"Jika namamu tak tertulis indah lagi di hatinya, tak membuatmu lagi menjadi tujuannya, layakkah kamu mengemis? tidak! Hati, jangan tutup dirimu pada bumi yang luas ini .."
Sore itu Alina duduk di tepi pantai. Ombak silih berganti mengajaknya pecah dalam kegamangan. Ufuk senja kekuningan mengiring hatinya yang sudah semakin lebam. Nafasnya berhembus lelah, mata sembab bukan hanya karena angin laut mengibas namun cinta dikhianati pun ikut andil membuat perih kedua bola matanya.
Di usia yang beranjak 27 tahun, Alina harus menerima kepahitan atas pernikahan yang sudah di ambang perceraian. Sekuat apapun dia bertahan mencintai, bila tak mampu di cintai secara utuh, dia akan mundur perlahan tanpa pamit.
Seperti sekarang ini, pria yang ia agungkan bak langit yang setiap saat menyelimuti hidupnya, dia harus merelakan Aufar kepada sosok pekat malam bernama Rin, seorang gadis yang jauh lebih muda dan cantik darinya, namun memiliki jiwa perebut.
"Ya Allah, buatlah aku bisa menganyam keikhlasan," lirihnya.
Dari jauh ada suara deru mobil yang kian mendekat, itu mobil Aufar, pria yang sedari tadi mencari letak keberadaan Alina. Keluar dari mobil dengan tergesa-gesa, Aufar berlari kecil ke arah perempuan yang sudah tak mengharapkannya lagi.
"Aku mencari mu, ternyata kau disini. Sayang, bisakah kita bicara sekali lagi," pinta Aufar memelas.
Alina membuang pandang jengah. Wajah Aufar tak sudi lagi di lirik oleh matanya. Bahkan suara yang dulu ia kagumi itu kini jadi bising yang seakan memecahkan gendang telinganya.
"Aku bisa berbuat adil, kamu tetap jadi posisi pertama," kara Aufar dengan mudahnya. Alina tersenyum kecut. Dia tak lagi menaruh simpati pada pria yang merasa terjebak itu.
"Alina, ku mohon ..kamu urungkan niatmu menggugat aku," ucap Aufar lagi. Tak rela bila harus kehilangan sosok wanita tangguh itu dari hidupnya.
Alina menghela nafas. Berbalik menatap Aufar penuh amarah. Bibir yang sedari tadi ia kunci menyusun kata.
"Aku tidak pernah merubah pendirian ku ketika aku sudah memutuskan, kamu hanya pria yang terbuai nafsu, aku bahkan tidak ingin di duakan dari sisi mana pun," papar Alina.
Aufar meraih tangan kanan Alina, menatap nanar mengiba maaf, mimik sendu wajahnya ia lemparkan ke istrinya itu.
"Dia menjebak ku, dan Rin sudah hamil, aku juga tidak bisa tidak lari tanggung jawab atas dia," ujar Aufar dilema.
"Kalau begitu lepaskan aku, jangan memaksa aku untuk menerima kesalahan kalian, kalian terjebak tetapi senang dalam jebakan itu."
"Rin, itu perempuan yang baik, dia ju-" belum sempurna kalimat Aufar, suara Alina lantang mencegatnya.
"Cukup! Jangan puji dia di hadapanku, jika dia baik maka berbahagialah dengan dia, jangan pernah lagi memohon yang tak bisa lagi kamu dapatkan," hentak Alina berlalu ke arah sepeda motornya.
Suara Aufar tiada henti menyeru namanya dari belakang. Alina melajukan sepeda motor tanpa berbalik atau melirik bayangan itu di kaca spion. Sakit di atas sakit mendengar Aufar memuji Rin yang jelas-jelas sudah menghancurkan kisah cintanya.
Menempuh jarak seratus meter, di saku celana, ponselnya berdering, Alina menepi sejenak. Di layar terpampang nama seorang yang ia nantikan sejak seminggu yang lalu.
"Assalamualaikum, Wanda," ucapnya pada si penelpon itu.
"Walaikumsalam, kamu di mana Rin? cek email kamu, kayaknya kantor media World Pen kirimin kamu email deh," ujar Wanda.
"Emang iya? ya aku di jalan ini, nanti aku akan cek lagi ya, makasih Wanda," sahut Alina lega.
Wanda salah satu temannya yang menjadi travel blogger di Indonesia, tulisan perempuan berdarah Aceh-Makassar itu sudah mendunia dengan berbagai negara yang ia kunjungi. Sebagai teman, Wanda merekomendasi Alina untuk menjadi penulis kolom di World Pen, salah satu wadah media islam.
