Setelah Shirey tertidur mas Tyo kembali membujukku. Dia memindahkan bantal yang dari tadi kugunakan untuk menutup kepala.
"Kalau Hana masih mau Mas di sini, Mas gak jadi berangkat besok. Nanti Mas urus cuti tambahan," ujarnya sambil membalikkan badanku. "Cinta gak pernah cemburu seperti ini, sekarang kenapa begini Sayang?" Mas Tyo selalu memperlakukanku dengan lembut, jarang sekali dia marah.
"Berangkat aja," jawabku singkat, walau itu bukan jawaban jujur yang ingin kukatakan.
"Gak akan bisa tenang Mas berangkat, kalau Hana cemburu begini. Hana ikut kesana aja ya?"
Aku tidak tau apakah lelaki yang di depanku ini benar-benar jujur atau hanya akal-akalannya saja agar aku percaya dengannya.
"Aku yang dimarahi ibu kalau ikut," sahutku dengan kesal.
"Ya udah, Mas gak jadi berangkat besok. Mas reschedule tiket dulu." Dia tidak bisa meninggalkanku saat seperti ini, sama seperti saat aku hamil dulu. Dia begitu gelisah untuk pergi meninggalkanku.
Aku merebut ponsel mas Tyo dan membatalkan niatnya untuk reschedule tiket. Mas Tyo kebingungan melihat sikapku malam ini. Dia tidak pernah melihatku bersikap seperti ini.
"Mas gak bisa berangkat kalau Hana gak ridho seperti ini, percuma Mas disana gak bisa tenang," jelasnya padaku seolah dia sangat mengerti pertanyaan yang ada di kepalaku kenapa gak jadi berangkat.
Aku tidak bisa menahan mas Tyo tetap di rumah, ibu akan menyerangku karena terlalu manja. Aku mengantarkan mas Tyo ke bandara, Shirey tinggal bersama ibu di rumah. Penerbangan Banjarmasin - Balikpapan jam 08.25, kali ini hatiku sangat gelisah melepaskan mas Tyo berangkat kerja.
"Cinta, kalau gak mau Mas pergi biar dicancel aja," ujarnya melihatku yang gelisah sejak tadi malam. Perlu kalian tau mas Tyo itu lelaki yang sangat pengertian. Akunya aja yang kadang sangat kekanakan.
"Berangkat aja Mas," sahutku singkat, berjalan di samping mas Tyo.
"Baik-baik ya Sayang, nitip Shirey, maaf Mas tinggal kerja ya." Mas Tyo memeluk dan mencium keningku. "Nanti Mas kabari kalau sudah sampai ya."
Aku meninggalkan bandara dengan hati yang penuh kegelisahan. Mengkhawatirkan suami dan masih memikirkan perempuan yang ada di foto itu. Mana mungkin mas Tyo begitu, batinku. Tapi perempuan itu menggandengnya, sahut pikiranku yang lain. Mereka seakan tarik menarik di dalam kepalaku.
Bagaimana tidak khawatir setelah sampai di sana mas Tyo akan bertemu perempuan itu. Ditambah foto-foto yang di upload temannya menguatkan kecurigaanku. Tapi aku gagal membuktikan kebenarannya.
Sampai rumah aku langsung masuk kamar, Shirey masih bermain sama ibu. Aku takkan bisa bercerita sama ibu, pasti yang di bela menantu kesayangannya itu. Di rumah ini mas Tyo-lah yang jadi anak ibu bukan aku.
Sekarang sudah jam setengah sebelas, mas Tyo belum mengabariku, tadi dia janji setelah sampai akan memberikan kabar. Harusnya sekarang mas Tyo sudah sampai.
Aku menelponnya, namun suara perempuan yang menjawab. Hatiku seketika hancur lebur, tiba-tiba pasokan onksgen di tubuhku berkurang. Dadaku terasa sesak. Perempuan itu memberikan teleponnya pada mas Tyo.
"Assalamualaikum Sayang, maaf Mas belum sempat ngabarin tadi langsung diminta ke kantor." Ucap mas Tyo dari balik telepon.
"Tipuan apa lagi ini Mas?" Aku tidak dapat menahan diri untuk tidak marah-marah dan memakinya.
