“Kamu itu anak pembawa sial. Gara-gara melahirkanmu, bundamu sampai meninggal dunia.”
Kalimat itu selalu terngiang-ngiang di kepala Cleantha. Sepenggal kalimat yang acapkali membuatnya terperosok ke dalam lubang kepahitan yang luar biasa. Lebih parahnya lagi, kalimat miris itu terucap dari bibir ayahnya sendiri. Seorang ayah yang seharusnya hadir sebagai sosok yang melindungi dan menyayanginya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Sang ayah mengutukinya dan memberikannya sebuah label menyakitkan sebagai anak pembawa sial.
Sejak masih kanak-kanak, sedikit saja Cleantha melakukan kesalahan, ia pasti dimaki-maki. Namun siapa yang mau peduli dengan keadaannya. Kakak perempuannya, Keyla, hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia terbiasa diam seribu bahasa, berlagak tidak mendengar dan melihat perlakuan papanya. Terkadang ia malah ikut mendukung papanya dalam memarahi Cleantha.
Keadaannya makin diperparah ketika papanya menikah lagi. Tante Ana, sahabat mendiang ibundanya, yang kini telah menjadi ibu tirinya, ternyata juga bersikap buruk padanya. Bagaimanapun di rumah, ia hanya menjadi seorang anak buangan. Dianggap tidak berguna, membawa kesusahan dan hanya layak diperlakukan sebagai pesuruh.
Namun Yang Kuasa tidak selamanya memberikan cobaan yang melebihi kekuatan hamba-Nya. Meskipun Cleantha tumbuh menjadi gadis yang pendiam dan tertutup, tapi ia dianugerahi kecerdasan melebihi teman-teman sekolahnya. Ia menjadi juara kelas dari Sekolah Dasar, hingga akhirnya mendapatkan beasiswa untuk masuk ke universitas ternama di kotanya.
Pernah suatu hari terlintas di dalam benak Cleantha untuk mengakhiri hidupnya. Namun entah mengapa malam harinya, ia memimpikan Bundanya datang dan memeluknya. Sejak lahir ia memang belum pernah melihat sang ibu, namun Cleantha kerap kali memandangi foto-foto wanita yang melahirkannya itu lewat album. Dari situlah, ia selalu mengingat wajah cantik ibunya dan menyimpannya di pikiran bawah sadarnya.
"Cleantha, jangan sedih, Sayang. Bunda menyayangimu. Bunda bangga padamu," ucap Bundanya membelai lembut rambut hitam Cleantha.
Meski itu hanya sebatas mimpi, untuk pertama kalinya Cleantha mengetahui bagaimana rasanya disayang dan diinginkan sebagai seorang anak. Hingga tak terasa ia bangun dari tidur sambil menghapus buliran air mata yang menetes di kedua pipinya.
“Sepertinya Bunda datang untuk memberiku semangat hidup lagi. Bunda, aku berjanji seberat apapun masalah yang kuhadapi, aku tidak akan putus asa. Aku akan berjuang melewatinya demi Bunda,”
gumam Cleantha berjanji di dalam hatinya.
Setelah malam itu, hari demi hari Cleantha berharap bisa bertemu Bundanya lagi di dalam mimpi. Sayangnya, harapannya itu tidak pernah menjadi kenyataan.
****************
Seminggu sesudah wisudanya sebagai sarjana ekonomi, Cleantha sedang mengikuti seleksi wawancara kerja di sebuah bank swasta. Namun mendadak ia mendapat kabar buruk dari Keyla, kakaknya.
Ayahnya, Sigit Hastomo, tiba-tiba mengalami serangan stroke untuk kedua kalinya. Cleantha benar-benar terkejut dengan keadaan itu. Tapi ia tidak mampu berbuat apa-apa. Setengah berlari, Cleantha meninggalkan tempat wawancaranya. Ia menaiki taksi dan segera menyusul Keyla dan Tante Ana ke rumah sakit.
"Clea, kata dokter kita harus memindahkan Ayah ke rumah sakit Citra Husada yang fasilitasnya lebih lengkap. Ayah harus menjalani operasi karena mengalami perdarahan otak. Tapi biaya operasi itu sangat mahal. Tabungan Kakak saja tidak akan cukup untuk membiayainya. Apalagi uang Kakak selama ini habis untuk membeli obat Ayah," ucap Keyla nampak tertekan.
Tante Ana yang ikut-ikutan menangis, memandang Cleantha dengan tatapan sinis.
