Sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali melihatnya, namun pria itu masih melekat di ingatan Carlotta. Tumbuh sebagai gadis kelas atas, Carlotta tidak pernah kekurangan pria tampan dan kaya raya di sekelilingnya. Namun, entah mengapa, hanya satu pria yang bisa menarik hatinya. Pria itu bahkan bukan dari kalangan berada. Dia hanya seorang tukang kebun di salah satu mansion keluarga Carlotta di Verona.
Saat berumur enam belas, Carlotta jatuh cinta kepada bunga. Dia betah berlama-lama di kebun milik mendiang neneknya. Banyak mawar tumbuh subur di sana. Juga daisy dan lily of the valley. Semua bebungaan cantik itu membuat hidupnya tak terlalu terasa menyesakkan.
Tuntutan menjadi nona muda yang sempurna dari keluarga Marinelli yang terpandang di seluruh Italia membuat Carlotta tidak bebas menjadi diri sendiri. Penampilannya tak boleh bercela. Perilakunya harus sempurna. Kelakuannya tidak diperkenankan melenceng dari tata krama. Nilainya di sekolah harus tinggi. Teman-temannya tak boleh mendengarnya mengeluh. Dan yang paling penting, ia harus bisa menjadi teladan bagi kedua adik perempuannya, Ciara dan Carina.
Pada waktu itulah, seseorang menghampirinya di kebun.
"Apakah Anda tahu makna-makna bunga, Nona?"
Carlotta mendongak. Seorang pemuda berambut cokelat gelap berbicara kepadanya. Wajahnya lebih indah daripada patung marmer dewa-dewa Yunani yang terukir di pintu gerbang mansionnya. Si pemuda mengenakan pakaian lusuh. Sebuah kemeja putih longgar yang terbuka hingga kancing ketiga. Tanpa merek. Dan sebuah celana jeans yang sobek betulan di beberapa tempat. Herannya, semua itu tidak mengganggu kemenawanan si pemuda di mata Carlotta.
Jantung gadis itu berdegup kencang. Pipinya merona. Ia berusaha menjawab dengan terbata-bata, seperti gadis gagap yang tidak pernah belajar sopan santun. Otaknya membeku. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya.
"Kalau mau, aku bisa mengantarmu berkeliling kebun sambil menjelaskan tentang makna bunga-bunga ini." Pemuda itu berkata lagi.
Tanpa menunggu apapun, Carlotta menerima uluran tangan pemuda itu.
Genggaman tangan si pemuda begitu hangat dan menentramkan. Tangannya besar dan kuat. Begitu juga badannya yang termasuk kekar untuk ukuran remaja berusia delapan belas tahun. Karena tuntutan pekerjaan mungkin, pikir Carlotta, sembari berusaha menormalkan napasnya yang selalu memburu di samping pemuda itu.
"Apakah kau bekerja di sini?" Carlotta bertanya ketika akhirnya berhasil menemukan kembali suaranya.
Pemuda itu tertawa sembari memandang Carlotta ganjil. "Tentu saja, Nona. Saya sudah bekerja di sini sejak Anda berumur delapan tahun. Mungkin Anda tidak mengenal saya, tapi saya sangat mengenal Anda."
Carlotta menganga tak percaya. Ada seorang pemuda tampan yang tinggal di rumahnya sendiri sejak delapan tahun lalu, tapi gadis itu tidak pernah tahu! Betapa sia-sianya.
"Siapa namamu?" Carlotta bertanya.
"Alessandro Ferrara, siap melayani Anda." Si pemuda menjawab santun, sembari membungkukkan badannya sedikit.
"Ferrara? Seperti nama keluarga miliuner Ferrara?"
Alessandro tertawa. "Bukan, Nona. Hanya kebetulan saja namanya sama."
Carlotta mengangguk percaya. Tidak mungkin keluarga Ferrara yang terkenal itu membiarkan salah satu anaknya bekerja sebagai tukang kebun, kan?
