannya? Saat cinta menyapa, akankah dia siap membuka lembaran baru dan menggapai bahagia?
Jika saja cinta itu begitu membekas dengan penyesalan yang membara, akankah dia punya satu kali saja kesempatan untuk merengkuh arti bahagia?
Oh iya, bagi pembaca yang ingin mengenal lebih jauh tentang kehidupan Bram sebelumnya, aku sarankan untuk membaca cerita DIANDRA terlebih dahulu, ya. Karena kata pepatah tak kenal maka tak sayang 😂 Jangan lupa bantu like dan tinggalkan komentar setelah membaca, aku sangat menghargai setiap dukungan yang diberikan 😊
Untuk membaca novel DIANDRA, bisa diketik saja DIANDRA pada kolom pencarian, atau di klik di Profilku -> Karya.
Untuk pembaca yang telah membaca kisah Bram sebelumnya, terima kasih banyak. Semoga dengan adanya cerita ini akan mengobati kerinduan kita pada sang duren, membawa manfaat yang baik dan semoga dapat menemani hari-hari kalian semua.
Mohon bersabar ya cekgu 🙏 Pasti akan diupayakan yang terbaik untuk cepat memulai ceritanya.
Ini hadir karena kebaikan kalian, ini hadir untuk kalian 😊
.
.
.
Travelove, because while travel I find love.
.
.
.
See you soon ❤️
"Karena masa lalu membelenggu aku, mengambil alih seluruh kehidupanku. Saat aku begitu mencintaimu, salahkah jika aku ingin sekali saja memastikan bahwa kau hidup bahagia setelah perpisahan kita?" ~Bram Trahwijaya.
.
.
.
Waktu sering kali tidak berpihak pada kita. Menyelami takdir, membuat manusia tanpa sadar lupa akan garis yang harus dia jalani dalam kehidupan ini. Persis sama seperti yang dirasakan oleh seseorang, saat dia tanpa sadar telah dibelenggu oleh perasaan bersalah yang datang tanpa akhir yang pasti.
Lelaki itu mencengkram pegangan kursi pesawat kelas bisnisnya dengan erat. Memandangi ke arah luar jendela, dia tampak sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. Rahangnya terlihat tegas sempurna, dengan dagu lancip dan hidung yang tinggi. Manik kehitamannya memancarkan cahaya, namun dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak.
Menata rambutnya dengan baik kali ini, lelaki itu tampak begitu tampan meski dia tidak berusaha keras untuk terlihat seperti itu. Seolah-olah kharismanya memancar tanpa dia perlu bersusah payah, tidak jarang mengundang decak kagum atas visualnya yang begitu mendebarkan dada.
Tidak hanya memiliki wajah yang tampan dan rupawan, tetapi dia juga dikaruniai tubuh atletis berisi yang sesuai porsi, dengan dada bidang selebar bahu. Jika dia melebarkan kedua tangannya ke udara, maka bisa dipastikan banyak gadis akan berebut untuk masuk ke dalam pelukannya.
Belum lagi dengan pakaian dan aksesoris serba branded yang dia kenakan di sekujur tubuhnya, yang sudah pasti menandakan bahwa dia tidak berasal dari kalangan orang biasa. Terlahir sebagai pewaris tunggal salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, dirinya sudah terbiasa hidup dalam taraf kehidupan yang berlebih, meski dia tumbuh besar tanpa sosok seorang ibu.
Jika ada kata di dunia ini yang mampu menggambarkan dirinya, maka satu kata sempurna mungkin adalah kata yang paling tepat. Meski tampaknya dia sempurna dan istimewa di luar, tetapi nyatanya tidak begitu dengan keadaan yang dia coba sembunyikan rapat-rapat.
Hatinya remuk redam, meski tidak tampak begitu jelas melalui sorot matanya. Bukan, bukan karena dia tidak merasa sedih. Tetapi karena dia telah begitu lihai dalam menyembunyikan sesuatu, sebab waktu telah mengajarinya banyak hal.
Setiap detik yang dia telah lalui, kini muncul dan terangkai dalam banyak kepingan memori. Memuculkan kenangan indah, kenangan manis, kenangan menyedihkan, hingga air mata yang habis tidak bersisa.
Perceraian, kini adalah sebuah momok menakutkan bagi seorang pebisnis muda nan sukses, Bram Trahwijaya. Nyatanya piawai dalam mengurusi perusahaan dan memiliki hampir ribuan karyawan di bawah pimpinannya, tidak menjamin bahwa dia akan berhasil dalam membangun biduk rumah tangga.