"Clea, sekali ini bisa tidak kamu menjadi anak yang berguna? Lihat keadaan ayahmu sekarang. Kalau dia sampai tidak tertolong, kamu akan jadi yatim piatu dan Tante akan menjadi janda. Apa sampai sekarang kamu belum mendapat pekerjaan juga?"
"Maaf, Tante Clea baru saja ikut seleksi tahap kedua di bank. Clea belum mengetahui apakah akan lolos atau tidak," jawab Clea tertunduk.
"Percuma saja kamu lulus dengan predikat cum laude kalau cari pekerjaan saja susah. Apa kamu mau berakhir jadi pengangguran?"
Tidak diduga oleh Cleantha, Keyla kali ini angkat bicara untuk membelanya.
"Tante, Clea baru saja diwisuda, mana mungkin bisa mendapat pekerjaan secepat itu. Lagipula ini bukan waktunya kita membahas masalah Clea. Kita harus memindahkan Papa dan mencari uang untuk biaya operasi."
Keyla menarik nafas panjang seraya memijat keningnya sendiri. "Aku cuma punya uang lima juta. Darimana aku mendapatkan sisa tiga puluh juta lagi?"
"Kak, maaf, aku sekarang belum punya pekerjaan. Tapi aku punya sisa tabungan satu juta rupiah dari hasil kerjaku sebagai asisten dosen semester lalu."
"Satu juta rupiah? Jumlah sekecil itu bisa membantu apa, Clea?" tukas Keyla seraya mendengus kesal.
"Apa Tante bilang Key, adikmu itu memang gadis yang tidak berguna. Pantas saja Mas Sigit sangat membencinya."
Tante Ana berdiri dari duduknya dan mendekati Keyla.
"Sebenarnya Tante punya satu solusi untuk masalah ini."
"Katakan saja Tante. Toh, aku sudah tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang."
"Begini Key, Tante punya kenalan seorang rentenir. Namanya Tante Puspa. Dia bisa meminjamkan uang tiga puluh juta untuk kita."
"Hah rentenir??? Dia pasti akan mengenakan bunga yang tinggi. Hutang kita bisa jadi berlipat ganda, Tante."
"Key, kamu harus berani mengambil resiko demi keselamatan ayahmu. Lagipula Tante Puspa itu teman lama Tante. Dia tidak akan terlalu kejam pada kita."
"Tidak, Tante. Aku tidak mau," jawab Keyla menolak ide dari ibu tirinya.
"Terserah kamu, Key. Mungkin kamu lebih suka melihat ayahmu meninggal dunia."
Mendengar pembicaraan tersebut, Cleantha terdiam. Ingin sekali rasanya ia memberikan solusi. Berbuat sesuatu untuk menolong ayah dan kakaknya. Namun posisinya yang tidak memiliki uang, membuatnya gagal melakukan niatnya itu.
Tiba-tiba saja muncul keberanian di dalam diri Cleantha. Inilah kesempatan baginya untuk menunjukkan bahwa dia bukanlah anak pembawa sial. Dulu kelahirannya telah menyebabkan bundanya pergi untuk selamanya. Dan kini ia memperoleh kesempatan untuk mencoba menyelamatkan hidup ayahnya.
"Tante, pinjam saja uang tiga puluh juta pada teman Tante. Aku yang akan menjamin pembayarannya."
Spontan, Keyla dan Tante Ana membelalakkan matanya.
"Kamu sedang bercanda, Clea? Dengan apa nanti kamu membayar uang sebanyak itu?" tanya Keyla terperangah.
"Mungkin adikmu ini sedang tidak waras, Key. Atau dia berencana melakukan sesuatu yang tidak terpuji untuk membayar hutangnya," sindir Tante Ana.
"Tidak, Tante. Aku yakin akan segera mendapatkan pekerjaan. Setelah itu tiap bulan aku akan membayar bunga dan mencicil pokok pinjamannnya dengan gajiku."
"Percaya diri sekali kamu. Tapi baiklah Tante akan menuruti permintaanmu. Kalau begitu kita berangkat sekarang," ajak Tante Ana menarik tangan Cleantha.
"Tunggu!" seru Keyla menahan Cleantha.
"Clea, apa kamu yakin akan menjadi penjamin hutang itu? Kalau kamu ternyata tidak mampu membayar hutang lalu terjadi sesuatu padamu, aku tidak mau ikut campur."
"Iya Kak, aku akan menanggung semuanya sendiri. Sekarang lebih baik Kakak bawa Papa ke rumah sakit Citra Husada," jawab Cleantha berusaha tegar.
"Oke, kalau itu keputusanmu, maka aku tidak akan menghalangimu."