***
Sejak saat itu, Carlotta semakin sering bermain di kebun. Ia selalu bersemangat pulang ke rumah seusai sekolah. Teman-temannya sering mengajaknya nongkrong atau sekedar pergi ke kedai kopi, tetapi Carlotta lebih senang menghabiskan waktunya di kebun belakang mansion. Bersama dengan Alessandro.
Alessandro baru saja lulus sekolah. Carlotta tidak menyangka, bahwa selain amat tampan, Alessandro rupanya juga seorang siswa yang cerdas. Setiap hari, selama berbulan-bulan, Carlotta mengadakan piknik sore di kebun. Terkadang, Alessandro mengajarinya aljabar. Jika tidak sedang ingin belajar, Alessandro akan memetik gitar dan memainkan lagu-lagu indah untuknya.
"Bukankah hari ini kau ada les piano?" Suatu sore Alessandro mengingatkan.
Carlotta mendesah malas. "Aku tidak suka gurunya, Alessandro."
"Kenapa?"
"Dia pria genit yang berusaha merayuku." Carlotta mendesah lagi.
Raut wajah Alessandro berubah pekat. "Bagaimana jika aku ikut dalam pelajaran pianomu? Dia tidak akan berani macam-macam jika kalian tidak dibiarkan berdua saja, bukan?"
Carlotta tersenyum manis. Lalu, senyumnya berubah menjadi tawa riang. "Wah, ada apa ini? Apa kau cemburu, Alessandro?"
Alessandro terperanjat "Ap-apa maksudmu? Mana mungkin aku-"
"Tidak apa-apa." Carlotta tampak geli sekali melihat wajah Alessandro yang sudah semerah kepiting rebus.
"Tidak apa-apa apanya?"
"Tidak apa-apa kalau kau ingin menemaniku les piano." Balas Carlotta tenang.
Alessandro mengangguk. Ia segera membereskan peralatan piknik mereka dengan cekatan. Kain selimut, keranjang rotan berisi makanan, juga botol-botol jus buah segar. Piano bukan hal baru baginya. Di sekolah, dia sering diam-diam menyelinap belajar piano di kelas-kelas musik.
"Dan tidak apa-apa jika kau cemburu padaku." Carlotta berkata lagi. Kali ini, kalimatnya sukses membuat Alessandro menjatuhkan botol-botol di tangannya.
***
Kedekatan Carlotta dengan Alessandro semakin intens. Rasa sakit hati dan kesepian akibat ditinggal pergi ibunya yang menikah lagi dengan seorang produser film membuat Carlotta membutuhkan sesosok teman. Ia tidak bisa melepaskan Alessandro yang amat memahami dirinya.
Dan ia tidak bisa melepaskan Alessandro, karena ia sadar bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda itu. Perasaannya begitu kuat sehingga ia tidak peduli orang lain mau berkata apa.
Hubungannya dengan Alessandro pertama diendus oleh musuh bebuyutannya, Gretta Mancini. Di sekolah, Gretta mendatangi Carlotta terang-terangan dan memojokkan gadis itu.
"Di depan semua teman-teman, coba katakan, apakah kau punya pacar?" Gretta memancing Carlotta.
Carlotta terdiam dan menunduk. Ia tidak memilih ini. Ia tidak mau bermusuhan dengan Gretta hanya karena keluarganya terlibat dalam persaingan bisnis dengan keluarga Gretta.
"Kudengar kau berpacaran dengan tukang kebunmu sendiri, Carlotta. Apa itu benar?"
Carlotta terkejut, tapi tetap bungkam.
Kebungkaman Carlotta menegaskan kebenaran hal itu. Gosip langsung menyebar luas dan sampai ke telinga Robert Mancini, kakak laki-laki Gretta yang rencananya akan dijodohkan dengan Carlotta untuk mempererat hubungan kedua keluarga. Robert tidak terima dan mengadu ke ayahnya. Kemudian keadaan menjadi tak terkendali ketika ayah Robert mengadu pada ayah Carlotta.