"Raihana, kenapa begini lagi. Mas lagi di kantor dan hpnya ketinggalan di meja, jadi Nadia yang menjawab teleponnya." sahutnya dengan nada emosi, tidak pernah mas Tyo berbicara seperti ini padaku. Aku menutup sambungan telepon, menangis sejadi-jadinya. Memeluk lutut dengan kedua tangan.
Berkali-kali mas Tyo menelpon namun tidak kuhiraukan. Bagaimana bisa kuterima semua omong kosong ini, sedang dia tidak ada di dekatku.
Aku tidak tau caranya bersikap tidak peduli, hatiku terlampau sakit. Jauh darinya membuatku sakit, tidak tau apa yang sedang mengisi jiwaku sekarang.
"Han, hpnya kenapa? Ini Tyo menelpon ke ibu," ucap ibu berjalan mendekatiku yang sedang menangis.
"Ibu," kupeluk ibu dan memberanikan diri untuk bercerita.
"Dia bersama perempuan Bu, perempuan yang selalu bersama di fotonya," kataku dengan sesenggukan. Aku tau ibu bingung dengan tingkahku yang seperti kekanakan.
"Anak Ibu kenapa suudzon seperti ini, Hana sudah mendengarkan penjelasan Tyo." Bukannya membelaku, ibu malah berkata seperti itu. Kepalaku menggeleng mengisyaratkan tidak kepada ibu.
"Sayang, jika Hana seperti ini bisa saja dengan mudah perempuan itu mengambil kesempatan. Kenapa selalu berprasangka buruk." Nasehat ibu tidak berguna untukku sekarang. Tidak mengertikah ibu kalau hatiku sekarang sedang terluka.
"Bu, Hana kecewa. Perempuan itu menggandeng tangan mas Tyo." Aku menjelaskan kekecewaanku agar ibu mengerti.
"Hana telpon Tyo sekarang ya, selesaikan semua ini. Kalau gak Hana susul kesana, Ibu yang jaga Shirey di rumah. Ibu udah gak mau dengar kamu selalu curiga seperti ini." Kata ibu lalu beranjak meninggalkanku sendirian di kamar. Ibu selalu seperti itu lebih peduli perasaan mas Tyo dibanding perasaan putrinya sendiri.
Dengan berat hati aku mengambil ponsel, menuruti perkataan ibu untuk menyelesaikannya sekarang.
"Assalamualaikum Mas." Sapaku, kalau tidak ingat ibu akan semakin marah padaku, aku tidak akan mengalah seperti ini, pantang seorang Raihana mengalah pada Arityo Anggara.
"Wa'alaikumsalam Sayang, Mas minta maaf ya sudah membuat Hana cemburu. Mas balik ya Sayang nanti penerbangan sore!" Apa katanya, mau balik nanti sore. Bakal habis aku dicincang ibu kalau sampai itu terjadi. Ibu bukan menyincang tubuhku, tapi hatiku.
"Jangan Mas, nanti aku dimarahin ibu," sahutku. Ibu selalu marah denganku kalau tidak menuruti kata mas Tyo.
"Cinta, Mas gak bisa kerja disini kalau kamu terus seperti ini." Aku diam hanya mendengarkannya saja, yang penting aku sudah melakukan perintah ibu 'kan? Tidak ada keharusan untukku berbicara.
"Nadia..!" Kudengar suara mas Tyo memanggil perempuan itu.
"Tolong bicara sama istriku kalau kita gak ada hubungan apa-apa," kata mas Tyo pada perempuan itu.
"Mbak, aku minta maaf ya, kalau foto itu membuat mbak Hana cemburu, kami foto bersama waktu itu. Aku dan mas Tyo tidak ada hubungan apa-apa." suara lembut perempuan itu ditujukan untukku. Aku masih diam tidak bisa menjawab karena malu dengan diri sendiri.
"Sayang, sudah dengar sendirikan? Kalau Mas gak dibolehin pulang Hana aja besok ke sini ya sama Shirey." Suaraku seakan membisu tidak dapat berucap.