****************
Cleantha memasuki sebuah rumah besar berlantai dua, yang di depan pagarnya dijaga oleh para bodyguard berbadan besar. Sebelum kesana, Tante Ana sudah menghubungi teman rentenirnya guna membuat janji temu. Dari ekspresi Tante Ana yang terlihat ceria, sudah jelas temannya itu menyetujui pertemuan mereka.
Tanpa keraguan, Cleantha mengikuti langkah ibu tirinya menuju ke ruang tamu rumah itu yang terlihat cukup luas.
"Ana," sapa seorang wanita bertubuh gempal dengan make up tebal.
Wanita berusia empat puluh tahunan itu memeluk Tante Ana dengan erat. Dari dekat, tampak jelas kalung berlian, gelang, dan cincin emas yang menghiasi jari jemari wanita itu.
"Puspa, sudah lama kita tidak bertemu," balas Ana memeluk temannya.
"Iya, kamu kesini karena ingin meminta bantuanku, kan? Silakan duduk, jangan malu-malu."
Tante Puspa melirik sekilas ke arah Cleantha.
"Siapa gadis muda yang cantik ini, Ana?"
"Perkenalkan ini Cleantha, anak tiriku. Aku mengajaknya kesini karena dia yang sebenarnya punya permohonan khusus padamu," ucap Ana penuh arti.
"Hmmmm, apa benar Cleantha? Kamu yang berminat meminjam uang pada Tante?" tanya Puspa melancarkan tatapan tajamnya.
Cleantha hanya menunduk, tidak berani menatap langsung ke mata wanita itu. Ia menggenggam telapak tangannya sendiri yang dingin dan berkeringat.
"I..iya Tante. Saya...mau meminjam uang tiga puluh juta untuk operasi ayah saya."
"Tiga puluh juta? Itu jumlah yang tidak sedikit, Cleantha. Jika seumpama Tante memberikan uang itu padamu, apa kamu punya cukup jaminan untuk bisa mengembalikannya? Ingat, Tante mewajibkan pembayaran bunga secara rutin. Dua puluh persen per bulan."
"Sa...ya...menjaminkan diri saya sendiri, Tante. Saya akan melunasi semua hutang itu beserta bunganya."
"Bagus, jadi kamu adalah jaminannya. Tapi Tante butuh kepastian bukan hanya janji. Karena itu kamu harus menandatangani perjanjian tertulis. Berikan kartu identitasmu dan nomor rekening bankmu. Tante akan menyiapkan perjanjiannya dulu. Tunggu disini!"
Puspa berjalan cepat meninggalkan ruang tamu. Dari luar, Cleantha bisa mendengar suara Puspa yang sedang berbicara dengan seseorang.
Dalam keresahan, Cleantha menunggu tanpa berbicara sepatah katapun kepada ibu tirinya. Sekitar lima belas menit kemudian, Puspa keluar dengan membawa selembar kertas di tangannya. Dengan senyum lebar, ia menyodorkan kertas itu kepada Cleantha.
"Tanda tangani surat ini, maka tidak kurang dari lima menit, uang tiga puluh juta akan masuk ke rekeningmu."
"Saya harus membaca dulu isi perjanjiannya, Tante."
"Cleantha, biar Tante yang baca supaya cepat selesai. Ayahmu membutuhkan uangnya sekarang," ucap Ana merebut kertas itu dari tangan Cleantha.
Bola mata Ana bergerak ke kanan dan ke kiri saat mempelajari isi perjanjian itu.
"Ini tanda tangani saja. Puspa sudah membuat perjanjian yang menguntungkan untukmu."
Dengan tangan gemetar, Cleantha membubuhkan tanda tangannya di atas surat perjanjian bermaterai itu.
"Good, Cleantha. Sekarang Tante akan langsung mengirimkan uangnya padamu," ucap Puspa menekan tombol angka dari ponselnya.
BERSAMBUNG
..........
Bantu dukung author dengan like, vote, dan beri komen sebanyak-banyaknya.
Thank you
Raja Adhiyaksa, seorang pria tampan dengan segala kharismanya. Bergelimang harta sebagai pewaris pertama keluarga Adhiyaksa, pemilik perusahaan pendanaan dan leasing yang memiliki banyak cabang di kota-kota besar.
Usia tiga puluh tiga tahun yang matang, wajah yang sempurna dengan tatapan mata yang menghipnotis. Ditambah postur tubuhnya yang tegap, tinggi dan berotot, membuatnya layak menjadi dambaan kaum hawa. Sayang sekali, para wanita itu harus patah hati karena Raja telah memiliki seorang istri cantik bernama Zevira Narendra.
