Inayah khaerunnisa sang bunga desa berumur 20 tahun dan menjadi rebutan banyak pria di desanya itu sekarang sudah sebulan ini di per istri oleh seorang pemuda desa yang di juluki sang penakluk gadis desa, dialah Adit anak pak Harun seorang calon kepala desa yang gagal karena kalah dalam pemilihan suara.
Wajah Adit yang lumayan tampan di banding pemuda pemuda yang ada di desanya itu bisa dengan mudah menaklukkan gadis desa manapun, tak terkecuali Inayah yang jatuh dalam pesonanya dan berhasil di persuntingnya mengalahkan banyak pria yang mengharapkan cinta sang bunga desa.
"Inayah, aku berangkat sekarang, kamu hati hati di rumah, dan jangan macam macam selama aku di kota," pesan Adit pada Inayah, sang istri yang akan di tinggalkannya merantau ke kota.
Adit terpaksa harus meninggalkan Inayah di masa masa bulan madunya, padahal terhitung baru sebulan pernikahan mereka berlangsung, itu semata karena dia harus ikut bekerja bersama paman nya yang bekerja di kota demi mencari nafkah.
Disamping ingin merubah nasibnya, Adit juga harus membantu orang tuanya yang kini terlilit banyak hutang karena bekas modal pemilihan kepala desa yang gagal kemarin.
"Muhun (iya) Kang, hati hati di jalan. Jangan lupa ngabari kalau sudah sampai," ucap Inayah sambil mengangkatkan sebuah tas besar berisi baju dan barang barang suaminya yang akan di bawanya ke kota.
"Sudah, sudah, jangan lama lama pamitannya, itu mang Jamal sudah lama nunggu di depan," ketus Esih ibunya Adit yang memang dari awal tak suka jika anak kesayangannya itu menikah dengan Inayah, karena menurutnya anaknya itu bisa mendapatkan wanita lain yang sepadan dengan keluarganya.
Sedangkan Inayah hanya anak dari seorang janda buruh tani.
Ya, Inayah memang sudah menjadi yatim sejak usianya 5 tahun, tapi Titin sang ibu yang hanya merupakan buruh tani itu berhasil menyekolahkan Inayah sampai lulus SMU dimana hal itu sudah termasuk bagus jika di bandingkan anak anak lain di desanya yang rata-rata hanya mengeyam pendidikan sampai sekolah dasar atau sekolah menengah saja.
Inayah hanya diam saja saat Esih, sang ibu mertua menatapnya dengan tatapan sinisnya, belum lagi adik ipar nya Yeni yang merupakan adik perempuan Adit itu selalu saja mengkompor kompori Esih dengan cerita cerita jelek tentang Inayah.
"Bu, aku titip Inayah, ya" pesan Adit pada ibunya.
"Idih, udah gede, ada emaknya juga, ngapain di titip titipin ibu segala, kamu sih, gak nurut omongan ibu, coba kalau kamu nikah sama si neneng anak haji Juned, pasti hidup kamu udah makmur, gak perlu kerja jauh jauh ke kota segala," oceh Esih berapi api.
"Bu, sudahlah, jodoh itu Tuhan yang mengaturnya, itu sama saja ibu menyalahkan takdir Tuhan," lerai Harun merasa risih dengan ocehan istrinya.
"Bapak selalu saja membela wanita itu, dia itu pembawa sial, gara gara dia jadi mantu kita, tiba tiba bapak jadi gagal dalam pemilihan kepala desa," sungut Esih masih saja memojokkan menantunya itu.
"Gak ada hubungannya, pemilihan kepala desa dengan mantu kita," bela Harun.
"Bela saja terus,,, yang di belain juga gak bisa bantuin bayar hutang hutang kita!" cibir Esih meninggalkan Harun yang hanya bisa geleng geleng kepala melihat kelakuan istrinya.
"Sudah pak, tidak apa-apa, saya sudah biasa menghadapi sikap ibu yang seperti itu." lirih Inayah seraya berjalan ke depan mengantar kepergian suaminya.
