Arick mematut dirinya di depan cermin untuk memastikan kalau penampilannya sudah sempurna atau belum. pria berusia 25 tahun itu terlihat tersenyum, senyum yang sedikit dipaksakan.
Ya hari ini adalah hari dimana adik kembarnya Arend akan melepaskan masa lajangnya, dengan menikahi gadis pujaannya yang merupakan cinta pertamanya,putri satu-satunya Calvin, sahabat papanya.
Calista, gadis yang awalnya dijodohkan dengannya, sekarang akan menikah dengan adiknya Arend, karena dia menolak keras perjodohannya dengan Calista. Apa alasannya? hanya dialah yang tahu alasannya.
"Sepertinya sudah cukup rapi. Aku harus keluar sekarang," Arick beranjak dari depan cermin dan langsung melangkah menuju pintu.
Baru saja dia hendak mencapai pintu, tiba-tiba seseorang membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu.
"Papa, Mama? ada apa? Kalau mau memanggilku, nih aku baru saja mau Keluar." ucap Arick.
Mata Arick melihat sebuah tuxedo yang berada di tangan Celyn mamanya. Ada perasaan tidak nyaman yang timbul di hatinya.
"Kenapa Mama membawa-bawa tuxedo ini? bukannya tuxedo ini akan dipakai oleh Arend?" tanya Arick beruntun.
Aby menghela napasnya dan menatap Arick dengan tatapan yang sukar untuk dibaca.
"Arick, Arend kabur! dia membatalkan pernikahannya dengan Calista."
Mata Arick membesar, terkesiap kaget.
"Apa?! papa pasti bercanda. Itu sama sekali tidak mungkin, Pa. Arend sangat mencintai Calista, jadi tidak mungkin dia kabur dari pernikahannya. Bukannya bisa menikah dengan Calista adalah impiannya dari dulu?" Arick menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya.
"Tapi ini bukan bercanda, Rick. Adik kamu benar-benar sudah kabur. Jadi mama mohon agar kamu mau menggantikan Arend untuk menikah dengan Calista."Celyn buka suara, dengan wajah yang memelas memohon.
"Kenapa harus aku, Ma? aku tidak bisa menikah dengannya. Mama tunggu sebentar! aku akan coba menghubungi Arend dulu." Arick merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel dari dalam saku itu.
Arick berkali-kali mencoba menghubungi sang adik, akan tetapi dari tadi yang menjawab adalah suara operator yang mengatakan kalau nomor yang dituju sedang tidak aktif.
"Arghhh! kemana sih si bodoh ini? kenapa dia kabur tanpa memberikan alasannya?" wajah Arick terlihat frustasi. Dia berkali-kali mengusap wajahnya dengan kasar, bahkan rambutnya yang tadinya sudah rapi, kini kembali berantakan karena ulah tangannya yang dari tadi tidak berhenti mengacak-ngacak rambutnya.
"Arick waktu sudah sangat mepet, kita tidak mungkin bisa menemukan Arend lagi dengan cepat. Jadi tolong bantu mama sama papa! Kamu mau ya menggantikan adikmu menikah dengan Calista? Kamu tidak mau kan kalau persahabatan papa sama om Calvin hancur gara-gara ini?" mohon Celyn dengan raut wajah yang memelas.
"Tapi, Mah! bukannya ini juga termasuk mempermainkan keluarga Om Calvin kalau aku menerima menikah dengan Calista? Padahal dia tahu dengan jelas, kalau aku sudah menolak menikah dengan Calista. Calista bukan barang yang bisa dioper ke sana ke mari, Mah, Pah," Arick masih berusaha untuk menolak dengan memberikan alasan yang cukup logis.
"Sekarang coba kamu pikir baik-baik, Rick. Lebih buruk mana jika seandainya pernikahan ini tidak dilanjutkan sementara undangan sudah disebar dan bahkan mungkin sudah dalam perjalanan ke acara pernikahan dari pada dengan apa yang barusan kamu katakan tadi?" celetuk Aby, buka suara.