"Cinta, teleponnya jangan dimatikan dulu ya." Mas Tyo memohon padaku karena aku tidak bersuara apa-apa. "Mas belikan tiket buat besok ya Sayang." Lanjutnya lagi
"Gak perlu Mas, aku tunggu Mas libur nanti aja." Jawabku, biarlah hatiku sakit dari pada bikin masalah tambah panjang. Ibu selalu ikut campur, malas berdebat sama ibu. Ujung-ujungnya aku juga yang disalahin.
"Ya udah kalau maunya begitu, Mas minta maaf ya sayang."
Sejak hari itu aku jarang menghubungi mas Tyo, dia juga hanya menunggu aku yang menelponnya. Tidak tau apa yang dia lakukan disana. Hatiku sebenarnya sangat rindu, namun tidak tau caranya agar bisa bersikap seperti dulu lagi. Kapan dia pulang, tanyaku pada diri sendiri.
Sebulan ini hubunganku dengan mas Tyo mulai merenggang, kami jarang berkomunikasi. Begitu mungkin lebih baik, biar hanya diri sendiri yang memendam luka ini. Tidak ada tempat yang nyaman untukku bisa mengadukan segala resah.
Aku menyisir menaburi pipi Shirey dengan bedak bayi. Pipi bulat itu selalu menggemaskan. Derap langkah kaki ibu memasuki kamar, mendekatimu yang sedang duduk di karpet bersama Shirey.
"Hana masih marah sama Tyo?" Tanya ibu padaku, meskipun tidak bercerita beliau sellau tau apa yang kusembunyikan hanya dari melihat raut wajahku.
Hanya diam yang bisa kulakukan saat ini, apalagi ibu menatap tajam seperti itu. Aku tidak ingin ribut sama ibu, jadi lebih baik diam.
"Hana ingat ya, jangan pernah mengadu sama Ibu kalau dia terlanjur direbut perempuan lain karena sikapmu yang seperti ini. Istri itu harusnya berada di sisi suami." Ibu menceramahiku, sudah sering aku dengar kalimat itu. Serba salahkan, aku tinggal salah nanti kalau aku ikut mas Tyo nanti dibilang hanya merepotkan suamimu.
"Ibu kenapa selalu membelanya dan tidak peduli dengan perasaanku?" kataku pelan membela diri.
"Karena anak ibu selalu manja dan egois," sarkas ibu. Hatiku berdesir, padahal semua perempuan pasti memiliki sifat manja dan egoiskan. Salah lagi!
Terpaksa aku menelpon mas Tyo, mendengar apa yang ibu katakan. Belum sempat aku mengucapkan salam dia sudah berkata manja padaku.
"Sayang kangen.."
"Maafin aku Mas," ibu masih mengawasiku, sekarang harus jaga sikap biar terlihat lembut di depan ibu.
"Sayang Mas boleh pulang?"
"Iya," jawabku singkat. Mana mungkin aku tidak mengijinkan suami sendiri pulang.
Mungkin ibu sudah tau kalau mas Tyo akan pulang, beliau hanya ingin mengujiku. Mereka dari dulu memang sudah selalu sekongkol dibelakangku. Tidak ada yang benar-benar membelaku.
Aku melajukan mobil menuju bandara. Suamiku sudah dalam perjalan pulang, dia ternyata pulang hari ini. Mas Tyo langsung menghambur kepelukan saat melihatku di bandara.
"Mas banyak orang di sini," kataku yang menarik badan menjauh darinya dan berjalan menuju parkiran.
"Kenapa sampai lama begini marahnya, Cinta cemburu karena apa?" Mas Tyo mengikuti dibelakang, aku abaikan ocehannya. "Maaf," kataku singkat, diriku sendiri saja tidak tau apa yang terjadi sehingga hati jadi dingin seperti ini.
"Sayang, kita nonton dulu yaa atau jalan-jalan," pintanya padaku.
"Kasian Shirey di rumah," padahal biar ditinggalkan pun ibu gak masalah asal aku jalan sama mas Tyo aja.
"Mas kangen banget lho, tapi kenapa datang masih dicuekin juga. Hana beneran mau Mas sama perempuan lain?" Tidak ada kata lagi yang dapat aku ucapkan mendengar perkataan mas Tyo.