Inayah memang setelah menikah tinggal di rumah orang tua Adit, karena Adit belum mempunyai rumah, kerja Adit pun masih serabutan, tapi entah lah apa yang dia lihat dari Adit sampai dia mau di nikahi playboy kampung pengangguran itu, mungkin balik lagi jodoh dan takdir Tuhan.
Baru saja sepuluh menit Adit meninggalkan rumah, Yeni sang adik ipar sudah menyindir Inayah yang sedang mencuci piring di dapur.
"Bu, hidup kita itu sekarang sudah susah, masih harus menanggung beban hidup satu orang asing disini, mana tak berguna lagi," sinis Yeni sengaja mengeraskan suaranya agar dapat di dengar Inayah di dapur.
"Ya,,, harusnya dia tau diri, kalau memang tak bisa membantu, sebaiknya jangan menjadi beban." timpal Esih ikut memanaskan suasana.
Inayah hanya diam saja tak melawan sepatah kata pun, selama orang orang itu tak bermain kasar padanya, dia tak akan begitu memperdulikan ucapan nyinyir sang ibu mertua dan adik iparnya itu, lagi pula kata kata mertuanya selama ini tak pernah dia masukan ke dalam hatinya, hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri, selama ucapan mereka tak membuatnya berdarah darah, Inayah masih kuat bertahan.
***
Dua bulan berlalu, sejak kepergian Adit sang suami, laki laki itu tak pernah sekali pun memberi kabar padanya, bagaimana keadaannya, pekerjaannya, Inayah tak pernah mengetahui nya, atau hanya dirinya saja yang tidak tau, tapi keluarga suaminya tau? Atau mungkin saja mereka sengaja tak mau memberi tau nya.
Selama Inayah tinggal di rumah Mertuanya itu, semua pekerjaan rumah dia yang mengerjakan, tapi Inayah selau saja salah dan di anggap tak berguna oleh ibu mertuanya itu.
"Pak, apa Bapak tau kabar Kang Adit di kota? Bagaimana kabarnya?" tanya Inayah saat mengantarkan kopi untuk bapak mertuanya di teras sore itu.
"Apa dia tak pernah menghubungi mu?" Harun mengernyitkan dahinya.
"Tidak." Inayah menggelengkan kepalanya.
"Untuk apa kamu tanya tanya kabar Adit segala, dia sedang sibuk mencari uang, tak usah kamu ganggu!" Esih tiba-tiba sudah ada di antara mereka dengan suara cemprengnya yang khas.
"Maaf bu, saya hanya ingin tau kabar Kang Adit saja, tidak bermaksud mengganggu," lirih Inayah.
"Tidak usah, nanti juga kalau sudah saatnya dia pulang, kamu bakal tau bagaimana kabarnya." ketus Esih.
Inayah tak ingin meladeni ibu mertuanya lebih jauh lagi, bagaimana pun Esih sudah dia anggap sebagai ibunya sendiri, meski Esih selalu membencinya selama ini.
Bukannya tak ada usaha dari Inayah untuk mencari tau tentang kabar Adit sang suami, tapi setiap kali Adit di telpon, tak pernah tersambung, bahkan pesan pun tak pernah ada yang di balas Adit, sepertinya dia mengganti nomor ponselnya, tapi kenapa dirinya sebagai istri tak di beri tahu.
Sebagai istri yang baru saja sebulan hidup bersama dalam sebuah pernikahan, kadang dia juga merasa kangen dengan suaminya itu, tapi apa daya dia harus menahannya, kadang dia juga berpikir, apa suaminya itu tak pernah merasa rindu padanya, padahal dulu saat mereka belum menikah, Adit sangat gencar mendekatinya, setiap hari menemuinya dan memanjakannya, tapi sekarang setelah mereka menikah seolah semuanya berubah.
***
Bulan ke empat kepergian Adit ke Ibu kota, Inayah masih belum bisa menghubungi suaminya, dan masih belum tau bagaimana kabarnya, yang Inayah tau dari Harun sang bapak mertua, Adit bekerja bersama Jamal sang paman yang merupakan adik laki laki Esih, di sebuah pabrik garmen terbesar di ibu kota.