Pernikahan yang terjadi atas landas bisnis, entah mengapa membawa Bram pada pusaran cinta yang menghanyutkan. Menolak pesona yang dipancarkan istrinya-- maksudnya mantan istrinya, lelaki itu justru jatuh semakin dalam dalam kubangan cinta seorang gadis muda bermanik kecoklatan.
Dia menyadari dengan baik, memahami dengan benar bahwa seharusnya pernikahan dengan kesepakatan di awal, tidak boleh melibatkan cinta di dalamnya. Seharusnya mereka berada dalam jalur yang benar, menyelesaikan kesepakatan yang telah ada di awal pernikahan hingga akhirnya berpisah setelah waktu yang ditentukan. Seharusnya semudah itu, seharusnya sesederhana itu.
Namun, lagi-lagi kau tidak memilih cinta, tetapi cinta yang telah memilihmu. Waktu yang menentukan, waktu yang menumbuhkan benih cinta di antara keduanya. Tidak menyadari gadis itu telah mencuri atensinya, memporakporandakan hatinya yang selama ini dia biarkan membeku. Meski wanita datang silih berganti menghangatkan ranjang, Bram belum pernah bertekuk lutut seperti ini pada seorang wanita sebelumnya.
Dia tahu dengan benar, tahu dengan sadar bahwa dia mencintai gadis itu, Diandra Lee.
Hanya saja, takdir telah memporakporandakan rumah tangga mereka, membawa mereka berakhir di meja hijau hingga harus berakhir dengan mendapati sebuah surat cerai yang sah. Surat yang memisahkan, surat yang memutuskan hubungan. Surat yang sekaligus membentang jarak, surat yang juga menghancurkan hatinya berkeping-keping tanpa dia sadari.
Setelah kepergian gadis itu, Bram sudah jelas kehilangan arah. Menyesali semua perbuatan yang dia lakukan pada mantan istrinya, berharap jika sekali saja dia punya kesempatan untuk merubah semuanya. Berharap dia bisa menjaga hati dan perasaan wanita itu, hingga dia punya waktu yang tepat untuk memulai semuanya dengan benar.
Namun apa daya. Waktu tidak lagi berpihak padanya sebab Diandra sudah memilih untuk pergi. Keputusan yang gadis itu ambil benar-benar menenggelamkan Bram dalam lautan rasa bersalah. Meninggalkan lelaki itu tanpa sepatah kata, saat lelaki itu sedang memupuk cintanya yang membara meski dia melakukan kesalahan fatal.
Kini, bahkan setelah setahun lebih berlalu, luka itu masih tetap menganga.
Meninggalkan bekas dengan sayatan yang masih terbuka lebar, menimbulkan denyutan di setiap degupan jantung seorang Bram Trahwijaya. Jangankan untuk melanjutkan hidup, bernapas saja terlalu sulit untuknya.
Bagaimana kabarmu, Diandra? Apa kau pernah sekali saja memikirkan aku? Apakah kau bahagia setelah pergi dari sisiku?
Menanggung kesepian saja sudah sulit untuk lelaki itu, ditambah lagi saat dia menerima kabar bahwa mantan istrinya kini telah menikah lagi. Terlebih, lelaki yang kini menggantikan posisinya adalah lelaki yang sejak dulu telah dia tidak sukai, meski Bram tidak pernah menaruh dendam pada pria berdarah Perancis itu. Mau tidak mau dia harus merelakan, bahwa gadis itu telah memiliki orang lain yang bisa melindunginya.
Ah, Diandra. Mengapa takdir begitu tidak memihakku? Mengapa tidak sekali pun aku punya kesempatan untuk menjelaskan semuanya padamu?
Masih termenung, Bram sayup-sayup mendengar sapaan dari petugas penerbangan yang kini berada tepat di depannya. Lelaki itu memalingkan wajah untuk melirik sekilas pada seorang wanita yang tampaknya berasal dari ras Eropa. Memperhatikan dengan seksama prosedur penyelamatan diri yang sedang diperagakan oleh pramugari cantik berambut pirang itu, Bram menyunggingkan sebuah senyuman kecil di sudut bibirnya.
Apa kau telah berubah, Diandra? Apa manik kecoklatanmu masih tampak sama? Apa kau memanjangkan rambutmu, atau kau memotongnya pendek? Apa kau masih menyukai keju atau cokelat?
Bram masih bergumam dalam hati saat terdengar suara gemuruh dari pesawat, menandakan armada besar itu siap untuk lepas landas. Meninggalkan Indonesia, meninggalkan semua kenangan antara Bram dan Diandra. Mungkin inilah satu kesempatan untuknya, kesempatan untuk dia bisa hidup dengan baik. Setidaknya dia harus memastikan, meyakinkan dirinya sendiri dan mengusir rasa bersalah yang telah terlalu lama bersemayam dalam hati.