Arick terdiam berusaha mencerna ucapan papanya.
"Ok lah, Om Calvin akan merasa dipermainkan, tapi papa yakin kalau Om Calvin akan lebih bisa memaafkan kita nantinya daripada pernikahan ini tidak berlangsung sama sekali. Kalau pernikahan ini benar-benar tidak terjadi, bukan hanya persahabatan papa dan om Calvin yang hancur, kejadian ini pasti akan mempengaruhi perusahaan kita." jelas Aby panjang lebar.
"Nak, Calista gadis yang baik. Tidak pantas dia mendapatkan hal yang sangat membuat dia malu dan bahkan bisa membuat dia putus asa. Dia pasti akan merasa sangat buruk sehingga mendapat penolakan dari kalian berdua. Dia pasti akan jadi bahan pergunjingan orang-orang, dianggap tidak baik, karena ditolak dua orang putra Abyasa Bagaskara." Celyn menimpali ucapan Aby suaminya.
"Kalian tidak perlu membujuk Arick lagi. Lebih baik pernikahan ini batal, daripada Arick menikahi putriku dengan terpaksa,"
Mata Arick, Aby dan Celyn sontak menoleh ke arah pintu yang ternyata sudah ada Calvin berdiri di sana.
"Ca- Calvin? Ma-maafkan kami. Kami tidak menyangka akan terjadi seperti ini." ucap Aby, lirih.
"Ini bukan kesalahanmu. Ini murni kesalahanku karena ingin menjadikan salah satu dari putramu untuk menjadi menantuku. Padahal kamu dulu sudah mengatakan kalau, kamu tidak ingin melakukan perjodohan dan membiarkan kedua putramu untuk memilih jodoh yang mereka cintai.Jadi kamu jangan merasa bersalah." Calvin tersenyum simpul dan dipaksakan. Pria itu menepuk-nepuk pundak Aby, untuk mengisyaratkan kalau dirinya tidak apa-apa.
"Jadi bagaimana dengan Calista? dia pasti akan sangat sedih dan terpukul, Cal."
"Untuk urusan Calista, aku akan berusaha menyakinkan dia, kalau jodohnya bukan Arend. Dia pasti akan mengerti, sama seperti ketika aku menjelaskan padanya kalau Arick bukan jodohnya."
Arick yang tadinya menundukkan kepalanya, tiba-tiba mengangkat kepalanya untuk menatap Calvin papanya Calista. Dia melihat pria itu hanya berpura-pura tegar. Dari wajahnya terlihat kalau dia cukup terpukul dengan penolakan yang diterima oleh putrinya.
"Jadi bagaimana dengan acaranya? aku rasa para Keluarga dan tamu sudah mulai berkumpul di tempat acara peresmian pernikahannya. Gedung resepsi untuk nanti malam juga sudah didekorasi." Celyn buka mulut, seperti tidak rela kalau Calista batal jadi menantunya. Wanita itu sudah terlanjur sayang pada Calista dan benar-benar menginginkan gadis itu menjadi menantunya.
"Tenang saja, pernikahan masih akan dilaksanakan. Aku sudah memohon pada Kama, untuk menikah dengan Calista, dan dia sudah menyetujuinya. Yah, walaupun aku tahu, kalau baik Calista maupun Kama tidak saling mencintai. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku yakin benih-benih cinta akan timbul dengan sendirinya. Apalagi kalau sudah merasakan yang enak, iya gak sih?" Calvin masih berusaha untuk bercanda, menutupi rasa sedihnya.
"Jangan Om! biarkan aku yang menikah dengan Calista!" celetuk Arick tiba-tiba dan tegas.
Calvin sontak menatap tajam ke arah Arick.
"Apa maksudmu? bukannya kamu sudah menolak keras menikah dengan Calista? kenapa sekarang kamu mau menikahinya? putriku bukan mainan Arick."