Alina melaju kembali membelah jalan yang amat sepi itu. Dia melewati arah menuju rumah pribadinya bersama Aufar. Tak lagi membelok seperti biasa, dia sudah meninggalkan puluhan ribu kenangan di rumah yang sudah di naungi Rin.
'Aku sudah lelah karena kalian, mari kita cari jalan takdir kita masing-masing,' lirih Alina sembari memfokuskan mata ke setiap sisi jalan.
Bila mengingat Rin, rasa benci menyeruak. Gadis pekat malam itu serasa menusuknya dari belakang, berpura-pura menjadi pihak yang tersakiti, seolah-olah dia terjebak oleh Aufar yang merasa kurang nafkah batin dari Alina. Beberapa bulan menjalin hubungan dengan Aufar, dengan bangganya Rin datang meminta di nikahi oleh pria beristri itu.
Empat tahun pernikahan di bangun penuh cinta, hancur berkeping-keping karena kesalahan imannya yang terbuai dengan paras cantik Rin. Bagi Alina, ini bukan kesalahan, melainkan nafsu mereka yang di sengaja.
Setiba di rumah, Alina bergegas menuju ke kamar. Sebelum itu, dia menyempatkan diri mengintip Afif di kamar ibunya. Putra semata wayangnya itu sedang asyik nonton. Karena tak ingin menganggu, Alina menutup pintu itu kembali secara pelan.
Dengan cekatan, Alina membuka laptopnya. Matanya menyipit mencari urutan pesan masuk ke email-nya. Ternyata benar, pesan dari World Pen mencuat di permukaan layar laptopnya.
"Alhamdulillah, aku di terima," ucapnya.
Suatu hikmah besar dari ujian yang melanda rumah tangganya. Alina sudah di terima menjadi penulis tetap di World Pen. Tugas pertamanya ialah suatu membuatnya tercengang. Alina diam sejenak, karir kepenulisannya akan di mulai di belahan bumi yang belum ia pijak sebelumnya.
"Negara Republik Cheko!" Alina tersentak.
Nafasnya berat, bukan tak bersyukur atas nikmat itu. Namun ada banyak pertimbangan yang ia pikirkan, ketakutan mengembara seorang diri di negara asing baginya, belum lagi senyum Afif yang membuatnya ragu memilih tawaran itu.
Alina memanggil nomor Wanda, dia mencoba bernegosiasi atas tugas pertama yang di berikan direktur padanya.
"Alina, ini tugas pertama, sayang loh kamu lewatin, lagi pula ini sangat mudah, negara ini yang paling aman di antara negara lain," jelas Wanda.
"Tapi, Da. Aku masih pemula, bisakah aku travelnya sekitar Asia saja? misalkan di Korea atau Jepang," pinta Alina. Dia tahu, Wanda juga memiliki andil dalam keputusan direktur. Bahkan sebagai penulis senior, suara Wanda acap kali jadi sahutan yang paling berperan di World Pen.
Wanda diam sesaat. Dia memahami ketakutan temannya itu, seorang yang hanya bertahun-tahun berdiam diri sebagai ibu rumah tangga akan di hadapkan kehidupan dunia yang luas.
"Di Asia, sudah ada yang bertugas di sana, kamu bisa ke itali dulu, aku akan menemanimu belajar caranya hidup sebagai travel blogger," usul Wanda.
Wanda sudah lama tinggal Negara menara miring itu. Di sana dia menghabiskan waktu untuk mengajar orang-orang yang sudah mualaf karena tulisannya.
Alina mengiyakan, lagi pula impiannya ialah bisa menjelajah di bumi Allah, hanya saja dia terkendala ketakutan yang biasa terlihat di layar tv tentang kejahatan seksual di negara barat sana.
Tugas utamanya lagi ialah memberi pemahaman pada Afif, bocah berusia tiga tahun itu harus terpisah sementara oleh ibunya. Ah, sedih sekali hati seorang ibu, namun ini cara yang tepat agar Afif dan dia bisa melanjutkan hidup tanpa bergantung nafkah dari Aufar yang sudah memiliki tanggung jawab baru.
"Cinta itu menjaga, tak selayaknya membuat mu terperangkap dalam kesengsaraan, yang terbiasa menyakiti batin dan fisikmu."
