Suara tamparan yang teramat keras menggema ke seluruh ruangan kantor Direktur Pemasaran Trigger Corp.
Untungnya ruangan dengan desain modern kontemporer itu dibuat kedap suara, sehingga orang-orang di luar ruangan tidak tahu menahu bahwa Hans Trigger, Direktur Pemasaran di Trigger Corp, sekaligus putra kedua dari Direktur Utama perusahaan tersebut, baru saja ditampar oleh sekretarisnya yang cantik, Miss Ambrosia Heart.
"Dasar wanita sial! Kau pikir apa yang baru saja kau lakukan?" bentak Hans murka sambil memegangi rahangnya yang memar dan masih terasa panas akibat tamparan Ambrosia barusan. Mata merahnya berkilat-kilat sambil menatap tajam ke arah wanita yang telah menamparnya itu.
Ambrosia bergeming. Ekspresinya sedingin es di kutub utara. Dirinya tak peduli lagi dengan apapun. Ia sudah muak. Sangat-sangat muak. Satu-satunya emosi yang dapat ia rasakan saat ini hanyalah perasaan jijik pada pria yang ada di hadapannya itu.
Kedua tangan Ambrosia gemetaran di sisi tubuhnya, berusaha menahan hasrat diri untuk menerjang, menjambak, dan menampar wajah bosnya itu lagi dan lagi, sampai puas.
Namun Ambrosia tidak ingin memberikan kesempatan pada pria yang membuatnya muak itu untuk dapat membalikkan keadaan. Salah sedikit bisa-bisa dirinya yang dituntut atas kasus penyerangan. Dan Hans Trigger adalah pria rendah yang pasti akan melakukan hal itu demi menyelamatkan harga diri serta reputasinya.
Tidak, batin Ambrosia. Aku tidak akan pernah merendahkan diriku di hadapan bajingan gila ini, imbuhnya dalam hati. Aku harus tetap tenang, agar aku bisa menang.
Karena itu Ambrosia tidak boleh bertindak gegabah, untuk saat ini satu kali tamparan sudah cukup—walaupun jauh di lubuk hati ia masih ingin menampar pria itu lagi, tetapi demi sebuah kemenangan telak, Ambrosia harus bisa menahan diri.
"Aku akan menuntutmu. Pasti. Aku juga akan memecatmu, dan kupastikan kau tidak akan menerima sepeser pun saat keluar dari sini. Lihat saja nanti, dasar budak rendahan tidak tahu terima kasih." Sambil bersungut-sungut Hans tergesa menuju ke belakang meja kerjanya lalu mengangkat gagang telepon.
Ambrosia sangat tahu bahwa Hans Trigger pasti akan merasa sangat terhina atas tamparan darinya. Pria dengan harga diri setinggi langit itu tidak akan pernah mengerti cara instrospeksi diri, meskipun jelas-jelas pria itulah yang melakukan kesalahan lebih dulu hingga memicu tamparan dari sang sekretaris.
Dan Ambrosia juga tahu persis siapa yang akan ditelepon pria itu saat ini. Ia bisa menebaknya dengan mudah, karena Ambrosia mengenal cukup baik karakter bosnya yang satu ini meskipun baru bekerja dengan pria itu selama enam bulan. Untuk itulah Ambrosia sudah berjaga-jaga dengan mempersiapkan sesuatu.
Ketika Hans masih menunggu sambungan teleponnya dijawab oleh pengacaranya, masih dengan tatapan penuh amarahnya yang terkunci ke arah sang sekretaris, Ambrosia justru dengan tenang menarik sebuah pulpen mekanik dari saku kemejanya lalu menekan puncak pulpen itu.
Sedetik kemudian terdengarlah serentetan kalimat-kalimat menjijikkan yang Hans lontarkan demi merayu sekretarisnya itu agar mau bercumbu dengannya, beberapa menit sebelum akhirnya tamparan keras Ambrosia mendarat di wajah Hans Trigger.