"Kasih mas waktu satu bulan ya Sayang untuk kerja disana. Setelah itu Mas akan mendampingi Cinta di sini." Ungkapnya, mas Tyo mengendarai mobil keluar parkiran bandara.
"Untuk apa?" Aku belum paham maksud mas Tyo.
"Mas gak mau kamu hilang kepercayaan seperti ini."
Aku tidak tau harus apa lagi ketika mendengar pernyataannya itu. Sangat keterlaluankah sikapku selama ini padanya.
"Maafin aku Mas," hanya itu yang bisa ku lakukan saat ini ditengah kebimbangan yang memenuhi relung hatiku. Kepercayaanku rasanya sudah menguap sejak muncul satu nama yang terngiang dalam kepala, Nadia.
"Sayang, ada apa sebenarnya?"
"Aku tidak tau Mas apa yang sedang terjadi dengan diriku sendiri, aku rindu, cemburu, lelah semua jadi satu." Kataku jujur, mengang sekarang aku tidak tau bagaimana hatiku saat ini. Perasaan mana yang lebih dominan aku juga tidak mengerti. Aku asing pada diri sendiri sekarang.
"Temani Mas makan di luar ya sayang." Mas Tyo ingin meluangkan waktunya untukku menghilangkan segala lelah. Aku tau dia sangat rindu padaku, sama. Aku juga sangat merindukan suamiku, hanya saja sekarang ada hantu pikiran yang sedang mengacau susunan saraf di otakku.
"Iya mas," ucapku menyetujui permintaannya.
"Gitu dong sayang." Mas Tyo masih menatap lembut padaku yang diam dan hanya menjawab seadanya kalau diajak bicara.
"Kenapa diam sayang?"
"Mas hatiku terasa dingin dan tidak tau penyebabnya apa. Aku bingung dengan diriku sendiri." Aku juga tidak ingin terus seperti ini.
"Sayang, malam ini mau temani Mas ya. Biar Shirey tinggal sama ibu."
"Mau kemana mas?"
"Belum tau liat nanti aja."
Mas Tyo hanya ingin meluangkan waktu berdua denganku untuk mengembalikan perasaanku yang dingin ini. Mungkin dia tau penyebabnya apa.
"Sayang, setiap rumah tangga pasti memiliki masalah. Mungkin Hana hanya terlalu lelah dengan Shirey dan terlalu rindu dengan Mas makanya jadi seperti ini."
Apa yang diucapkan mas Tyo memang benar, dia selalu berpikir dengan matang tidak sepertiku yang kekanak-kanakan.
***
Karena tidak memungkinkan liburan berdua, mas Tyo memilih menginap di hotel malam ini agar aku bisa melepaskan lelah. Dia memberikan waktu untukku yang lelah menjaga Shirey sendirian.
Perempuan mana yang tidak akan luluh jika diperhatikannya seperti ini. Namun tidak denganku sekarang. Hatiku terasa membeku ketika mendengar kata cinta darinya.
"Harusnya Mas selalu ada di sini mendampingi Hana membesarkan Shirey," ucapnya dengan lembut. Aku tau dia sedang lelah karena perjalanan tadi sore. Tapi malamnya harus menemaniku.
"Aku tidak bisa jauh dari mas Tyo, aku ingin bisa dipeluk setiap hari," ucapku pelan.
"Iya Sayang, Mas usahakan ya buat Hana."
"Tapi kalau Mas berhenti kerja karenaku, Ibu akan marah lagi. Ibu lebih sayang sama Mas dari pada aku." Ada kecemburuan dihatiku karena ibu lebih peduli dengan mas Tyo.
"Bukan begitu Cinta, Ibu hanya ingin yang terbaik buat anaknya."
Mas Tyo memberikan pengertian untukku, karena itulah ibu selalu menyayanginya. Dia selalu berpikir sebelum bertindak, tidak mudah terbawa emosi sepertiku.
Kami menikmati keindahan malam dari balkon hotel. Aku melupakan diri sebagai ibu, kami seperti anak muda yang sedang pacaran. Mas Tyo begitu pengertian, apa yang sedang merasuki pikiranku sehingga terlalu cemburu dengannya.