Hari itu Inayah sedang mencuci pakain yang menumpuk di kamar mandi belakang, samar samar terdengar suara berisik dari ruangan keluarga rumah mertuanya yang lumayan luas itu, Inayah menajamkan pendengarannya, karena sepertinya dia mendengar suara suaminya.
Inayah buru buru membasuh tangan dan kakinya yang penuh dengan buih sabun, karena dia mencuci pakaian secara manual menggunakan kedua tangannya.
Inayah bergegas memasuki ruang keluarga yang terlihat banyak sekali orang berkumpul disana.
"Kang Adit!" panggil Inayah sedikit berteriak memanggil nama suaminya.
Matanya memerah, dan berkaca kaca, akibat empat bulan dia memendam rindu pada suaminya itu.
"Oh, kamu, astaga! lama tak jumpa masih saja kampungan, suami datang di sambut dengan pakaian gembel seperti itu, memalukan saja!" gumam Adit, memandang sinis ke arah istrinya.
Empat bulan tak bertemu, seperti tak ada rindu sedikitpun di hati Adit seperti rindu nya Inayah padanya, bahkan sikap Adit seperti berubah menjadi sinis pada Inayah,
Ada apa ?
*Hai kakak kakak semuanya, ketemu lagi sama othor amatiran ini, othor membawa cerita baru buat kakak kakak semuanya, mohon dukungan nya ya,,, jangan lupa di like, dan favorit.
Semoga kakak semua sehat selalu....*
"Ganti dulu baju mu dengan baju yang benar dan pantas, baru datang lagi kesini menemuiku," ucap Adit pada istrinya.
Pupus sudah harapan menyambut sang suami yang selama empat bulan ini berpisah jauh darinya,rindu yang sudah menggunung di hati Inayah seakan menguap begitu saja, melihat sikap acuh Adit.
Inayah berjalan gontay menuju kamarnya, mengganti pakaian demi untuk menemui suaminya yang sudah tak dia rindui lagi.
"Itu baju terbaik mu ? Astaga, aku ini sekarang kepala personalia di sebuah garmen ternama dan terbesar di Jakarta, tapi pakaian istri ku sungguh sangat memprihatinkan." cibir Adit menatap sinis Inayah yang duduk terdiam di kursi ruang keluarga, bergabung dengan keluarganya yang lain disanan.
Adit membawa banyak sekali oleh oleh, baju baju mewah, makanan enak, tapi tak ada satu pun yang menawari Inayah yang jelas jelas istri dari Adit, tentu saja seharusnya Inayah lebih berhak akan barang bawaan Adit.
"Dit, ini baju baju buat ibu dan Yeni semua, ya" ucap Esih sambil mencoba baju baju yang menumpuk di meja itu satu persatu.
"Boleh, bu. Adit bekerja untuk kalian semua, jadi ini semua untuk kalian." ujar Adit dengan senyum yang manis, berbeda saat dia berbicara dengan Inayah, selalu saja dengan nadaketus.
"Sisakan untuk Inayah, Bu" ucap Harun mengingatkan istrinya, untuk berbagi dengan menantunya.
"Inayah tak pantas pakai baju baju mahal dari kota, dia itu sudah terbiasa memakai baju yang di beli di pasar, kalau pakai baju mahal begini, bisa gatal gatal badannya karena tak terbiasa" hina Esih yang di sambut gelak tawa Yeni dan Adit secara bersamaan.
"Aku mau istirahat dulu, capek sekali rasanya badan ini, Inayah, ayo pijat aku." titah Adit pada istrinya, sambil berdiri dan menggerak gerakkan pinggangnya memutar ke kanan dan ke kiri.
"Muhun (iya), Kang" patuh Inayah mengekor Adit menuju kamarnya.
Penampilan Adit kini sudah berubah drastis, pakaian yang dikenakannya sudah tak seperti dulu yang hanya asal asalan, sekarang pakaiannya rapi dan jangan lupakan wangi parfum yang menyengat dari tubuhnya, aromanya bahkan memenuhi seluruh ruangan kamar mereka.
"Kang, aku kangen,kenapa akang tak pernah memberi kabar pada ku selama ini?" tanya Inayah.