Mata kecil dan cekung Hans seketika membelalak. Perpaduan antara kaget bercampur rasa tidak percaya membuat raut wajah Hans tampak idiot di mata Ambrosia. Rasa gelisah membuat lengan Hans yang memegang gagang telepon tampak melemah. Pria itu meletakkan gagang telepon secara asal asalan di atas meja kerjanya dengan tatapan mengerikan ke arah Ambrosia.
"Kau... Kau merekam percakapan kita tadi?" tanyanya tak percaya sambil menunjuk ke wajah Ambrosia.
"Itu bukan percakapan, melainkan hanya suara anda. Perlu anda ingat bahwa tidak ada sedetikpun suara saya terekam di dalamnya." Akhirnya Ambrosia bersuara, setelah ia mematikan recorder yang merekam bukti pelecehan verbal sang direktur terhadapnya.
Ambrosia sengaja diam saja sejak tadi demi mencegah suaranya masuk ke dalam rekaman, sekaligus menghindari segala hal yang mungkin bisa digunakan pengacara Hans Trigger untuk melawannya seandainya ada tuntutan dari pihak bosnya itu.
"Persetan!" Lagi-lagi Hans berteriak. Masih dengan mata yang melotot marah, sudut-sudut bibirnya kemudian terangkat membentuk seringai mengerikan mirip ekspresi karakter villain Joker. "Apa kau berencana menuntutku atas tuduhan pelecehan dengan menggunakan bukti rekaman itu, Miss Heart?" tanya Hans dengan suara yang bergetar samar.
Apapun yang direncanakan Hans di otaknya saat ini, Ambrosia mengira pria itu berusaha bersikap tenang untuk mengulur waktu sekaligus mengorek kelemahannya demi memenang pertarungan di antara mereka. Untungnya Ambrosia cukup jeli untuk menyadari getar samar dalam suara Hans yang mencoba bersikap sok tenang.
"Tentunya kau tidak cukup naif untuk melakukan kebodohan dengan senjata semacam itu kan?" pancing Hans.
"Ini memang senjata saya." jawab Ambrosia tegas.
Hans seketika tampak kaku. Kedua tangan yang ia sandarkan di atas meja mengepal bersamaan.
"Tetapi bukan untuk menuntut anda, melainkan untuk membuat kesepakatan."
Hans menggebrak meja kerjanya secara spontan. "Kurang ajar! Kau ingin memerasku rupanya?" Rahang Hans mengeras seiring emosinya yang kembali merangkak naik ke permukaan.
Seharusnya Ambrosia tahu bagaimana cara kerja dari otak tidak kompeten pria itu. Meski termasuk pria dari kalangan elit, tetapi sebagai putra kedua yang tidak cukup mendapat perhatian dari kedua orang tuanya, Hans Trigger tidak memiliki kecerdasan yang terasah dan dipersiapkan sejak dini sebagai mana mestinya para ahli waris perusahaan besar, karena itulah pria itu hanya memiliki pola pikir sempit dan sederhana, yang sayangnya cenderung ke arah negatif.
Ambrosia menarik napas panjang, "Terserah anda menganggapnya apa, tetapi selama anda tidak menuntut saya atas dugaan kekerasan fisik, saya pun tidak akan mengirimkan bukti rekaman ini secara anonim ke dalam website resmi perusahaan yang saya yakin akan sangat mempengaruhi reputasi anda."
Ambrosia sangat yakin bisa mendengar gemeretak gigi milik Hans Trigger dari tempatnya berdiri. Jelas sekali bagi Ambrosia bahwa pria itu merasa terancam, dan tersudut.
"Apa itu saja?" tanya Hans curiga.
"Tentu tidak." Ambrosia tersenyum tipis. "Sebelum anda memecat saya secara tidak hormat, sebaiknya anda menerima pengunduran diri saya dengan baik sehingga tidak mengurangi hak-hak yang sudah seharusnya saya dapatkan saat keluar dari perusahaan ini."
"Bagaimana dengan bukti rekaman itu?" Hans bertanya dengan gusar.
"Saya akan menghancurkannya di hadapan anda segera setelah hak-hak saya terpenuhi sebagai karyawan yang resign tanpa adanya masalah." Ambrosia berkata sambil menatap lurus ke dalam bola mata Hans. Menyatakan kesungguhannya.