"Cinta tidak bisa terus seperti ini, itu akan berdampak buat Shirey. Besok mau jalan-jalan ke pantai Sayang?" Aku menggeleng lemah.
"Gak Mas, kasian Mas cape belum sempat istirahat, nanti aja."
"Apa Hana masih benci liat Mas sekarang?" Kata-kata mas Tyo membuatku tersentak. Apakah aku memperlakukannya sangat berlebihan sampai dia pikir aku membencinya. Mana mungkin aku membenci suami yang sangat aku cintai.
"Ya gak lah Mas, aku tidak pernah benci sama Mas." Aku menyandarkan kepala ke dada bidang mas Tyo, dia membalas dengan memberikan dekapan hangat. Dekapan yang saat ini tidak bisa membuatku tenang lagi. Kenapa hatiku jadi seperti ini. Kenapa diriku begitu egois sampai menyiksa batin suamiku sendiri.
"Apa yang bisa membuat Hana seperti dulu lagi, apa Hana sudah bosan bersama Mas?" Nada sendu terdengar begitu memilukan di telingaku.
"Maafin aku Mas." Kata penyesalan itulah yang bisa aku ucapkan saat ini.
"Cinta, tidak salah." Mas Tyo memegang kedua tanganku dan menatap dengan mesra. "Jangan pernah menyalahkan diri sendiri. Semua ini terjadi karena Hana terlalu lelah saja."
"Mas jangan berhenti kerja ya, aku bisa jaga Shirey di sini." Ibu bilang aku harus bersikap dewasakan, baiklah seorang Raihana akan belajar menjadi perempuan dewasa sekarang.
"Hana mau apa Sayang?"
"Aku boleh kerja lagi Mas?" pintaku padanya, mana mungkin dia mau menuruti permintaanku kali ini.
"Cinta, kita selama ini tidak ada kekurangan apapun, semua sudah cukup. Jadi Hana gak perlu bekerja."
"Aku bosan di rumah Mas, perlu teman."
"Siapa yang jaga Shirey, Sayang, dia perlu bundanya setiap saat. Seperti bunda perlu ayah. Jika sekarang bunda dan ayah tidak bisa bersama setiap saat, tolong jangan jadikan Shirey yang harus menerima semua ini Sayang."
Apa yang dikatakan mas Tyo benar, karena aku tidak bisa bersamanya setiap saat, aku ingin mencari kebahagiaan di luar dan meninggalkan Shirey.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang Mas?"
"Tidak ada Sayang." Mas Tyo mengeratkan pelukannya ditubuhku, "Kamu hanya sedang perlu Mas di sini, jauh dari Mas membuatmu jadi seperti ini." Dia menciumi kepalaku berkali-kali, ya Allah kembalikan hatiku seperti dulu lagi.
"Aku tidak tau apa yang membuatku jadi tidak bisa tenang lagi saat berada dipelukanmu Mas." Aku mengucapkan apa yang kurasakan. Aku jujur dengan kebimbangan hati sendiri.
"Sayang, hatimu terlalu rindu jadi sampai seperti ini."
"Aku harus bagaimana Mas?" tanyaku padanya agar aku tidak bertindak salah lagi.
"Tetap di sini sayang, Mas akan mengobati kerinduanmu."
"Aku tidak bermaksud mengabaikanmu Mas." Aku lemas mengatakan semua itu. Kejujuranku ini akan membuatnya sakit. Tapi jika aku terus diam dia juga akan tersakiti.
"Mas paham Sayang, jangan merasa bersalah ya." Sudah kubilang mas Tyo adalah sosok yang paling pengertian. Aku yang sudah memperlakukannya sejahat ini saja, dia masih bisa membalas dengan lembut setiap ucapanku.
"Aku boleh kerja ya Mas," mohonku pada mas Tyo lagi.
"Mas pikir dulu ya Sayang."
Sebelum kembali ke Balikpapan akhirnya mas Tyo mengijinkanku untuk kembali bekerja. Dia tidak dapat menolak, karena aku terus merengek padanya. Dia juga meyakinkan ibu dan ayah agar aku bisa bekerja lagi.
Seperti biasa mas Tyo yang mengurus semua keperluanku. Mudah saja untuknya mencarikanku pekerjaan. Dia memang suami yang bisa diandalkan. Hanya aku saja istri yang tidak tau diri.