"Aku sibuk sekali, tak ada waktu" jawab Adit dingin.
"Tapi kang,,,"
"Sudah jangan kebanyakan protes, aku disana bekerja bukan berlibur, kamu pikir aku tak lelah bekerja disana ?" bentak Adit.
Tiba tiba ada suara dering asing terdengar dari balik saku celana Adit, lalu Adit mengeluarkan ponsel mewah keluaran terbaru dari dalam sakunya, ponsel yang baru pernah Inayah lihat wujudnya.
Adit segera menjauh dari Inayah dan keluar dari kamar saat menerima panggilan telponnya, entah siapa dan apa yang dia bicarakan dengan orang yang menghubunginya di seberang sana, yang jelas Adit seperti berbicara sangat lembut, bahkan lebih lembut di banding saat Adit mendekati dirinya dulu saat masa masa pendekatan dengan dirinya.
Kira kira kurang lebih tiga puluh menit lamanya Adit berbicara di telpon, kini dia kembali ke kamarnya, lalu menyodorkan uang merah sebanyak lima lembar ke hadapan istrinya.
"Ini uang untuk kebutuhan kamu, selama aku tak ada" ucap Adit yang terlihat sudah bersiap siap kembali.
"Akang mau kemana ?" tanya Inayah.
"Aku mau kembali ke Jakarta, bos ku sudah menelpon ku, aku harus segera kembali bekerja besok" jawab Adit cuek.
"Tapi Akang baru saja sampai, bukankah tadi akang bilang badan akang pegal pegal dan ingin di pijat ?" protes Inayah yang merasa sangat kecewa, selama empat bulan di tinggal tak ada kabar, sekalinya pulang suaminya hanya seperti numpang lewat saja, tak ada setengah hari pun dia di rumah.
"Aku bekerja, aku mencari uang untuk kalian semua, kenapa kamu tak mau mengerti dengan keadaan kita, orang tua ku terlilit banyak hutang, kalau bukan aku yang bekerja keras untuk membayarnya, siapa lagi ? Apa kamu mau membantu membayarkan hutang orang tua ku, huh ?" berang Adit, tiba tiba amarahnya memuncak hanya karena di tanya istrinya baik baik.
Inayah hanya tertunduk, dia sadar diri memang dirinya tak bisa membantu apa apa selain dengan tenaganya di rumah mertuanya itu.
Mencari uang Adit bilang, bahkan selama empat bulan di tinggalkan dirinya hanya di beri lima ratus ribu rupiah oleh suaminya itu, bukannya tak bersyukur, namun sepertinya kalau untuk mendapatkan uang sebanyak lima ratus ribu selama empat bulan itu bisa dia dapat dengan menjadi buruh tani di sawah dan kebun, bahkan hasilnya bisa lebih dari itu.
"Setidaknya kabari aku kang, mengirimi aku pesan kan tak menghabiskan waktu sampai lima menit, atau aku minta nomor ponselmu yang baru, karena nomor akang yang lama tak bisa di hubungi lagi" mohon Inayah.
"Nomor yang lama memang sudah tak aku pakai lagi, dan kalau nomor ku yang baru, aku tak bisa memberikan nya kepada sembarang orang, karena ini hanya untuk urusan pekerjaan. Sudahlah, aku juga pasti serung pulang, jadi tunggu saja" urai Adit.
Hati Inayah perih, mendengar perkataan Adit, sembarang orang dia bilang ? Lalu Inayah dia anggap apa, istri sendiri di samakan dengan sembarang orang yang tak boleh tau nomor ponsel suaminya sendiri.
"Baik lah kang, maaf" lirih Inayah, bahkan dia sendiri tak tau, mengucap dan meminta maaf pada suaminya untuk apa.
Apa kesalahan yang sudah dia perbuat pada suaminya sampai tiba tiba di perlakukan seperti ini, padahal sebelumnya, saat dia belum berangkat ke kota, sikapnya baik baik saja padanya, lembut, perhatian, penyayang.
Apa pergaulannya di Ibu Kota merubah sikapnya menjadi sinis dan tempramen seperti itu ? batin Inayah.
