Fatimah yang sedang asik memangku laptopnya tiba-tiba saja dikagetkan oleh kedatangan suaminya bersama dengan seorang wanita yang terlihat cantik dan juga seksi.
Bajunya terlihat sangat memeluk erat tubuh wanita tersebut, dandanannya menor dan belahan dadanya pun sampai terlihat dengan jelas.
Bulatan sintalnya terlihat kecil, bajunya yang sangat minim bahan membuat setiap lekukan tubuhnya terlihat dengan jelas.
Sayangnya, bamper depan dan belakangnya pun terlihat kurang menonjol menurut Fatimah.
"Ada apa, Mas?" tanya Fatimah dengan dahi yang berkerut dalam, kepada suaminya.
Menurutnya, kenapa suaminya itu tak ada sopannya? Kenapa dia masuk ke dalam kamar mereka dengan membawa perempuan lain?
Lelaki yang baru satu bulan menikahinya itu pun langsung menghampiri Fatimah, dia duduk tepat di samping Fatimah.
"Mas mau menikah lagi," ucap Rudi suami dari Fatimah.
Fatimah membulatkan matanya, dia sungguh tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya tersebut.
"Menikah lagi?" tanya Fatimah.
"Iya Arra, aku harus menikahi Audy. Karena dia sedang mengandung anakku, darah dagingku." Ucap Rudi dengan tegas.
Fatimah tersenyum sinis ke arah Rudi, dia tak menyangka jika Rudi akan secepat itu menikah dengan wanita pujaan hatinya.
"Tapi, Mas. Kuburan Grandpa saja masih basah, masa kamu mau menikah lagi? Apa nanti kata keluarga besar ku?" tanya Fatimah was-was.
Rudi terlihat menghela napas berat." Kamu juga tahu kan, kita menikah hanya karena permohonan terakhir dari Grandpa'mu itu?"
Fatimah langsung menganggukkan kepalanya," ya."
Fatimah menjawabnya dengan singkat, dia tak tahu harus berkata apa lagi.
"Kalau begitu, biarkan aku menikahi kekasihku. Aku tak mungkin membiarkan dia dalam keadaan hamil dan sendirian, aku harus bertanggung jawab atas kehamilan Audy." Rudi terlihat memelas.
Fatimah merasa geram, pernikahan mereka memang bukan dasar cinta. Akan tetapi, Tak bisakah dia menghargai arti suci dari kata pernikahan?
"Tapi, Mas. Bagaiaman kalau keluarga besar aku tahu? Aku tak mau mengecewakan mereka." Fatimah tertunduk lesu.
Fatimah tak mencintai lelaki yang bernama Rudi itu, akan tetapi nama keluarga besarnya dipertaruhkan di sini.
"Jangan kamu bilang, lagi pula kami akan menikah sirih. Karena yang terpenting, aku menghalalkan Audy dulu." Rudi kembali menjelaskan.
"Terserah!" akhirnya Fatimah pun tanpa sadar sudah mengiyakan.
"Bagus, lagi pula kalau kamu tak mengizinkan pun, aku akan tetap menikahi Audy." Ucap tegas Rudi.
Rudi bangun dan langsung menghampiri Audy, dia merangkul pundak Audy lalu membawanya keluar dari kamar utama.
Saat Rudi hendak menutup pintu kamar, Fatimah kembali memanggil suaminya itu.
"Mas Rudi!" panggil Fatimah setemgah berteriak.
Rudi melepaskan rangkulannya, kemudian berbalik dan menatap Fatimah dengan lekat.
"Apa lagi?" sungutnya.
"Tolong katakan padaku, apa alasannya kamu menikahiku? Bukankah saat itu kamu sudah berhubungan dengan Audy, lalu kenapa kamu malah setuju menikah denganku?" tanya Fatimah.
Rudi langsung tersenyum, dia memang bisa saja mengatakan tak mau saat itu. Akan tetapi, dia merasa sangat tergiur dengan apa yang di tawarkan oleh Tuan Aleandro.
"Tentu saja karena penawaran dari Grandpa kamu," kata Rudi.
"Penawaran? Penawaran apa?" Fatimah pun sangat kaget, karena dibalik kata setuju terdapat hal yang tak dia ketahui.