"Bukan seperti itu, Om. Aku tidak pernah menganggap Calista barang mainan. Aku mau menikah dengan Calista sebagai bentuk dari tanggung jawab dari perbuatan Arend. Aku tidak mau Kama menanggung perbuatan Arend sedangkan aku tahu dengan jelas kalau Kama tidak mencintai Calista."
"Bagaimana dengan kamu? bukannya kamu juga tidak mencintai Calista?" Alis Calvin bertaut tajam.
"Seperti yang Om katakan, kalau cinta bisa timbul dengan sendirinya kalau sudah sering bersama. Aku tidak akan bisa menjanjikan sesuatu, tapi aku akan berusaha untuk menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab. Aku juga akan belajar mencintai Calista," ujar Arick dengan lugas dan tegas.
Calvin diam untuk sejenak, memikirkan perkataan Arick. Kemudian, pria itu menghela napas dengan cukup panjang seraya tersenyum ke arah Arick.
"Baiklah! kalau begitu kamu dan Calista yang akan menikah sekarang! Aku pegang kata-katamu!
Tbc
Jangan lupa buat like, vote dan komen ya guys. Thank you 🙏🏻
"Cie, Cie yang sebentar lagi akan jadi seorang istri, selamat ya, Lista!" goda Kalila.
Calista tidak menanggapi sama sekali. Gadis itu hanya tersenyum tipis menanggapi sahabatnya itu sekaligus sepupu dari Arick dan Arend. Itu berarti sebentar lagi Kalila akan menjadi adik iparnya.
"Lis, kamu kenapa? kamu sepertinya kurang bahagia. Apa dugaanku benar?" Alis Kalila bertaut tajam.
"Aku tidak tahu mau bahagia atau tidak, Lil. Kamu tahu sendiri siapa pemilik hatiku. Sampai sekarang belum bisa tergantikan Lil," sahut Calista dengan wajah sendu.
Kalila, mengembuskan napasnya dengan sekali hentakan. Dia heran bagaimana bisa Kalila masih bertahan untuk mencintai Arick, padahal kakak sepupunya itu selalu bersikap dingin dan apatis padanya. Kenapa Calista tidak bisa jatuh cinta pada Arend yang jelas-jelas mencintainya dan bahkan selalu ada untuknya.
"Lis, kamu tidak boleh begitu. Sekarang kamu lupakan rasa cinta kamu pada kak Arick. Please buka hatimu pada kak Arend. Ingat sebentar lagi kamu akan menjadi istrinya."
"Itu dia, Lil. Selama ini aku sudah berusaha untuk melupakan kak Arick dan membuka hati untuk kak Arend, tapi susah, Lil. Aku harus bagaimana lagi?" raut wajah Calista terlihat frustasi.
"Kalau begitu, kenapa kamu menerima pernikahan ini? kamu kan dikasih kesempatan untuk menolak saat itu." Kalila mulai kesal dengan sikap Calista yang plin plan.
"Aku tidak tega untuk menolak, Lil. Kak Arend sudah terlalu baik buatku selama ini."
"Justru itu letak kesalahanmu! kak Arend justru akan semakin sakit hati jika tahu kalau kamu menerimanya hanya karena tidak tega dan kasihan. Aku bingung dengan cara berpikirmu, kesal aku lama-lama, tahu nggak!" ucap Kalila, seraya mendegus kesal.
"Maaf, Lil!" Calista menundukkan kepalanya sambil menggigit bibir bawahnya.
Keheningan terjeda cukup lama diantara dua gadis itu. Mereka larut dalam lamunan masing-masing.
Tiba-tiba suara ketukan dari pintu, menyadarkan mereka berdua, menghentikan suasana hening yang sempat tercipta di antara mereka.
"Jangan sedih lagi! nanti semua orang bisa curiga. Aku buka pintu dulu!"
Kalila berjalan ke arah pintu, untuk membukakan pintu. Dia melihat Calvin berdiri di depan pintu dengan sebuah senyuman yang tersemat di bibirnya.
"Bagaimana, Om?" bisik Kalila. Calvin memberikan jawaban dengan mengangkat tangannya, mengacungkan jarinya yang membentuk huruf 'o' dan Kalila menganggukkan kepalanya, dan balik tersenyum manis.