Zevira adalah puteri pengusaha Bayu Narendra, yang merupakan sahabat dekat almarhum ayah Raja, yaitu Wijaya Adhiyaksa. Sejak remaja, mereka berdua memang sudah dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Raja dan Zevira tidak keberatan dengan perjodohan ini karena mereka memang saling menyukai satu sama lain. Siapa saja yang melihat pasangan serasi itu pasti akan merasa kagum sekaligus iri.
Kurang lebih setahun setelah pernikahannya, mereka dikaruniai puteri cantik bernama Ivyna. Sungguh suatu kebahagiaan yang sangat sempurna. Namun siapa sangka keindahan tersebut hanyalah kulit luar semata. Kebenaran pahit harus ditelan oleh Raja menjelang ulang tahun pernikahannya yang keenam.
Ketika itu Raja harus melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri. Seharusnya ia baru pulang dua hari lagi. Tapi karena meeting dengan investor sudah selesai, Raja sengaja pulang lebih awal ke Jakarta. Ia tidak memberitahukan kepulangannya, karena ingin memberikan kejutan kepada sang istri tercinta.
Di dalam benaknya sudah terbayang berbagai momen romantis bersama Zevira, saat mereka nanti merayakan ulang tahun pernikahan. Namun apa yang ditemuinya sungguh di luar dugaan. Zevira, wanita yang dicintainya itu tengah bermesraan dengan seorang pria di ruang kerjanya. Dan yang lebih parahnya lagi, pria itu adalah saudara sepupunya sendiri, Fendi Adhiyaksa.
Mereka berdua saling menautkan bibir, merapatkan tubuh layaknya sepasang kekasih yang dimabuk cinta.
"Jadi ini yang kalian lakukan saat aku tidak ada?" tanya Raja dengan tatapan mematikan. Otot-otot rahangnya menegang. Seluruh aliran darahnya serasa berdesir naik ke atas kepala, menahan amarah yang luar biasa.
Di sisi lain, hatinya bagai ditusuk sebilah pedang tajam. Ia tidak menyangka bila wanita yang selama ini hanya menjadi miliknya, ternyata telah berbagi cinta dengan pria lain.
"Sayang, aku bisa menjelaskan semua ini," pinta Zevira dengan suara memohon.
Ia memegang tangan Raja erat-erat untuk meredakan kemarahan suaminya.
"Benar, Raja kamu sudah salah paham," sambung Fendi ketakutan.
Fendi paham benar jika Raja yang menguasai ilmu bela diri itu bisa dengan mudah menghajarnya sampai babak belur. Kemampuan Raja dalam hal bela diri memang tak diragukan lagi. Bahkan ia pernah menjadi salah satu juara taekwondo tingkat nasional semasa duduk di bangku SMU.
"Kalian pikir aku ini anak kemarin sore yang bisa kalian tipu dengan mudah?" tanya Raja gusar.
Raja mengibaskan tangan Zevira. Secepat kilat ia melayangkan tinjunya ke wajah Fendi. Hantaman keras itu membuat bibir Fendi langsung mengucurkan darah segar. Detik berikutnya Raja mengayunkan tendangannya tepat mengenai perut Fendi. Membuat lelaki yang dua tahun lebih muda darinya itu roboh tak berdaya seraya menahan rasa sakit.
"Stop Raja, tolong hentikan!" pekik Zevira merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi tindakan Raja.
"Menyingkirlah, Zevira! Aku harus memberi pelajaran pada laki-laki brengsek ini!" tukas Raja.
Sorot mata Raja yang biasanya penuh pesona kini berubah mengerikan, bak serigala yang akan menerkam mangsanya.
"Jangan, Sayang, lihatlah Fendi sudah terluka separah ini. Kalau kamu terus memukulnya, kamu akan mendapat masalah hukum."
"Dengar, Vira, jangan berani menyebutku 'Sayang' lagi dengan mulutmu. Aku sudah muak mendengarnya. Kamu hanya seorang wanita murahan dan pengkhianat. Aku menyesal sudah mencintaimu selama bertahun-tahun. Sekarang jangan menghalangiku atau aku juga akan berbuat kasar padamu!
Mata Zevira berkaca-kaca saat menerima hinaan dari suaminya.
"Raja, kalau memang kamu membenciku, ayo tampar aku sekarang! Kamu juga mengetahui bahwa aku sangat mencintaimu. Sayangnya setelah kita menikah, kamu lebih sering menghabiskan waktumu untuk mengurusi pekerjaan. Kamu jarang memperhatikan diriku, bagaimana perasaanku. Kamu juga memperlakukan aku seperti burung dalam sangkar emas. Mengekang aktivitasku dan mewajibkan aku menuruti semua perkataanmu. Sikapmu itu membuatku tidak tahan," ucap Zevira terisak.