Sebodoh-bodohnya Hans, tidak mungkin tidak menyadari keseriusan dalam nada suara maupun sikap sekretarisnya.
"Sialan, sialan, sialan." Akhirnya Hans hanya bisa mengumpat bertubi-tubi sambil mengacak-acak rambutnya sendiri, menyadari kekalahannya.
Dengan begini, Ambrosia berada beberapa langkah di depan Hans. Dengan langkah tenang Ambrosia keluar dari ruangan. Rasa lega seketika menyebar ke seluruh tubuhnya setelah berada di luar. Ia menang. Ia telah memenangkan pertarungan ini. Saatnya mengucapkan selamat tinggal pada Hans Trigger, si Direktur mesum.
Ini ke tujuh kalinya Ambrosia harus resign dari tempatnya bekerja dengan alasan yang sama. Meski kecewa karena dirinya lagi-lagi tidak mampu bertahan lama di sebuah perusahaan, tetapi Ambrosia tidak pernah menyesal. Ia percaya bahwa suatu saat nanti, dirinya pasti dapat menemukan tempat kerja yang nyaman untuknya, sekaligus bos yang tidak akan melakukan pelecehan dalam bentuk apapun terhadapnya. Pasti.
...****************...
Ambrosia menutup pintu apartemennya dengan perasaan lega yang begitu luar biasa. Perasaan yang selalu ia rasakan setiap kali dirinya terbebas dari kungkungan para direktur yang tidak kompeten dan berotak mesum.
Ia bersandar sejenak di pintu sambil menghembuskan napas panjang. Sampai kapan? Ambrosia bertanya dalam hatinya. Apakah hanya nasibnya yang sedang sial, atau memang sudah takdir dirinya harus selalu bertemu dengan atasan yang karakternya nyaris sama, sama-sama mesum.
"Menjijikkan," gumamnya jengah.
Ambrosia melepas sepatunya lalu memasuki apartemennya lebih dalam, sambil terus bertanya-tanya di dalam pikirannya. Dan apakah ia harus resign dengan alasan yang juga selalu sama?
Tidak! Putus Ambrosia cepat. Ia harus tetap optimis dan percaya, bahwa suatu saat nanti dirinya akan dipertemukan dengan atasan yang mampu menghargai kinerjanya tanpa maksud tertentu, apalagi dengan niat yang terselubung seperti sebelum-sebelumnya.
"Yup, tidak semua orang yang berkedudukan tinggi mempunyai pikiran kotor seperti Hans Trigger," katanya sambil meletakkan sepatu ke dalam rak, "atau... seperti bos-bosku sebelumnya," lanjutnya bermonolog.
Ketika melewati cermin yang berdiri memanjang di samping rak sepatu, Ambrosia berhenti sejenak. Ia menatap pantulan dirinya dengan seksama. Ada kalanya Ambrosia merasa penampilannya yang sedikit lebih memesona daripada wanita kebanyakan membuatnya kerepotan. Bukan bermaksud untuk tidak mensyukuri apa yang telah ia miliki sejak lahir, hanya saja sampai saat ini ia belum bisa merasa nyaman dengan kelebihannya yang satu itu.
"Hanya karena rupaku yang sedikit lebih enak dilihat bukan berarti aku menggunakannya untuk mendapatkan posisiku selama ini, " gerutu Ambrosia, "mereka pikir aku sama tidak kompetennya seperti mereka? Aku lebih bangga pada otakku ketimbang pada penampilanku tau." Ambrosia jadi kesal jika mengingat akan hal itu.
Diletakkannya tas kerja ke atas meja, sebelum akhirnya menghempaskan tubuh rampingnya ke dalam sofa tunggalnya yang lembut, mungil, namun nyaman—satu-satunya furniture yang Ambrosia bawa dari rumah keluarganya di New South Wales, agar apartemen kecilnya ini memiliki sentuhan 'rumah' baginya.