"Masuk Om! pengantin wanita kita sudah siap!" Kalila menyingkir, memberikan jalan buat Calvin.
"Hai, putri papa yang paling cantik. Apa kamu sudah siap, Sayang?"
Calista langsung memasang wajah ceria, begitu melihat kedatangan papanya. Dia tidak mau papanya melihat kesedihan pada wajahnya.
"Udah dong, Pah. Papah kan bisa lihat sendiri, kalau Calista sudah sangat cantik, jawab Calista sambil memutar tubuhnya di depan sang papa.
"Dalam keadaan apapun kamu memang selalu cantik, Sayang." Senyum Calista semakin lebar, mendengar pujian papanya.
"Kamu duduk dulu! ada yang ingin papa bicarakan sebentar dengan kamu," Calvin membantu putri satu-satunya itu untuk duduk kembali.
"Ada apa, Pah? sepertinya serius banget." Kening Calista berkerut, penasaran.
"Begini, Sayang. Kamu tidak jadi menikah dengan Arend. ___"
"Kenapa?" Calista menyela ucapan papanya.
"Kamu jangan memotong apa yang sedang papa bicarakan, Nak. Tunggu papa selesai dulu, baru kamu bisa berbicara."
"Maaf, Pah. Aku hanya penasaran saja, makanya jadi tidak sopan seperti tadi.
"Arend kabur, Sayang!"
Kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Calvin papanya, membuat mata Calista membesar dan mengeleng-gelengkan kepalanya, tidak percaya.
"Ti-tidak mungkin, Pah! Papah bercanda kan?"
" Iya, Om! Om pasti bercanda kan?" Kalila ikut menimpali ucapan Calista.
"Ini benar terjadi, bukan candaan."
"Jadi, apa Calista batal menikah, Pah? kenapa Kak Arend bisa Setega itu? Seandainya aku tahu kalau akan jadi begini lebih baik aku menolak pernikahan ini." racau Calista dengan cairan bening yang berhasil lolos dari matanya.
"Pernikahan tetap akan berlangsung, tapi bukan dengan Arend melainkan Arick."
Calista tercenung. Tenggorokannya seperti tercekat sehingga dirinya mengalami kesulitan untuk menelan ludahnya sendiri.
"Bu-bukannya kak Arick sudah menolak menikah denganku? kalau dia mau menikah denganku karena hanya bentuk tanggung jawab saja, aku tidak mau, Pah." tegas Calista.
Ya, dia memang mencintai Arick, dan dia bahagia kalau bisa menjadi istri pria itu, karena itulah impiannya selama ini. Akan tetapi, dia tidak mau egois dengan dia mau menikah dengan pria itu, sama saja dia memberikan siksaan buat Arick karena harus hidup serumah dengan orang yang sama sekali tidak dicintainya.
"Calista, tidak ada jalan lain lagi. Kalau acara pernikahan ini batal, kita semua akan malu. Keluarga kita dan khususnya dirimu akan jadi bahan gunjingan."
"Aku tidak keberatan dengan hal itu, Pah. Gunjingan itu hanya untuk sementara, lambat laun juga akan hilang sendiri."
"Lista, tidak segampang itu. Perusahaan kita dan Bagaskara juga akan kena imbasnya. Lagian bukan papa yang meminta Arick untuk menikahimu, justru dialah yang menawarkan dirinya. Dia juga berkata akan menjadi seorang suami yang baik dan bertanggung jawab. Dia juga akan belajar mencintamu." jelas Calvin panjang lebar.
"Dia bilang seperti itu, Pah?" Calista bertanya memastikan. Karena jujur, dia masih kurang percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Calvin tidak menjawab, pria itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, mengiyakan.
"Baiklah, aku mau menikah dengannya!" tegas Calista dengan wajah berbinar bahagia.