"Jangan macam macam saat aku tak ada di sini, kata Yeni kamu sering genit sama para laki laki di desa" Adit mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Inayah, memberi peringatan.
"Aku tak pernah seperti itu, Kang" kilah Inayah yang memang merasa tak pernah melakukan hal seperti itu.
"Ah, bohong Kak, aku sering lihat dia menggoda tukang ojek kalau dia di suruh ibu ke pasar," tuduh Yeni.
"Tidak, aku tidak pernah berbuat seperti itu" elak Inayah tak terima dengan tuduhan keji adik iparnya itu.
"Ibu juga sering lihat, kalau dia di bonceng tukang ojek, dia selalu sengaja menempel nempelkan badannya genit ke tukang ojek pasar, dasar murahan !" caci Esih ikut menambah nambahi tuduhan Yeni.
"Kau ! Dasar istri tak tau malu, suami mencari nafkah di kota, kamu malah asik asik selingkuh di sini, aku selama ini selalu diam, tapi ternyata kamu memang benar benar wanita murahan !" umpat Adit.
"Apa maksud Kang Adit ?"
"Ini, ini lihat bukti bukti yang di kirimkan Yeni dan Ibu, jadi begini kelakuan mu selama ini ?" Adit menunjukkan foto dari galeri ponselnya.
Terlihat banyak foto dirinya sedang di bonceng oleh tukang ojek, dan ada beberapa foto dirinya sedang berbelanja dan mengobrol dengan tukang sayur, tapi semua foto itu di ambil dari sudut lain yang seolah olah Inayah sedang bermesraan dengan para lelaki itu.
"Itu tidak seperti kenyataannya Kang, itu fitnah" tampik Inayah,
"Tidak usah mengelak, aku tidak buta untuk melihat foto foto mu bermesraan dengan para lelaki."
"Sudah lah Dit, buang saja istri macam dia itu, lagi pula kamu baru nikah siri saja sama perempuan itu, kamu sekarang sudah mapan, punya mobil, uang banyak, pekerjaan bagus, pasti kamu akan dapat istri yang lebih baik dari pada si perempuan sial ini" ucap Esih, tersenyum sinis ke arah Inayah yang mulai terisak.
Inayah dan Adit memang hanya menikah siri, niatnya setelah selesai pemilihan kepala desa, mereka baru akan menikah resmi secara negara, dan mengadakan resepsi pesta pernikahan, sekaligus pesta kemenangan bapak mertuanya dalam pemilihan kepala desa.
Namun untung tak dapat di raih, malang tak dapat di tolak, Harun gagal dalam pemilihan kepala desa, membuat rencana pernikahan secara negara dan resepsi pernikahannya di tunda.
"Kau Inayah Khairunnisa aku talak kamu !" teriak Adit penuh amarah, kata kata tabu itu keluar dari mulutnya dengan lancar dan tegas.
Bagai di sambar petir, Inayah seakan kehilangan pegangan, tanpa tau apa salah dan dosanya, dia di talak secara kasar oleh suaminya yang bahkan tak mau mendengar penjelasannya sedikit pun.
*Kakak kakak,,, terimakasih sudah hadir di rumah Inayah,,, semoga ceritanya dapat menghibur kakak semua,, jangan lupa di like dan favorit ya...*
"Adit, jangan sembarangan berkata seperti itu," bentak Harun yang baru saja datang dari kebun dan mendengar pertengkaran anak dan menantunya.
"Tidak Pak, Adit tidak mau punya istri penggoda seperti dia," tunjuk Adit pada Inayah.
"Tapi setahu Bapak, Inayah tak pernah menggoda siapapun, dia jarang keluar kalau tidak ibu mu yang menyuruhnya sekedar ke pasar atau ke warung" bela Harun.
"Bapak tak usah ikut campur masalah rumah tangga ku, atau aku tak akan membantu membayarkan hutang hutang bapak yang menumpuk itu." ancam Adit.
Harun terdiam, dia merasa seperti serba salah, di satu sisi dia tau kalau menantunya tak pernah berbuat yang tidak tidak selama di tinggal anaknya merantau, tapi di sisi lain, dia juga sudah cukup pening dengan tekanan para penagih hutang yang terus terusan meneror nya.