Sambil menyelonjorkan kedua kakinya, Ambrosia mendongak menatap langit-langit apartemen. Meskipun hari ini terasa lebih berat dan lebih panjang daripada biasanya, Ambrosia bersyukur bahwa besok dirinya tidak perlu lagi berhadapan dengan mantan bosnya, si Mesum kesekian, Hans Trigger.
Ya, hari ini adalah hari terakhirnya bekerja di Trigger Corp. Itu artinya saat ini dirinya lagi-lagi menjadi pengangguran. Namun ini bukan waktunya meratapi nasib yang berada di luar kuasanya sebagai manusia biasa.
Ambrosia pun buru-buru mengingatkan diri bahwa jika ia tidak segera mencari pekerjaan baru, maka tabungannya akan terkuras untuk biaya hidup. Apalagi biaya hidup di kota besar seperti Melbourne ini tidaklah murah. Hal semacam itu tidak boleh terjadi karena akan merusak rencana besarnya.
Demi mewujudkan harapan terakhir mendiang orang tuanya, Ambrosia berencana untuk merenovasi besar-besaran rumah peninggalan orang tuanya di desa Central Tilba, New South Wales.
Masih segar dalam ingatannya bagaimana sang ayah mendeskripsikan rancangannya untuk merombak rumah mungil mereka menjadi villa keluarga yang besar dan indah. Pemandangan alam sekitar yang sangat memesona, dan kesejukan udaranya, memotivasi orang tua Ambrosia untuk merenovasi rumah mereka menjadi villa keluarga.
Bagaimana kami bisa menyambut suami dan anak-anakmu kelak jika rumahnya masih sesempit ini, ucap sang ayah kala itu.
Jika rumahnya besar, kalian pasti betah berlama-lama liburan di sini walaupun hanya untuk mengunjungi kami yang sudah tua nanti, tambah sang ibu.
Ayah janji, ayah akan bekerja dengan giat agar tabungan kita cukup untuk membuat rancangan ini menjadi nyata, Ana. Teo—ayah Ambrosia—kala itu berkata sambil membentangkan cetak biru yang dibuatnya sendiri di hadapan Ambrosia yang masih belia.
Bergantung pada kenangan itu, Ambrosia memutuskan untuk mencari nafkah di kota-kota besar, yang memiliki standar gaji yang cukup tinggi bahkan untuk para karyawan biasa, agar dapat menabung dengan cepat dan segera merealisasikan harapan mendiang kedua orang tuanya.
"Ayah dan ibu di atas sana... karena kalian sudah lebih dekat denganNya, tolong mintakan pada Tuhan agar bosku yang berikutnya lebih 'normal' dan manusiawi," gumam Ambrosia sedikit geli dengan keinginannya sendiri "mungkin... seorang pria setengah baya yang famili man, yang tidak berniat merayuku, atau seorang direktur wanita yang kompeten namun keibuan, yang bisa aku hormati sebagaimana mestinya. So please, dad... mom..., bantulah putrimu ini."
Ambrosia tidak bisa tidak terkekeh mendengar harapannya sendiri, sambil membayangkan wajah kedua orang tuanya yang kebingungan di surga sana.
"Well, sebaiknya aku mandi dulu sebelum mulai membuka situs lowongan pekerjaan di internet," gumamnya sambil mengangkat kedua bahunya dengan pasrah lalu beranjak dari sofa dan berjalan ke dalam kamar tidur.
Bunyi notifikasi ponsel mengusik Ambrosia saat ia tengah melepaskan blazernya. Ia merogoh ke dalam saku depan blazer favoritnya untuk mengambil benda kecil yang canggih itu. Jemari lentiknya yang kapalan di beberapa tempat—akibat terlalu sering mengetik dan menulis laporan—mengusap sekilas layar ponsel hingga muncul pop up notifikasi dari aplikasi email.
Kedua mata Ambrosia mengerjap tak percaya. Ia memicingkan mata. Menekan satu kali pada pop up untuk membuka email yang baru masuk itu. Tak lupa ia menaikkan fitur cahaya pada layar agar lebih terang sehingga tulisan-tulisan kecil yang tertera di dalamnya lebih mudah terbaca.