"Itu mah, maunya kamu!" celetuk Kalila dengan bibir yang mengerucut.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Calista berjalan dengan tangan yang menggelayut di lengan Calvin, menuju tempat dimana Arick sudah menunggu.
Arick menundukkan kepalanya, tidak berani menatap langsung ke arah Calista. Akan tetapi, ekor matanya melirik ke arah gadis itu. Dan jujur, walaupun dengan hanya lirikan, dia bisa tetap melihat dengan jelas, kalau wanita yang sebentar lagi akan jadi istrinya itu, sangat cantik.
Setelah Calista sudah berada persis di samping Arick, detak jantung pria itu benar-benar berdetak lebih kencang. Jujur dirinya sangat gugup karena dirinya menikah tiba-tiba tanpa adanya persiapan. Satu hal yang dia doakan dalam hati, semoga cincin pernikahan itu, bisa pas di jarinya.
"Pasti pas lah, kan waktu itu aku yang mencoba cincinnya. Astaga, sepertinya ini sudah lama di rencanakan si bodoh itu," Arick menggeram di dalam hati, ketika mengingat dirinya dan Arend yang membeli cincin pernikahan. Saat itu Arend memintanya untuk mencoba. Ketika dirinya meminta adiknya itu untuk mencoba juga, Arend menolak dengan alasan ukuran jari mereka pasti sama. Dan dengan bodohnya dia percaya dan tidak memaksa adiknya itu untuk mencoba.
"Tunggu dulu! atau jangan-jangan nama yang tercetak di cincin itu juga namaku? aku harus memastikannya nanti," bisik Arick pada dirinya sendiri. Karena pada waktu itu, ketika mereka hendak pulang, Arend memintanya untuk menunggu sebentar di mobil dan kembali ke dalam toko perhiasan, dengan alasan ada sesuatu yang ketinggalan. Dan bodohnya dirinya percaya begitu saja pada adik kembarnya itu.
"Awas kamu Arend, kalau benar ink semua rencanamu."
Acara pernikahan pun berjalan dengan lancar, kedua sejoli itu kini sudah sah menjadi suami istri. Arick meraih tangan Calista untuk menyematkan cincin pernikahan ke jari manis gadis itu. Sebelum menyematkan cincin itu, Arick menyempatkan diri untuk melihat nama siapa yang tercetak di benda berbentuk lingkaran itu. Benar saja, ternyata nama yang tercetak di sana adalah namanya.
Dari barisan para tamu tampak pria berkumis dan memakai kacamata tersenyum tipis dengan mata yang berembun, melihat Arick dan Calista yang sudah sah menjadi suami istri.
"Semoga kalian berdua bahagia!" bisiknya pada diri sendiri sambil menekan-nekan kumisnya seperti takut terlepas.
Tbc
Resepsi mewah yang digelar atas pernikahan Arick dan Calista berlangsung dengan meriah dan berjalan lancar.
Semua doa dan harapan dari keluarga besar kedua belah pihak dan para tamu undangan diaminkan dengan tulus oleh Calista, tapi tidak tahu dengan Arick. Yang jelas, pria itu asik merutuki kebodohan Arend adiknya yang menyia-nyiakan kesempatan untuk bersanding dengan wanita pujaannya.
"Dasar goblok!" umpatnya dalam hati.
Kedua insan yang baru saja sah menjadi suami istri itu kini sudah berada di dalam kamar pengantin di hotel tempat mereka mengadakan resepsi. Arick tanpa berpikir panjang langsung menghempaskan tubuhnya di atas ranjang begitu saja, tidak peduli, ranjang pengantin yang dihias dengan indah, hancur atau tidak. Sementara itu, Calista langsung duduk di depan cermin untuk mencopot semua hiasan di kepalanya dan membersihkan makeup di wajahnya.
Suasana hening terjadi di antara mereka berdua, karena tidak ada yang buka suara.
"Kenapa seperti ini sih? kami kok berasa seperti musuhan ya?" Calista membatin di dalam hati, dengan mata yang sesekali melirik ke arah Arick yang terlentang di atas ranjang dengan kaki yang masih menapak ke lantai. Entah apa yang ada dalam pikiran pria itu sekarang.