"Tuan Aleandro mempunyai saham di perusahaan milik Ayah, dia puluh persen. Beliau berjanji akan. memberikannya padaku, kalau aku menikahimu." Terang Rudi tanpa tahu malu.
Mata Fatimah memerah, dadanya seakan bergemuruh. Ribuan belati seakan menghujam jantungnya, jadi ini hanya karena sebuah kesepakatan, pikirnya.
"Kenapa kamu tidak menolak saja, Mas? Untuk apa menikahiku, kalau hanya demi saham dua puluh persen?" tanya Fatimah lagi.
"Justru itu, karena saham dua puluh persen itu sangat berharga. Dari saham yang dua puluh persen itu, bisa aku gabungkan dengan dua puluh persen saham milikku. Lalu aku gabungkan dengan milik Papah dua puluh persen, jadinya sekarang aku punya enam puluh persen." Rudi tertawa senang.
"Kamu tahu, sekarang aku sudah jadi direktur utama di perusahaan yang aku pimpin. Tak sia-sia bukan aku menikahimu?" timpalnya lagi.
Fatimah benar-benar merasa lemas di sekujur tubuhnya, dia tak menyangka ada lelaki seperti suaminya itu.
"Demi harta, Ya? Bahkan harga diri saja bisa kamu tukar, Mas." Kata Fatimah dengan suara lemahnya.
"jangan berisik, aku mau pergi. Mungkin selama tiga hari ini aku tidak pulang, aku akan menghabiskan waktu berduaan saja dengan Audy." Kata Rudi tanpa beban.
Fatimah hanya bisa menganggukan kepalanya, karena dia tidak tahu lagi harus berkata apa terhadap suaminya tersebut.
Dia kecewa bukan karena Rudi akan menikah lagi. Akan tetapi, dia kecewa karena mengetahui hal yang sesungguhnya. Jika Rudi rela menikah dengannya hanya karena dijanjikan saham 20% oleh Grandpanya.
Sungguh lelaki yang tak punya harga diri pikirnya, rela melakukan semuanya demi saham 20%.
Rudi melenggang pergi dari kamar utama, lalu dia pun kembali merangkul Audy dan mengajak Audy untuk pergi dari sana.
Karena memang, dia akan segera menikah dengan Audy di rumah Audy sendiri. Jika Rudi terlihat sangat bahagia, berbeda dengan Fatimah.
Dia masih terlihat syok dengan apa yang diucapkan oleh Rudi, dia langsung menutup laptop miliknya dan menyimpannya di atas nakas.
Lalu, Fatimah pun langsung merebahkan tubuhnya. Entah kenapa, tiba-tiba saja dia merasa sangat lemas. Badannya terasa tak bertulang, ingin sekali dia mencari teman untuk mencurahkan isi hatinya.
Ingin sekali rasanya dia berkeluh kesah, tetapi pada siapa. Dia tidak mungkin berkeluh-kesah kepada keluarganya, yang ada dia akan mempermalukan keluarganya, pikirnya.
Akhirnya Fatimah pun memutuskan untuk memendamnya sendiri, tanpa membaginya dengan siapapun.
Tatapan mata Fatimah terlihat kosong, matanya menerawang jauh mengingat saat 1 bulan yang lalu Grandpa'nya yang tengah kritis memintanya untuk menikah dengan Rudi lelaki tak tahu diri, menurutnya.
#Flash Back On#
"Ada apa? Kenapa tiba-tiba suasana rumah menjadi ramai?" tanya Fatimah, saat dia baru saja pulang dari kantor.
Seorang pelayan yang melihat kedatangan Fatimah, langsung menghampiri Nona Mudanya.
"Non, Tuan Besar kritis." Adunya.
Tanpa menunggu lama, Fatimah langsung berlari menuju kamar utama. Saat dia masuk ke sana, sudah banyak orang yang berkumpul di sana.
Ada Ayah Aksa, Bunda Najma, ada adik dan juga kakaknya di sana. Ternyata, di sana juga ada lelaki yang sangat dia cintai sekaligus dia benci.
Kakak iparnya, lelaki yang tengah menikahi Kakak pertamanya. Sialnya, dari semenjak berusia empat belas tahun sampai sekarang, dia belum juga bisa melupakan lelaki setan itu.
Ya, Fatimah selalu menganggap lelaki itu setan. Karena selalu saja mengganggu pikirannya, membayang-bayangi kehidupannya dan selalu membuat dirinya tak tenang.