Aufar pulang dengan hati hampa. Di rumah tak ada Alina lagi menunggunya, meski ada sosok permaisuri baru berhias di istananya, namun tak akan bisa menggantikan sosok Ratu seperti Alina. Cinta pertamanya sejak SMU, teman suka duka saat kuliah hingga meraih kesuksesan.
Tak ada kata yang bisa menyusun indah perjuangan Alina dalam menyemangati langkahnya. Semua begitu sempurna di sihir oleh perempuan bermata Indah itu. Alina segalanya.
"Sayang, kok bengong?" tanya Rin tiba-tiba menepuk pundaknya dari belakang.
Aufar tersentak, dia mengatur nafas yang sulit terhembus karena sedih yang amat sesak. Jawaban Aufar hanya gelengan kepala, sepasang bibirnya kaku untuk menjawab tanya Rin.
"Aku sudah buatkan kopi, yuk kita masuk," ajak Rin berusaha menggaet hati suaminya yang terlihat jenuh.
Aufar menurut, tak seharusnya rasa kecewa ia luapkan pula pada istri keduanya itu, bagaimana pun Rin sudah sah menjadi istrinya, juga mengandung darah dagingnya. Pernikahan terjadi atas kesalahan mereka berdua, bukan karena Rin sepihak.
Aufar duduk di sofa santai, menyeruput kopi hitam yang terasa pahit, sepahit kenyataan hidupnya yang sebentar lagi akan kehilangan sosok senja.
"Kamu bagaimana dengan Alina?" tanya Rin. Ini kesekian kalinya dia menanyakan itu, bukan karena berempati, melainkan ingin mengetahui perkembangan hubungan yang ia tahu sudah sangat renggang.
"Kami sudah bertemu tadi," sahut Aufar.
Rin tertegun, suaminya itu tak berhenti mencari jalan agar Alina kembali lagi padanya. Kesal, tentu saja hadir lagi pada diri Rin. Perempuan yang sebagian berdarah Jerman itu bahkan tak sudi bila suaminya memikirkan Alina.
"Apa jawaban dia?" tanya Rin dengan rasa was-was.
"Tak ada jawaban, aku yang harus lebih berusaha meminta maaf dan memohon lagi padanya," kata Aufar membangun semangat lagi.
Rin berdecak pelan, kesalnya kian membuncah, bahkan di lubuk hatinya menumpuk kedengkian pada Alina dan Afif. Selama Aufar masih mengharapkan keduanya, Rin tidak akan pernah tenang menjalani rumah tangganya.
"Bisakah aku besok membawa Afif tinggal semalam disini? aku sangat merindukannya," pinta Aufar.
Rin menata perasaannya, menolak pun juga tidak mungkin, meski dia tak suka akan kehadiran bocah tiga tahun itu.
"Tentu sayang, dia anakku juga," sahutnya.
Aufar kembali sibuk memainkan ponselnya, menelusuri jejak Alina di sosial media, ini cara jitu mengawasi pergerakan istrinya dari jauh. Di lihatnya suatu ungkapan bahagia dari Wanda menandai Alina. Dia terhentak, ponsel itu hampir lepas dari genggamannya.
'Alina akan ke Eropa,' lirih Aufar dalam hati.
"Ada apa?" tanya Rin penasaran.
"Alina akan ke Eropa, dia sudah menjadi travel blogger," sahut Aufar lesu.
Rin tersenyum miring, Alina akan pergi jauh, tentu itu pertanda baik untuk dirinya, tak ada lagi yang ia jadikan saingan utama.
"Aku harus mencegahnya, tanpa dia bekerja, aku akan tetap menafkahinya," imbuh Aufar dengan gusar.
Rin memutar mata malas, dia mengalihkan pandangannya, ingin rasanya membanting ponsel Aufar. Suaminya itu memang tak pandai menjaga perasaan istrinya, Alina tersakiti, kini dia pun harus tersakiti karena harapan Aufar yang berlebihan.
"Aku ada disini, Kak, bisakah kamu jangan memikirkan dia sejam saja?" protes Rin.
"Rin, Alina masih istriku, sosok yang mendampingiku sebelas tahun, tanpa dia, aku tidak meraih semua yang terlihat ini," papar Aufar mengenang perjuangannya bersama Alina.
"Jadi, aku harus mengalah, begitu? Ah! Kamu menganggap aku boneka, mau menerima segala kalimat rindu kamu tentang dia, aku juga punya perasaan!" Rin mulai membentak. Luapan amarahnya menggema di kuping Aufar.
Aufar mengusap wajah dengan kasar. Belum usai dia dengan Alina, kini Rin menuntut dirinya lagi dengan aturan main dia.