Setelah selesai dengan urusan wajah dan rambutnya, Calista berdiri dan menatap ke arah Arick yang masih setia dengan mata yang menerawang ke atas langit-langit kamar.
Calista, menghampiri Arick dengan sedikit ragu,
"Kak, boleh minta tolong?" ucap Calista lirih.
"Emm," sahut Arick, singkat dan melirik sekilas dengan ekor matanya.
"A-aku mau mandi, boleh minta tolong bukain resleting gaun Lista? tanganku tidak sampai ke belakang," suara Calista terdengar gemetar.
Arick bangkit duduk dan langsung menatap ke arah Calista yang langsung menundukkan kepalanya sambil menggigit bibirnya.
"Sini!" seperti biasa Arick berbicara dengan singkat dan datar.
Dengan kaki yang gemetar, Calista berputar membelakangi, Arick suaminya.
Arick dengan susah payah menelan ludahnya begitu melihat punggung Calista yang mulus. Akan tetapi dia berusaha untuk menahan hasratnya untuk mengecup punggung Calista yang sebenarnya sudah sah, sah aja dia lakukan.
"Sudah!" celetuk Arick yang membuat Calista terjengkit kaget, karena wanita itu sempat melamun dan merasa tegang, ketika tangan pria itu mulai menyentuh resleting gaunnya tadi.
"Te-terima kasih, Kak!" Calista dengan cepat langsung melangkah ke kamar mandi, meninggalkan Arick yang langsung menghempaskan tubuhnya kembali ke atas ranjang sambil mengelus-elus dadanya dan berkali-kali mengembuskan napasnya. Untuk apa? untuk menetralisir hasrat yang tadi sempat menghampiri otaknya.
Arick bangkit duduk kembali ketika dia mendengar ponselnya berbunyi. Yang dari bunyinya dapat dipastikan kalau itu adalah bunyi pesan masuk.
Matanya terbelalak ketika melihat nama Arend yang sedang mengirimkan pesan padanya. Arick sontak buru-buru untuk membuka pesan saudara kembarnya.
"Happy wedding my best brother. Semoga bahagia selalu dan langgeng sampai maut datang menjemput. Kalau maut sudah datang menjemputmu, aku akan dengan senang hati menggantikanmu," isi pesan Arend yang diakhiri dengan emoticon, tertawa yang mengeluarkan air mata.
"Brengsek!" umpat Arick dalam hati. Kemudian dia langsung menelepon saudara kembarnya seraya berpindah ke balkon kamar hotel.
"Hei goblok, kamu lagi doain aku atau mengutukku untuk cepat mati?" bentak Arick ketika terdengar suara Arend yang menyapanya .
"Aku bercanda, bro. Gak usah bawa ke hati!" sahut Arend disertai dengan kekehen yang terdengar jelas di telinga Arick.
"Kamu dimana? pulang sekarang! aku mau marah-marah!" balas Arick lagi.
"Uhh, takut! jujur amat sih, Rick. Aku kan jadi takut buat pulang. Takut diamuk sama kamu."
"Arend! aku tahu ini semua rencana kamu! kenapa kamu melakukan ini semua, hah? bukannya kamu mencintai Calista?"
Terdengar helaan napas berat dari ujung sana.
"Karena aku tahu, kalau cinta itu tidak harus memiliki, Rick. Aku akan menjadi orang yang paling egois kalau aku tetap memaksakan untuk menikah dengan dia. Karena apa? karena tidak ada namaku sama sekali, di hatinya. Yang ada hanya namamu," Jawab Arend, lirih.
"Tapi seiring berjalannya waktu, dia pasti akan mencintaimu, Rend. Kenapa kamu jadi putus asa begini sih? ucap Arick, kesal.