Apa coba namanya kalau bukan 'setan'?
Setan tampan yang mengkontaminasi pikirannya.
Semua orang yang ada di sana terlihat sedih, bahkan Bunda Najma terlihat menangis sesenggukan di samping Dad'nya. Ayah Aksa terlihat menenangkan Bunda Najma.
Ke lima cucu Tuan Aleandro pun nampak bersedih, mereka tak kuasa menahan tangis. Termasuk dengan cucu menantu dan juga cicitnya.
Mereka benar-benar terlihat sedih, apa lagi saat melihat napas Tuan Aleandro yang terlihat makin tersenggal.
Membuat mereka makin bersedih, rasanya mereka belum siap untuk ditinggalkan oleh Tuan Aleandro. Memang benar, jika nyawa adalah titipan.
Akan tetapi, rasa sedih dan tak siap sudah pasti akan menyeruak dalam hati.
Satu bulan yang lalu, istrinya Nyonya Mariam baru saja pergi meninggalkan mereka semua. Rasanya, kesedihan akan ditinggalkan oleh Nyinya Mariam pun belum terobati.
Jika Tuan Aleandro, ingin meninggalkan mereka juga, rasanya mereka belum siap. Kalai boleh jujur, Tak ada manusia yang siap untuk berpisah dengan orang-orang yang mereka sayang.
Dari ke lima anak Najma dan juga Aksa, hanya Fatimah yang belum menikah. Padahal usianya sudah dua puluh lima tahun, sudah pas untuk berkeluarga.
Adik kembarnya saja bahkan sudah mendahuluinya untuk menikah dengan wanita pujaan hati mereka, malahan mereka pun sudah memiliki keturunan.
Tuan Aleandro terlihat menatap Fatimah, tangan lemahnya melambai ke arahnya. Perlahan, Fatimah menghampiri Grandpanya lalu duduk tepat di samping Tuan Aleandro.
Fatimah langsung menggenggam erat tangan Tuan Aleandro yang terasa sangat dingin, air matanya langsung luruh tak tertahan.
"Grandpa," bibir Fatimah bergetar, dia merasa tak sanggup saat melihat kondisi dari Grandpanya.
"Grand--pa, pu--punya permintaan. Tolong kabulkan permintaan ku yang satu ini?" Tuan Aleandro berucap dengan terbata.
Hal itu membuat semua orang yang ada di sana merasa makin sesak, mereka sangat takut jika Tuan Aleandro akan meninggalkan mereka saat itu juga.
"Apa, Grandpa? Katakanlah!" Kata Fatimah.
"Menikahlah, sebelum Grandpa tiada. Grandpa, mohon." Ucapnya memelas.
Tuan Aleandro terlihat mengambil napas dalam sambil memegang dadanya, rasa sesak semakin terasa.
Semua yang ada di sana, terlihat sangat kaget. Bukan karena apa, hanya saja Fatimah memang tak mempunyai seorang kekasih.
Lalu, bagaiaman bisa dia mengabulkan permintaan Tuan Aleandro.
"Grandpa punya calon untuk kamu, dia sedang di jemput oleh Cristhina." Kata Tuan Aleandro dengan napas tersenggal.
"Ta--tapi, akau tak mau menikah dengan pria yang tak aku kenal." Tolak Fatimah.
"Demi Grandpa," ucapnya lagi.
Tepat di saat itu, Christina datang dengan seorang pria yang terlihat sangat tampan dan juga gagah. Mereka langsung berjalan menghampiri Tuan Aleandro.
Lelaki tampan itu, langsung mengedarkan pandangannya. Kemudian, dia tersenyum pada setiap orang yang ada di sana.
"Saya, Rudi Hartono." Ucapnya memperkenalkan diri.
Seketika ingatan Aby, adik dari Fatimah teringat akan mantan pemain bulu tangkis asal Surabaya yang bernama Rudi Hartono.
Dia pun mendekati Fatimah, lalu berbisik tepat di telinganya Kakak Cantiknya.
"Bae-bae, Kak. Kalau nikah sama dia, elu pasti ditangkis kalau engga di smash." Setelah mengatakan hal itu, Aby terlihat mengatupkan mulutnya menahan tawa.
Najma sempat melirik ke arah putranya itu, pasti dia sudah membisikkan kata-kata yang konyol pada Fatimah.