Aku datang, Diandra. Kumohon sekali saja beri aku kesempatan.
Dia telah terlalu lama berdiam diri dalam pusara penyesalan, dan kini dia berniat untuk menuntaskan semuanya. Setelah terbelenggu begitu lama, kini Bram telah memilih jalannya. Penerbangannya akan membawanya ke Paris, dan dia hanya berharap dia punya satu saja kesempatan.
Tidak menaruh peduli atas apa yang akan dihadapinya nanti, dia hanya perlu bertemu. Menatap manik kecoklatan itu sekali lagi, mengucap maaf dengan benar untuk memecahkan batu yang selama ini memberatkan kedua pundaknya.
Suara sang pramugari masih terdengar sayup, saat Bram menyadari roda pesawat itu sudah tidak lagi berpijak di bumi pertiwi. Seiring dengan waktu yang berlalu, armada besar itu kini benar-benar membelah langit, membawa Bram pada cintanya yang belum selesai.
Menatap ke arah luar jendela saat lampu kabin itu diredupkan, Bram menghela napas dengan pelan. Mengisi rongga dadanya dengan cukup udara, mengumandangkan doa dalam hati agar penerbangannya kali ini akan tiba dengan sempurna.
Aku hanya ingin memeriksa keadaanmu dengan mataku sendiri. Setelah memastikan kau bahagia, mungkin aku bisa melanjutkan hidup. Diandra, kau mau menatap mataku sekali lagi?
~
.
.
.
🗼Bersambung🗼
~Terima kasih sudah mampir kakak... Bantu like dan komentar ya, vote juga boleh hehe.. terima kasih banyak 🙏
Dear Readers, part ini akan berisi flashback pada masa-masa Bram di Paris, agar pembaca baru memahami sedikit banyaknya yang sudah terjadi antara Bram dan Marin. Yang sudah ikutin Diandra dari awal, mohon diikuti saja alurnya ya, hehe terima kasih banyak 🙏
***
"Di luar dugaan, kau tampak begitu baik-baik saja. Berbanding terbalik dengan aku yang begitu kesulitan bernapas tanpamu." ~Bram Trahwijaya.
.
.
.
Kota itu masih sama. Dengan udara yang berhembus sepoi, tidak memberikan sensasi dingin atau menyejukkan, namun berganti dengan sinar mentari yang begitu menghangatkan.
Jika pertama kali dulu Bram menginjakkan kaki di kota ini bersama Diandra, maka kali ini dia datang sebab mantan iparnya--Alberto, yang juga adalah sepupu dari mantan istrinya, mengatakan bahwa dia punya beberapa urusan yang harus dia selesaikan di Paris.
Paris masih seperti itu, begitu menenangkan meski hiruk pikuk warganya tampak jelas sekali terlihat. Setelah memastikan tempat tinggal mereka yang akan ditempati selama mereka berada di kota ini, Bram mengambil jeda untuk beristirahat beberapa jam.
Tidak ingin lama-lama bersantai, dia harus mempersiapkan diri untuk menemui mantan istrinya--Diandra, yang mungkin akan berada di sekitar lelaki itu, Gionard Butcher. Meski dia tahu Gionard tidak pernah berniat mencuri Diandra dari sisinya, tetap dia tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa dia masih memiliki rasa cemburu yang mengisi relung hati. Di satu sisi dia tersiksa, namun di sisi lain dia cukup tenang sebab dia yakin Gionard pasti bisa melindungi gadis itu dengan sangat baik.
Merapatkan jaket, Bram sudah berbelok untuk menuju pada sebuah tempat bersejarah untuknya, yaitu sebuah museum paling terkenal di Paris, Musee du Louvre. Mengingat dia pertama kali mengunjungi bangunan indah ini bersama Diandra, mau tidak mau membuka lagi kepingan kisah yang belum usai. Entah bagaimana soson perempuan itu telah muncul di pelupuk mata, tepat saat dia melangkahkan kakinya memasuki museum.
Menyusuri bangunan yang memamerkan maha karya dari ratusan seniman handal dari seluruh penjuru dunia, Bram menghentikan langkah saat dia berdiri tepat di depan sebuah lukisan fenomenal dari pelukis ternama, dengan maha karyanya Mona Lisa.
Lelaki itu tidak tahu dia akan menemui mantan istrinya begitu cepat. Hanya berencana menyusuri museum yang dulu pernah dia datangi bersama gadis itu, kini Bram benar-benar menatap pada manik kecoklatan milik mantan istrinya.