"Aku selalu bilang, Alina ingin lepas dari kamu, maka lepaskanlah, kita bangun rumah tangga baru yang lebih dari masa lalu kamu," tutur Rin.
"Sulit Rin, tidak semudah itu melepas Alina, dia juga ibu dari anakku, kamu hampang bila begitu karena kamu tidak melihat masa-masa yang kami sudah lewati," tangkas Aufar setengah membentak.
Prang!
Rin membanting gelas kopi suaminya, pecahan beli dan air kopi berserakan di lantai keramik putih itu.
"Aku benci sama kamu!" Kecam Rin berlalu ke kamar.
Aufar menghela nafas, dia menyadari begitu sulit mengimbangi dua hati perempuan, keduanya ingin di hargai dan selalu terjaga agar tak cemburu. Dirinya sendirinya bahkan tak ada yang mengerti tentang kebimbangan itu. Tuntutan Alina dan Rin buat dia mulai depresi.
Dia kembali mengingat awal mula musibah ini, ketika ke luar kota bersama Rin yang masih jadi sekretarisnya. Dia dan Rin tak sengaja melakukan lakon haram itu di hotel. Sebagai pria yang ingin di katakan sejati, pantang bagi Aufar lari dari tanggung jawab dari Rin yang sudah mengandung anaknya. Menikahi Rin secara diam-diam tanpa meminta izin dari Alina, namun rahasianya tak dapat tersimpan rapat, semua mencuat ketika Rin keberatan karena Aufar tak pernah tinggal bersamanya.
**********
Beberapa minggu kemudian, Alina sudah resmi bercerai dengan Aufar. Dua sejoli yang berpacaran sejak SMU telah di pisahkan oleh orang ketiga. Rin sukses dengan segala ambisi menjadi nyonya Aufar satu-satunya.
"Aku sudah melepas hartaku yang paling berharga," gumam Aufar.
Air matanya menetes membaca surat dari pengadilan agama. Kukuh itu prinsip Alina yang tak ingin berbagi suami, bahkan menemui Aufar d pengadilan, ibu dari anaknya itu tak sudi lagi.
Rin mengintip di balik tembok, untuk sementara waktu, dia membiarkan suaminya larut dalam kesedihan. Lagi pula, semua sudah berakhir sesuai dengan harapannya. Tinggal menanti Aufar mencintainya secara utuh tanpa bayang Alina lagi.
Di tempat yang berbeda, asa Alina yang berusaha tegar. Menyakinkan diri bahwa ini sudah jalan terbaik, tak membiarkan penyesalan hadir di hatinya.
"Aku sudah resmi cerai, Bu," ujar Alina pada perempuan yang sudah melahirkannya.
"Jodohmu dengan Aufar hanya sampai disini saja, Nak. Itu sudah ketentuan dari Allah," sahut Bu Ningrum.
Meski perasaanya hancur, Alina mengukir senyum ikhlas di wajahnya. Dia tahu, tak ada sesuatu pun yang lepas dari rencana sang khalik. Kisah cintanya dengan Aufar berakhir atas izin Tuhan, semua yang terjadi tak lepas dari pengaturannya.
"Jadi apa rencana selanjutnya? apakah kau tetap menerima pekerjaan dari Wanda?" tanya Bu Ningrum.
Karena sudah memikirkan matang selama beberapa minggu belakangan ini, Alina sudah memiliki keputusan mutlak.
" Iya, Bu. Alina harus bekerja, ini demi masa depan Afif juga, bisakah Ibu menjaga Afif?"
Bu Ningrum menyungging senyum. Tak masalah bila dia harus menghabiskan waktunya bersama cucunya itu. Demi melihat Alina mewujudkan impian yang sempat tertunda, Bu Ningrum siap memberikan dukungan untuk putri sulungnya.
"Pergilah Alina, gapai lah bintang yang belum kau temukan, buktikan pada semua yang menyakitimu, bahwa putriku dapat meraih bintang yang paling terang di semesta ini," tutur ibunya yang menyelipkan doa-doa mustajab di dalamnya.
"Ada banyak keajaiban Tuhan menunggumu untuk kau syukuri. Jadi, jangan buang energi dan waktumu hanya untuk merenung yang sudah membuatmu patah."
Seminggu kemudian, pesawat berlandas lagi di Bandara Leonardo da vinci, di Fiumicino. Pesawat itu di isi beberapa penumpang asal Indonesia, termasuk Alina. Dengan satu tarikan nafas, dia meyakinkan diri mampu menjadi pengembara muslimah yang bisa merubah dunia lewat tulisannya.