Malam itu, Carlotta dipukul habis-habisan oleh ayahnya. Tak berhenti sampai di situ, ayahnya juga mengancam akan memukul adik-adiknya jika Carlotta tidak mau putus dengan Alessandro. Alessandro dipecat, tetapi ia tidak mau pergi. Dahulu, sebelum meninggal, ibunya bekerja di mansion ini. Mansion milik keluarga Marinelli merupakan rumah bagi Alessandro. Dia tidak bisa meninggalkan semua kenangan ibunya di sini.
Dan ia juga tidak bisa meninggalkan Carlotta yang manis.
Oleh karena itu, ayah Carlotta memberikan ultimatum bagi Carlotta. "Jika kau tidak berhasil mengusir anak sialan itu pergi dari sini untuk selamanya, aku akan menghabisinya. Camkan itu, Carlotta!"
***
Alessandro tidak pernah mengenal keluarganya. Ia hanya dibesarkan oleh ibunya yang seorang tukang kebun. Ibunya tidak punya keluarga. Namun, ada seseorang yang sudah dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Bibi Valentina.
Dulu, Bibi Valentina juga bekerja di mansion keluarga Marinelli. Sekarang, wanita itu sudah pensiun. Rumahnya berada di pinggiran kota Verona. Dalam keadaan sekarang, terusir dan tidak punya uang sepeser pun, hal pertama yang bisa dilakukan Alessandro hanya pergi ke rumah Bibi Valentina.
Alessandro bersumpah, ia tidak akan melupakan hari terkutuk ini untuk selamanya. Musim dingin datang dengan temperatur yang menggigit. Gajinya bulan ini tidak diberikan. Gajinya bulan-bulan sebelumnya dibekukan. Tanpa pakaian tebal yang semestinya, Alessandro berjalan dengan wajah lebam dan tubuh yang ngilu setelah dipukul membabi buta oleh mantan majikannya.
Sebetulnya, Alessandro sanggup menahan semua itu. Hal yang paling menyakitkan baginya adalah mendengar Carlotta mengusirnya. Carlotta berkata bahwa Alessandro tidak tahu malu dan amat tidak pantas untuk gadis seperti Carlotta.
Malam itu, Carlotta menemuinya di teras. Disaksikan oleh seluruh orang di mansion itu, termasuk ayah dan adik-adik Carlotta, beserta semua pelayan. Malam semakin gelap. Hujan mulai turun. Perlahan, kemudian berubah menjadi butiran besar yang menghantam wajah Alessandro. Menambah rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya yang lebam.
Carlotta tampak secantik bulan. Andai saja Alessandro tidak terpesona kepada kecantikan nona mudanya itu. Alessandro selalu menganggap Carlotta adalah karunia. Sebuah keajaiban untuk hidupnya yang tanpa tujuan.
Alessandro lebih suka ketika Carlotta bicara berdua saja dengannya seperti biasa. Bukan disaksikan banyak orang begini.
"Aku akan bertunangan dengan Roberto. Dia sepadan untukku. Aku harap kita tidak akan bertemu lagi selamanya. Jangan pernah menggangguku lagi, Tukang Kebun Miskin! Aku membencimu!" Carlotta melemparkan segelas cokelat panas kepada Alessandro.
"Carlotta, Sayang, apa yang terjadi sebenarnya? Aku tahu ini bukan kemauanmu. Ceritakan padaku, Sayang." Alessandro berusaha membujuk. Pemuda itu mengabaikan rasa panas membakar di lengan kanannya.
Luka bakar akibat cokelat panas mendidih yang dilemparkan Carlotta padanya.
Carlotta tertawa seperti kesetanan. "Kau mau tahu? Tentu saja karena aku sudah muak denganmu. Sudah saatnya aku berhenti bermain-main dengan pemuda rendahan sepertimu."
"Kau tidak pernah menganggap rendah status sosial orang lain, Carlotta. Aku tahu itu!" Alessandro membalas dengan tak kalah ngotot.
"Kau pikir kau mengenalku? Kau salah! Kau tidak tahu apa-apa tentang aku."
"Itu tidak benar..."
"Tentu saja itu benar! Kubur mimpi-mimpi menjijikkanmu untuk bersanding denganku itu. Tidak bisakah kau lihat kalau posisi kita bagaikan langit dan bumi? Dasar tidak tahu diri!"