Diandra berdiri di sana, bergeming. Hingga pertemuan itu menyadarkan Bram bahwa di antara keduanya, hanya dia yang terluka. Setelah perceraian mereka, hanya dia yang merasa kehilangan yang begitu dalam. Menarik napas panjang, Bram telah mengambil kesimpulan bahwa dia selama ini memang terlalu bodoh.
Gadis itu tampak menawan. Dengan dress sebatas lutut yang membalut tubuhnya, wajah Diandra tidak berubah sama sekali. Persis seperti saat dia mengucapkan selamat tinggal di bandara kala itu, tetapi kali ini tidak tampak raut kesedihan pada mimik wajah Diandra. Gadis itu hidup dengan baik, bahkan pancaran matanya tampak lebih indah sejak terakhir kali Bram menatap manik kecoklatannya.
"Aku hamil, Bram. Kami akan memiliki anak."
Kalimat yang kembali menyadarkan seorang Bram Trahwijaya bahwa dia seharusnya memang tidak datang. Seharusnya dia mengabaikan saja tiket dan visa yang ditinggalkan Alberto --mantan abang iparnya-- di mejanya tempo lalu. Kini, di hari keduanya berada di kota romantis itu, Bram telah menyesali diri. Menyesali keputusan yang dia ambil. Mengutuk diri sendiri sebab perasaan yang tidak bisa dia kendalikan. Kali ini rasa cintanya begitu terasa menyiksa, menusuk hingga relung hatinya yang paling dalam.
Fakta yang tidak dapat dia pungkiri adalah, bahwa dia merasa hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi harapan, tidak ada lagi kesempatan. Mereka benar-benar sudah usai. Bahkan Bram sempat berpikir apakah Diandra pernah sedikit saja memikirkan dia setelah perceraian mereka. Ingin sekali bertanya, namun itu semua hanya tertahan di ujung lidah tanpa bisa dia ucapkan sepatah kata pun.
Memikirkan bagaimana hidupnya setahun ini tanpa kehadiran gadis itu, Bram menggeleng pelan. Mengingat betapa bodohnya dia, bagaimana dia terus terjerat cinta masa lalu. Biarlah dia yang merasakan, biarlah dia yang mencoba merelakan.
Tidak mampu berkata apa pun, Bram berjanji akan membiarkan Diandra hidup dengan baik kali ini. Meratapi kesalahan memang sudah jadi bagian dari rutinitas hidupnya, yang entah sampai kapan akan dia lakukan.
Menatap pada manik indah Diandra, yang kini telah resmi menjadi istri pria lain, Bram menarik napas dalam-dalam. Merengkuh asa, meski dia tahu semuanya sudah terlambat.
Diandra, maafkan aku. Seharusnya aku tidak muncul lagi di hadapanmu. Sebab kisah kita telah usai, dan kau baik-baik saja tanpa aku. Meski aku tidak demikian, tetapi berjanjilah agar kau terus hidup bahagia.
***
"Kau kemari kan hanya untuk memastikan dia hidup bahagia, Bram. Hanya itu saja, kan?" Masih terngiang di telinga Bram bagaimana Alberto mengatakan kalimatnya tempo lalu.
Menyadarkan Bram bahwa memang kedatangannya ke Paris kali ini memang adalah untuk memastikan keadaan mantan istrinya dengan mata kepalanya sendiri. Sebab dengan itu dia berpikir dia mungkin bisa melepaskan diri dari belenggu cinta yang telah padam.
Berusaha untuk fokus menyelesaikan urusannya dan Alberto di Paris, Bram tidak lagi berharap apa pun. Dia telah berusaha merelakan, terutama ketika dia benar-benar bertatapan langsung dengan manik tajam Gionard Butcher, suami sah mantan istrinya yang dulu pernah jadi partner bisnisnya. Bram melihat kebahagiaan di sana, di manik Gionard. Keduanya bahagia, baik Diandra atau pun Gionard. Jika ada orang yang tidak bahagia, maka sudah pasti itu adalah dirinya sendiri.
Meski ada sejumput perasaan benci di dalam hatinya, namun Bram bukanlah pria pendendam. Setidaknya dia bersyukur, meski sedikit tidak rela bahwa Diandra kini hidup bahagia bersama seorang lelaki seperti Gionard. Bram sudah tahu lelaki itu menyimpan ketertarikan pada Diandra, bahkan saat sebelum dia mengenal Diandra sampai gadis itu berakhir menjadi mantan istrinya.