Secara, Aby memang terkadang suka berbicara dengan gayanya yang terkadang tak tahu situasi.
Fatimah sempat merutuki ucapan adiknya, dia begitu kesal mendengar ucapan adiknya itu. Menurutnya, kenapa dia harus berkata seperti itu di saat yang genting seperti ini?
"Nak, Rudi." Panggil Tuan Aleandro.
"Ya, Tuan." Jawab Rudi.
"Mendekatlah," pinta Tuan Aleandro.
Rudi pun menurut, dia langsung duduk tepat di samping Tuan Aleandro. Lalu, dia menggenggam tangan Tuan Aleandro dengan erat.
Tuan Aleandro terlihat mengayunkan tangannya, dia seakan mengisyaratkan kalau dia ingin berbisik kepada Rudi.
Rudi pun segera mendekatkan kupingnya ke arah bibir Tuan Aleandro, tak lama Tuan Aleandro pun terlihat berbisik kepada Rudi.
Setelah mendengar ucapan Tuan Aleandro, Rudi pun tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Semua yang ada di sana, nampak terheran-heran.
Mereka jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa yang mereka sedang bicarakan? Kenapa terlihat sangat rahasia dan terkesan ditutup-tutupi?
Sebenarnya, Aksa kurang setuju jika putrinya Fatimah dinikahkan begitu saja dengan lelaki yang tidak dia kenal sama sekali.
Akan tetapi, Aksa merasa tak enak hati. Jika harus menolak permintaan terakhir dari mertuanya. Walau dengan berat hati, Aksa sudah memutuskan untuk menerima apapun keputusan dari Tuan Aleandro dan Fatimah sendiri.
"Nak Rudi sudah bersedia untuk menikah dengan kamu, Nak. Grandpa mohon, menikahlah dengan Nak Rudi. Agar Grandpa, bisa istirahat dengan tenang." Ucap Tuan Aleandro.
Fatimah sempat melirik ke arah Rudi, pria itu terlihat tampan, gagah dan juga terlihat berkarisma. Mungkin tidak ada salahnya, jika dia mencoba untuk membuka hati.
"Mau kan, menuruti keinginan Grandpa untuk terakhir kalinya?" tanya Tuan Aleandro lagi.
Dalam hatinya yang paling dalam, Fatimah merasa tersinggung. Secara tidak langsung, dia seperti tidak mampu mencari sosok lelaki yang bisa menjadi imam yang baik untuk dirinya.
Fatimah lalu mmenatap Najma dan juga Aksa, walau bagaimanapun mereka adalah orang tua Fatimah. Dia berhak meminta pendapat dari kedua orang tuanya.
"Ayah, Bunda?" Fatimah seolah sedang meminta jawaban.
Aksa dan Najma terlihat berat hati, akan tetapi keputusan ada di tangan Fatimah.
"Kamu sudah besar, Nak. Walaupun Ayah berat untuk melepaskan kamu, tetap saja keputusan ada di tangan kamu." Jelas Aksa.
Sebenarnya, Fatimah tak ingin menikah dengan Rudi. Entah kenapa, dia merasa di balik kesempurnaan Rudi, ada hal tak baik yang tak bisa dia lihat.
Akan tetapi, demi permintaan terakhir dari sang Grandpa. Dia pun akhirnya menganggukkan kepalanya, dia rela menikah dengan lelaki yang benar-benar tak dia kenal sama sekali.
Tuan Aleandro langsung berdecak senang, dia langsung tersenyum dan memanggil Cristhina.
"Cristhina, tolong siapkan semuanya. Beaok pagi, saya mau mereka melangsungkan acara pernikahan." Titah Tuan Aleandro.
Cristhina langsung membungkuk hormat." Siap, Tuan."
Cristhina langsung meminta semua berkas penting kepada Najma, untuk keperluan syarat nikah. Begitu pula dengan dengan Rudi, Cristhina meminta kelengkapan berkas peribadi milik Rudi.
Keesokan harinya, pernikahan itu pun benar-benar terlaksana. Fatimah menikah dengan Rudi secara sederhana, hanya dihadiri oleh kedua belah pihak keluarga dan juga beberapa sanak saudara.
Tak ada kata mewah ataupun kata wah, karena memang pernikahan ini adalah pernikahan dadakan. Tidak akan mungkin dalam beberapa jam saja pernikahan itu akan terlaksana dengan hal yang sangat luar biasa.