"Pintar sekali kamu mencari alasan, Vira! Jadi kamu menyalahkan aku sebagai penyebab perselingkuhanmu dengan pria ini," tunjuk Raja ke arah Fendi.
"Fendi selalu menunjukkan perhatian yang tulus padaku. Tapi sampai sekarang aku hanya mencintaimu."
"Bohong! Kamu wanita yang tidak tahu malu, Vira! Mulai sekarang aku tidak akan mempercayai setiap kata-kata yang keluar dari bibirmu!" bentak Raja dengan suara keras.
"Baiklah, jika kamu tidak suka lagi menjadi istriku, aku akan membebaskanmu dari pernikahan ini. Tapi sebelumnya kamu harus merasakan penderitaan yang sama sepertiku. Aku bersumpah akan menikahi wanita lain dan bermesraan dengannya di depan matamu!"
Setelah mengucapkan sumpahnya, Raja bergegas pergi dari ruangan itu. Nafasnya terasa sesak karena gejolak emosi yang sudah tidak tertahankan. Zevira yang melihat kepergian Raja, berusaha mengejar suaminya itu.
Sambil berderai air mata, ia berlari mengikuti Raja yang sudah sampai di halaman depan rumah mereka. Tanpa mempedulikan tatapan penuh tanda tanya dari para pelayan, Zevira meraih tangan Raja dan menahannya agar tidak pergi.
"Maafkan aku, Raja. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku. Berikan aku kesempatan kedua untuk memperbaiki segalanya. Kumohon jangan ceraikan aku."
"Lepaskan aku!" ucap Raja membuka pintu mobilnya.
Karena sudah kehilangan cara, Zevira akhirnya bersimpuh di depan kaki Raja. Merendahkan harga dirinya demi mendapatkan pengampunan dari sang suami.
"Aku minta maaf. Aku bersedia melakukan apa saja supaya kamu mau memaafkan aku."
"Vira, jangan mempermalukan dirimu sendiri. Aku masih menahan diri karena mengingat putri kita, Ivyna. Jangan coba menguji batas kesabaranku!"
Tanpa mengindahkan isak tangis Zevira, Raja masuk ke dalam mobilnya lalu melaju dengan kecepatan tinggi.
“Aku harus menyusul Raja sekarang juga! Aku tidak mau kehilangan Raja dan semua harta kekayaannya.”
Tanpa pikir panjang, Zevira mengikuti Raja dari belakang dengan mobilnya.
“Kenapa mobil Raja cepat sekali? Aku harus menaikkan kecepatanku,”
gumam Zevira menginjak pedal gas mobilnya.
Karena belum terbiasa menyetir dengan kecepatan maksimum, Zevira mulai kehilangan kendali atas mobilnya. Ia membanting setir ke kanan untuk menghindari tabrakan dengan mobil di depannya. Namun mobilnya justru bergerak tak terkendali, hingga menabrak pohon besar yang ada di pinggir jalan.
"Aaargggh!" pekik Zevira sebelum akhirnya tidak sadarkan diri dalam keadaan bersimbah darah.
****************
Dua bulan kemudian....
Zevira berbaring di atas tempat tidurnya dengan tatapan nanar. Rasanya ia tidak punya semangat sedikitpun untuk menjalani kehidupan.
Semenjak kecelakaan itu, ia terpaksa harus duduk di atas kursi roda. Dokter mengatakan bahwa masih ada harapan baginya untuk bisa berjalan lagi, selama ia rajin mengikuti terapi. Namun semakin hari, ia justru makin enggan berjuang untuk kesembuhannya. Terlebih lagi melihat sikap Raja yang begitu dingin terhadapnya.
Meski lelaki itu tidak jadi menceraikannya, namun ia tidak menganggap Zevira lagi sebagai istrinya. Raja jarang sekali mengajaknya berbicara. Mereka bahkan tidak tinggal dalam satu kamar seperti dulu. Entah mengapa Zevira justru ingin tetap berada dalam kondisi lumpuh agar Raja berbelas kasihan padanya. Jika nanti kakinya normal kembali, tidak tertutup kemungkinan Raja justru akan menceraikannya.
"Mom..." seru Ivyna menghambur ke pelukan Zevira.
"Ivy, Sayang, kamu sudah pulang sekolah?"
"Iya, Mom. Daddy mengatakan hari ini Mommy akan terapi lagi. Aku mau menemani Mommy."
Zevira membelai lembut rambut puteri kecilnya.
"Mommy tidak pergi terapi hari ini, Sayang. Mommy ingin di rumah saja."