Ambrosia membaca dengan seksama. Tak cukup satu kali, Ambrosia mengulang membaca isi email hingga dua kali untuk memastikan agar dirinya tidak keliru menafsirkan tujuan yang ingin disampaikan pengirim email, ke dalam surat elektrik tersebut.
Tak lama, sudut-sudut bibir Ambrosia tampak terangkat membentuk senyuman lebar. Sebuah email balasan atas lamaran kerjanya pada perusahaan terkemuka di Sydney baru saja ia terima. Dalam email tersebut, Ambrosia dinyatakan lulus seleksi tahap administrasi, pada perusahaan yang sedang membuka lowongan kerja Sekretaris, Levine Enterprise.
Ambrosia juga diundang untuk dapat mengikuti seleksi tahap berikutnya, yaitu tes wawancara yang berlokasi di kantor pusat Levine Enterprise di Sydney, pada hari dan jam yang telah ditentukan—tertulis dalam email.
"Yes!" seru Ambrosia sambil melompat ke atas kasurnya.
Ia sama sekali tak menyangka Tuhan begitu baik padanya dengan tidak membiarkannya terlalu lama dalam ketidakpastian. Walaupun lamaran kerjanya kali ini pun juga bisa dibilang belum pasti berhasil, tetapi setidaknya sudah ada sedikit harapan. Dan Ambrosia selalu bisa bergantung pada secuil harapan sekalipun.
Sambil merebahkan tubuhnya ke belakang hingga telentang, Ambrosia kembali bergumam sendiri. Namun kali ini, dengan rona wajah yang jauh lebih cerah ketimbang sebelumnya.
"Dear, orang tuaku tersayang... satu lagi kesempatan baik telah datang pada putri kesayangan kalian. Terima kasih karena selalu melindungi dan membantuku dari atas sana. Love you both."
...****************...
Di Lantai 21, Gedung Aurora Place—Lobby utama kantor Levine Enterprise.
Sangat tepat bagi Ambrosia untuk memutuskan masuk ke gedung Aurora Place tiga puluh menit sebelum waktu yang ditentukan untuk wawancara, karena sesaat setelah dirinya memberitahu bagian resepsionis tentang tujuannya mendatangi gedung perkantoran itu, wanita cantik di balik meja langsung memintanya untuk mengikutinya.
"Silahkan sebelah sini, Nona, ibu kepala pimpinan dan manajer HRD sudah menunggu anda." Seolah pihak perusahaa sudah lama menunggunya, dan respon itu seketika memancing kegugupan Ambrosia.
Ambrosia langsung pucat pasi. Apa? Mereka sudah menunggu? batin Ambrosia kebingungan. Ia melirik jam tangannya, memastikan waktu saat ini. Takut kalau ternyata dirinya salah melihat jam, dan memang membuatnya terlambat. Namun seharusnya tidak demikian, karena arlojinya masih menunjukkan jam dua belas tiga puluh. Kurang tiga puluh menit dari waktu yang dijadwalkan untuk wawancaranya, lalu... kenapa mereka sudah menunggunya?
Ambrosia bertanya-tanya sambil terus mengikuti kemana langkah si resepsionis. Sesampainya di sebuah ruangan yang tertutup rapat oleh pintu ganda, Ambrosia dipersilahkan masuk setelah resepsionis itu membukakan salah satu daun pintu sambil melaporkan kedatangannya kepada siapapun yang berada di dalam ruangan.
Ambrosia menarik napas satu kali sebelum akhirnya ia melangkah ke dalam ruangan dengan jantung berdebar. Ternyata di dalam ruangan itu hanya ada dua orang, dan dua-duanya tampak melongo menatap Ambrosia.
"Selamat siang. Maafkan atas keterlambatan saya dan membuat anda berdua menunggu," sapa Ambrosia mencoba untuk bersikap tenang.
Kedua orang di dalam ruangan itu dengan kompak memindai Ambrosia dari atas ke bawah, lalu kembali lagi ke atas. Seolah-olah bukan Ambrosialah orang yang mereka harapkan muncul di hadapan mereka saat ini.