"Carlotta..."
"Jangan berani-beraninya menyebut namaku dengan mulut kotormu itu!"
Alessandro tidak akan pernah melupakan semua hinaan Carlotta kepadanya. Ketika memandang ayah Carlotta dan menemukan sebuah senyum penuh kemenangan di sana, amarah Alessandro memuncak. Satu-satunya harapan hidup yang dimilikinya adalah untuk membalas dendam kepada Carlotta dan keluarganya. Suatu saat nanti.
***
Rumah Bibi Valentina berada di daerah suburban. Hanya berupa sepetak kecil tanah dengan pagar kayu yang telah lapuk termakan jaman. Pekarangannya dipenuhi barang-barang bekas yang menumpuk. Rumah mungil itu ditumbuhi bunga bugenvil yang merambat sampai ke akar. Alessandro ingat, dulu ibunya sering mengajaknya berkujung kemari. Keadaan tidak banyak berubah. Malah faktanya, rumah itu adalah satu-satunya rumah yang tidak berubah di antara semua rumah di kawasan yang sama.
Ketika menemukan rumah Bibi Valentina, Alessandro sudah basah kuyup karena hujan. Badannya menggigil dan ia demam tinggi. Tangannya penuh luka bakar yang melepuh.
"Apa yang terjadi, Nak? Astaga!" Bibi Valentina tergopoh-gopoh menyambut Alessandro dan segera menyuruh pemuda itu masuk.
Alessandro menceritakan semua yang terjadi. Dan menutupnya dengan kalimat, "Aku tidak punya keluarga yang tersisa, Bibi Valentina. Aku tidak punya uang dan atap untuk berteduh."
Bibi Valentina merawat luka-luka Alessandro dengan penuh belas kasih. Beberapa kali matanya berkaca-kaca melihat betapa memilukan putra dari sahabatnya yang telah tiada itu.
Hingga akhirnya, Bibi Valentina berkata, "Kau salah, Alessandro. Sebenarnya kau punya keluarga. Sebuah keluarga besar. Aku telah berjanji kepada ibumu untuk tidak memberitahumu apapun. Namun, sekarang kurasa aku tidak bisa lagi menepati janji itu."
"Aku punya keluarga?" Alessandro memandang Bibi Valentina tak percaya.
"Ya, Nak. Kau punya keluarga. Keluarga Ferrara." Bibi Valentina tersenyum hangat padanya. "Keluarga Ferrara yang 'itu'." Bibi Valentina melanjutkan lagi.
Alessandro hampir tidak mempercayai informasi ini jika bukan Bibi Valentina yang mengatakannya. Keluarga Ferrara yang 'itu'. Ya Tuhan. Ternyata dia adalah putra dari keluarga paling terpandang di Italia!
"Bibi tidak bohong, kan, Bi?" Alessandro bertanya. Matanya berbinar-binar penuh semangat.
"Aku bersumpah." Bibi Valentina kemudian menceritakan kisah kelam ibunda Alessandro dahulu kala.
Menurut cerita Bibi Valentina, ibu Alessandro adalah pelayan di rumah Ferrara. Ia terlibat hubungan terlarang dengan putra satu-satunya keluarga Ferrara. Ketika mengetahui bahwa ia hamil, ia diusir dari kota Roma.
"Ayahmu bahkan tidak tahu bahwa ibumu hamil. Ibumu tidak sempat bilang apa-apa ketika pergi."
"Kenapa, Bibi? Kenapa ibuku pergi begitu saja?"
Bibi Valentina mendesah panjang. "Bukankah kau juga mengalaminya? Kau tahu betapa berpengaruhnya keluarga-keluarga berada itu, kan? Orang-orang seperti kita ini tidak punya kesempatan untuk melawan, Nak."
Alessandro menangis mendengarnya. Sungguh menyayat hati ketika menyadari bahwa ia dan ibunya memiliki kisah yang sama. Sama-sama diusir dari rumah keluarga kaya.
"Jika kau ingin pergi menemui keluarga mendiang ayahmu, Nak, kau bisa pergi ke Roma. Aku punya alamatnya."