"Kenapa kamu tidak mau menjalani terapimu, Vira?" tanya Raja tiba-tiba masuk ke kamar Zevira.
"Aku hanya sedang enggan," jawab Zevira menundukkan kepalanya.
Raja menggendong Ivyna dan membawanya keluar dari kamar itu.
"Ivy, kamu main sebentar bersama Suster Lia. Daddy ingin bicara sebentar dengan Mommy."
"Okey, Daddy," jawab Zevira mematuhi perintah Daddynya.
Raja masuk kembali ke kamar istrinya dan menutup pintu dari dalam. Dengan suara bariton khasnya, Raja mulai angkat bicara.
"Vira, apa maumu sebenarnya? Dokter menyarankan agar kamu melakukan terapi secara teratur, tapi kamu malah menolaknya. Apa kamu tidak ingin bisa berjalan lagi?"
"Untuk apa aku sembuh? Toh kamu sudah tidak peduli padaku," ucap Vira dengan mata berkaca-kaca.
"Ini bukan waktunya bermain drama di hadapanku, Vira. Aku tahu kamu sengaja melakukan ini untuk menarik simpatiku."
Raja merendahkan suaranya.
"Aku memang membatalkan niatku untuk menceraikanmu mengingat kondisimu saat ini. Tapi aku tidak akan pernah melupakan sumpah yang pernah aku ucapkan. Tidak lama lagi aku akan menikah."
Ucapan Raja bak petir di siang bolong bagi Zevira. Ia tidak percaya bila Raja bermaksud mencari istri kedua di saat kondisi kesehatannya belum pulih.
"Ka..mu akan menikah lagi?"
"Iya, dan aku akan memintamu memilihkan calon istri kedua untukku."
"A...aku???"
Bibir Zevira memucat. Tidak pernah disangkanya, Raja akan membalasnya dengan cara menyakitkan seperti ini.
"Iya kamu. Aku akan mengadakan kompetisi pemilihan wanita muda. Dan kamu yang akan menjadi jurinya," tandas Raja dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak.
Selesai melontarkan rencananya untuk menikah lagi, Raja bergegas keluar dari kamar Zevira. Ia tidak ingin berlama-lama tinggal di ruangan yang sama dengan wanita yang sudah mengkhianati cintanya itu.
"Daddy," seru Ivyna memeluk Raja.
"Daddy sudah selesai bicara dengan Mommy? Boleh aku masuk ke kamar Mommy sekarang?" tanya Ivyna menatap Raja dengan mata bulatnya.
"Sudah, Ivy. Kamu boleh menemui Mommy."
"Daddy, apa nanti kita bisa main lego bersama lagi?"
“Maaf, Sayang, Daddy harus kembali ke kantor dan hari ini Daddy pulang malam. Kita bisa main lego di hari Sabtu nanti. Daddy janji akan menemanimu."
"Thanks, Daddy," ucap Ivyna sambil mengecup pipi Raja.
"Jangan nakal, Ivy. Daddy berangkat dulu."
Raja berlalu dari hadapan puteri kecilnya itu dengan perasaan campur aduk. Ia berusaha menahan diri dan tidak menunjukkan rasa frustasinya di hadapan Ivyna. Meski sesungguhnya pikirannya sedang kacau balau.
Dengan lantang, Raja mengumumkan keinginannya untuk menikah lagi di depan Zevira. Namun semua itu dia lakukan semata-mata demi membalas dendam atas perselingkuhan sang istri. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sama sekali tidak ingin berhubungan dengan wanita manapun. Sanubarinya telah mati rasa. Saat ini baginya cinta adalah sebatas omong kosong, kata-kata kiasan yang diciptakan oleh orang-orang yang suka membual.
Seraya menambah kecepatan mobilnya, Raja terus melaju di jalan raya. Ia hanya ingin sampai di kantor dan segera menenggelamkan diri dalam kesibukan. Diam-diam, Raja telah berikrar pada dirinya sendiri untuk tidak lagi terjerat pada sesuatu yang dinamakan cinta.
****************
Cleantha menghela nafas sebelum menerobos kerumunan orang yang sedang berebut membaca pengumuman. Selembar kertas putih yang tertempel di papan berlapis kaca itu, memang menjadi magnet tersendiri yang menyedot perhatian. Bagaimana tidak, disitu tercantum nasib para kandidat pelamar kerja yang telah berjuang melewati serangkaian tahap seleksi.
Mereka sungguh berharap kali ini akan lolos ke tahap akhir. Tinggal selangkah lagi dan mereka akan mencapai impian terbesar untuk menjadi bagian dari sebuah bank ternama.