Tepat setelah Fatimah menikah dengan Rudi, Tuan Aleandro pun menghembuskan nafas terakhirnya. Ada rasa sesak yang menguasai dada Fatimah, akan tetapi ada rasa lega karena dia sudah menuruti permintaan terakhir dari Grandpanya.
Hari yang seharusnya merupakan hari yang penuh dengan kebahagiaan bagi pasangan pengantin baru, tidak berlaku untuk Fatimah dan juga Rudi.
Fatimah terlihat bersedih karena baru saja dia pulang dari pemakaman Grandpa'nya, Rudi terlihat seperti suami yang sangat baik dan juga siaga.
Dia terus saja memeluk Fatimah sambil mengelus lembut punggungnya, ada rasa tenang dan juga senang yang menyeruak di dalam hati Fatimah.
Karena ternyata, walaupun tidak ada cinta di antara mereka, Rudi dengan mudahnya memberikan perhatian kepada Fatimah yang kini telah resmi menjadi istrinya.
"Jangan nangis terus, Ra. Wajah kamu jadi bengkak, nanti aku ngga bakal bisa ngenalin kamu lagi." Goda Rudi.
Fatimah tersenyum di balik sedihnya, Aksa dan Najma yang melihat perlakuan Rudi merasa senang. Menurut mereka, Rudi tak terlalu buruk. Dia perhatian pada Fatimah, hal itu sudah cukup menjadi awal yang baik untuk sebuah hubungan, pikir Aksa.
Aksa sempat melirik jam yang melingkar di tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Aksa pun meminta Rudi untuk mengajak Fatimah ke dalam kamarnya.
"Rudi, tolong ajak Arra ke kamarnya. Biar dia bisa istirahat," pinta Aksa.
"Siap, Yah." Jawab Rudi.
Rudi langsung merangkul pundak Fatimah, dia pun menuntun Fatimah menuju kamarnya. Akan tetapi, sebelum itu Rudi pun berpamitan terlebih dahulu kepada Aksa dan juga Najma.
Sampai di dalam kamar, Rudi langsung mendudukkan Fatimah di pinggir ranjang. Dia mengusap air mata Fatimah dengan lembut dan memeluknya.
Dia berusaha untuk menenangkan hati wanita yang baru saja menjadi istrinya tersebut.
"Mau langsung istirahat atau mau shalat Ashar dulu?" tanya Rudi.
"Aku lagi datang bulan Mas, aku mau langsung istirahat saja." Fatimah terlihat melerai pelukannya, kemudian dia pun merebahkan tubuhnya dan menarik selimut sampai sebatas dada.
Rudi langsung mendekatkan wajahnya dan mencium kening Fatimah dengan lembut.
"Ternyata, nasib ku sangat malang ya? Di hari pertama kita menikah, kamu malah datang bulan." Ucap Rudi sembari majawel dagu Fatimah.
Fatimah terlihat mendelik sebal, lalu dia pun langsung menutup wajahnya dengan selimut. Rudi langsung terkekeh dia mengusap lembut pundak Fatimah yang terhalang oleh selimut kemudian dia berkata.
"Aku hanya bercanda Arra, aku juga masih punya perasaanm Aku tidak mungkin mengajak kamu melakukan hal itu di saat keadaan kita masih berduka." Kata Rudi.
Fatimah pun langsung membuka selimutnya, kemudian dia menatap Rudi dengan penuh selidik.
" Aku tidak mau kamu paksa, Mas. Aku maunya kita melakukannya karena dasar suka sama suka," kata Fatimah.
Dia tidak menampik akan kewajibannya sebagai seorang istr,i akan tetapi dia juga tidak mau melakukannya begitu saja dengan lelaki yang tidak dia kenal sama sekali.
"Iya, aku tidak akan memaksa. Jika kamu tak menyerahkan diri mu padaku," kata Rudi.
Rudi mengecup kening Fatimah, lalu Rudi langsung melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Tak lama terdengar gemericik air yang menandakan jika Rudi sedang melaksanakan ritual mandinya.
15 menit kemudian, Rudi pun telah kembali dengan keadaan yang sudah lebih segar. Fatimah yang tidak mendengar lagi suara pergerakan dari Rudi langsung membuka matanya, Fatimah melihat jika Rudi sedang melaksanakan kewajibannya terhadap sang khalik.