"Baik, Bibi." Alessandro segera menghapus air mata frustasinya.
"Dan aku punya sedikit uang untuk bekal perjalananmu, Nak. Tidak banyak, tapi kuharap bisa membantu." Bibi Valentina membuka sebuah kotak penyimpanan usang dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas.
Alessandro menerimanya dengan penuh rasa syukur. "Aku akan membalas kebaikan Bibi. Aku berjanji."
Bibi Valentina tersenyum dan menggeleng. "Kau tidak perlu membalas apa-apa, Nak. Hiduplah dengan bahagia mulai sekarang."
Kali ini, Alessandro tidak akan menyerah. Ia adalah seorang anak laki-laki yang kuat. Ia tidak seperti ibunya. Ia bertekad untuk membalikkan keadaan, apapun caranya.
Keesokan paginya, Alessandro bertolak ke pusat kota Roma. Dengan sedikit uang yang diberikan oleh Bibi Valentina, ia membeli sebuah tiket one way. Ia pergi ke kediaman keluarga Ferrara dan tidak akan menerima penolakan begitu saja. Jika cerita Bibi Valentina benar, dan ia yakin wanita itu tidak berbohong, Alessandro tidak akan melepaskan haknya sebagai pewaris Ferrara. Dan ia bersumpah tidak akan kembali ke Verona kecuali telah berhasil membalikkan keadaan dengan keluarga Marinelli yang terkutuk.
***
Lima tahun sejak peristiwa mengerikan itu, Carlotta merayakan ulang tahun yang ke-21. Sebuah acara mewah di sebuah hotel kenamaan di Verona. Acara itu diharapkan berakhir dengan pertuanangan antara Carlotta Marinelli dengan Roberto Mancini.
Carlotta masih memikirkan Alessandro hingga detik itu. Pesta ulang tahun mewahnya tampak tak berarti dibandingkan kebersamaannya dengan si pemuda yang hanya beberapa bulan. Semua dekorasi mewah, ucapan selamat dari teman-temannya, tak satupun mengena di hatinya.
Ketika saat potong kue tiba, Carlotta memberikan kue pertama kepada adiknya, Ciara, dan kue kedua kepada adiknya yang satu lagi, Carina. Tak satu potong kue lagi pun ia berikan kepada orang lain, termasuk ayahnya atau pun calon tunangannya, Roberto.
Mengingat acara itu diliput oleh banyak media, Carlotta masih harus menjaga nama baik keluarganya dengan cara terus tersenyum. Ia benar-benar terus tersenyum hingga bibirnya terasa kaku. Tentu saja tak ada satu orang pun yang menyadarinya. Tak ada seorang pun yang mengenalnya sebaik Alessandro.
"Tiup lilinnya, Kak!" Ciara berseru riang.
Roberto memelototi Ciara. "Jangan dengarkan adikmu, Carlotta! Kau harus membuat permohonan terlebih dulu."
Gretta memutar bola matanya malas. "Kenapa kalian berisik sekali? Cepat tiup saja lilinnya dan akhiri acara membosankan ini."
Ayah Gretta, Tuan Mancini, mencubit putrinya keras-keras. Gretta mengaduh dengan lengkingan.
Ayah Carlotta hanya tertawa. "Tidak apa-apa, Signor Mancini. Anak-anak memang suka bercanda."
Gretta berada di atas angin karena mendapat pembelaan dari ayah Carlotta. "Tuh kan, Papa. Aku cuma bercanda. Papanya Carlotta saja tahu."
Carlotta tidak memedulikan itu semua. Raganya berada di situ, tetapi tidak dengan pikirannya. Pikirannya selalu berkelana ke tempat yang jauh. Ke masa lalu di mana ia duduk berdua dengan Alessandro di kebun belakang rumahnya yang luas.
Oh, betapa Carlotta sangat merindukan saat-saat itu.
"Apa kau sudah selesai membuat permohonan?" Roberto bertanya.
Carlotta tersenyum dan menggeleng. Ia cepat-cepat menutup matanya dan memikirkan sesuatu untuk diminta.