"Maaf, permisi," ucap Cleantha melewati beberapa orang pelamar kerja yang berdesakan di depan papan pengumuman. Tubuhnya yang mungil, membuatnya mudah menyelinap di antara barisan orang-orang itu.
Tanpa mempedulikan pandangan mereka yang tidak suka, Cleantha berhasil sampai di barisan depan. Dengan cermat, ia menelusuri daftar nama yang ada di pengumuman itu.
"Steven, Anisa, Gilang,..."
Cleantha menggerakkan bola matanya, membaca satu per satu nama yang tertera di daftar itu hingga urutan terakhir. Namun ketika selesai membaca, kaki dan tangannya mendadak lemas.
Cleantha berpegangan pada ujung kayu papan itu untuk menjaga keseimbangannya. Harapannya pupus sudah. Ia harus menelan pil pahit bahwa namanya tidak tercantum di dalam daftar tersebut. Yang artinya ia telah gagal mendapat pekerjaan untuk kesekian kalinya.
Sambil menahan rasa kecewanya, Cleantha bergegas keluar meninggalkan tempat itu.
“Kenapa nasibku seburuk ini. Aku tidak punya pekerjaan. Lalu bagaimana aku bisa membayar bunga pinjaman kepada Tante Puspa bulan ini? Apa benar yang dikatakan Papa bahwa aku ini pembawa sial dan selalu hidup dalam ketidakberuntungan?”
Rasa putus asa kembali menyerang Cleantha. Ia berjalan tak tentu arah menyusuri kompleks gedung perkantoran itu.
“Dimana aku bisa mencari uang? Apa sebaiknya aku mampir ke gedung perkantoran di seberang sana. Barangkali salah satu dari kantor itu ada yang menempelkan info lowongan pekerjaan.”
Dengan langkah yang tidak pasti, Cleantha menyeberangi jalan. Gedung perkantoran itu adalah satu-satunya harapan terakhirnya untuk mendapatkan pekerjaan. Entah usahanya ini akan berhasil atau kembali berujung sia-sia, dia tetap akan mencobanya.
Pikiran-pikiran buruk yang tidak berhenti memenuhi benaknya, menyebabkan Cleantha kehilangan fokus. Ia terlarut dalam lamunan, hingga tak menyadari jika sebuah mobil Mercedez-Benz berwarna hitam sedang melaju kencang ke arahnya.
Spontan, Cleantha dan pengemudi mobil itu sama-sama terperanjat. Cleantha yang berada dalam situasi berbahaya, hanya bisa menjerit seraya menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia sudah pasrah bila hari ini dewa maut tiba-tiba datang untuk menjemputnya. Mungkin saja telah tiba waktunya ia pergi meninggalkan dunia fana yang memperlakukannya secara tidak adil.
"Aarrgghhhh!" pekik Cleantha memejamkan mata.
Gadis itu baru berani membuka mata ketika mendengar suara decit ban mobil disertai bunyi tabrukan yang cukup keras.
Cleantha terpengarah melihat mobil hitam itu berhenti mendadak dan menabrak pembatas jalan.
“Pengendara mobil itu membanting setirnya agar tidak menabrakku. Tapi dia malah mengalami kecelakaan. Aku harus menolongnya,”
gumam Cleantha tanpa ragu.
Meski tubuhnya masih gemetaran, Cleanta memaksakan diri berlari untuk menolong si pengendara mobil.
"Pak, apa Anda baik-baik saja?" panggil Cleantha mengetuk jendela mobilnya.
Dari jendela mobil, tampak sosok seorang laki-laki berjas hitam tengah merundukkan kepalanya di kemudi mobil.
"Pak, tolong jawab saya," ulang Cleantha panik.
“Kenapa dia tidak memberikan respon? Apa dia pingsan? Aku harus berusaha sekali lagi.”
"Pak, jika Anda masih sadar tolong buka pintunya! Saya akan membawa Anda ke rumah sakit."
Cleantha memicingkan mata untuk melihat lebih jelas bagaimana keadaan sang pengemudi mobil. Namun ia terkejut saat laki-laki itu mendadak bergerak dan membuka pintu mobilnya.
Terdapat beberapa luka berdarah di tangan lelaki itu. Begitu pula memar yang tampak di bagian dahinya. Manik mata cokelat milik lelaki itu memandangi wajah Cleantha tak berkedip, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.
Dari jarak dekat, Cleantha baru menyadari betapa tampannya wajah si pengemudi mobil. Bahkan hingga berusia dua puluh tiga tahun, ia belum pernah melihat pria dewasa yang memiliki tampilan visual sesempurna ini.