***
Di sudut ruangannya Arityo Anggara sedang merindukan istrinya Raihana. Juga gadis mungil yang bisa menghilangkan segala lelahnya Shirey Zalina.
Sekarang susah untuknya bisa berlama-lama berbicara dengan mereka. Sedang apa mereka sekarang, putrinya bermain apa saat ini. Bundanya pasti tidak bisa menemaninya bermain lagi. Pasti dia sedang kesepian karena tidak ada ayah dan bunda disampingnya.
"Kenapa Yo, lagi stres ya..? Suara Faris mengagetkan Tio yang sedang memikirkan anak dan istrinya.
"Kapan kamu masuk Ris?" Tio menyandarkan kepala ke kursi, tapi pikirannya masih jauh melayang pada anak dan istrinya.
"Dari tadi, dipanggil-panggi gak ada jawaban. Lagi ada masalah?" Faris yang paling tau masalahnya dari jaman kuliah dulu.
"Lagi kangen Hana aja."
"Kenapa gak ditelpon, kok jadi ribet banget."
"Gak diangkat dia lagi sibuk kerja. Malam dia kecapean menemani Shirey." Jawab Tyo dengan netra yang terpejam.
"Apa yang sudah terjadi sampai kamu menginjinkannya kerja lagi?" Faris tidak pernah berbasa-basi, dia selalu menanyakan inti permasalahan.
"Dia bosan di rumah, karena aku gak bisa menemaninya." Sahut Tyo, menyesali keputusannya mengijinkan Hana bekerja.
"Perempuan memang susah untuk dimengerti, kita ada kerjaannya ngomel-ngomel, jauh salah juga," ujar Faris sambil tertawa.
"Sejak cemburu dengan Nadia dia berubah jadi dingin dan cuek." Tyo hanya bisa bercerita dengan Faris ketika ada masalah seperti ini. Dengan Aji tidak mungkin, karena itu akan menyudutkan Hana. Aji kakak ipar Hana, suami dari kakaknya Raina.
"Kalau sudah begitu susah bro, pantes aja dia sampai mau kerja lagi. Mencari kesenangan di luar...!"
Tyo terdiam mendengar perkataan Faris yang benar. Karena dia tidak ada Hana mencari kesenangan di luar.
"Mau ikut ngegym malam ini biar otakmu gak tegang," ajak Faris pada Tyo.
"Oke." Tyo mengiyakan dari pada bosan di rumah. Hana juga tidak susah diajak ngobrol kalau malam.
"Kutinggal ya, Nadia sudah nungguin mau masuk." Faris menunjuk ke arah pintu.
"Mas, ini kopi diminum dulu biar rileks dan ini file yang diminta pagi tadi."
Nadia yang baru masuk membawakannya segelas kopi. Gadis itu selalu memberikan perhatian lebih padanya. Wajar jika Hana sangat cemburu dengan Nadia.
"Makasih Nad, duduk dulu."
"Kenapa Mas, ada masalah proyek atau keluarga?" ujar Nadia to the point.
"Lagi kangen Hana Nad, mau di sini menemani sambil aku cek file yang tadi." Tyo tau gadis itu menginginkannya sejak dulu.
"Oke, mbak Hana masih cemburu Mas?" Tanya Nadia padanya.
"Iya Nad, dia sudah hilang kepercayaan denganku." Nadia tau masalahnya dengan Hana sejak gadis itu mengangkat telpon istrinya.
"Maaf ya Mas, gara-gara aku jadi seperti ini." Ucap Nadia dengan nada penyesalan.
"Bukan salahmu Nad, malam ini mau ikut ngegym bareng Faris." Tyo mengalihkan pembicaraan, agar tidak tambah panjang. Dia malas membahas masalah keluarganya terlalu jauh, apalagi dengan seorang perempuan.
"Boleh."
"Nanti aku jemput ya?"
"Iya Mas."
"Revisi yang ini aja sedikit Nad, yang lain sudah oke semua."
"Baik, langsung aku perbaiki." Nadia membawa berkasnya kembali meninggalkan ruangan Tyo.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!