Namun, apa? Apa yang harus dimintanya? Ia bahkan tidak punya keinginan untuk dirinya sendiri sekarang. Ia sudah kehilangan harapan akan bersatunya kembali ayah dan ibunya. Ia juga telah kehilangan harapan untuk hidup bahagia dengan Alessandro.
Pada akhirnya, Carlotta hanya berkata di dalam hati, "Semoga Alessandro hidup bahagia, di mana pun ia berada. Dan semoga suatu saat nanti ia bisa memaafkan aku."
***
Ketika pesta hampir berakhir, Roberto meminta waktu untuk mengambil alih jalannya acara. Dia berlutut dengan satu kaki dan mempersembahkan sebuah cincin berlian besar kepada Carlotta.
"Dear Carlotta Marinelli, maukah kau menjadi tunanganku? Jika kita menikah nanti, aku akan membuatmu jadi pengantin paling bahagia di dunia. Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia."
Carlotta panik. Ia tidak siap. Lebih tepatnya, ia tidak mau.
Melihat gelagat penolakan akan terucap dari bibir putrinya, ayah Carlotta segera memberikan isyarat agar Carlotta menerima lamaran itu. Semua orang yang hadir di sana juga bersorak sorai mendukung Carlotta untuk menerima lamaran Roberto.
Carlotta kemudian sadar akan satu hal. Pernikahannya nanti tidak akan pernah tentang dirinya sendiri. Ini semua tentang bisnis ayahnya. Tentang hubungan kekerabatan antara raksasa-raksasa bisnis di Italia.
Mungkin begitu juga dengan pernikahan adik-adiknya kelak.
Carlotta tidak mungkin berlaku egois. Lagipula meskipun ia menolak Roberto, dia tidak akan mungkin bersatu dengan cinta masa mudanya. Ia harus realistis untuk saat ini. Demi masa depan keluarganya.
Maka, Carlotta mengangguk dan tanpa sadar air mata menetes di pipinya. Semua orang bersorak-sorai menyambut jawaban Carlotta. Air mata gadis itu diartikan sebagai air mata haru yang penuh dengan rasa syukur.
Keesokan harinya, seluruh media di Italia memuat tentang berita pertunangan Carlotta dan Roberto.
***
Alessandro Ferrara mendidih di tempatnya berada. Dilemparkannya sebuah surat kabar yang memuat tentang berita pertunangan Carlotta ke atas meja kerja. Alessandro melarikan kedua tangannya untuk mengacak rambutnya sendiri dengan frustasi. Ia pikir saat ini tidak akan pernah datang.
Lima tahun lalu, Carlotta memang bilang bahwa ia akan bertunangan dengan Roberto Mancini. Namun, saat pertunangan itu tidak pernah terlaksana. Hingga malam tadi.
Alessandro sempat memikirkan beberapa kemungkinan. Pertama, apakah saat itu Carlotta hanya diancam untuk putus dengannya? Kedua, apakah sebenarnya Carlotta masih mencintainya hingga tidak ingin bertunangan dengan orang lain? Ketiga, apakah Carlotta sebenarnya tidak menyukai Roberto dan hanya menggunakan nama pria itu sebagai tameng?
Dan hari ini, semua kemungkinan tadi sudah terbukti tidak benar. Alessandro memang hanya pria rendahan yang tidak layak di mata Carlotta. Buktinya? Carlotta telah resmi bertunangan dengan Robert Mancini.
Seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya.
"Masuk." Alessandro menjawab.
Neneknya, Nyonya Ferrara, masuk dengan sebaki minuman hangat dan biskuit. "Kau belum sarapan, Cucuku."
Alessandro tersenyum hangat. "Terima kasih, Nek."
Saat pertama kali datang ke Roma, neneknya adalah orang yang langsung percaya kepadanya. Neneknya bilang, mukanya mirip sekali dengan ayahnya sewaktu muda. Sementara itu, kakeknya menuntut untuk tes DNA. Sembari menunggu hasil tes DNA yang membuktikan 100% kecocokan keluar, neneknya bercerita tentang semua yang terjadi.