Terminal kedatangan, ada Wanda sudah menunggu, lambaian tangan dari jauh ia layangkan pada sahabatnya itu. Alina berlari kecil sembari mendorong dua kopernya.
"Welcome to italia, Alina .." ucap Wanda seraya memeluk Alina. Kedua perempuan berhijab itu saling melepas rindu karena setahun tidak bertemu.
"Kangen, kita lama banget baru ketemu," ujar Alina.
"Iya, kamu 'kan tidak boleh lagi hang out begitu saja, ayo kita ke apartment," ajak Wanda meraih satu koper Alina untuk ia bawa.
Mereka memasuki taksi yang sudah di pesan oleh Wanda, laju taksi begitu pelan, itu karena instruksi dari Wanda agar temannya bisa menikmati Kota Roma.
Kota Komune khusus di ibu kota Italia dan regioni Lazio. Kota yang membentang lebih dari dua ribu lima ratus tahun, juga di juluki 'Roma Aetherna' atau Kota abadi itu memang tak melepaskan sejarah romawi kuno yang mengagumkan setiap pasang mata. Kota yang juga menyimpan manusia yang ukirannya nyaris sempurna, berhidung lancip dan bola mata biru.
Alina bak tak berkedip melihat momen indah yang tak asing baginya itu. Meski negara ini minoritas Islam, namun dia yakin negara ini cukup menghargai perbedaan, buktinya Wanda sudah bertahun-tahun tinggal di kota yang juga di juluki 'Caput Mundi' atau Ibu Kota Dunia.
"Sangat indah 'kan?" tanya Wanda.
"Iya, tapi Indonesia lebih menang bila di bandingkan pemandangan alam," sahut Alina.
"Oh itu jelas, Indonesia nusantara kita memang sempurna," tambah Wanda.
Alina tersenyum, dia kembali lagi mengarahkan pemandangan ke setiap bangunan menjulang tinggi. Belum apa-apa, sudah tercetus inspirasi untuk di jadikan sebuah tulisan, segera dia mengambil buku catatan kecil di saku jaketnya.
"Wah, kayaknya udah cair nih, otak Alina memang hebat, jadi manfaatkan kesempatan ini untuk bersinar," ujar Wanda menyemangati.
"Makasih ya, Wanda. Mohon doanya moga aku bisa mengikuti jejak kamu," ucap Alina.
"Ah, aku tahu, kamu pasti lebih hebat, kamu lebih cerdas saat di sekolah dari aku," tambah Wanda mengenang.
Alina melanjutkan kembali menuangkan ide-ide di atas kertas biru itu. Kalimat Wanda jadi vitamin tersendiri baginya. Sembari menulis, ada rasa rindu tiba-tiba menyeruak di hatinya, tentu itu buat putranya Afif, matanya mulai sembab, Alina mendongakkan wajah agar air mata itu tak lolos jatuh begitu saja. Baru sehari tak bertemu Afif, dia sudah merasa kalah yang memang harus berjuang demi anak semata wayangnya itu.
"Kamu kenapa, Alina?" tanya Wanda.
"Gak, cuma sembab aja," kelik Alina seraya membenarkan pandangannya.
Wanda menggeleng, dia tahu sahabatnya itu sedang merasa sedih, usapan lembut ia berikan di bahu Alina.
"Kamu yang sabar, ya. Kamu harus bangkit dari semua masa lalu buruk itu, demi Afif," ucap Wanda memberi suplemen penyemangat lagi.
"Iya, aku selalu menyakinkan diri seperti itu, terima kasih sudah membantu aku di masa sulit ku seperti sekarang ini," kata Alina dengan luapan kesyukuran.
"Alina, dunia di ciptakan untuk kita tafakkuri, bukan daratan yang membuat kita tidak nyaman, melainkan isinya yaitu sebagian cara ummat yang bersikap, jangan pernah lelah melihat kebesaran Allah hanya karena rasa sedih mendera, bumi bulat akan terus berputar, kehidupan pun juga akan berputar," tutur Wanda penuh hikmat.
Alina bertepuk tangan, dia sudah memancing Wanda lagi mengeluarkan alunan kata pamungkasnya, indah juga penuh pesan motivasi.
"Kamu hebat Wanda, aku kagum!"
"Sudahlah, lihat pemandangan di depan kita nanti, akan ada sesuatu yang menakjubkan," sergah Wanda.