"Aku yakin tidak! dia tidak akan bisa mencintaiku. Karena buktinya selama ini, aku selalu ada untuknya, mulai dari kecil sampai kita dewasa, tapi dia sama sekali tidak bisa jatuh cinta padaku, Rick. Dia memang terlahir untukmu, bukan untukku. Ingat! dulu waktu dia lahir, Om Calvin menanyakan kamu, mau tidak jadi menantunya, dan kamu menjawab iya kan?Jadi sebagai laki-laki sejati kamu harus bertanggung jawab dengan apa yang kamu iyakan."
"Hey, kamu yang logis dong kalau berbicara. Aku mengiyakan karena belum tahu apa itu menantu. Jangan kamu jadikan itu untuk menyudutkanku! ucap Arick, kesal dan ditanggapi dengan suara kekehan dari ujung sana.
"Kamu mengatakan, kalau cinta tidak bisa dipaksakan dan tidak harus memiliki, bukannya sekarang yang kamu lakukan ini egois? bagaimana mungkin kamu membiarkan wanita yang kamu cintai, menikah dengan pria yang tidak mencintainya. Apa kamu kira dia akan bisa bahagia dengan kondisi seperti itu? aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu," sambung Arick kembali
"Rick, aku tahu kamu. Kenapa aku merelakannya untukmu, karena aku yakin kalau kamu tidak akan menyakitinya, sekalipun kamu mengatakan tidak mencintainya. Kamu tahu, tanpa kalian tahu, tadi aku mendengar semua pembicaraan kalian ketika papa dan mama membujukmu untuk menggantikanku. Seandainya tadi kamu tidak menyetujui menikah dengan Calista, dan membiarkan Kama yang menggantikan, saat itu aku pasti akan muncul . Aku tidak rela dia dengan Kama, aku lebih rela kalau dia denganmu,"
Mata Arick membesar dengan sempurna. Kekesalannya semakin bertambah begitu mendengar pengakuan dari mulut Arend. Bila Arend ada di depannya, sudah dipastikan satu pukulan akan melayang ke wajah adiknya itu.
"Kamu benar-benar gila, Rend. sumpah! kenapa bisa tidak ada orang yang tahu kalau kamu masih ada di tempat pernikahan? kalau aku kamu masih ada di tempat, aku lebih baik menolak, supaya kamu muncul. Sekarang aku gak mau tahu, kamu harus pulang ke rumah dan kita selesaikan urusan kita besok di rumah." titah Arick.
"Maaf, aku tidak bisa. Kalau kamu mau marah, silahkan, aku tidak peduli. Sekarang aku mau menyendiri dulu, untuk menenangkan diri. Aku akan pulang setelah aku bisa menguasai diriku untuk bersikap biasa di depan kalian berdua," dari nada suara Arend, Arick yakin kalau sekarang adiknya itu sedang berusaha menahan diri untuk tidak menangis.
"Sampai kapan, Rend? apa kamu tidak akan merindukanku? selama ini kita selalu bersama, walaupun aku tidak memungkiri kalau kita sering bertikai, gara-gara aku selalu mengabaikan Calista. Tapi__"
"Stop, jangan dilanjutkan lagi! bagaimanapun cara kamu membujuku, aku tidak akan pulang. Aku tutup dulu teleponnya, sampaikan permintaan maafku pada Calista. Sekali lagi, semoga kalian berdua bahagia. Ingat, buat keponakan- keponakan lucu buatku, bye!" Arend menyela ucapan Arick dan langsung mencerocos tanpa jeda, kemudian dia langsung memutuskan panggilan secara sepihak.
"Hey, Arend! aku belum selesai bicara, bego!" teriak Arick, kesal.
"Haish, benar-benar cari mati nih orang. Matiin telpon tak bilang-bilang!" Arick menggerutu, sambil melangkah untuk masuk kembali ke dalam kamar.
Begitu dia masuk kamar, matanya langsung bersirobok dengan mata Calista. Untuk beberapa saat mereka saling menatap, sebelum akhirnya Calista menyerah dan langsung menundukkan kepalanya.
Tbc
Jangan lupa buat tetap ninggalin jejak ya, guys. Tekan like, vote dan komen. Thank you
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!