Kakeknya mengusir ibu Alessandro dari rumah. Akan tetapi, tak satu orang pun di rumah itu tahu bahwa ibunya sedang mengandung Alessandro. Seandainya saja mereka tahu, mungkin Alessandro akan tumbuh besar dalam kemewahan dan kasih sayang dari keluarga Ferrara.
Neneknya juga bercerita tentang tragedi kecelakaan yacht ayah Alessandro. Ayahnya tidak mau menikah dengan orang lain. Dia hanya sibuk berpesta dan minum alkohol setiap hari. Hingga akhirnya, suatu malam, ayah Alessandro mabuk dan terjatuh ke laut dari yacht-nya. Tidak ada yang menyadari bahwa ayah Alessandro menghilang. Mayat ayah Alessandro baru diketemukan beberapa hari kemudian.
"Kami sangat bersyukur kau mau datang kepada kami, Nak. Kami kira kami sudah tidak memiliki pewaris lagi." Kata neneknya saat itu. Alessandro dipeluk dan luka-lukanya diobati dengan baik. Kecuali luka bakar di tangannya. Alessandro tidak mau yang satu itu dirawat.
Sejak saat itu, Alessandro hidup dalam keluarga Ferrara. Di usia dua puluh tiga tahun ini, ia telah berhasil mengembangkan bisnis kakeknya hingga taraf internasional. Keuntungan bisnisnya bertambah tujuh kali lipat. Ferrara Group pada akhirnya berhasil mengukuhkan posisi menjadi perusahaan multinasional paling besar di Italia. Semua berkat kerja keras Alessandro.
"Apa ada yang mengganggu pikiranmu, Nak? Kau tampak gelisah." Neneknya bertanya.
Alessandro menggeleng dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Nek."
"Apakah ini masalah pekerjaan? Kau sudah melakukan yang terbaik, Nak. Jika kau lelah, kau bisa beristirahat sekarang."
Alessandro menggeleng sekali lagi. "Bukan, Nek."
"Apakah masalah percintaan? Nenek berjanji tidak akan mengulang kesalahan di masa lalu. Kami akan membiarkanmu memilih sendiri calon istrimu, tidak peduli siapa dia."
Alessandro tersenyum sedih. "Maafkan aku, Nek. Tolong jangan berharap banyak kepadaku tentang pernikahan. Kurasa aku tidak akan menikah."
Neneknya terkejut, namun berhasil menguasai diri dengan cepat. "Kau masih muda, Nak. Ada banyak kesempatan di depan."
Alessandro tidak menjawab.
"Kalau begitu, Nenek akan meninggalkanmu untuk mengurus pekerjaan. Nenek tidak akan mengganggumu lagi. Jangan lupa dimakan, Nak." Nenek Ferrara menunjuk biskuit dan minuman hangat yang tadi dibawanya.
Ketika neneknya sudah keluar dari ruang kerjanya, Alessandro memanggil orang kepercayaannya, Lombardi, masuk. Pria yang usianya hanya terpaut tujuh tahun dari Alessandro itu sudah bekerja lama di perusahaan Ferrara. Dia gesit, kejam dalam melibas bisnis orang lain, dan yang paling penting, setia kepada Ferrara. Lombardi merupakan anak yang dibesarkan di panti asuhan milik keluarga Ferrara dan sudah bersumpah akan melayani Ferrara seumur hidup. Alessandro banyak terbantu dengan kehadiran Lombardi.
"Signor memanggil saya?" Lombardi masuk dengan cepat.
"Kau tahu tentang rencana yang telah kususun bertahun-tahun lalu?" Alessandro bertanya tanpa basa-basi.
"Rencana tentang penghancuran bisnis keluarga Marinelli?" Lombardi memastikan. Ia merasa agak heran kenapa rencana yang telah disusun lama itu tak jua dilaksanakan. Padahal, tuan barunya ini selalu cekatan dalam melakukan segala rencana yang telah disusun dengan matang.
Alessandro mengangguk. "Aku mau kau menambahkan penyitaan seluruh aset mereka."
"Baik, Signor."
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!