Jarak seratus meter di lewati, air mancur Trevi nampak di mata Alina. Yang biasanya hanya ia lihat di gambar, kini nyata di ujung matanya.
"Masya Allah," ucapnya.
"Besok kamu harus memberanikan diri ke sana sendiri, aku akan memberikanmu peta Roma, telusuri kota ini sebelum minggu depan kamu ke Praha," papar Wanda.
Alina mengangguk, dia tahu ini akan berat, namun bukankah ini sudah impiannya sejak kecil, ingin berkeliling dunia mencari keajaiban Tuhan.
*********
Di belahan bumi lainnya, ada Aufar yang datang ke rumah Bu Ningrum, dia berniat menemui Alina juga anaknya, Afif. Membawa bunga dan beberapa mainan, Aufar berdiri di teras rumah sederhana itu seraya mengucap salam.
Ada Bu Ningrum keluar membawa Afif, sebenarnya sulit untuk menjamu mantan menantunya itu, tetapi mengingat kebaikan Aufar saat masih berstatus menantunya, Bu Ningrum berusaha berdamai dengan rasa kecewanya.
"Bu, ini mainan dan beberapa sesuatu untuk Afif," ujar Aufar.
"Terima kasih, Afif pasti suka," sahut Bu Ningrum.
Keduanya duduk di teras, Aufar memangku putranya melepas rindu. Tetapi mata pria berdarah sunda itu melirik ke dalam rumah mencari keberadaan Alina.
"Bu, maaf, Alina mana?" tanya Aufar.
Bu Ningrum hanya diam, dia tak ingin menjawab pertanyaan bila itu menyangkut anaknya. Aufar sudah menyakiti Alina, mengkhianati, tak perlu lagi pria itu menanyakan keberadaan ataupun kabar tentang anaknya. Karena tak mendapat jawaban, Aufar mengerti maksud mantan ibu mertuanya itu.
"Bu, dari hati kecilku, aku minta maaf dengan semua yang telah terjadi, aku sangat menyesal .." ucap Aufar penuh rasa bersalah.
"Sudahlah, nak, kamu jangan ulangi lagi di istri kedua kamu, biarkan Alina juga menemukan kehidupan barunya," kata Bu Ningrum.
Aufar terhenyak, dia menelaah kalimat Bu Ningrum tentang kehidupan baru Alina yang di maksud.
"Memangnya Alina kemana, Bu?" tanya Aufar penasaran.
Lagi-lagi dia tak mendapat jawaban dari Bu Ningrum. Aufar mengingat tentang status Wanda yang mengatakan bahwa Alina akan ke Praha untuk menjalani tugas kepenulisannya. Wajah Aufar berubah haluan, tadinya cerah kini mendung tak bergairah, sejauh itukah Alina dengannya, berani meninggalkan Afif yang masih kecil hanya demi impian yang sudah ia lama putuskan sebelum ia menikahi Alina.
"Kenapa Alina meninggalkan Afif yang masih kecil, Bu?" protes Aufar.
"Itu tidak masalah, lagi pula aada aku neneknya menjaga, di sana Alina menggapai impiannya kembali, demi mencarikan nafkah untuk Afifi juga," papar Bu Ningrum.
"Tapi tetap saja, dia sudah meninggalkan kewajibannya, Afif masih butuh perhatian seorang ibu, Alina sudah lari dari tanggung jawabnya," tutur Aufar kesal.
By Ningrum menggeleng jengah, mantan suami anaknya itu memang pribadi egois, mau di dengar sendiri tanpa menerima suara hati seseorang, mana mungkin Alina yang begitu cerdas hanya berdiam diri di rumah menunggu penafkahan yang bekum tentu cukup dari Aufar, ah, menjengkelkan Aufar ini, batin Bu Ningrum.
"Aufar, selama menikah denganmu Alina selalu banyak mengalah, dia mengabdikan diri sepenuh hati, menjadi ibu rumah tangga yang baik, menguburkan semua mimpinya, tapi apa balasannya? kau melihat anakku dengan sebelah matamu, kau lupa anakku itu perempuan yang berprestasi, dia juga memiliki cita-cita, cukup Aufar, jangan usik hidup anakku!"
Ketegasan Bu Ningrum menciutkan nyali Aufar, dia menundukkan wajah, dia tahu, Alina bukan lagi miliknya, tak perlu ia mengatur sedemikian rupa menuruti keinginannya. Tetapi tetap saja, perasaan itu masih sama, ingin rujuk pada ibu kandung Afif itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!