"Kau dengar, kau sudah di talak oleh anak ku, jadi sebaiknya segera angkat kaki dari rumah ku, kau wanita pembawa sial dan tak tau diri !" usir Esih.
"Kang, aku tak pernah menghianati akang, aku selalu setia menunggu akang, tolong jangan talak aku, tolong cari tau dulu kebenarannya dan dengarkan penjelasan ku" Inayah bersimpuh memegangi kaki suami yang beberapa menit lalu sudah menalak dirinya, dia menangis dan bersujud memohon agar suaminya itu menarik kata katanya dan tak menalak nya.
"Cari tahu kebenarannya, kata mu? Lantas kau mau bilang kalau ibu dan adik ku itu sudah memfitnah mu dan sudah berbicara bohong ? Keterlaluan, sungguh lancang mulut mu!" umpat Adit menarik paksa kakinya yang sedang di pegangi oleh Inayah.
"Hey kau, mantan kakak ipar tak tau diri, ambil nih, barang barang rongsokan dan baju baju gembel mu, dan segera pergi dari rumah ini" usir Yeni seraya melemparkan dua buah tas plastik besar berisi baju dan barang barang barang milik Inayah ke luar rumah.
Sungguh bagai pengemis hina Inayah saat itu, bahkan barang dan bajunya pun di lempar begitu saja ke luar halaman rumah sampai isi dari kantung plastik itu terburai berserakan di tanah.
Inayah tak merasa berbuat curang dan salah pada suami dan keluarganya, tapi perlakuan mereka pada Inayah tak ubahnya seperti memperlakukan hewan, sampai dia bersimpuh, bersujud memohon di kaki Adit menjatuhkan harga dirinya yang telah lama di injak injak ibu mertua dan adik iparnya itu untuk tidah di ceraikan, tapi sayangnya hati Adit seperti sudah membatu.
Adit malah pergi meninggalkan Inayah dalam keterpurukannya seorang diri.
Inayah masih duduk bersimpuh di halaman rumah mertuanya, sambil menangis terisak mengumpulkan barang barang dan juga bajunya yang di lempar Yeni sampai berhamburan.
Beberapa tetangga berkumpul melihat kekejaman yang Inayah terima dari keluarga suaminya, tapi tak ada yang seorang pun yang mau dan berani membantu Inayah disana.
"Inayah, anak ku, emak di sini, nak. Apa yang terjadi padamu ?" seorang wanita tua tergopoh gopoh setengah berlari menghampiri Inayah.
Dialah Titin, sang ibu. Saat dirinya sedang di sawah, salah satu tetangganya mengabari kalau anaknya sedang di maki maki oleh suami dan ibu mertuanya, makanya dia langsung berlari mendatangi anak satu satunya itu.
Rumah Titin dan rumah kediaman mertua Inayah memang tidak terlalu jauh, hanya berbeda RT saja, namun meski terbilang dekat, Inayah jarang di ijinkan menjenguk ibunya yang kini tinggal sendirian semenjak Inayah menikah dan tinggal di rumah orang tua Adit.
"Emak,,, maafkan Inayah, Inayah tak bisa mempertahankan rumah tangga ini" Inayah berhamburan memeluk sang ibu yang kini duduk di tanah memeluk erat putri kesayangannya.
"Tak perlu minta maaf, Nak. Ini semua sudah takdir Tuhan yang harus kita jalani dengan ikhlas." Titin mengusap usap rambut dan punggung Inayah yang sesenggukan di pelukannya.
"Mak, apa dosa Inayah sampai di perlakukan seperti ini oleh mereka," isak Inayah.
"Hey, tak usah bermain drama disini, kau itu sudah bermain serong, berselingkuh dengan pria lain, makanya anak ku menalak mu !" hardik Esih yang melihat pemandangan ibu dan anak di hadapannya sedang menangis.