Keheningan yang canggung sempat melingkupi ruangan yang luas dan modern itu, hingga salah seorang diantaranya memecah keheningan dengan sebuah pertanyaan, "Apakah kau yang bernama Miss Ambrosia Heart?" Seorang wanita paruh baya yang berpenampilan elegan membuka suara.
Ambrosia tersenyum canggung dan mengangguk satu kali.
"Are you sure, kau Miss Heart yang sama yang mengirimkan resume ke kantor kami untuk posisi sekretaris?" tanyanya lagi ragu-ragu. Seakan ingin memastikan sesuatu.
Belum sempat Ambrosia mengiyakan, terdengar celetukan dari pria yang sejak tadi duduk di samping si wanita paruh baya, "Miss Heart, or nerd?" tanyanya sambil menahan tawa.
Seketika sebuah map tebal mendarat di atas kepala pria itu, disusul teguran dari si wanita paruh baya, "Daniel, tidak sopan sekali kau."
Setelah memarahi dan memerintahkan pria yang mengejek Ambrosia untuk meminta maaf, wanita elegan itu menggangguk satu kali ke arah Ambrosia untuk mempersilahkannya menjawab pertanyaannya tadi.
Masih berdiri di tempatnya dengan canggung, Ambrosia menjawab dengan tegas dan yakin, "Yes, mam. Saya Ambrosia Heart."
Wanita itu tersenyum puas kemudian berkata, "Kalau begitu mendekatlah. Silahkan duduk di kursi itu, dan sebenarnya, kau sama sekali tidak terlambat, Nona. Jadi tenang saja," ucapnya seolah ingin menenangkan Ambrosia.
Ambrosia mengangguk, "Terima kasih, mam," ucapnya lega. Kemudian ia duduk di kursi yang dimaksud oleh wanita itu.
Setelah memastikan Ambrosia duduk dengan nyaman, wanita paruh baya itu mulai memperkenalkan diri dan juga pria yang tadi mencibir Ambrosia.
"Terima kasih atas kedatanganmu, Miss Heart. Namaku Roxanne Levine, aku Direktur Utama disini dan yang di sampingku ini adalah Daniel Brown, beliau adalah manajer HRD. Kami berdua yang akan mewawancaraimu dalam kesempatan kali ini," ucapnya penuh wibawa.
"Senang bertemu anda berdua, sekali lagi saya Ambrosia Heart. Saya mengirim resume saya ke perusahaan ini dengan harapan dapat mengisi kekosongan pada posisi sekretaris yang dimaksud," jawab Ambrosia dengan formal.
Sekali lagi Roxanne tersenyum dan mulai memakai kacamata bacanya. Dalam sekejap suasana yang terkesan serius membumbung di udara, membuat tubuh Ambrosia secara refleks berada dalam mode siaga. "Kami mempelajari ulang resume yang kau kirimkan. Dan kami..."
Wanita paruh baya yang ternyata orang nomor satu di Levine Enterprise itupun mulai mewawancarai Ambrosia dengan serius. Saking seriusnya, proses wawancara itu berlangsung cukup lama. Bahkan itu adalah momen wawancara yang paling lama yang pernah Ambrosia jalani sepanjang hidupnya.
Ambrosia nyaris menyerah menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Direktur Utama dan juga manajer HRD yang turut berubah sikap menjadi jauh lebih serius. Ambrosia bahkan sudah pasrah jika memang dirinya tidak beruntung untuk mendapatkan pekerjaan ini.
Namun ketika kepercayaan diri Ambrosia telah berada di titik terendah, Roxanne Levine dengan gestur elegannya kemudian memberikan pernyataan yang tak terduga.
"Biasanya kami tidak akan langsung memutuskan untuk menerima atau tidaknya seseorang, tapi karena secara pribadi aku sudah sangat menyukai karaktermu, dan secara profesional portofolio pekerjaanmu pun menakjubkan, walaupun harus kuakui resumemu tidak sempurna. But honestly, aku tak sabar untuk menerimamu di perusahaan ini."