“Apa dia ini seorang aktor atau orang terkenal? Atau jangan-jangan dia keturunan bangsawan? Kalau benar begitu, aku bisa mendapat masalah besar,”
pikir Cleantha ketakutan.
"Pak, maaf…maksud saya Tuan, mari saya bantu keluar dari mobil," ucap Cleantha memberanikan diri.
Lelaki itu tidak memberikan jawaban, tapi ia membiarkan Cleantha memegang lengannya dan menolongnya keluar dari mobil. Saat mereka bersentuhan, Cleantha bisa merasakan otot-otot kekar yang menyembul dari lengan pria itu.
Tubuhnya yang tinggi, menyebabkan Cleantha kesulitan memapah pria itu keluar dari mobil. Sejenak pandangan mata mereka saling bertemu, namun Cleantha buru-buru menundukkan kepalanya.
"Tuan, saya akan memanggil taksi dan membawa Anda..."
"Berhenti bicara!" hardik lelaki itu tampak marah.
Biarpun nampak kesakitan, pria tampan itu tidak segan untuk melampiaskan amarahnya kepada Cleantha.
"Apa kamu sengaja ingin bunuh diri dengan menabrakkan diri pada mobil yang melintas di jalan ini? Kamu membuatku berada dalam masalah. Aku hampir saja mati."
"Ma..af, Tuan. Ini bukan jalan utama, saya kira tidak ada mobil yang lewat. Dan...tadi saya sedang melamun."
"Enteng sekali jawabanmu. Perbuatanmu tadi nyaris membuat kita berdua mati, tapi kamu malah mencari-cari alasan."
"Saya minta maaf, Tuan. Saya akan bertanggung jawab."
Sudut bibir lelaki itu naik ke atas membentuk sebuah seringai yang menakutkan. Sorot matanya nampak merendahkan Cleantha.
"Tanggung jawab? Mengurus dirimu sendiri saja kamu tidak becus. Sekarang kamu mau bertanggung jawab atas diriku?"
"Saya benar-benar minta maaf, Tuan..." tutur Cleantha menahan air matanya.
Detik berikutnya, pria itu menunjukkan luka-luka yang ada di wajah dan tangannya, lalu menarik Cleantha mendekat padanya.
"Lihat, luka-luka yang ada di tubuhku ini! Dan terutama perhatikan baik-baik bagaimana kondisi mobilku yang rusak karena ulahmu!"
"Kamu tahu berapa harga mobil milikku ini? Apa kamu punya uang jika aku meminta ganti rugi satu milyar padamu?" ancam lelaki itu seraya memicingkan matanya.
Tak terasa, buliran air mata mulai jatuh dari pelupuk mata Cleantha.
"Sa...tu milyar? Saya...tidak punya uang sebanyak itu, Tuan."
"Aku sudah menduganya. Dengan melihatmu saja, aku yakin kamu tidak punya apa-apa. Karena itu kamu berniat mengakhiri hidupmu sendiri," ujar pria itu mengejek Cleantha.
Ia mendengus kesal sebelum melanjutkan perkataannya.
"Kalau begitu aku akan membawamu ke kantor polisi dan melayangkan tuntutan hukum supaya kamu dipenjara."
Mendengar ancaman mengerikan itu, Cleantha hanya bisa berurai air mata. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan selain berlutut di kaki pria itu dan memohon kemurahan hatinya.
"Tuan, Anda sudah salah paham. Saya tidak berniat untuk bunuh diri atau mencelakakan Anda. Saya mohon jangan bawa saya ke kantor polisi. Ayah saya sedang sakit, saya harus bekerja untuk membiayai perawatan ayah saya. Saya bersedia melakukan apa saja untuk Tuan, asalkan Tuan melepaskan saya."
Senyuman tipis tersungging di bibir pria itu saat mendengar permohonan Cleantha. Ia memaksa Cleantha berdiri dan merengkuh tubuh langsing gadis itu dengan kasar.
"Apa benar kamu mau melakukan apa saja yang aku minta?"
"I...iya, Tuan."
"Bagus. Aku tidak akan memenjarakan kamu dan aku tidak akan meminta ganti rugi. Sebaliknya aku akan membayarmu seratus juta rupiah," tandas pria itu mendekatkan wajahnya.
"Se...ratus juta?" ulang Cleantha tidak mempercayai apa yang didengarnya.
"Iya, dengan satu syarat. Kamu harus bersedia menjadi isteri keduaku, sekaligus mematuhi semua yang aku perintahkan tanpa membantah," ucap pria itu merendahkan suaranya.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!