"Maaf, bu Esih, saya tau anak saya, dia tak mungkin berbuat seperti itu, kami memang orang tak punya, tapi kami tak mungkin berbuat jahat dan curang. Kami memang tak punya harta tapi kami punya harga diri dan kesetiaan." ucap Titin memandang tajam Esih yang berdiri di depan pintu rumahnya.
"Cuih, harga diri t*aai kucing ! semua ibu pasti akan membela anaknya, pergi sana kalian, jangan sampai aku melihat mu lagi disini !" usir Esih.
"Inayah, Nak. Ayo berdiri, kita pulang, apapun yang terjadi pada mu, kamu tetap anak emak, jangan merasa sendiri, emak akan selalu ada untuk kamu, nak" Titin membantu Inayah berdiri setelah mereka membereskan baju dan barang Inayah ke dalam kantong plastik.
Sampai di rumah, Titin berusaha menghibur putrinya yang terlihat sangat murung dan tertekan.
"Inayah, emak sudah bikin pepes ikan kesukaan kamu, makan dulu yuk, Nak. Sudah lama kita tidak makan bersama sama" ajak Titin.
"Inayah tidak laper, Mak." tolak Inayah, dia merasa tak punya selera untuk makan.
Inayah hanya bisa meratapi nasibnya yang sangat menyedihkan itu.
"Nak, kamu harus tetap kuat, kamu harus tetap melanjutkan hidup mu, apapun yang terjadi padamu," lirih Titin.
"Tapi, aku sudah hancur sekarang. Aku sekarang janda, aku pasti akan membuat emak malu dengan status aku, dan aku juga akan menjadi beban buat emak, maafkan Inayah, Mak" Inayah bersimpuh meminta maaf pada ibunya, air matanya lagi lagi berjatuhan mengalir deras, dia merasa menjadi anak yang tak bisa di banggakan oleh orang tuanya, alih alih membanggakan orang tua, dirinya justru malah membuat malu dan menjadi beban ibunya itu
"Nak, apapun status mu, jangan pernah merasa rendah diri, emak tidak akan merasa malu mempunyai anak seorang janda, dan kamu tak pernah menjadi beban buat emak, hidup emak hanya untuk kamu, emak tidak punya siapa siapa lagi selain kamu. Emak sudah berjanji pada Abah mu dulu untuk selalu menjaga mu, apapun yang terjadi." Titin menyeka air mata putrinya dengan tangan keriputnya.
"Terimakasih, Mak. Emak selalu menjadi emak yang terbaik dan terhebat buat Inayah, selama ini"
Inayah mencium tangan Titin yang selalu memberi kenyamanan untuknya.
mereka bercerita semalaman, menceritakan kenangan kenangan masa lalu yang selalu membuat Inayah bahagia, karena bisa mengenang lagi kebersamaan dengan Abahnya sewaktu beliau masih menemani mereka
"Nak, apa rencana mu selanjutnya,setelah ini ?" tanya Titin.
"Mak, apa boleh aku bekerja di kota ?" ucap Inayah takut takut.
"Nak, hidup mu harus terus berjalan, apapun yang ingin kamu lakukan, Emak akan selalu mendukung mu, selama itu baik dan bukan hal yang melanggar hukum dan agama." kata Titin.
"Inayah ingin kerja di pabrik seperti Lilis, katanya dulu dia bisa memasukan Inayah kerja di pabriknya. Jujur saja, Inayah ingin pergi dari desa ini, Inayah ingin menyembuhkan luka hati Inayah." lirih Inayah.
"Boleh, Nak. yang penting kamu hati hati dan pintar pintarlah menjaga diri di perantauan."
"Apa Emak tak apa apa di tinggal sendirian ?" Inayah ragu.
"Emak tidak apa apa, tetangga disini juga baik semua sama Emak, kamu jangan khawatir," Titin menenangkan putrinya.
"Baiklah Mak, besok Inayah akan menghubungi Lilis, semoga saja dia bisa membantu mencarikan Inayah pekerjaan" harap Inayah.
"Do'a Emak selalu menyertai setiap langkah mu, Nak."
*Edisi kangen Emak nih,
semoga emak emak kita sehat dan panjang umur ya kakak kakak....
jangan lupa like nya kakak...*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!