Senyum lebar mengembang di wajah Roxanne ketika wanita itu berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri Ambrosia. "Selamat bergabung dengan kami, Miss Heart. Kedepannya kau akan bekerja langsung di bawah wewenangku sebagai sekretaris direktur, jadi panggil saja aku Roxy," ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Ambrosia tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Ia bangkit dari duduknya sambil terus menatap wajah Roxanne yang sumringah. Ambrosia benar-benar kehilangan kata-kata menerima keberuntungan itu, ia mengulurkan tangan untuk menjabat bos barunya tanpa mengucapkan apa-apa. Hanya senyum lebar yang mampu ia perlihatkan sebagai tanda bahagia.
...****************...
California, United States.
"Kau akan melamar siapa?" tanya seorang pria dari bilik ganti tepat di sebelah bilik yang sedang digunakan Alex Levine.
Pria tampan putra mahkota dari Levine Enterprises itu baru saja mengumumkan niatnya untuk menikahi sang kekasih kepada sahabat sejak masa kuliahnya—Jake Chiper—yang sedang berganti pakaian di bilik sebelah.
Mereka berdua tengah bersiap-siap untuk sesi pemotretan yang mengontrak keduanya sebagai brand ambassador sebuah produk menswear yang baru saja diluncurkan.
Alex Levine dan Jake Chiper adalah model papan atas di Amerika Serikat. Keduanya adalah duo paling populer di kawasan negara bagian California dan Hollywood. Dan sebagai model pria profesional yang bernaung di agensi yang sama, Alex dan Jake seringkali dikontrak secara tim untuk produk yang sama seperti saat ini. Karena selama beberapa tahun terakhir, mereka adalah kombinasi model pria yang tak ada tandingannya di dunia permodelan Amerika.
"Siapa lagi? Tentu saja kekasihku. Luna," jawab Alex sambil memasukkan ujung kemeja ke dalam celana panjangnya.
Tiba-tiba saja tirai yang berfungsi sebagai penutup bilik ganti yang ditempati Alex dibuka dari luar lebar-lebar oleh Jake yang tinggi dan berambut pirang.
"Hei, sopanlah sedikit, Jake! Walaupun kita sama-sama pria tapi tolong hargai privasiku," protes Alex yang sangat terkejut atas perilaku tak terduga dari sahabatnya itu. Dengan kesal Alex lalu mendorong tubuh Jake hingga mundur ke belakang lalu keluar dari bilik ganti sambil bersungut-sungut.
"Persetan dengan privasi," bentak pria tampan bermata abu terang itu. "Tolong katakan kalau kau tidak serius dengan rencanamu itu?" pintanya pada Alex.
Alex mengenakan jas silver yang satu set dengan kemeja dan celana yang dikenakannya sambil berseru, "Tentu saja aku serius. Perasaanku pada Luna cukup dalam untuk memintanya menjadi istriku. Apa itu salah?" Alex terlalu sibuk merapikan diri di depan cermin panjang seukuran badan di ruangan itu, hingga tak menyadari perubahan ekspresi di wajah sahabatnya yang mendadak semakin keruh.
"Kuharap kau memikirkannya sekali lagi, Lexi. Itu adalah keputusan yang sangat penting. Penentu masa depanmu. Setidaknya bicarakan itu dengan ibumu lebih dulu." Jake menganjurkan dengan sungguh-sungguh. Bahkan tanpa memedulikan dirinya sendiri yang belum siap untuk sesi pemotretan yang akan segera dimulai.
Merasa penampilannya sudah siap, Alex berbalik dari cermin dan menatap Jake dengan serius, "Dengar, Jake Chiper. Aku tidak tahu apa masalahmu, tapi keputusanku melamar Luna sudah bulat, dan ini hidupku. Jadi terima itu, entah kau suka atau tidak," cetus Alex keras kepala.
Tanpa menunggu respon dari sahabatnya, Alex pun melenggang keluar dari ruangan. Meninggalkan Jake yang hanya bisa geleng-geleng kepala sambil berkacak pinggang melihat kekeraskepalaan sahabatnya.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!