Tidak ada yang perlu disesali, setidaknya seperti itu yang Bram mulai pikirkan. Hingga dia tanpa sadar telah dipilih kembali secara acak oleh semesta, saat semesta memainkan takdirnya untuk ke sekian kalinya.
Saat semesta mempertemukannya dengan seorang gadis bermata biru, yang menolongnya ketika dia hampir saja kehilangan dompetnya yang berharga di sebuah jalanan Paris yang ramai. Untungnya gadis itu berada di sana, dan berhasil mencekal tangan sang pencopet nakal. Jika sedikit saja terlambat, sudah dapat dipastikan Bram akan mengalami kesulitan untuk mengurusi surat-surat dan paspornya yang hilang.
Gadis itu memiliki manik biru yang menyihir. Dia mengerjapkan mata dengan bulu mata yang lentik, menggores seutas senyuman indah di wajah khas Parisian miliknya. Dengan tubuhnya yang tampak normal, Bram tidak menyangka dia punya kekuatan luar biasa untuk melumpuhkan pencopet hanya dengan sebelah tangan. Bibirnya yang merah muda mengeluarkan suara khas saat dia berbicara, dengan kata-kata yang terdengar sopan dan terdidik.
Merasa tidak enak hati, Bram memilih untuk membelikan gadis bermata biru itu secangkir kopi, setidaknya sebagai ucapan terima kasih.
Beranggapan bahwa pertemuan itu akan menjadi pertemuan pertama dan terakhir bagi mereka, Bram sungguh tidak menyangka ketika dia kembali bertemu dengan sang gadis penyelamat itu untuk yang kedua kalinya. Fakta yang lebih mengejutkan adalah, saat Bram mengetahui gadis yang bernama Marinda Schoff itu adalah salah satu rekan dari Gionard Butcher dan Diandra Lee.
Sungguh memang dunia yang sempit.
Semesta semakin tertawa, semesta semakin menikmati keadaan. Menenggelamkan Bram dan membuatnya berada di beberapa situasi menegangkan bersama Marin, semesta telah memilih untuk tetap mempertemukan keduanya. Entah apa yang dipilihkan semesta untuk menjadi takdir mereka nanti, hanya takdir yang tahu.
Bram tidak menyadari, namun mungkin inilah balasan untuk semua rasa bersalahnya selama ini. Tanpa dia sadari, semesta mendengar doanya, tampak sedang berusaha mencari jalan terbaik bagi kehidupan masa depannya.
Sesaat berfikir mereka tidak akan pernah bertemu lagi, Bram kembali untuk benar-benar mengucapkan selamat tinggal pada Diandra. Setelah dua minggu yang dia habiskan di kota indah itu, Bram telah memecahkan batu penghalang yang selama ini menahan langkahnya.
Dia telah berdamai. Dengan dirinya sendiri, dengan masa lalu mereka. Memperbaiki keadaan, meminta maaf dengan cara yang benar. Tidak ingin lagi menyalahkan masa lalu, pria itu telah menjadi dewasa dan lebih matang setelah melalui beberapa peristiwa penting.
Kepulangannya ke Indonesia, pastilah tidak berpengaruh apa pun untuk si gadis bermata biru. Setidaknya begitulah yang Bram simpulkan, hingga dia memutuskan untuk tidak mengucapkan sepatah kata pun sebagai ucapan selamat tinggal.
Kembali, lelaki itu telah duduk di sebuah kursi kelas bisnis Air France, bersiap untuk menatap hari esok. Dia sudah siap, dia telah siap.
Memandangi ke langit luar, Bram tahu dia begitu dekat dengan langit. Lagi-lagi tidak menyangka semesta telah memilihnya, tidak menyadari bahwa dia telah melupakan sesuatu.
Ucapan selamat tinggal yang tidak terucap, bisa saja mempertemukanmu lagi dengan orang yang sama. Entah untuk sekedar memberi kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal dengan benar, atau malah memberikan kesempatan untuk mengucap halo kembali.
Saat semesta mengatur pertemuannya kembali dengan Marin sang pemilik mata kebiruan, kira-kira kata apa yang akan Bram ucapkan? 'selamat tinggal' atau 'halo'?
Hanya ada dua pilihan. Kata pertama yang terucap akan sangat menentukan. Setelah itu, biar semesta mengatur sisanya.
.
.
.
🗼Bersambung🗼
~Dear Readers, kalau sedikit kurang paham mohon maaf ya. Untuk yang belum baca Diandra boleh baca dulu, biar lebih kenal sama sosok Bram Trahwijaya. Terima kasih sudah mampir 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!