Seulas senyum pun terbit dari bibir mungil Fatimah, saat itu Fatimah berpikir jika Rudi adalah lelaki yang baik, taat beribadah dan tidak memaksakan kehendaknya terhadap seorang perempuan yang kini telah menjadi istrinya tersebut.
Fatimah memejamkan kembali matanya, lalu tidur dengan posisi membelakangi Rudi. Tak lama kemudian, terasa ada pergerakan di atas kasur.
Ternyata Rudi ikut merebahkan tubuhnya, lalu menarik Fatimah ke dalam pelukannya. Fatimah sangat senang, karena Rudi mau menghargai pernikahan mereka walaupun tanpa cinta.
Hatinya sedikit tertarik akan kelakuan lelaki yang baru saja menjadi suaminya itu, Fatimah pun berharap, jika pernikahannya akan langgeng walaupun tak di dasari rasa cinta.
Setiap malam, Rudi selalu tidur bersama dengan Fatimah. Di kala pagi tiba, Rudi lah yang sering terbangun lebih dahulu dan menyiapakan sarapan pagi untuk mereka.
Jika jam pulang kerja tiba pun, Rudi selalu menjemput Fatimah. Walaupun dia tak pernah meminta haknya, tapi dia selalu memperlakukan Fatimah dengan sangat baik dan lembut.
#Flash Back off#
"Ya tuhan, ternyata semua sikap manisnya hanya sandiwara. Dia sengaja bersikap manis, agar keluarga besarku tak curiga. Benar-benar lelaki setan, aku benci dia, Tuhan." Ucap kesal Fatimah.
Hari ini adalah hari libur, sangat rugi menurutnya kalau hanya berdiam diri di rumah. Fatimah memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke sebuah Mall yang ada di pusat kota.
Mungkin saja hal itu, akan membuat pikirannya lebih tenang. Fatimah segera bangun, dia segera memakai baju santainya. Baju muslim yang terlihat sangat modis.
Walaupun Fatimah berkerudung, dia tak pernah tertinggal trend. Unyu sesaat dia mematut wajahnya di depan cermin, setelah merasa puas dia langsung berangkat.
Tak perlu waktu lama, lima belas menit kemudian dia sudah sampai di sebuah Mall tempat tujuannya. Sampai di sana, yang terlebih dahulu ingin ia sambangi adalah butik.
Dia merasa perlu membeli beberapa baju dan juga kerudung untuk menunjang penampilan nya, karena dia memang selalu tampil modis di setiap harinya.
Fatimah memiliki tubuh goal seperti Najma, Bundanya. Banyak para lelaki yang berusaha untuk mendekatinya walauoun tahu jika dia sudah bersuami, akan tetapi dia selalu menutup dirinya.
Bukan dia terlalu mencintai Rudi, akan tetapi karena hatinya yang seakan lama telah membeku. Tentunya, semenjak lelaki yang dia samgat cintai sejak berusia empat belas tahun memutuskan untuk menikah dengan Kakaknya sendiri.
Fatimah masuk ke sebuah butik dengan Brand ternama, dia mulai memilih baju, hijab, celana bahkan gamis yang telihat sangat cantik pun dengan cepat dia pilih.
Dia juga memilih beberapa gaun yang terlihat sangat indah, sengaja dia beli untuk acara penting dalam menghadiri acara penting.
Setelah selsai, dengan cepat dia membayarnya. Tak lupa dia pun meminta penjaga toko untuk mengantarkannya ke rumahnya.
"Terima kasih, Nona. Anda sudah sudi berbelanja di toko kami, pesanan anda akan segera kami antarkan." Ucap pelayan toko tersebut.
"Sama-sama," ucap Fatimah sopan.
Fatimah yang merasa haus setelah berbelanja pun langsung melangkahkan kakinya menuju Caffe yang tak jauh dari sana.
Saat masuk ke dalam Caffe tersebut, Fatimah sangat kaget. Karena ternyata tak jauh dari sana ada Rudi yang sedang duduk manis sambil menggenggam tangan wanita yang belum lama dia bawa ke rumah.
Hatinya terasa panas, bukan karena cemburu. Hanya saja, dia merasa Tuhan seakan tak adil padanya. Hidupnya seperti dipermainkan, sakit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!